Fenomena mengklonakan, atau kloning, telah lama keluar dari domain fiksi ilmiah dan menjadi subjek serius dalam penelitian biologi molekuler dan genetika. Teknologi ini, yang memungkinkan penciptaan organisme yang secara genetik identik dengan organisme donor tunggal, membawa serta janji revolusioner dalam bidang kedokteran, pertanian, dan konservasi, sekaligus menimbulkan tantangan etika dan moral yang mendalam tentang definisi kehidupan, individualitas, dan martabat manusia.
Proses mengklonakan adalah manifestasi tertinggi dari pemahaman manusia terhadap mekanisme dasar reproduksi seluler. Meskipun alam telah melakukan kloning secara alami—seperti pada reproduksi aseksual bakteri atau kembar identik pada manusia—intervensi buatan dalam skala besar, yang dimulai dengan serangkaian eksperimen pada abad ke-20, telah membuka kotak pandora ilmiah yang isinya masih terus kita telaah hingga kini. Artikel ini akan menyelami setiap aspek kloning, mulai dari prinsip dasar ilmiahnya, tonggak sejarah yang monumental, hingga perdebatan sengit mengenai batas moral dan kerangka hukum yang berupaya mengendalikan kekuatan reproduksi artifisial ini.
Secara ilmiah, kloning adalah proses menghasilkan salinan genetik yang persis sama dari sebuah entitas biologis. Entitas tersebut dapat berupa gen tunggal, sel, jaringan, atau keseluruhan organisme. Teknik kloning artifisial telah dikembangkan dalam tiga kategori utama, yang masing-masing memiliki tujuan dan metodologi yang berbeda:
Kloning genetik atau kloning DNA melibatkan duplikasi fragmen DNA tertentu. Ini adalah metode yang paling umum dan paling tidak kontroversial, digunakan secara rutin di laboratorium biologi untuk memproduksi protein tertentu (seperti insulin), memetakan gen, atau menganalisis fungsi gen. Prosesnya melibatkan penyisipan DNA target ke dalam vektor (seperti plasmid bakteri) dan membiarkannya bereplikasi secara massal di dalam sel inang. Penguasaan kloning genetik adalah prasyarat fundamental bagi semua bentuk bioteknologi modern dan telah menjadi tulang punggung revolusi farmasi.
Kloning terapeutik bertujuan untuk menghasilkan sel punca embrionik yang identik secara genetik dengan pasien. Tujuannya bukan untuk menciptakan organisme baru, melainkan untuk menumbuhkan jaringan atau organ yang kompatibel, sehingga menghilangkan risiko penolakan imun. Prosedur ini melibatkan transfer inti sel somatik (SCNT) ke dalam sel telur yang telah dinonaktifkan intinya, membiarkan embrio berkembang hanya hingga tahap blastokista, lalu mengambil sel punca tersebut untuk ditumbuhkan lebih lanjut. Potensinya sangat besar dalam pengobatan penyakit degeneratif, namun penggunaan embrio awal memicu kontroversi etika yang signifikan.
Kloning reproduktif bertujuan untuk menciptakan individu yang secara genetik identik dengan organisme donor. Dalam kasus hewan, keberhasilan kloning reproduktif menghasilkan kelahiran individu hidup, seperti domba Dolly. Inilah bentuk kloning yang paling memicu perdebatan publik dan etika, terutama ketika wacana tersebut diarahkan pada potensi mengklonakan manusia.
Sejarah kloning bukanlah dimulai dengan Dolly. Eksperimen awal yang meletakkan dasar bagi SCNT dilakukan pada tahun 1950-an oleh Robert Briggs dan Thomas J. King, yang berhasil mengklonakan katak menggunakan inti dari sel somatik. Namun, kemajuan signifikan baru terjadi ketika John Gurdon, pada tahun 1962, menunjukkan bahwa inti dari sel usus katak yang sudah terdiferensiasi masih dapat 'diprogram ulang' untuk menciptakan individu baru—meskipun keberhasilan kloning mamalia jauh lebih sulit karena kerumitan biologis mereka.
Eksperimen mamalia pertama yang sukses adalah pada tahun 1996 di Institut Roslin Skotlandia, yang dipimpin oleh Ian Wilmut dan Keith Campbell. Mereka berhasil menciptakan domba Dolly. Dolly tidak hanya sekadar kelahiran klon; ia adalah bukti nyata bahwa DNA dari sel dewasa yang sudah spesifik (sel kelenjar ambing, dalam kasus Dolly) dapat dikembalikan ke keadaan pluripotent, yaitu memiliki kemampuan untuk membentuk semua jenis sel dalam organisme. Keberhasilan ini mengubah lanskap biologi sel dan membuka gerbang menuju era bioteknologi yang sama sekali baru.
Inti dari kloning reproduktif dan terapeutik adalah Transfer Inti Sel Somatik (SCNT). Teknik ini adalah jembatan yang memungkinkan materi genetik dari sel donor untuk memulai perkembangan embrionik dari awal. Pemahaman mendalam tentang SCNT sangat krusial karena kompleksitasnya menjelaskan mengapa tingkat keberhasilan kloning mamalia masih sangat rendah dan mengapa upaya mengklonakan manusia dianggap sangat berbahaya.
SCNT melibatkan empat tahap utama yang sangat sensitif dan memerlukan presisi mikroskopis yang ekstrem. Setiap langkah membutuhkan kontrol lingkungan yang ketat dan media kultur yang disesuaikan untuk menjaga viabilitas sel:
Meskipun SCNT terdengar lugas, tingkat keberhasilannya sangat rendah, sering kali di bawah 5%. Mayoritas embrio kloning gagal berkembang atau menghasilkan individu yang lemah dengan kelainan parah. Masalah utamanya terletak pada reprograming epigenetik.
Sel somatik dewasa memiliki tanda-tanda kimiawi (seperti metilasi DNA) yang mematikan gen-gen yang tidak dibutuhkan. Sel telur harus mampu menghapus tanda-tanda tersebut dan mengatur ulang seluruh genom ke status 'nol' atau embrionik. Proses reprograming ini sering tidak sempurna. Kegagalan reprograming menyebabkan sindrom seperti Large Offspring Syndrome (LOS), yang ditandai dengan pertumbuhan organ yang tidak normal, defek plasenta, dan imunitas yang buruk pada hewan kloning. Tantangan teknis dan biologis ini menegaskan kompleksitas yang luar biasa dalam upaya mengklonakan organisme mamalia tingkat tinggi, apalagi manusia.
Domba Dolly, yang lahir pada tahun 1996 dan diumumkan kepada publik pada tahun 1997, adalah bukti nyata dari keberhasilan SCNT pada mamalia dan menjadi katalisator bagi perdebatan global yang tak terhindarkan. Kisahnya adalah studi kasus paling mendalam tentang potensi sekaligus risiko dari upaya mengklonakan.
Dolly adalah klon yang berasal dari sel kelenjar ambing (mammary gland) domba Finn Dorset berusia enam tahun. Keberhasilannya memerlukan 277 upaya fusi inti-sel telur, yang hanya menghasilkan 29 embrio yang ditanamkan, dan akhirnya, hanya satu kelahiran yang berhasil. Tingkat efisiensi yang sangat rendah ini menyoroti betapa sulitnya proses kloning.
Keunikan Dolly adalah ia membuktikan teori bahwa diferensiasi sel tidak bersifat permanen dan satu arah. Sel dewasa yang telah 'memilih' perannya (misalnya, sebagai sel kulit, hati, atau kelenjar ambing) dapat dipaksa untuk kembali ke kondisi embrionik, yang disebut pluripotensi. Penemuan ini secara mendasar mengubah pemahaman kita tentang genetika dan potensi sel somatik.
Meskipun Dolly hidup selama enam tahun (sekitar setengah dari umur domba normal), ia menderita artritis dan penyakit paru-paru progresif yang menyebabkan eutanasianya pada tahun 2003. Kematian dini Dolly memicu pertanyaan penting: Apakah klon benar-benar identik, atau apakah ada "jejak" usia genetik yang diwariskan dari sel donor dewasa?
Penelitian genetik pada Dolly menunjukkan bahwa telomernya—tutup pelindung di ujung kromosom yang memendek seiring bertambahnya usia—lebih pendek daripada domba yang lahir secara seksual pada usia yang sama. Hipotesis yang muncul adalah bahwa Dolly mewarisi usia genetik sel donor yang berusia enam tahun. Meskipun studi klon mamalia berikutnya menunjukkan bahwa fenomena telomer ini tidak selalu konsisten, kasus Dolly memperkuat kekhawatiran bahwa mengklonakan dapat menimbulkan masalah stabilitas genetik yang memengaruhi umur dan kesehatan individu yang dikloning.
Meskipun kontroversi moral mendominasi diskusi publik, potensi kloning dalam mengatasi masalah kesehatan global, ketahanan pangan, dan krisis lingkungan sangatlah besar. Aplikasi teknologi mengklonakan meluas jauh melampaui sekadar menciptakan salinan individu.
Ini mungkin adalah aplikasi kloning yang paling menjanjikan secara medis. Kloning terapeutik bertujuan untuk menghasilkan sel punca embrionik (ESC) yang secara genetik identik dengan pasien. Sel punca ini adalah sumber yang ideal untuk pengobatan karena memiliki dua keuntungan besar:
Walaupun masih dalam tahap penelitian awal, kloning terapeutik menawarkan harapan untuk menyembuhkan kerusakan saraf tulang belakang, gagal jantung, dan penyakit autoimun. Namun, perlu dicatat bahwa beberapa ilmuwan kini mengeksplorasi metode alternatif untuk menciptakan sel punca pluripoten (seperti iPSC/sel punca pluripoten terinduksi) yang tidak memerlukan penghancuran embrio, mengurangi sebagian besar konflik etika.
Di tengah krisis keanekaragaman hayati global, kloning reproduktif menawarkan alat yang mungkin untuk menyelamatkan spesies yang terancam punah atau bahkan menghidupkan kembali spesies yang telah punah (de-extinction).
Dalam agrikultur, kloning digunakan untuk memastikan reproduksi hewan ternak yang memiliki sifat-sifat unggul, seperti ketahanan terhadap penyakit, produksi susu yang tinggi, atau kualitas daging yang superior. Dengan mengklonakan sapi perah terbaik, misalnya, para peternak dapat memastikan genetik produktif tetap ada dalam populasi tanpa variasi yang tidak diinginkan dari reproduksi seksual. Meskipun penggunaannya di bidang pangan masih di bawah pengawasan ketat dan menghadapi skeptisisme konsumen, teknik ini sudah menjadi bagian integral dari penelitian peternakan modern di beberapa negara.
Sementara kloning hewan dan terapi relatif dapat diterima, wacana mengenai kloning reproduktif manusia memicu resistensi global yang hampir universal, menyentuh isu-isu filosofis, agama, dan sosiologis yang mendalam. Pertanyaan mendasar adalah: Apa artinya menjadi manusia, dan sejauh mana kita harus mengontrol penciptaan kehidupan?
Argumen utama melawan mengklonakan manusia berpusat pada martabat dan otonomi individu yang dikloning. Klon akan memiliki genom yang identik dengan donornya, yang menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap klon tersebut. Klon mungkin merasa bahwa kehidupannya telah ditentukan atau bahwa ia hanyalah salinan, bukan individu unik. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang 'hak untuk memiliki identitas genetik terbuka.'
Lebih jauh, kloning reproduktif manusia dapat mengkomodifikasi kehidupan. Jika kloning digunakan untuk menciptakan anak sebagai "pengganti" yang hilang atau sebagai sumber suku cadang organ (walaupun kloning terapeutik lebih relevan di sini), ini mereduksi status manusia menjadi objek yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan orang lain, melanggar prinsip Kantian bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana.
Selain argumen filosofis, ada argumen pragmatis yang kuat yang melarang kloning manusia: keamanan. Mengingat tingginya tingkat kegagalan SCNT pada mamalia (yang menghasilkan malformasi, kematian prenatal, dan masalah kesehatan seumur hidup), percobaan mengklonakan manusia dianggap tidak etis karena membahayakan subjek kloning. Tidak ada lembaga etika medis global yang akan menyetujui eksperimen yang memiliki probabilitas tinggi untuk menghasilkan kehamilan yang bermasalah, cacat lahir parah, atau kematian janin.
Mayoritas tradisi agama di dunia menolak keras kloning reproduktif manusia. Penolakan ini sering didasarkan pada keyakinan bahwa penciptaan kehidupan harus tetap berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh alam atau Tuhan (melalui prokreasi seksual). Bagi banyak teologi, mengklonakan adalah tindakan yang mencampuri tatanan penciptaan dan melecehkan keunikan jiwa atau roh manusia.
Dari sudut pandang filosofis, ada kekhawatiran bahwa kloning merusak keunikan pengalaman manusia. Kita semua adalah produk interaksi unik antara genetik dan lingkungan; klon membawa beban genetik yang identik, tetapi pertanyaannya adalah apakah lingkungan dan pengalaman yang sama sekali berbeda dapat menciptakan individu yang benar-benar baru. Namun, para pendukung berpendapat bahwa kembar identik adalah klon alami, dan klon yang diciptakan melalui SCNT juga akan menjadi individu yang unik dan harus diberi hak yang sama.
Sebagai respons terhadap kelahiran Dolly dan potensi cepatnya teknologi mengklonakan, komunitas internasional bergerak cepat untuk merumuskan larangan hukum terhadap kloning reproduktif manusia, seringkali jauh sebelum kloning manusia benar-benar menjadi kemungkinan teknis. Konsensus global menunjukkan bahwa risiko etika dan sosial jauh melebihi potensi manfaat.
Pada tahun 2005, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi PBB tentang Kloning Manusia. Meskipun deklarasi ini tidak mengikat secara hukum (non-binding), ia merefleksikan keinginan kuat negara-negara anggota untuk melarang semua bentuk kloning manusia yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan perlindungan kehidupan manusia. Dokumen ini secara eksplisit menyerukan pelarangan mengklonakan manusia untuk tujuan reproduksi.
Perbedaan utama dalam regulasi terletak pada kloning terapeutik. Sementara kloning reproduktif hampir dilarang di mana-mana, beberapa negara melihat kloning terapeutik sebagai penelitian medis yang berpotensi menyelamatkan jiwa dan mengizinkannya dengan pengawasan ketat, sementara negara lain melarangnya karena melibatkan penciptaan dan penghancuran embrio manusia.
Untuk kloning hewan yang digunakan dalam agrikultur atau penelitian, regulasi berfokus pada keselamatan produk pangan dan kesejahteraan hewan. Badan pengawas makanan, seperti FDA di AS dan EFSA di Eropa, telah menilai bahwa daging dan susu dari hewan kloning aman untuk dikonsumsi, namun proses kloning hewan sering kali dikritik karena isu kesejahteraan hewan (tingkat kematian yang tinggi, masalah kesehatan klon).
Teknologi mengklonakan terus berkembang, dan para ilmuwan kini bekerja keras untuk mengatasi tantangan epigenetik dan meningkatkan efisiensi proses SCNT. Masa depan kloning mungkin tidak lagi terfokus pada penciptaan individu utuh, tetapi pada manipulasi seluler yang lebih canggih untuk tujuan pengobatan.
Salah satu terobosan paling signifikan yang dipengaruhi oleh penelitian kloning adalah penemuan iPSC oleh Shinya Yamanaka (penerima Nobel). iPSC memungkinkan ilmuwan untuk 'memprogram ulang' sel somatik dewasa (misalnya, sel kulit) kembali ke keadaan pluripoten tanpa memerlukan sel telur atau menciptakan embrio.
Penemuan iPSC secara efektif mengurangi urgensi kloning terapeutik (yang kontroversial), karena iPSC menawarkan jalur yang lebih etis dan jauh lebih efisien untuk mendapatkan sel punca yang identik secara genetik dengan pasien. Teknik ini sekarang menjadi fokus utama dalam kedokteran regeneratif, yang menunjukkan bagaimana pengetahuan yang diperoleh dari mengklonakan dapat memicu solusi yang lebih baik dan lebih diterima secara etis.
Meskipun Dolly mengalami penuaan dini, penelitian baru sedang mengeksplorasi bagaimana teknik kloning dapat digunakan untuk memahami dan mungkin membalikkan proses penuaan seluler. Jika sel telur mampu memprogram ulang DNA dewasa, mekanisme ini dapat dipelajari untuk meremajakan sel tubuh tanpa harus mengklonakan seluruh organisme. Eksplorasi ini melibatkan studi mendalam tentang telomerase dan protein pengatur epigenetik yang mengendalikan jam biologis sel.
Penelitian juga telah bergeser ke penggunaan SCNT untuk menciptakan chimera (organisme yang terdiri dari sel dari dua individu atau spesies berbeda). Salah satu aplikasi yang paling banyak dibahas adalah menumbuhkan organ manusia di dalam hewan (xenotransplantasi). Misalnya, sel punca manusia dapat disuntikkan ke embrio babi atau domba yang telah dimodifikasi secara genetik agar tidak dapat menumbuhkan organ tertentu (misalnya pankreas). Secara teori, babi tersebut akan menumbuhkan pankreas manusia yang kemudian dapat ditransplantasikan. Penelitian ini, meskipun kontroversial, menawarkan solusi potensial untuk kekurangan organ donor global.
Namun, menciptakan chimera yang melibatkan sel primata non-manusia dan manusia menimbulkan batas etika yang sangat samar. Pertanyaan muncul tentang proporsi sel manusia yang dapat dimasukkan sebelum organisme tersebut memiliki atribut kesadaran manusia. Kerangka hukum dan etika saat ini sedang berjuang untuk mengejar laju perkembangan penelitian chimera ini.
Proses mengklonakan adalah salah satu pencapaian bioteknologi yang paling provokatif. Ia menawarkan cerminan mendalam tentang kemampuan kita memanipulasi kehidupan di tingkat genetik yang paling fundamental. Dari janji kloning terapeutik untuk menyembuhkan penyakit hingga kontroversi kloning reproduktif manusia yang mengancam definisi identitas individu, kloning memaksa masyarakat untuk menghadapi dilema etika yang kompleks.
Larangan global terhadap mengklonakan manusia bukanlah hasil dari ketakutan irasional terhadap sains, melainkan respons yang hati-hati terhadap risiko keamanan, moral, dan sosial yang tak terhitung. Sementara penelitian terus berlanjut di bidang kloning terapeutik dan konservasi, garis batas yang ditarik secara hukum dan etika harus terus dievaluasi dan diperkuat. Kita berada di era di mana kekuatan untuk menciptakan dan menduplikasi kehidupan telah berada di tangan kita, dan tanggung jawab untuk menggunakan kekuatan tersebut dengan kebijaksanaan tertinggi adalah tugas kolektif umat manusia.
Penguasaan teknik seperti SCNT dan iPSC telah merevolusi cara kita berpikir tentang sel dan penuaan. Namun, perjalanan untuk sepenuhnya memahami dan mengendalikan proses reproduksi artifisial masih panjang dan penuh dengan ketidakpastian. Yang pasti, diskusi tentang mengklonakan akan tetap menjadi pusat perdebatan sains, filosofi, dan hukum di tahun-tahun mendatang, membentuk masa depan di mana garis antara penciptaan alami dan artifisial semakin kabur.
Untuk memahami mengapa mengklonakan mamalia sangat sulit, kita harus mendalami konsep epigenetik. Setiap sel somatik dewasa memiliki 'memori' yang terukir pada genomnya—tanda metilasi DNA dan modifikasi histon—yang menentukan jenis selnya. Inti sel donor membawa memori ini. Sel telur yang dienukleasi harus bertindak sebagai 'pembersih' superkuat, menghapus semua memori epigenetik ini dengan cepat dan menggantinya dengan pola epigenetik yang khas untuk embrio yang baru berkembang. Kegagalan melakukan demethylation atau acetylation secara efisien adalah penyebab utama kegagalan kloning.
Para ilmuwan telah menemukan bahwa sitoplasma sel telur donor sangat kaya akan faktor transkripsi dan protein remodelasi kromatin yang krusial untuk proses ini. Namun, proses reprograming ini sering membutuhkan waktu lebih dari yang tersedia bagi embrio yang membelah. Jika reprograming tidak selesai saat embrio mencapai tahap implantasi, gen-gen penting yang diperlukan untuk pembentukan plasenta atau organ vital lainnya mungkin tetap 'diam' (silenced), mengakibatkan keguguran atau sindrom abnormalitas yang disebutkan sebelumnya, seperti LOS. Penelitian lanjutan kini berfokus pada penambahan agen kimia, seperti penghambat histon deacetylase (HDAC inhibitors), ke dalam media kultur untuk membantu melunakkan kromatin sel donor dan meningkatkan efisiensi penghapusan memori epigenetik, meskipun hasilnya masih bervariasi.
Sel kloning menghadapi masalah unik lainnya terkait dengan Mitokondria. Mitokondria adalah organel yang menghasilkan energi dan membawa DNA kecilnya sendiri (mtDNA). Dalam SCNT, inti sel donor (yang membawa DNA nukleus) dimasukkan ke dalam sel telur yang dienukleasi. Meskipun inti genetik telah diganti, sel telur masih mempertahankan mitokondria donor sel telur. Ini berarti klon tersebut secara genetik 99.9% identik dengan donor inti, tetapi mitokondrianya berasal dari donor sel telur. Ini menciptakan kondisi yang disebut heteroplasmy, di mana organisme memiliki dua jenis mtDNA yang berbeda.
Pada mamalia, mtDNA yang tidak serasi dengan DNA nukleus dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan masalah perkembangan. Isu mitokondria ini sangat relevan dalam teknologi reproduksi berbantuan manusia lainnya, seperti mitochondrial replacement therapy (terapi penggantian mitokondria), yang juga melibatkan pertukaran inti sel. Pemahaman mendalam tentang interaksi antara DNA nukleus yang dikloning dan mtDNA dari sel telur penerima adalah kunci untuk meningkatkan viabilitas klon di masa depan.
Fenomena mengklonakan telah memasuki pasar komersial dalam bentuk kloning hewan peliharaan (terutama anjing dan kucing). Perusahaan-perusahaan di negara tertentu menawarkan jasa kloning anjing kesayangan dengan biaya yang sangat tinggi. Layanan ini memanfaatkan SCNT, tetapi seringkali gagal memenuhi harapan pemilik. Klon tersebut mungkin identik secara genetik, namun faktor epigenetik, pengalaman prenatal, dan lingkungan setelah kelahiran memastikan bahwa klon tidak akan pernah memiliki kepribadian, memori, atau bahkan pola warna bulu yang persis sama dengan aslinya (karena pola bulu sering dipengaruhi oleh faktor epigenetik dan lingkungan acak). Komersialisasi ini telah menimbulkan perdebatan etika tersendiri mengenai apakah sumber daya ilmiah dan ekonomi harus dihabiskan untuk menggandakan hewan peliharaan dibandingkan digunakan untuk penelitian medis yang lebih mendesak.
Jika kloning reproduktif manusia pernah dilegalkan, ia akan secara radikal mengubah struktur keluarga dan konsep kekerabatan. Siapakah klon bagi donornya? Apakah ia anak, kembar identik yang lebih muda, atau hanya salinan? Definisi hubungan sosial—ibu, ayah, saudara kandung—akan menjadi kabur. Kloning melangkahi reproduksi biseksual, yang secara fundamental mengatur genetika dan struktur sosial kita. Kekhawatiran muncul bahwa kloning dapat digunakan untuk menciptakan ketidaksetaraan genetik di masyarakat, di mana individu yang memiliki gen "superior" (seperti atlet atau ilmuwan terkenal) akan diduplikasi, menciptakan kelas genetik yang istimewa.
Dalam filsafat personalitas, keunikan individu sering dikaitkan dengan kombinasi genetika unik dan pengalaman hidup. Kloning menantang bagian pertama premis ini. Meskipun klon akan memiliki pengalaman yang berbeda dari donornya, tekanan sosiologis untuk menjadi seperti donor akan sangat besar. Psikolog khawatir bahwa klon akan menghadapi krisis identitas yang parah, berjuang untuk membangun rasa diri yang independen di bawah bayang-bayang 'asli' mereka. Masyarakat harus mempertimbangkan apakah intervensi reproduksi yang membawa risiko psikologis yang begitu besar bagi individu adalah etis, terlepas dari alasan di balik mengklonakan.
Perluasan konsep kloning juga mencakup kekhawatiran tentang 'eugenika baru'. Jika kloning diizinkan, ia dapat digunakan untuk 'memperbaiki' ras manusia atau mempertahankan sifat-sifat tertentu yang dianggap diinginkan, mirip dengan program eugenika sejarah yang didiskreditkan. Meskipun kloning hanya menduplikasi gen yang ada (bukan menciptakan yang baru seperti rekayasa genetik CRISPR), kloning manusia akan membuka pintu bagi kontrol reproduksi yang ekstrem.
Seiring kemajuan teknologi, para regulator menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan apa sebenarnya yang dilarang. Saat ini, kloning reproduktif manusia adalah larangan yang jelas. Namun, bagaimana dengan teknologi mengklonakan yang hanya melibatkan sel-sel tubuh (kloning terapeutik) tetapi membiarkan sel-sel tersebut berkembang melampaui 14 hari—batasan etis yang saat ini diterima secara luas? Pengembangan model embrio manusia in vitro (tanpa SCNT, namun meniru struktur embrio awal) semakin mengaburkan batas antara apa yang merupakan "kehidupan manusia" yang harus dilindungi dan apa yang merupakan materi penelitian.
Di banyak negara, batas 14 hari diberlakukan karena setelah titik itu, embrio biasanya mulai membentuk primitive streak (cikal bakal sistem saraf pusat), yang sering dianggap sebagai titik awal individuasi. Namun, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa batas ini harus diperluas untuk memungkinkan penelitian yang lebih mendalam tentang perkembangan awal manusia, yang pada gilirannya dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang keguguran dan cacat lahir—pengetahuan yang mungkin juga membantu meningkatkan efisiensi SCNT pada hewan.
Komite etik dan bioetika memainkan peran yang semakin penting dalam mengawasi penelitian kloning. Mereka tidak hanya harus mempertimbangkan keselamatan teknis, tetapi juga implikasi jangka panjang pada masyarakat. Keputusan untuk mengizinkan atau melarang suatu jenis kloning harus didasarkan pada dialog multidipliner yang melibatkan ilmuwan, etika agama, filsuf, dan masyarakat umum.
Salah satu kekhawatiran regulasi terbesar saat ini adalah potensi 'turisme kloning', di mana individu atau klinik yang ingin menghindari regulasi ketat di negara maju akan pindah ke yurisdiksi dengan pengawasan yang lemah untuk mencoba mengklonakan manusia. Koordinasi internasional, seperti yang diupayakan oleh PBB, sangat penting untuk mencegah munculnya pasar gelap bioteknologi yang tidak etis dan berbahaya.
Bagi beberapa penganut transhumanisme, kloning, terutama jika dikombinasikan dengan modifikasi genetik (seperti CRISPR), dilihat sebagai alat untuk mencapai keunggulan genetik dan bahkan keabadian. Kloning bisa menjadi cara untuk 'mem-backup' identitas genetik seseorang. Pandangan ini menantang norma-norma sosiologis yang ada dan memperkuat kekhawatiran bahwa teknologi reproduksi artifisial dapat disalahgunakan untuk tujuan peningkatan (enhancement) daripada terapi.
Secara keseluruhan, tantangan mengklonakan adalah tantangan dalam mendefinisikan batas antara teknologi yang melayani kehidupan dan teknologi yang mendefinisikan ulang nilai kehidupan itu sendiri. Kemajuan ilmiah yang kita saksikan hari ini adalah hasil dari keingintahuan manusia, namun regulasi yang bertanggung jawab adalah cerminan dari kebijaksanaan dan moralitas kolektif kita.