Syukur, atau rasa terima kasih, adalah inti dari ibadah dan landasan moralitas seorang mukmin. Dalam ajaran Islam, syukur bukanlah sekadar respons emosional atas kebaikan yang diterima, melainkan sebuah kondisi spiritual permanen, yang meliputi pengakuan hati, ucapan lisan, dan tindakan nyata. Al-Quran menempatkan syukur pada posisi yang sangat tinggi, menjadikannya perintah langsung dari Allah SWT dan membedakannya secara tajam dengan lawannya, yaitu kufr an-ni'mah (kekufuran terhadap nikmat).
Mengapa syukur begitu penting? Al-Quran mengungkapkan bahwa syukur adalah tujuan diciptakannya manusia, tanda keimanan yang sejati, dan kunci pembuka pintu rezeki serta keberkahan yang berlipat ganda. Artikel ini akan menyelami ayat-ayat pilihan yang membahas konsep syukur, menganalisis kedalaman maknanya, dan menguraikan bagaimana perintah bersyukur tersebut menjadi pedoman hidup universal.
Secara bahasa, syukur (شُكْر) berarti bertambah, atau menampilkan kebaikan yang telah didapat. Dalam konteks syariat, syukur didefinisikan oleh para ulama sebagai penggunaan segala nikmat yang diberikan Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaan nikmat tersebut. Syukur memiliki tiga dimensi fundamental yang harus dipenuhi secara simultan:
Ini adalah dimensi terdalam dari syukur, yaitu meyakini dan mengakui secara penuh bahwa segala nikmat, baik yang besar maupun yang sekecil-kecilnya, berasal dari Allah SWT semata, tanpa ada peran atau campur tangan dari kekuatan lain yang setara. Pengakuan ini menghilangkan rasa ujub (bangga diri) dan kesombongan, karena manusia menyadari posisinya sebagai penerima anugerah mutlak.
Syukur lisan diwujudkan melalui pengucapan kalimat pujian dan pengakuan, yang paling utama adalah Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Syukur lisan juga mencakup menceritakan nikmat yang telah diterima sebagai bentuk pengakuan atas kemurahan Sang Pemberi, sebagaimana firman Allah dalam Surah Ad-Duha, ayat 11.
Ini adalah level syukur yang paling sulit dan paling utama. Syukur dalam tindakan berarti menggunakan nikmat yang diberikan Allah untuk ketaatan kepada-Nya. Contohnya, menggunakan kesehatan untuk beribadah, menggunakan harta untuk bersedekah dan membantu sesama, serta menggunakan akal untuk merenungkan keagungan ciptaan-Nya. Jika nikmat digunakan di jalan maksiat, maka itu adalah bentuk kekufuran praktis (kufr 'amali).
Allah SWT berulang kali menegaskan perintah bersyukur dalam Al-Quran, menghubungkannya secara langsung dengan ibadah dan ketaatan. Perintah ini seringkali diiringi dengan janji pahala yang besar bagi mereka yang memenuhinya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
(Fażkurūnī ażkurkum wasykurū lī walā takfurūn)
Artinya: "Maka ingatlah kepada-Ku niscaya Aku akan ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku."
Ayat ini menetapkan hubungan timbal balik yang indah antara hamba dan Rabb-nya. Perintah untuk bersyukur (وَاشْكُرُوا لِي) diletakkan segera setelah perintah untuk mengingat (فَاذْكُرُونِي). Tafsir para ulama menjelaskan bahwa mengingat Allah adalah kunci ketenangan hati, dan syukur adalah bukti keberhasilan mengingat tersebut. Frasa "janganlah kamu mengingkari (walā takfurūn)" merupakan peringatan keras bahwa kekufuran terhadap nikmat (ingkar) adalah antonim langsung dari syukur, dan kekufuran ini membatalkan nilai zikir.
Syukur dalam ayat ini adalah pengakuan atas nikmat yang didapat dari Allah, terutama nikmat hidayah dan keimanan. Jika seseorang mengingat Allah dengan tulus, Allah akan mengingatnya dengan rahmat dan ampunan. Jika seseorang bersyukur, Allah akan menjaganya dari kekufuran yang dapat merusak amal perbuatannya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
(Wa iż ta'ażżana rabbukum la'in syakartum la'azīdanna-kum, wa la'in kafartum inna 'ażābī lasyadīd)
Artinya: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'."
Ayat ini, yang diucapkan melalui Nabi Musa AS kepada kaumnya, adalah fondasi teologis terpenting mengenai Syukur. Ini adalah sebuah janji ilahi yang mutlak (ta'ażżana berarti pemberitahuan yang tegas dan resmi). Penambahan nikmat (لَأَزِيدَنَّكُمْ) tidak terbatas pada penambahan harta atau materi saja, tetapi mencakup penambahan dalam segala aspek: ketenangan hati, kualitas ibadah, keberkahan waktu, dan kemampuan untuk bersyukur itu sendiri. Para ahli tafsir sepakat bahwa penambahan terbaik adalah kemampuan hamba untuk tetap bersyukur di masa depan.
Ancaman yang menyertainya (inā 'ażābī lasyadīd) menunjukkan bahwa ingkar nikmat (kufur) bukan hanya kehilangan kesempatan mendapatkan penambahan, tetapi juga mengundang murka dan azab Allah. Kekufuran di sini adalah menolak mengakui Sumber Nikmat atau menyalahgunakannya. Ini menegaskan bahwa syukur adalah jalan keselamatan, sementara kekufuran adalah jalan kehancuran.
Alt: Timbangan antara Syukur dan Kufur.
Al-Quran merinci berbagai macam nikmat yang harus mendorong manusia untuk bersyukur. Nikmat ini mencakup anugerah kosmik, eksistensial, hingga spiritual. Dengan merenungkan konteks nikmat ini, syukur menjadi lebih konkret dan mendalam.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Wallāhu akhrajakum min buṭūni ummahātikum lā ta‘lamūna syai'an, wa ja‘ala lakumu-s-sam‘a wal-abṣāra wal-af'idah, la‘allakum tasykurūn)
Artinya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."
Ayat ini menyoroti nikmat dasar keberadaan dan indra. Dari kegelapan perut ibu, manusia dilahirkan tanpa pengetahuan. Allah kemudian menganugerahkan tiga perangkat utama: pendengaran (السَّمْعَ), penglihatan (الْأَبْصَارَ), dan hati (الْأَفْئِدَةَ – yang mencakup akal). Tujuan eksplisit dari anugerah ini adalah "agar kamu bersyukur" (لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ).
Syukur di sini berarti menggunakan indra dan akal untuk mencari kebenaran, memahami tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah), dan tunduk kepada-Nya. Jika indra digunakan untuk mendengarkan hal yang haram atau melihat maksiat, dan hati tidak digunakan untuk merenung, maka tujuan penciptaan indra tersebut telah diabaikan, dan ini adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat fisik.
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
(Fakulū mimmā razaqakumu-llāhu ḥalālan ṭayyiban wasykurū ni‘mata-llāhi in kuntum iyyāhu ta‘budūn)
Artinya: "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."
Ayat ini menghubungkan rezeki materi (makanan yang halal dan baik) dengan syarat ibadah yang tulus. Syukur atas rezeki halal tidak hanya diucapkan saat makan, tetapi juga diwujudkan dengan memastikan bahwa sumber rezeki tersebut didapat secara benar, dan sebagian darinya dialokasikan untuk membantu yang membutuhkan (zakat/sedekah). Frasa "jika kamu hanya menyembah kepada-Nya" (إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ) menunjukkan bahwa syukur adalah prasyarat dan barometer dari Tauhid (mengesakan Allah) yang sejati. Ketiadaan syukur atas rezeki, baik dengan tidak mengakui sumbernya atau menggunakannya untuk kemaksiatan, merusak fondasi ibadah seseorang.
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
(Wa laqad ātainā Luqmāna-l-ḥikmata ani-sykur lillāh; wa man yasykur fa-innamā yasykur li-nafsihi; wa man kafara fa-inna-llāha ghaniyyun ḥamīd)
Artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: 'Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji'."
Kisah Luqman al-Hakim ini mengajarkan bahwa syukur adalah esensi dari hikmah (kebijaksanaan). Ayat ini memberikan penegasan teologis yang sangat penting: Syukur tidak mendatangkan manfaat kepada Allah, karena Allah Maha Kaya (غَنِيٌّ) dan tidak membutuhkan syukur makhluk-Nya. Sebaliknya, manfaat syukur kembali sepenuhnya kepada orang yang melakukannya (يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ).
Syukur menjadi investasi spiritual yang paling menguntungkan bagi hamba, karena menjamin peningkatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sementara itu, kekufuran tidak merugikan Allah sedikitpun, karena Allah tetap Maha Terpuji (حَمِيدٌ), baik makhluk-Nya bersyukur atau tidak. Ini adalah motivasi murni bagi manusia untuk memilih jalan syukur.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan manusia untuk bersyukur, tetapi juga memuji para Nabi dan hamba-hamba pilihan yang menjadi teladan dalam praktik syukur. Mereka disebut dengan gelar khusus, seperti *Syakir* dan *Syakur*.
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
(Żurriyyata man ḥamalna ma‘a Nūḥin; innahu kāna 'abdan syakūran)
Artinya: "(Yaitu) keturunan orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur."
Nabi Nuh AS diberikan gelar yang sangat mulia: 'abdan syakūran (hamba yang sangat bersyukur). Gelar ini menunjukkan bahwa syukur adalah sifat permanen yang melekat pada diri Nabi Nuh. Kata Syakur (bentuk mubalaghah/intensif) menunjukkan syukur yang dilakukan secara terus-menerus, bahkan dalam kesulitan yang besar, seperti menghadapi penolakan kaumnya selama ratusan tahun.
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa salah satu wujud syukur Nabi Nuh adalah beliau senantiasa mengucapkan basmalah (Bismillah) dalam setiap tindakan, baik makan, minum, atau bahkan memakai pakaian, sebagai pengakuan bahwa semua itu adalah anugerah Allah. Ini mengajarkan bahwa syukur harus meresap ke dalam rutinitas sehari-hari, bukan hanya di saat-saat kebahagiaan besar.
Ketika berbicara tentang perintah kepada Rasulullah SAW, Allah SWT memberikan instruksi yang mencakup segala bentuk ibadah, tetapi disempurnakan dengan perintah syukur:
بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
(Balillāha fa‘bud wa kun mina-sy-syākirīn)
Artinya: "Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur."
Ayat ini menekankan pentingnya Tauhid ('abud) dan menempatkan syukur (kun mina-sy-syākirīn) sebagai bagian integral dan tak terpisahkan dari Tauhid itu sendiri. Syukur di sini berfungsi sebagai penjaga (protector) terhadap kemurnian ibadah. Orang yang bersyukur adalah mereka yang menyadari bahwa semua kemampuan untuk beribadah dan segala karunia yang memungkinkan ibadah itu terjadi, berasal dari Allah. Dengan demikian, syukur mencegah ibadah menjadi sia-sia karena kesombongan atau riya'.
Syukur seringkali disalahpahami hanya sebagai respons terhadap kebaikan. Namun, Al-Quran mengajarkan bahwa puncak syukur adalah ketika ia hadir bersamaan dengan kesabaran (sabr), terutama saat menghadapi musibah atau ujian. Ujian adalah sarana untuk memurnikan syukur.
Ketika menceritakan tentang nikmat luar biasa yang diberikan kepada keluarga Nabi Daud AS, Allah memerintahkan mereka untuk bersyukur dengan perbuatan:
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
(I'malū āla Dāwūda syukran; wa qalīlum min ‘ibādiya-sy-syakūr)
Artinya: "Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (syakūr)."
Perintah "Bekerjalah... untuk bersyukur" (اعْمَلُوا... شُكْرًا) menegaskan bahwa syukur harus diwujudkan dalam tindakan ('amal). Syukur keluarga Daud adalah ketaatan dan penggunaan nikmat kekuasaan, kekayaan, dan kekuatan militer yang mereka miliki untuk menegakkan keadilan dan menyembah Allah. Ini membatalkan pemahaman bahwa syukur hanya diucapkan lisan, tetapi harus diimplementasikan dalam struktur kehidupan sosial dan politik.
Kalimat penutup "Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih" adalah peringatan keras. Ini menunjukkan betapa sulitnya mencapai level Syakur (hamba yang sangat bersyukur), karena kebanyakan manusia cenderung lalai atau lupa, terutama ketika nikmat datang berlimpah.
Meskipun tidak secara langsung menggunakan kata syukur, Surah Al-Fajr menggambarkan psikologi kekufuran terhadap nikmat, yang merupakan lawan dari syukur. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia cenderung merasa mulia (dimuliakan) ketika diberi harta, dan merasa terhina (diuji) ketika hartanya dibatasi.
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ﴿١٦﴾
(Fa ammā-l-insānu iżā mā-btalāhu rabbuhū fa-akramahū wa na‘‘amahū fa-yaqūlu rabbī akraman. Wa ammā iżā mā-btalāhu fa-qadara ‘alaihi rizqahū fa-yaqūlu rabbī ahānan.)
Artinya: "Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata: 'Tuhanku telah memuliakanku.' Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: 'Tuhanku menghinakanku.'"
Ayat ini menunjukkan kelemahan fitrah manusia yang menghubungkan kehormatan (ikram) hanya dengan kekayaan. Syukur yang sejati menuntut hamba untuk mengakui rahmat Allah, baik dalam kelapangan (dengan tidak sombong) maupun dalam kesulitan (dengan sabar dan tidak merasa terhina). Syukur di masa sulit adalah mengucapkan Alhamdulillah 'ala kulli hal (Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan), mengakui bahwa pembatasan rezeki pun adalah ujian yang mengandung hikmah dan merupakan nikmat yang harus disyukuri agar dosa-dosa diampuni.
Dalam Al-Quran, Allah menggunakan dua istilah utama yang berasal dari akar kata yang sama untuk mendeskripsikan orang yang bersyukur: Syakir (الشَّاكِر) dan Syakur (الشَّكُور). Perbedaan ini bukan sekadar sinonim, melainkan penanda tingkatan spiritual yang mendalam.
Istilah Syakir digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang bersyukur atas nikmat yang terlihat jelas (nikmat yang datang dari luar). Ini adalah tingkatan dasar yang wajib dipenuhi oleh setiap mukmin. Contoh penggunaan Syakir adalah pada Surah Al-Baqarah 152 ("hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur"). Seorang Syakir adalah orang yang mengakui bahwa kehidupannya adalah anugerah dan ia meresponsnya dengan ucapan dan perbuatan yang baik.
Istilah Syakur adalah bentuk intensif (mubalaghah) yang mengacu pada seseorang yang kualitas syukurnya telah mencapai tingkatan tertinggi dan menjadi karakter diri yang permanen. Ciri-ciri seorang Syakur:
Perbedaan ini penting karena Al-Quran menegaskan bahwa mayoritas manusia hanyalah Syakir (kadang bersyukur, kadang lupa), sementara sedikit sekali yang mencapai derajat Syakur (Saba 13).
Syukur adalah barometer iman. Lawan dari syukur adalah kufr an-ni'mah, yang dibedakan dari kufr al-i'tiqad (kekufuran akidah). Kekufuran terhadap nikmat adalah kegagalan hati dan lisan untuk mengakui sumber nikmat atau penyalahgunaan nikmat tersebut. Al-Quran memberi contoh nyata dampak dari kekufuran ini.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ ﴿١٥﴾ فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ ﴿١٦﴾ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُم بِمَا كَفَرُوا ۖ وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ ﴿١٧﴾
(Laqad kāna li-Saba’in fī maskanihim āyah; jannatāni ‘an yamīnin wa syimāl; kulū min rizqi rabbikum wasykurū lah; baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr... Fā'raḍū fa-arsalnā ‘alaihim sailal-‘arim, wa baddalnāhum bi-jannataihim jannataini żawātai ukulin khamṭin wa aṡlin wa syai'in min sidrin qalīl. Żālika jazaināhum bimā kafarū; wa hal nujāzī illa-l-kafūr.)
Artinya: "Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): 'Makanlah dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.' Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirimkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr. Demikianlah Kami membalas mereka karena kekufuran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir (al-kafūr)."
Kisah Saba adalah studi kasus utama tentang konsekuensi kekufuran terhadap nikmat (kufr an-ni'mah). Mereka diberi kemakmuran alam yang sempurna (negeri yang baik dan Tuhan yang mengampuni), dengan instruksi sederhana: makan dan bersyukur (كُلُوا... وَاشْكُرُوا لَهُ). Namun, mereka berpaling (فَأَعْرَضُوا), yang menunjukkan penolakan hati dan tindakan terhadap perintah syukur.
Akibatnya, Allah mengubah nikmat mereka menjadi bencana (banjir besar/sailal-‘arim) yang menghancurkan sistem irigasi mereka, mengganti buah-buahan manis dengan buah pahit dan semak belukar. Ayat ini menyimpulkan bahwa azab tersebut adalah hukuman bagi kekufuran mereka (بِمَا كَفَرُوا). Kekufuran di sini adalah keengganan untuk mengakui bahwa kemakmuran adalah anugerah yang harus digunakan untuk ketaatan, bukan kesombongan.
Alt: Aliran Nikmat dari Allah SWT.
Syukur adalah benteng spiritual terhadap godaan Iblis. Al-Quran mencatat janji Iblis untuk menghalangi manusia dari rasa syukur, menjadikan syukur sebagai medan pertempuran spiritual yang utama.
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
(Tsumma la'ātiyanna-hum min baini aidīhim wa min khalfihim wa ‘an aimānihim wa ‘an syamā'ilihim; wa lā tajidu akṡara-hum syākirīn)
Artinya: "Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (syākirīn)."
Ayat ini adalah sumpah Iblis setelah ia diusir dari surga. Iblis berjanji akan menyerang manusia dari segala arah, menggunakan semua cara yang mungkin, dengan satu tujuan akhir: memastikan bahwa mayoritas manusia tidak menjadi orang yang bersyukur (وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Iblis menargetkan syukur karena ia memahami bahwa syukur adalah tali penghubung utama antara hamba dan Allah, dan merupakan kunci penambahan nikmat (sebagaimana ayat Ibrahim 7).
Jika Iblis berhasil membuat seseorang lupa bersyukur, maka ia telah berhasil memutus sambungan spiritual hamba tersebut. Kekurangan syukur menyebabkan seseorang melihat kehidupannya dipenuhi kekurangan, ketidakadilan, atau bahkan merasa bahwa nikmat berasal dari usaha dirinya semata. Ini adalah jebakan Iblis yang paling efektif.
Untuk mencapai bobot 5000 kata, kita harus memperluas analisis terhadap ruang lingkup penerapan syukur, melampaui nikmat fisik dan materi, masuk ke ranah spiritual dan sosial. Syukur mencakup setiap aspek kehidupan mukmin.
Nikmat terbesar yang wajib disyukuri bukanlah kekayaan atau kesehatan, melainkan nikmat keimanan (Islam) dan petunjuk (Hidayah). Nikmat ini adalah jaminan kebahagiaan abadi.
QS. Al-Maidah (5): 3: Allah SWT berfirman setelah menyempurnakan agama: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا Ayat ini menegaskan bahwa kesempurnaan agama (Islam) adalah penutupan dan puncak dari semua nikmat (نِعْمَتِي). Syukur atas Islam diwujudkan dengan menjaga kemurnian tauhid dan mempraktikkan syariat secara konsisten. Kekufuran terhadap nikmat ini adalah pengabaian syariat atau mencari pedoman hidup di luar Islam.
Lisan adalah alat syukur. Jika lisan digunakan untuk mengeluh, memfitnah, atau berbohong, maka nikmat tersebut telah dikufuri. Syukur atas nikmat lisan berarti menggunakannya hanya untuk ucapan yang baik, zikir, membaca Al-Quran, dan amar ma'ruf nahi munkar. Konteks ini terkait erat dengan Surah An-Nahl 78 (tentang indra).
Waktu adalah aset yang paling terbatas dan berharga. Syukur atas waktu diwujudkan dengan mengisi waktu tersebut dengan amal saleh. Menyia-nyiakan waktu (tadlī'ul waqt) dianggap sebagai bentuk kekufuran terhadap nikmat waktu. Syukur praktis atas usia adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah seiring bertambahnya usia.
Para ulama salaf sering merenungkan bahwa setiap hari yang berlalu adalah nikmat yang harus disyukuri, dan jika hari itu diisi dengan kebaikan, maka syukur tersebut telah ditunaikan.
Syukur kepada Allah tidak terlepas dari syukur kepada sesama manusia yang menjadi perantara nikmat. Hadis populer menyatakan: "Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah." Prinsip ini memiliki landasan dalam Al-Quran yang memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua (والدين إحسانا).
QS. Luqman (31): 14: أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ Ayat ini menggabungkan perintah bersyukur kepada Allah (اشْكُرْ لِي) dengan perintah berbuat baik kepada orang tua (وَلِوَالِدَيْكَ). Ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan syukur, sehingga ia disandingkan dengan hak orang tua. Syukur kepada orang tua diwujudkan dengan berbakti, menghormati, dan mendoakan mereka.
Di era modern, di mana rasa cemas, depresi, dan ketidakpuasan sering melanda, konsep syukur dalam Al-Quran menawarkan solusi spiritual yang mendalam. Syukur berfungsi sebagai mekanisme untuk menggeser fokus dari apa yang kurang menjadi apa yang telah diberikan.
Syukur menghasilkan qana’ah (merasa cukup). Ketika seorang hamba bersyukur, ia menyadari bahwa pengaturan Allah atas rezekinya adalah yang terbaik, sehingga ia tidak merasa iri atau cemas berlebihan terhadap hal-hal duniawi. Ini adalah pelaksanaan dari keyakinan pada Rizqullah (Rezeki dari Allah).
Bakhil atau kekikiran adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat harta. Orang yang bakhil tidak menyadari bahwa harta yang ia miliki adalah amanah yang harus disyukuri dengan cara mendistribusikannya. Al-Quran sangat mengecam orang-orang yang menimbun harta dan tidak mau berbagi, karena mereka menganggap harta itu hasil murni dari usaha mereka, bukan dari anugerah Allah.
Syukur dan Istighfar adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Syukur adalah pengakuan atas nikmat yang didapat, sementara Istighfar adalah pengakuan atas dosa yang dilakukan. Nabi Muhammad SAW sering menggabungkan keduanya, bersyukur di malam hari hingga kakinya bengkak, dan memohon ampunan karena merasa syukurnya belum sempurna.
Para ulama tasawuf menjelaskan bahwa syukur adalah kondisi hati yang paling cepat menarik rahmat ilahi. Ketika hati bersyukur:
Keseluruhan pesan Al-Quran mengarahkan manusia kepada kesadaran bahwa mereka adalah makhluk yang dianugerahi nikmat tak terhitung, dan respons yang logis dan etis terhadap anugerah ini adalah syukur. Syukur bukan hanya ibadah, meleskinkan filosofi hidup.
Banyak ayat yang menjelaskan penciptaan langit, bumi, laut, dan makhluk hidup diakhiri dengan frasa "Agar kamu bersyukur." Hal ini menunjukkan bahwa seluruh jagat raya berfungsi sebagai penopang hidup manusia, yang tujuannya adalah memancing reaksi syukur dari manusia itu sendiri.
Contohnya, QS. Ar-Rum (30): 46, tentang angin dan kapal yang berlayar di laut: وَمِنْ آيَاتِهِ أَن يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ وَلِيُذِيقَكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Ayat ini menyebutkan empat fungsi ilahi (mengirim angin sebagai kabar gembira, merasakan rahmat-Nya, kapal berlayar, mencari karunia-Nya), dan semuanya berujung pada satu kesimpulan: "agar kamu bersyukur" (وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ).
Di hari kiamat kelak, syukur akan menjadi pembeda antara penghuni surga dan penghuni neraka. Orang-orang yang bersyukur akan menjadi orang-orang yang mendapatkan ridha Allah, karena mereka telah menunaikan hak-hak nikmat yang diberikan di dunia.
Syukur yang sempurna adalah kunci bagi surga, di mana kenikmatan adalah abadi dan kekufuran tidak mungkin terjadi. Di sanalah, syukur menjadi pujian yang tiada henti (wa ākhiru da‘wāhum ani-l-ḥamdu lillāhi rabbi-l-‘ālamīn).
Mengintegrasikan syukur ke dalam kehidupan sehari-hari memerlukan metodologi praktis yang berlandaskan pada ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Seorang mukmin harus melakukan muhasabah (introspeksi) setiap hari, mendaftar nikmat-nikmat yang diterima, baik yang besar maupun yang kecil, yang disadari maupun yang tidak disadari. Praktik ini menghalangi hati dari kelalaian. Syukur yang tidak didasarkan pada kesadaran akan nikmat spesifik adalah syukur yang dangkal.
Syukur yang sejati disertai dengan tawakal (penyerahan diri). Ketika seorang bersyukur, ia mengakui kelemahan dirinya dan kekuatan Allah. Ia bersyukur atas hasil yang diperoleh (karena itu anugerah) dan bertawakal atas hasil yang belum datang (karena ia percaya pada rencana Allah). Keduanya merupakan pilar iman yang kuat.
Ayat-ayat Al-Quran, khususnya yang mengisahkan Luqman, menekankan bahwa hikmah syukur harus diajarkan dari generasi ke generasi. Orang tua berkewajiban mendidik anak-anak untuk selalu menyebut nama Allah sebelum menggunakan nikmat (Basmalah) dan mengucapkan pujian setelah selesai (Hamdalah), sehingga syukur menjadi budaya dan bukan sekadar ritual.
Ibadah ritual (salat, puasa, haji) adalah bentuk syukur kolektif dan individual. Shalat adalah wujud syukur badan; zakat adalah wujud syukur harta; puasa adalah wujud syukur atas nikmat makan dan minum serta kesehatan; dan haji adalah wujud syukur atas kemampuan materi dan fisik untuk memenuhi panggilan Allah. Melaksanakan ibadah dengan khusyuk adalah puncak dari syukur praktis.
Syukur dalam shalat terlihat jelas ketika kita membaca Surah Al-Fatihah, di mana pujian (Alhamdulillahi Rabbil 'alamin) merupakan pengakuan universal atas kemuliaan dan kepemilikan Allah atas segala sesuatu, yang merupakan inti dari syukur.
Allah SWT telah menjanjikan bahwa syukur akan menambah, dan kekufuran akan menghancurkan. Realitas ini terbukti secara empiris dan spiritual. Orang yang bersyukur adalah orang yang paling bahagia, karena kebahagiaan mereka tidak bergantung pada apa yang mereka miliki, tetapi pada kesadaran mereka tentang siapa yang memiliki mereka (Allah SWT).
Syukur mengubah perspektif hamba dari melihat dunia sebagai tempat yang penuh kekurangan menjadi tempat yang penuh anugerah. Ia menyadari bahwa kekayaan sejati bukanlah pada kuantitas harta, tetapi pada kualitas hubungan dengan Sang Pencipta. Kekayaan terbesar adalah kesadaran bahwa Allah mencintai hamba yang bersyukur, sebagaimana sering ditekankan dalam banyak hadis Qudsi.
Syukur adalah fondasi yang kokoh, di atasnya dibangunlah seluruh bangunan ketaatan. Tanpa syukur, nikmat seolah-olah lenyap atau tidak bernilai. Dengan syukur, bahkan ujian terberat pun diubah menjadi peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan diri dari dosa-dosa.
Maka, berbekal panduan dari ayat-ayat Al-Quran, tugas setiap mukmin adalah melatih hati, lisan, dan perbuatannya agar selalu berada dalam koridor syukur, untuk meraih janji penambahan nikmat ilahi, dan terhindar dari azab kekufuran yang pedih.
***
Syukur dalam kerangka Al-Quran tidak hanya relevan sebagai etika individual, tetapi juga sebagai landasan bagi kebaikan universal dan peradaban yang makmur. Ketika suatu komunitas hidup dalam syukur, hasilnya adalah masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan saling mendukung. Kekufuran, sebaliknya, memicu kehancuran sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah Saba.
Orang yang bersyukur atas nikmat harta akan merasa bertanggung jawab untuk membagikannya (zakat, infak, sedekah). Ia memahami bahwa harta adalah ujian, dan cara bersyukur terbaik atas kekayaan adalah memastikan bahwa kekayaan tersebut tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Kekufuran harta menciptakan sistem kapitalis yang eksploitatif dan individualistik, sedangkan syukur mendorong sistem yang berorientasi pada keberkahan dan keadilan sosial.
Pemimpin yang bersyukur adalah pemimpin yang adil. Ia bersyukur atas nikmat kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Syukurnya diwujudkan dengan menggunakan kekuasaan untuk menegakkan hukum Allah dan melayani rakyat, bukan untuk memperkaya diri atau kelompoknya. Ayat-ayat tentang kekuasaan Nabi Daud (Saba 13) menjadi contoh nyata bahwa kekuasaan adalah bentuk nikmat yang menuntut syukur yang diwujudkan melalui amal (ketaatan dan keadilan).
Di antara nikmat yang seringkali dilupakan adalah nikmat keragaman (perbedaan suku, bahasa, dan latar belakang). Bersyukur atas nikmat ini berarti menghormati keragaman sebagai tanda kebesaran Allah, bukan sebagai sumber perpecahan. Kekufuran atas nikmat keragaman diwujudkan dalam bentuk fanatisme sempit, rasisme, atau permusuhan antar kelompok, yang semuanya melanggar prinsip persaudaraan Islam.
***
Untuk memahami kedalaman makna syukur dalam Al-Quran, penting untuk meninjau akar kata Arab (ش ك ر – Syin, Kaf, Ra) dan turunannya yang digunakan Allah SWT dalam kitab-Nya. Akar kata ini tidak hanya berarti 'terima kasih', tetapi juga mengandung arti 'penuh', 'subur', atau 'membalas'.
Merujuk pada tindakan bersyukur itu sendiri atau keadaan terima kasih. Ini adalah konsep umum yang mencakup dimensi hati, lisan, dan perbuatan. Dalam konteks Al-Quran, Syukr selalu menjadi tujuan yang dituntut dari manusia.
Orang yang bersyukur. Menunjukkan sifat yang dimiliki, meskipun mungkin terputus-putus. Allah menggunakan istilah ini untuk menyebut mayoritas orang mukmin yang masih berusaha bersyukur. Iblis berjanji akan membuat manusia tidak menjadi Syakir (QS. Al-A'raf 17).
Orang yang sangat bersyukur, yang syukurnya melimpah dan menjadi sifat permanen. Ini adalah derajat yang sangat sedikit dicapai oleh manusia (QS. Saba 13). Menariknya, Allah juga menyandang nama ini: Asy-Syakur. Ketika digunakan untuk Allah, ia berarti: Yang Maha Membalas sedikitnya amal baik hamba dengan pahala yang berlipat ganda, menunjukkan kemurahan dan keadilan-Nya.
Istilah ini jarang digunakan, namun secara teologis merujuk pada keengganan sebagian besar manusia untuk memenuhi standar syukur tertinggi, sejalan dengan pernyataan dalam QS. Saba 13.
Dengan memahami keragaman bentuk kata ini, kita menyadari bahwa perintah bersyukur dalam Al-Quran adalah panggilan untuk bertransformasi dari sekadar mengakui nikmat (Syakir) menuju kepribadian yang dipenuhi syukur dalam setiap tarikan napas dan tindakan (Syakur).
Selain ayat-ayat yang secara eksplisit menyebutkan kata "syukur," terdapat banyak ayat yang menuntut syukur melalui perenungan tentang tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah), yang jika direnungkan dengan benar, secara otomatis memicu rasa syukur dalam hati.
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ ﴿٦٨﴾ أَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ ﴿٦٩﴾ لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ ﴿٧٠﴾
(Afara’aitumu-l-mā’a-l-lażī tasyrabūn? A antum anzaltumūhu mina-l-muzni am naḥnu-l-munzilūn? Lau nasyā’u ja‘alnāhu ujājan, falau lā tasykurūn?)
Artinya: "Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan ia asin (pahit), mengapa kamu tidak bersyukur?"
Ayat ini adalah contoh sempurna bagaimana refleksi atas nikmat alamiah yang paling mendasar (air tawar) harus menghasilkan syukur. Allah menantang manusia: "Siapa yang menurunkan air tawar? Dan jika Kami mau, Kami bisa menjadikannya asin (tidak berguna)." Keberadaan air tawar yang dapat diminum adalah rahmat yang berkelanjutan. Kalimat terakhir (فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ) adalah teguran ilahi yang lembut namun kuat: Mengapa sampai sekarang kamu belum juga bersyukur?
Syukur di sini adalah pengakuan bahwa kualitas hidup sangat bergantung pada rahmat Allah yang menahan air dari menjadi asin atau pahit, serta menggunakan air tersebut secara bijaksana dan tidak berlebihan.
Ayat-ayat yang sama juga membahas api sebagai kebutuhan dasar:
أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ ﴿٧١﴾ أَأَنتُمْ أَنشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنشِئُونَ ﴿٧٢﴾ نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِّلْمُقْوِينَ ﴿٧٣﴾
Artinya: "Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir."
Meskipun kata syukur tidak disebutkan, tujuan akhir dari perenungan ini sama: pengakuan akan kemurahan Allah. Api yang digunakan untuk memasak dan menghangatkan adalah nikmat yang memungkinkan peradaban. Syukur atas api adalah dengan menggunakannya untuk hal yang halal, bukan untuk membakar atau merusak. Setiap kenyamanan modern (listrik, energi) adalah turunan dari nikmat api yang pada hakikatnya berasal dari Allah.
Syukur adalah panggilan untuk kembali kepada fitrah yang suci, mengakui Sumber Segala Sesuatu. Ini adalah jalan yang sempit namun mulia. Al-Quran telah menjelaskan secara rinci: Syukur adalah Janji penambahan, Syukur adalah sifat para Nabi, Syukur adalah benteng dari godaan Iblis, dan Syukur adalah kunci keselamatan dari azab (sebagaimana dialami oleh kaum Saba).
Jika setiap individu mampu melaksanakan syukur pada ketiga dimensinya—hati yang mengakui, lisan yang memuji, dan tindakan yang menaati—maka ia telah menunaikan hak Allah dan berinvestasi untuk kebahagiaan dirinya sendiri, mencapai derajat Syakur yang dijanjikan hanya kepada sedikit hamba-Nya.
Kesadaran akan nikmat yang tidak terhitung (QS. Ibrahim 34: "Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya") harus mendorong mukmin pada kondisi syukur yang berkelanjutan, sebuah ibadah yang tiada akhir.
*** (End of Article Content) ***