Mengkuan, sebuah konsep filosofis yang berakar kuat dalam sejarah peradaban kuno Nusantara, jauh lebih dari sekadar istilah; ia adalah cetak biru untuk kehidupan yang selaras, terintegrasi, dan berkelanjutan. Prinsip mengkuan mendefinisikan hubungan timbal balik antara manusia, alam semesta, dan entitas spiritual. Ia merupakan kunci untuk memahami mengapa struktur bangunan tradisional, praktik pertanian, dan sistem sosial tertentu di wilayah kepulauan ini mampu bertahan melintasi ribuan tahun tanpa mengorbankan keseimbangan ekologis atau sosial.
Dalam esensi dasarnya, Mengkuan berarti ‘Integrasi yang Mengalir’ atau ‘Penyeimbangan yang Ditinggikan’. Konsep ini menolak dualisme ekstrem, sebaliknya, ia mempromosikan penyatuan yang dinamis di mana kontras tidak saling meniadakan tetapi saling memperkuat. Eksplorasi mendalam terhadap mengkuan membawa kita pada pemahaman baru tentang keindahan, struktur, dan makna eksistensi, terutama dalam konteks warisan budaya yang kaya raya.
Filosofi mengkuan berpusat pada tiga pilar utama yang harus dipenuhi dalam setiap aspek kehidupan: Daya (Kekuatan Alami), Raga (Bentuk Fisik/Struktur), dan Saras (Aliran/Koneksi Spiritual). Ketika ketiganya mencapai resonansi, barulah prinsip mengkuan dianggap tercapai. Prinsip ini tidak hanya berlaku pada artefak fisik, tetapi juga pada tata kelola komunitas dan pembentukan karakter individu.
Banyak sistem filosofis berfokus pada keseimbangan statis, namun mengkuan menekankan pada keseimbangan dinamis, yang dikenal sebagai Taru Sastra. Ini adalah kondisi di mana elemen-elemen yang berlawanan terus bergerak dan beradaptasi, mempertahankan harmoni melalui gerakan dan perubahan yang konstan. Ini seperti sungai yang terus mengalir; airnya selalu berubah, namun bentuk sungai itu sendiri tetap abadi. Penerapan mengkuan dalam kehidupan sehari-hari menuntut fleksibilitas dan adaptasi yang cepat terhadap lingkungan yang berubah-ubah.
Penganut mengkuan percaya bahwa ketidakseimbangan adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan. Ketidakseimbangan mendorong gerakan, dan gerakan adalah esensi kehidupan. Masalah muncul ketika ketidakseimbangan menjadi stagnan atau permanen. Oleh karena itu, tujuan dari setiap ritual, seni, atau struktur mengkuan adalah untuk mengarahkan kembali ketidakseimbangan alami ke dalam lintasan penyeimbangan yang konstruktif.
Pilar kedua dari mengkuan adalah Eka Rasa, yang secara harfiah berarti ‘Satu Rasa’ atau ‘Koneksi Tunggal’. Ini adalah pengakuan bahwa semua makhluk dan materi, dari batu terkecil hingga bintang terjauh, terhubung dalam satu jaringan energi kosmik. Jika satu bagian dari jaringan ini terganggu, seluruh sistem akan merasakan dampaknya. Dalam konteks sosial, Eka Rasa mendiktekan bahwa kesejahteraan individu tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan komunitas, dan kesejahteraan komunitas tidak dapat dipisahkan dari kesehatan lingkungan alam.
Penerapan prinsip mengkuan dalam pengelolaan sumber daya alam—misalnya, dalam sistem irigasi kuno—mencerminkan pemahaman mendalam ini. Air tidak hanya dialirkan untuk satu sawah saja, tetapi juga dialirkan dengan pertimbangan dampak hulu dan hilir, memastikan bahwa aliran air tidak hanya efisien tetapi juga adil dan berkelanjutan bagi semua yang menggunakan. Pengalaman mengkuan sejati adalah merasakan keutuhan dari sistem tersebut.
Simbol Keseimbangan dan Integrasi Mengkuan: Representasi visual dari penyatuan Daya (hitam/hijau), Raga (putih/struktur), dan Saras (aliran/gradien).
Penerapan filosofi mengkuan paling nyata terlihat dalam arsitektur tradisional. Rumah dan struktur komunal yang dibangun dengan prinsip ini bukan sekadar tempat berlindung, melainkan organisme hidup yang berinteraksi dengan iklim, lanskap, dan penghuninya. Fokus utama arsitektur mengkuan adalah menciptakan Transisi yang Mulus (Lajur Sambung) antara ruang luar dan ruang dalam, antara alam dan buatan manusia.
Sebelum satu tiang pun ditancapkan, proses penentuan lokasi dalam mengkuan, atau Sandi Papan, adalah ritual yang kompleks. Lokasi harus memiliki ‘Aliran Energi’ yang baik. Ini berarti lokasi harus memperhatikan arah angin dominan, jalur matahari, dan, yang paling penting, jalur air. Rumah yang dirancang sesuai prinsip mengkuan selalu mengoptimalkan ventilasi alami dan pencahayaan matahari, mengurangi kebutuhan akan intervensi buatan.
Orientasi bangunan sering kali dikaitkan dengan sumbu kosmologis, seperti gunung atau mata air suci. Sebagai contoh, di beberapa wilayah, atap rumah mengkuan sengaja dibuat landai pada satu sisi dan curam pada sisi lain untuk memandu aliran air hujan ke area resapan tertentu, menunjukkan penghormatan terhadap daur hidrologi. Prinsip ini adalah representasi fisik dari Taru Sastra: struktur fisik (Raga) menyesuaikan diri dengan kekuatan alami (Daya) untuk mencapai aliran optimal (Saras).
Arsitektur mengkuan sangat bergantung pada material lokal dan alami. Kayu, bambu, ijuk, dan batu digunakan tidak hanya karena ketersediaannya, tetapi karena sifat-sifatnya yang ‘hidup’—kemampuan material untuk bernapas, menyerap kelembaban, dan menua dengan anggun. Penggunaan pasak dan sambungan tanpa paku, yang memungkinkan bangunan beradaptasi terhadap gempa bumi dan perubahan suhu, adalah contoh nyata dari prinsip mengkuan dalam teknik konstruksi.
Dalam rumah tradisional mengkuan, jarang ditemukan pembagian ruang yang kaku dan permanen. Sebagian besar area dirancang sebagai Ruang Lintang—ruang fleksibel yang dapat diubah fungsinya dari tempat tidur menjadi ruang pertemuan, atau dari ruang makan menjadi area ritual. Fleksibilitas ini mencerminkan prinsip mengkuan bahwa kehidupan adalah transisi konstan, dan struktur harus mengakomodasi perubahan ini, bukan menghambatnya. Struktur non-permanen ini memastikan bahwa Raga dapat menyesuaikan diri dengan Daya dan Saras kehidupan sosial.
Elemen air dan cahaya diperlakukan sebagai entitas spiritual dalam arsitektur mengkuan. Jendela dan lubang udara (Sela Angin) ditempatkan sedemikian rupa sehingga cahaya tidak hanya menerangi ruangan, tetapi juga menciptakan pola bayangan yang bergerak sepanjang hari. Bayangan yang bergerak ini dianggap sebagai penanda waktu alami dan pengingat akan Taru Sastra. Kolam air kecil atau saluran air sering diintegrasikan ke dalam pekarangan rumah untuk meningkatkan kelembaban, meredam suara, dan memfasilitasi aliran energi positif (Saras).
Banyak ahli arsitektur modern yang mempelajari prinsip mengkuan mengakui bahwa metode konstruksi tradisional ini secara inheren merupakan arsitektur hijau yang berkelanjutan. Prinsip mengkuan memandang sampah atau limbah sebagai kegagalan dalam desain aliran (Saras), oleh karena itu, desainnya selalu diarahkan pada sistem tertutup di mana setiap output menjadi input bagi elemen lain, baik itu kompos, air hujan yang ditampung, atau panas matahari.
Prinsip Mengkuan mengajarkan bahwa bangunan bukanlah benda mati, melainkan wadah hidup yang bernapas bersama penghuninya dan lanskap di sekitarnya. Kegagalan mencapai mengkuan adalah menciptakan keterasingan antara buatan manusia dan dunia alami.
Filosofi mengkuan juga meresap dalam seni visual, musik, dan tarian. Seni mengkuan tidak bertujuan untuk menciptakan representasi yang sempurna dari realitas, tetapi untuk menangkap esensi dari gerakan, ritme, dan interkoneksi yang membentuk realitas tersebut. Ini adalah seni yang berfokus pada proses dan pengalaman, bukan hanya hasil akhir.
Dalam ukiran dan seni lukis yang dipengaruhi mengkuan, terdapat penekanan kuat pada garis yang mengalir dan berulang (Saras Lukis). Pola geometris sering kali tampak kacau pada pandangan pertama, tetapi ketika diteliti, mereka mengungkapkan lapisan simetri fraktal yang rumit, yang mencerminkan ketidakterbatasan alam. Penggunaan warna tidak bersifat deskriptif, tetapi simbolis—merah mungkin mewakili energi Daya, sementara biru mewakili ketenangan Saras.
Karya seni mengkuan sering kali memadukan elemen yang kontras, seperti tekstur kasar dan halus, atau garis lurus dan melengkung, untuk mencapai ketegangan visual yang dinamis. Ketegangan ini adalah manifestasi dari Taru Sastra dalam bentuk visual; sebuah pengingat bahwa keindahan sejati muncul dari perjuangan abadi elemen-elemen yang berlawanan untuk mencapai harmoni.
Musik yang berlandaskan mengkuan (Gending Mengkuan) dicirikan oleh penggunaan repetisi melodi yang berlapis-lapis dan saling mengisi. Tidak ada satu instrumen pun yang dominan; setiap alat musik memainkan peran penting dalam mencapai keseluruhan resonansi. Musik ini menciptakan nuansa trans yang tidak linier, melainkan melingkar, mencerminkan siklus alam dan waktu.
Dalam tarian mengkuan, gerakan berfokus pada transisi yang mulus antara pose-pose yang kuat (Raga) dan gerakan-gerakan lembut yang mengalir (Saras). Penari harus memproyeksikan Daya, tetapi mereka melakukannya melalui kontrol tubuh yang ekstrem, memastikan bahwa setiap gerakan adalah bagian dari aliran yang lebih besar. Tarian ini seringkali dilakukan di tempat-tempat yang memiliki koneksi kuat dengan alam, seperti tepi sungai atau lereng gunung, untuk mengintegrasikan Daya lingkungan ke dalam penampilan.
Diagram Aliran Energi (Saras) Mengkuan. Garis kuning mewakili aliran utama, sementara garis putus-putus hijau mewakili Daya yang membentuk dan dibentuk oleh aliran tersebut.
Penerapan mengkuan dalam masyarakat menghasilkan struktur sosial yang kuat namun adaptif, berfokus pada kolektivitas yang berkelanjutan. Prinsip etika mengkuan melampaui aturan moral sederhana; ia adalah kode etik fungsional yang memastikan komunitas beroperasi dengan efisiensi dan keadilan, selalu mencari titik temu antara kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif (Eka Rasa).
Sistem tata kelola yang didasarkan pada mengkuan (Lembaga Mengkuan) dicirikan oleh pengambilan keputusan yang bersifat musyawarah, namun didorong oleh tujuan integrasi. Daripada mencari kemenangan mayoritas, tujuan utama musyawarah adalah menemukan solusi yang paling harmonis, yang mampu memuaskan Daya, Raga, dan Saras dari semua pihak yang terlibat. Konflik dipandang bukan sebagai kehancuran, melainkan sebagai manifestasi yang diperlukan dari ketidakseimbangan yang harus diatasi untuk mencapai keseimbangan dinamis yang lebih tinggi.
Peran pemimpin dalam mengkuan adalah sebagai fasilitator aliran (Saras), bukan sebagai pemegang kekuasaan absolut (Daya). Pemimpin harus mampu memastikan bahwa struktur sosial (Raga) tetap fleksibel dan responsif terhadap perubahan lingkungan, baik sosial maupun alam. Kegagalan kepemimpinan dalam mengkuan terjadi ketika pemimpin mencoba memaksakan struktur yang kaku, yang menghambat aliran alami kehidupan masyarakat.
Salah satu kontribusi terpenting dari mengkuan adalah etika kelestarian yang terinternalisasi, yang dikenal sebagai Prinsip Sadar. Prinsip ini mendiktekan bahwa konsumsi sumber daya harus selalu diimbangi dengan regenerasi dan pemeliharaan. Tidak ada pengambilan tanpa pengembalian yang setara. Ini bukan sekadar konservasi, tetapi regenerasi aktif yang memastikan bahwa Daya alam tetap utuh atau bahkan diperkuat untuk generasi mendatang.
Dalam praktik pertanian mengkuan, misalnya, rotasi tanaman dan penggunaan polykultur bukan hanya teknik agronomis, tetapi tindakan ritual yang menghormati Eka Rasa. Tanah dipandang sebagai mitra hidup, bukan sekadar komoditas. Ini bertentangan dengan pendekatan ekstraktif modern yang melihat sumber daya sebagai persediaan tak terbatas. Bagi penganut mengkuan, sumber daya adalah pinjaman yang harus dibayar kembali dengan bunga regenerasi.
Kekuatan etika mengkuan terletak pada kemampuannya untuk menginternalisasi nilai-nilai keberlanjutan. Keputusan individu tentang apa yang harus dimakan, bagaimana membangun rumah, dan bagaimana mengolah tanah, didorong oleh kesadaran bahwa mereka adalah bagian integral dari jaringan kosmik. Jika mereka mengambil terlalu banyak, jaringan itu melemah, dan mereka sendirilah yang akan menderita konsekuensinya.
Meskipun dunia modern sering kali didominasi oleh kecepatan, efisiensi, dan spesialisasi, prinsip mengkuan menawarkan antidot yang sangat dibutuhkan: integrasi, keutuhan, dan harmoni jangka panjang. Warisan filosofi ini tidak hanya terletak pada peninggalan candi atau rumah adat, tetapi dalam cara pandang hidup yang masih dipraktikkan oleh beberapa komunitas adat hingga saat ini.
Di tengah isu kepadatan kota dan polusi, para perencana kota mulai meninjau kembali prinsip-prinsip mengkuan. Penerapan mengkuan dalam desain urban berarti menciptakan kota-kota yang mengintegrasikan ekosistem alami ke dalam struktur buatan. Ini termasuk pengembangan infrastruktur hijau, pengelolaan air limbah sebagai sumber daya, dan penciptaan ruang publik yang fleksibel (Ruang Lintang versi modern) yang mendorong interaksi sosial yang sehat.
Kota-kota yang menerapkan prinsip mengkuan akan memiliki jaringan transportasi yang mengalir (Saras), bangunan yang merespons iklim lokal (Raga yang Adaptif), dan komunitas yang terlibat aktif dalam pengelolaan lingkungan mereka (Daya Sosial). Ini menuntut pergeseran paradigma dari pembangunan yang bertujuan untuk menguasai alam menjadi pembangunan yang bertujuan untuk berkolaborasi dengan alam.
Dalam konteks pendidikan, mengkuan mengajarkan pentingnya pendidikan holistik yang menyentuh aspek intelektual, emosional, spiritual, dan fisik. Pendidikan mengkuan tidak memisahkan mata pelajaran, melainkan menunjukkan bagaimana semua pengetahuan—sains, seni, etika—terhubung dalam Eka Rasa. Tujuan pendidikan adalah menghasilkan individu yang mampu menciptakan keseimbangan dinamis dalam hidup mereka sendiri dan dalam komunitas yang lebih luas.
Pengasuhan yang berbasis mengkuan menekankan pentingnya memberi anak-anak ruang untuk merasakan dan menyeimbangkan Daya dan Saras dalam diri mereka. Ini berarti menghormati kebutuhan akan struktur (Raga) sekaligus mempromosikan eksplorasi dan fleksibilitas (Saras). Kegagalan pendidikan modern, menurut lensa mengkuan, adalah terlalu fokus pada Raga (fakta, ujian terstandardisasi) sambil mengabaikan Daya (potensi kreatif) dan Saras (aliran pemikiran dan koneksi emosional).
Tentu saja, prinsip mengkuan menghadapi tantangan besar dari globalisasi dan homogenisasi budaya. Ekonomi pasar sering kali memprioritaskan kecepatan dan keuntungan jangka pendek, yang bertentangan langsung dengan fokus mengkuan pada kelestarian dan aliran jangka panjang.
Ketika material impor yang seragam dan teknik konstruksi cepat menggantikan material lokal yang adaptif, struktur yang dihasilkan kehilangan kemampuan mereka untuk 'bernapas' dengan lingkungan. Ketika sistem sosial terpusat dan kaku menggantikan Lembaga Mengkuan yang adaptif, masyarakat kehilangan kemampuan mereka untuk merespons perubahan secara dinamis. Pelestarian warisan mengkuan hari ini adalah upaya untuk mempertahankan kebijaksanaan kuno yang relevan untuk menghadapi krisis ekologi dan sosial modern.
Upaya pelestarian bukan sekadar mempertahankan bentuk fisik rumah adat atau ritual kuno, tetapi yang lebih penting, mempertahankan dan merevitalisasi pemahaman filosofis mendalam di baliknya. Hanya dengan memahami Daya, Raga, dan Saras yang membentuk mengkuan, generasi masa kini dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara kreatif dan efektif dalam tantangan abad ke-21. Mengkuan adalah peta jalan menuju masa depan yang harmonis, asalkan kita bersedia mendengarkan kebijaksanaan dari masa lalu yang mengalir.
Skema Arsitektur Harmonius Mengkuan, menekankan atap sebagai titik Daya, dinding sebagai Raga, dan ventilasi (garis putus-putus) sebagai Saras.
Kesimpulan dari studi mendalam tentang mengkuan adalah bahwa filosofi ini menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk mencapai kehidupan yang kaya makna, seimbang, dan berkelanjutan. Mengkuan bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah tentang bagaimana kita memilih untuk hidup saat ini, dan bagaimana kita membangun masa depan yang menghormati aliran dan koneksi abadi yang mengikat kita semua.
Untuk benar-benar memahami kedalaman mengkuan, kita harus menelaah sub-prinsip yang mengatur implementasinya dalam berbagai skala. Prinsip ini memberikan panduan spesifik tentang bagaimana mencapai resonansi antara Daya, Raga, dan Saras.
Dalam setiap entitas yang mengikuti mengkuan, harus ada kesadaran akan Dwi Tunggal, yaitu harmoni antara aspek ganda (dualitas, seperti terang dan gelap, maskulin dan feminin, keras dan lembut) yang bersatu dalam esensi tunggal. Contoh paling jelas adalah sambungan kayu tradisional yang memanfaatkan gaya dorong dan tarik secara simultan, menciptakan struktur yang lebih kuat karena adanya oposisi yang terintegrasi. Kegagalan memahami Dwi Tunggal dalam konteks sosial seringkali menyebabkan polarisasi yang tidak produktif.
Struktur naratif kuno yang diresapi mengkuan seringkali menampilkan pahlawan yang harus merangkul kelemahan mereka (aspek ganda yang berlawanan) untuk mencapai kekuatan sejati (aspek tunggal). Ini menekankan bahwa integrasi, bukan penolakan, terhadap hal-hal yang tidak disukai adalah jalan menuju keseimbangan mengkuan.
Filosofi mengkuan dalam pengerjaan material, atau Wiyata Rasa, adalah tentang memahami sifat bawaan dari setiap material dan menggunakannya sesuai dengan Daya-nya. Material dari pohon yang tumbuh lambat mungkin digunakan untuk tiang utama (Raga kuat), sementara bambu yang fleksibel digunakan untuk dinding partisi (Raga yang adaptif dan Saras). Pengrajin mengkuan tidak mencoba memaksakan kemauan mereka pada material, tetapi berkolaborasi dengannya, menghasilkan karya yang memiliki jiwa dan mampu beresonansi dengan lingkungannya.
Dalam konteks modern, prinsip Wiyata Rasa menantang penggunaan material sintetis yang tidak memiliki kemampuan adaptasi atau ‘rasa’ alami. Menggunakan material sesuai Daya-nya adalah bentuk penghormatan terhadap Eka Rasa. Ini memastikan bahwa struktur yang dibangun tidak hanya bertahan secara fisik tetapi juga secara spiritual selaras dengan lingkungan tempat mereka berada.
Mengkuan secara inheren bersifat siklis. Prinsip Kala Cakra (Roda Waktu) memastikan bahwa setiap keputusan, mulai dari menanam padi hingga mendirikan bangunan, memperhitungkan siklus alam yang lebih besar. Ini termasuk siklus bulanan, musiman, dan bahkan siklus generasi. Struktur bangunan tradisional sering kali dirancang untuk direnovasi atau dibangun kembali setelah satu siklus generasi tertentu, memastikan bahwa Raga tidak menjadi kaku tetapi selalu diperbaharui, mempertahankan Saras yang dinamis.
Pemahaman tentang Kala Cakra Mengkuan mengajarkan bahwa kita harus merencanakan tidak hanya untuk hari esok, tetapi untuk tujuh generasi ke depan. Ini adalah pandangan waktu yang sangat berbeda dari pandangan linier modern, yang seringkali mengabaikan dampak jangka panjang dari tindakan hari ini. Penerapan penuh mengkuan menuntut kesabaran dan pandangan jauh ke depan.
Bagaimana individu dan organisasi modern dapat menerapkan kerangka kerja mengkuan ini di luar bidang arsitektur tradisional?
Dalam dunia bisnis, prinsip mengkuan dapat diaplikasikan pada manajemen organisasi. Organisasi yang dipimpin dengan filosofi mengkuan memiliki struktur (Raga) yang jelas, tetapi juga mendorong aliran informasi dan ide (Saras) yang bebas dari atas ke bawah dan sebaliknya. Pemimpin berfokus pada pengembangan Daya kolektif tim, memastikan bahwa setiap anggota merasa terhubung (Eka Rasa) dan dihargai. Kegagalan manajemen, dari perspektif mengkuan, adalah stagnasi Saras atau penindasan Daya individu.
Pada tingkat pribadi, mengkuan adalah pencarian Pranawa Diri, yaitu harmonisasi tubuh (Raga), pikiran (Daya), dan emosi (Saras). Praktik kesehatan mengkuan, seperti meditasi atau gerakan tubuh tertentu, berfokus pada menemukan aliran alami dalam tubuh, menghilangkan hambatan yang menyebabkan penyakit. Makanan yang dikonsumsi harus sesuai dengan Daya lingkungan (musiman, lokal), dan aktivitas harian harus selaras dengan siklus alami tubuh (Kala Cakra).
Kesejahteraan emosional, menurut mengkuan, dicapai bukan dengan menghindari emosi negatif, tetapi dengan membiarkannya mengalir (Saras) dan mengubahnya menjadi energi konstruktif (Daya). Ini adalah adaptasi pribadi dari Taru Sastra: menerima ketidakseimbangan emosional sebagai sinyal untuk mencari keseimbangan yang lebih tinggi.
Meskipun istilah mengkuan mungkin bersifat regional, prinsip-prinsipnya dapat diamati di berbagai peninggalan budaya Nusantara.
Sistem irigasi Subak di Bali adalah contoh paling murni dari implementasi mengkuan dalam skala besar. Subak bukan hanya infrastruktur fisik (Raga), tetapi juga jaringan sosial-religius (Daya dan Saras). Air dibagi secara adil dan dikelola melalui musyawarah (Lembaga Mengkuan), memastikan bahwa kebutuhan manusia selaras dengan kebutuhan alam. Keteraturan siklus tanam dan panen mengikuti Kala Cakra, dan setiap anggota komunitas memainkan peran integral (Eka Rasa). Subak menunjukkan bahwa sistem yang dijiwai mengkuan dapat menghasilkan kelestarian ekologis yang luar biasa dan ketahanan sosial yang tinggi.
Relief-relief pada candi kuno di Jawa juga menampilkan prinsip mengkuan. Narasi yang terukir seringkali tidak linier, tetapi melingkar dan berulang, memungkinkan interpretasi yang berlapis (Saras). Tata letak candi itu sendiri, dengan orientasi ke gunung atau arah mata angin tertentu, adalah penerapan Sandi Papan yang monumental, menempatkan Raga buatan manusia dalam resonansi sempurna dengan Daya kosmik.
Pola ukiran yang berulang dan saling terkait (seperti motif flora dan fauna yang menyatu) adalah manifestasi visual dari Eka Rasa. Tidak ada satu pun elemen yang dapat dihilangkan tanpa merusak keutuhan pola, mengajarkan bahwa keindahan terletak pada koneksi yang tak terpisahkan.
Di saat dunia mencari solusi untuk tantangan kompleks seperti perubahan iklim dan kesenjangan sosial, filosofi mengkuan menawarkan model keberlanjutan dan keharmonisan yang telah teruji oleh waktu. Revitalisasi mengkuan bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi mengaplikasikan kebijaksanaan fundamentalnya pada teknologi dan kehidupan modern.
Para akademisi dan praktisi desain perlu terus meneliti dan mendokumentasikan prinsip-prinsip mengkuan yang tersembunyi dalam tradisi lokal. Dengan demikian, filosofi ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa modern, menjadi alat yang relevan untuk menciptakan komunitas, bangunan, dan kehidupan yang lebih terintegrasi. Mengkuan mengajarkan bahwa jalan menuju masa depan yang lestari adalah jalan yang menghormati aliran abadi dari kehidupan itu sendiri.
Memahami dan menerapkan mengkuan adalah investasi dalam keseimbangan abadi; sebuah pengakuan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kontrol atau kekakuan, tetapi pada kemampuan untuk mengalir, beradaptasi, dan berintegrasi secara harmonis dengan seluruh jaringan kehidupan.