Mengkhitan, atau sunat, merupakan praktik kuno yang telah diwariskan melalui berbagai peradaban dan budaya selama ribuan tahun. Lebih dari sekadar prosedur bedah minor, khitan sarat akan makna religius, identitas budaya, dan implikasi kesehatan yang signifikan. Artikel komprehensif ini bertujuan untuk menggali seluk-beluk praktik mengkhitan, mulai dari akar sejarahnya, signifikansi keagamaan, manfaat kesehatan modern yang teruji, hingga perkembangan teknik bedah yang kini semakin minim invasif dan aman.
Khitan (sirkumsisi) didefinisikan secara medis sebagai prosedur bedah elektif yang bertujuan untuk menghilangkan sebagian atau seluruh kulup (preputium) dari penis. Meskipun tampak sederhana, praktik ini adalah salah satu operasi tertua di dunia, mendahului catatan sejarah tertulis dalam banyak kebudayaan. Khitan tidak hanya terbatas pada satu wilayah geografis; jejaknya dapat ditemukan di Mesir kuno, Semenanjung Arab, hingga populasi di Amerika dan Afrika.
Bukti paling awal mengenai praktik mengkhitan ditemukan pada hieroglif Mesir kuno yang berasal dari sekitar 4000 SM. Relief-relief di makam tersebut menggambarkan prosedur yang dilakukan pada orang dewasa muda, menunjukkan bahwa pada masa itu, khitan sudah terinstitusionalisasi dan mungkin terkait dengan ritual kedewasaan atau status sosial. Praktik ini kemudian menyebar melalui jalur perdagangan dan migrasi ke wilayah Mediterania Timur. Berbeda dengan pandangan modern, pada beberapa budaya kuno, khitan dilakukan bukan pada masa bayi, melainkan sebagai ritual inisiasi menuju kedewasaan, menandai transisi penting dalam kehidupan seorang laki-laki.
Penyebaran khitan juga terkait erat dengan munculnya agama-agama samawi. Dalam tradisi Abrahamik, praktik ini menjadi tanda perjanjian yang sakral antara Tuhan dan umat-Nya, menjadikannya kewajiban yang dipegang teguh hingga hari ini. Signifikansi sejarah ini menunjukkan bahwa fungsi khitan tidak pernah statis; ia berevolusi dari ritual kesuburan, penanda kelas sosial, hingga menjadi lambang komitmen spiritual dan kebersihan.
Secara umum, istilah 'sirkumsisi' merujuk pada pemotongan kulup. Namun, metode dan tingkat pemotongan dapat bervariasi. Di Indonesia, istilah ‘khitan’ atau ‘sunat’ lebih populer, diambil dari bahasa Arab yang berarti ‘pemurnian’ atau ‘pembersihan’. Variasi ini mencerminkan bagaimana praktik tersebut diintegrasikan ke dalam kerangka hukum Islam, yang menggarisbawahi kebersihan (thaharah) sebagai elemen fundamental ibadah.
Selain perbedaan teknis, ada perbedaan signifikan dalam usia pelaksanaannya. Sementara komunitas Yahudi (Bris Milah) melakukan khitan pada hari kedelapan setelah kelahiran, mayoritas populasi Muslim cenderung melaksanakannya di masa kanak-kanak, seringkali antara usia lima hingga sepuluh tahun, meskipun khitan pada masa neonatal (bayi baru lahir) juga semakin populer karena alasan medis dan pemulihan yang lebih cepat. Perbedaan waktu ini memiliki implikasi psikologis dan logistik yang berbeda bagi keluarga yang menjalankan tradisi tersebut.
Di banyak kebudayaan, khususnya di Indonesia, khitan sering kali dirayakan dengan upacara adat atau pesta syukuran. Peristiwa ini bukan sekadar kunjungan ke rumah sakit atau klinik, tetapi sebuah perayaan sosial yang menegaskan identitas anak laki-laki di mata komunitasnya. Pesta ini bisa melibatkan pengajian, arak-arakan, hingga pertunjukan seni tradisional, menandakan bahwa anak tersebut telah 'bersih' dan siap memasuki fase kehidupan yang lebih bertanggung jawab. Keberadaan ritual ini memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan nilai-nilai komunal kepada generasi muda.
Khitan mendapatkan kekuatan dan keberlanjutan terbesarnya dari institusi agama. Bagi miliaran orang di dunia, praktik ini bukanlah pilihan, melainkan kewajiban ilahiah yang tidak dapat ditawar. Memahami landasan filosofis ini penting untuk mengapresiasi mengapa praktik ini tetap dominan meskipun ada perdebatan etika di beberapa negara Barat.
Dalam Islam, khitan dianggap sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan sering diperlakukan setara dengan wajib bagi laki-laki. Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit memerintahkannya, khitan ditetapkan sebagai bagian dari fitrah (kemurnian naluriah) manusia, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis mengenai fitrah menyebutkan beberapa praktik kebersihan, dan khitan adalah salah satunya yang paling menonjol.
Landasan utamanya adalah kebersihan dan ritual. Kulup yang tidak dikhitan dianggap dapat menampung sisa-sisa urin atau kotoran, yang dapat menghalangi keabsahan ibadah seperti salat, yang mensyaratkan kondisi suci (bersih dari hadas kecil dan besar). Dengan demikian, khitan berfungsi sebagai prasyarat spiritual yang mendukung kemurnian fisik. Beberapa mazhab fiqih bahkan menganggapnya wajib karena manfaat higienisnya yang jelas, mengintegrasikan aspek medis ke dalam kerangka teologis.
Waktu pelaksanaannya fleksibel, memberikan ruang bagi keluarga untuk memilih usia terbaik berdasarkan kondisi anak dan kemampuan finansial. Mayoritas ulama sepakat bahwa khitan sebaiknya dilakukan sebelum anak mencapai usia balig (pubertas), sehingga ia memasuki masa akil balig dalam keadaan fitrah yang sempurna. Diskusi mengenai waktu terbaik ini mencerminkan keseimbangan antara tuntutan syariat dan pertimbangan praktis.
Bris Milah adalah salah satu ritual terpenting dalam Yudaisme, menandai perjanjian (Covenant) antara Abraham dan Tuhan. Praktik ini secara tegas diatur dalam Taurat dan harus dilakukan pada hari kedelapan setelah kelahiran, bahkan jika hari kedelapan tersebut jatuh pada hari Sabat. Pelaksanaannya dilakukan oleh seorang mohel (spesialis khitan terlatih, seringkali seorang rabi atau dokter). Kedisiplinan waktu ini menekankan betapa sentralnya peran Bris Milah dalam identitas agama Yahudi. Melakukan khitan pada hari kedelapan melambangkan kesempurnaan dan penyerahan diri kepada tradisi leluhur.
Meskipun mayoritas denominasi Kristen tidak mewajibkan khitan—karena perjanjian baru (New Covenant) berfokus pada khitan hati daripada fisik—beberapa gereja kuno, seperti Gereja Ortodoks Koptik Mesir dan beberapa komunitas di Afrika Timur, masih mempraktikkannya sebagai warisan budaya atau sebagai bagian dari tradisi yang kuat. Bagi mereka, khitan seringkali merupakan jembatan antara identitas budaya lokal dan keyakinan agama, menunjukkan bahwa batas antara agama dan adat tidak selalu jelas.
Di negara-negara yang tidak memiliki landasan agama atau budaya yang kuat untuk khitan, muncul perdebatan sengit mengenai etika praktik ini, terutama ketika dilakukan pada bayi (Neonatal Male Circumcision - NMC). Isu utama adalah otonomi tubuh: apakah orang tua berhak membuat keputusan bedah permanen bagi anak yang belum bisa memberikan persetujuan (informed consent)?
Pihak yang mendukung berargumen bahwa manfaat kesehatan (pencegahan penyakit, higienitas) dan manfaat sosial (integrasi budaya) jauh melebihi risiko kecil prosedur. Mereka juga mencatat bahwa banyak prosedur minor lainnya (seperti tindik telinga) dilakukan tanpa persetujuan anak. Sementara itu, kritikus menuntut bahwa kecuali ada indikasi medis yang jelas (terapi), operasi harus ditunda hingga anak mencapai usia yang cukup untuk memutuskan sendiri, menekankan hak anak atas integritas fisik yang utuh. Perdebatan ini kompleks dan sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosiokultural di wilayah tertentu.
Terlepas dari aspek spiritual dan budaya, komunitas medis global telah lama mempelajari khitan dan menemukan serangkaian manfaat kesehatan yang signifikan. Meskipun di Amerika Utara dan beberapa bagian Afrika khitan sering dilakukan untuk alasan kesehatan preventif, di Indonesia manfaat ini lebih bersifat pelengkap terhadap motivasi religius.
Salah satu manfaat paling jelas dari khitan, terutama pada masa bayi, adalah penurunan drastis risiko Infeksi Saluran Kemih (ISK). Bayi laki-laki yang tidak dikhitan memiliki risiko ISK 10 hingga 12 kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang dikhitan. Hal ini terjadi karena bakteri cenderung berkumpul di bawah kulup yang utuh, dan ketika bakteri ini bermigrasi ke uretra, mereka dapat menyebabkan infeksi. Pencegahan ISK sangat penting pada bayi karena infeksi yang parah dapat menyebar ke ginjal (pielonefritis) dan berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal permanen.
Khitan mempermudah pembersihan area genital. Meskipun kulup dapat dibersihkan secara manual, struktur kulup pada beberapa individu dapat menahan penumpukan smegma—campuran sel kulit mati, minyak, dan kelembaban—yang menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi mikroorganisme. Khitan menghilangkan area retensi ini, secara fundamental memitigasi risiko peradangan kronis (balanitis) dan infeksi jamur. Bagi populasi yang mungkin memiliki akses terbatas terhadap sanitasi yang memadai, manfaat higienitas ini menjadi semakin krusial.
Penelitian epidemiologis yang ekstensif, terutama yang didanai oleh WHO dan UNAIDS di Afrika, telah menunjukkan bahwa khitan laki-laki secara signifikan mengurangi risiko penularan virus HIV dari perempuan ke laki-laki. Studi-studi besar di Uganda, Kenya, dan Afrika Selatan menunjukkan reduksi risiko sekitar 50% hingga 60%. Mekanismenya bersifat biologis:
Selain HIV, khitan juga diketahui mengurangi risiko penularan Human Papillomavirus (HPV) dan herpes simpleks tipe 2 (HSV-2). Pengurangan risiko PMS ini menjadikan khitan sebagai komponen penting dalam strategi kesehatan masyarakat di daerah endemik.
Dalam kasus tertentu, khitan bukan lagi prosedur elektif, melainkan kebutuhan medis yang mendesak. Dua kondisi utama yang memerlukan khitan terapeutik adalah:
Selain itu, khitan juga dapat diindikasikan untuk Balanitis Xerotica Obliterans (BXO), suatu kondisi kulit kronis yang menyebabkan jaringan parut pada ujung penis dan kulup. Mengkhitan dalam kasus ini bertujuan untuk menghilangkan jaringan yang sakit dan memulihkan fungsi normal.
Metode khitan telah berkembang pesat. Di masa lalu, prosedur sering dilakukan oleh dukun sunat dengan peralatan minimal. Kini, standar emas adalah prosedur yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis terlatih di lingkungan steril, menggunakan anestesi lokal, dan memanfaatkan teknologi bedah modern untuk memastikan keamanan dan hasil kosmetik terbaik.
Sebelum prosedur, penilaian pra-operasi sangat penting. Dokter akan memastikan anak dalam kondisi sehat, menanyakan riwayat alergi, dan mendiskusikan ekspektasi pasca-operasi dengan orang tua. Anestesi adalah aspek krusial untuk memastikan prosedur bebas rasa sakit dan meminimalkan trauma psikologis.
Penyediaan lingkungan yang tenang dan penanganan rasa cemas pada anak, melalui teknik distraksi atau kehadiran orang tua, juga merupakan bagian penting dari persiapan, terutama untuk anak usia sekolah.
Metode bedah konvensional, yang masih banyak digunakan di rumah sakit, melibatkan penggunaan pisau bedah (scalpel) atau gunting bedah. Ada beberapa varian teknik, termasuk teknik dorsal slit dan teknik sleeve (lengan). Teknik-teknik ini memerlukan jahitan (suture) untuk menghentikan pendarahan dan menyatukan tepi kulit yang tersisa. Keunggulan metode ini adalah kontrol penuh atas jumlah kulit yang dibuang dan tepi jahitan, yang sering menghasilkan hasil kosmetik yang sangat baik.
Namun, metode konvensional memerlukan waktu operasi yang sedikit lebih lama dan menuntut keahlian menjahit yang presisi. Penggunaan benang yang dapat diserap tubuh (absorbable sutures) meminimalkan kebutuhan untuk pengangkatan benang pasca-operasi, meskipun proses penyerapan dapat memakan waktu beberapa minggu.
Munculnya perangkat klem merupakan revolusi dalam teknik khitan, khususnya di Indonesia. Perangkat ini (seperti SmartKlamp, Mahathir Clamp, atau Alisklamp) menawarkan prosedur yang lebih cepat, hampir tanpa pendarahan, dan seringkali tidak memerlukan jahitan.
Cara kerja klem adalah dengan menjepit kulup di antara dua silinder (internal dan eksternal) untuk memotong suplai darah ke kulup yang akan dibuang. Setelah kulup dipotong, klem ditinggalkan di tempatnya selama beberapa hari (biasanya 5–7 hari) untuk menahan dan menghentikan pendarahan, menyebabkan kulup yang terjepit mengalami nekrosis dan kemudian lepas dengan sendirinya. Keuntungan utamanya meliputi:
Meskipun demikian, penggunaan klem memerlukan ketelitian dalam pemasangan untuk menghindari terlalu banyak atau terlalu sedikit kulit yang dijepit, yang bisa mempengaruhi hasil kosmetik atau menyebabkan nyeri yang tidak perlu. Pemilihan jenis klem harus didasarkan pada pengalaman operator dan kondisi anatomis pasien.
Dua perangkat lain yang populer, terutama untuk khitan neonatal, adalah Plastibell dan Gomco.
Perkembangan teknologi ini menunjukkan adanya pergeseran fokus menuju prosedur yang meminimalkan rasa sakit, mempercepat penyembuhan, dan menjamin keamanan maksimal, terlepas dari usia pasien.
Seperti prosedur bedah lainnya, khitan membawa risiko komplikasi, meskipun insidennya sangat rendah, terutama jika dilakukan oleh tenaga medis profesional (di bawah 0,5% untuk komplikasi mayor). Pemahaman yang baik tentang risiko dan perawatan pasca-operasi adalah kunci keberhasilan.
Komplikasi khitan dapat diklasifikasikan menjadi minor dan mayor. Komplikasi minor lebih sering terjadi tetapi mudah diatasi, sementara komplikasi mayor sangat jarang.
Untuk memitigasi risiko, sangat penting untuk melakukan riwayat medis yang komprehensif, khususnya mengenai riwayat pendarahan dalam keluarga (hemofilia) sebelum prosedur dilakukan.
Perawatan yang tepat di rumah menentukan kecepatan penyembuhan dan pencegahan infeksi. Instruksi perawatan bervariasi tergantung metode yang digunakan (jahitan vs. klem).
Perawatan klem lebih fokus pada menjaga klem tetap bersih dan terpasang dengan baik sampai saatnya dilepas (atau lepas sendiri).
Waktu pemulihan total bervariasi, tetapi umumnya 7 hingga 10 hari hingga luka tampak mengering dan 3 hingga 6 minggu untuk penyembuhan total. Anak harus membatasi aktivitas berat, seperti bersepeda atau olahraga kontak, selama minimal dua minggu untuk mencegah pendarahan atau cedera pada luka. Penting bagi orang tua untuk memantau tanda-tanda bahaya seperti demam tinggi, pendarahan yang tak terkontrol, atau kesulitan buang air kecil, dan segera mencari bantuan medis jika ada kekhawatiran.
Edukasi orang tua mengenai manajemen rasa sakit dan kebersihan luka adalah faktor penentu keberhasilan pasca-khitan. Rasa sakit, meskipun ringan, harus dikelola dengan baik untuk menghindari trauma psikologis pada anak.
Dalam konteks global, diskusi mengenai khitan laki-laki sering disandingkan dengan Mutilasi Genital Wanita (FGM), sebuah praktik yang memiliki konsekuensi kesehatan, etika, dan hukum yang sangat berbeda. Sangat penting untuk memahami bahwa secara medis dan etika, kedua prosedur ini tidak dapat disamakan.
FGM adalah semua prosedur yang melibatkan pengubahan atau cedera pada organ genital perempuan untuk alasan non-medis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikannya menjadi empat tipe utama, mulai dari pengangkatan parsial klitoris hingga penjahitan (infibulasi) yang menutup lubang vagina.
Berbeda dengan khitan laki-laki yang secara umum diakui memiliki manfaat kesehatan (higienitas, pencegahan IMS), FGM tidak memiliki manfaat kesehatan yang diketahui dan sebaliknya, selalu menimbulkan kerugian fisik dan psikologis yang parah. FGM adalah praktik yang diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan dan anak perempuan.
Komplikasi FGM sangat meluas dan seringkali bersifat permanen. Komplikasi akut termasuk nyeri hebat, pendarahan, syok, infeksi, dan retensi urin. Komplikasi jangka panjang meliputi kista, infeksi berulang, kesulitan buang air kecil dan menstruasi, peningkatan risiko komplikasi saat melahirkan (termasuk kematian ibu dan bayi), serta trauma psikologis dan disfungsi seksual.
Perbedaan mendasar terletak pada tujuan dan dampaknya:
Masyarakat ilmiah dan etis global secara bulat mendukung penghapusan FGM, sementara khitan laki-laki tetap diakui sebagai prosedur yang sah dalam konteks keagamaan, budaya, dan medis. Penting bagi tenaga kesehatan di Indonesia untuk memastikan bahwa mereka hanya mempraktikkan bentuk khitan laki-laki yang aman dan etis sesuai standar kedokteran modern.
Di Indonesia, khitan adalah fenomena universal yang melintasi batas etnis, sosial, dan ekonomi. Dominasi agama Islam menjadikan khitan sebagai prosedur rutin yang sangat umum. Integrasi khitan ke dalam sistem layanan kesehatan telah menciptakan model yang unik.
Khitan dapat dilakukan di berbagai fasilitas, mulai dari praktik dokter umum/mantri, klinik khusus khitan, hingga rumah sakit besar. Fleksibilitas ini memastikan aksesibilitas yang tinggi, bahkan di daerah terpencil. Dalam beberapa dekade terakhir, ada peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya khitan dilakukan oleh tenaga medis profesional (dokter atau perawat bersertifikat), bukan lagi dukun sunat tradisional, demi meminimalkan risiko infeksi dan komplikasi.
Program-program khitan massal yang diselenggarakan oleh lembaga sosial, militer, atau organisasi keagamaan juga memainkan peran besar dalam memastikan khitan dapat dijangkau oleh keluarga kurang mampu. Acara-acara ini tidak hanya memberikan layanan medis, tetapi juga memperkuat rasa komunitas dan solidaritas sosial, menjadikannya gabungan antara amal dan ritual.
Dalam memilih metode khitan, keluarga di Indonesia biasanya mempertimbangkan beberapa faktor:
Meskipun prosedur medisnya telah dimodernisasi, elemen budaya khitan tetap dipertahankan kuat. Di beberapa daerah Jawa, khitan diiringi dengan selamatan atau pertunjukan wayang. Di daerah lain, seperti Sumatera atau Kalimantan, khitan dapat menjadi bagian dari rangkaian upacara adat yang lebih besar, memperkuat identitas suku dan transisi status sosial anak.
Peran orang tua dan kakek-nenek dalam mempertahankan elemen ritual ini sangat penting. Mereka melihat khitan bukan sekadar operasi, tetapi sebagai penanda identitas, menjamin bahwa warisan spiritual dan budaya terus berlanjut. Ini menjelaskan mengapa usia khitan di Indonesia seringkali di rentang pra-pubertas; hal ini memberikan kesempatan untuk merayakan transisi tersebut sebelum anak mencapai kedewasaan penuh.
Meskipun telah terjadi kemajuan besar, tantangan tetap ada dalam menjaga standarisasi praktik khitan, terutama di luar pusat-pusat kota besar. Tantangan tersebut meliputi:
Upaya kolaboratif antara Kementerian Kesehatan, organisasi profesional (seperti IDI), dan lembaga keagamaan diperlukan untuk memastikan praktik khitan di seluruh negeri dijalankan dengan standar keamanan dan etika tertinggi, sekaligus menghormati nilai-nilai budaya dan spiritual yang mendasarinya.
Aspek psikologis khitan, terutama pada anak usia pra-sekolah dan sekolah, tidak boleh diabaikan. Pengalaman khitan, baik positif maupun negatif, dapat membentuk persepsi anak terhadap rasa sakit, rumah sakit, dan identitas dirinya. Pendekatan yang sensitif dan suportif sangat diperlukan.
Anak-anak, terutama usia 4 hingga 8 tahun, sering mengalami ketakutan sebelum prosedur. Ketakutan ini biasanya dipicu oleh cerita dari teman atau kurangnya pemahaman tentang apa yang akan terjadi. Strategi manajemen kecemasan meliputi:
Rasa sakit pasca-operasi yang dikelola dengan baik dengan obat analgesik secara proaktif sangat penting untuk mencegah asosiasi negatif terhadap prosedur tersebut. Pengalaman yang positif akan memperkuat kepercayaan anak dan meminimalkan potensi trauma jangka panjang.
Di lingkungan yang didominasi oleh khitan, anak laki-laki yang belum dikhitan mungkin merasa berbeda atau bahkan diejek oleh teman sebayanya. Khitan, dalam konteks sosial ini, berfungsi sebagai ritual integrasi, mengkonfirmasi keanggotaan mereka dalam kelompok sebaya dan identitas keagamaan mereka. Setelah khitan, anak sering merasa bangga dan memiliki status baru sebagai "pria kecil" yang sudah menjalankan kewajibannya.
Penelitian mengenai khitan terus berlanjut. Fokus utama saat ini adalah:
Mengkhitan adalah praktik yang unik karena kelangsungan hidupnya tidak bergantung pada satu faktor, melainkan pada interaksi yang kompleks antara keyakinan agama yang mendalam, tradisi budaya yang kuat, dan manfaat kesehatan masyarakat yang teruji secara ilmiah. Bagi sebagian besar populasi dunia, khitan adalah norma, bukan pengecualian.
Di Indonesia, khitan telah terintegrasi sempurna sebagai salah satu pilar identitas keagamaan dan budaya, dilaksanakan dengan semangat syukuran dan harapan. Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, prosedur ini menjadi semakin aman dan nyaman berkat inovasi dalam teknik anestesi dan perangkat bedah minim invasif.
Meskipun perdebatan etika seputar otonomi tubuh akan terus berlanjut di tingkat global, fokus utama bagi praktisi kesehatan di Indonesia adalah menjaga standar tertinggi dalam pelaksanaan khitan, memastikan bahwa prosedur dilakukan oleh profesional terlatih, dalam lingkungan yang steril, dengan manajemen nyeri yang optimal, sehingga khitan tetap menjadi pengalaman yang positif, aman, dan bermakna bagi setiap anak laki-laki yang menjalaninya.
Penting bagi orang tua untuk selalu berkonsultasi dengan dokter anak atau ahli bedah yang berpengalaman untuk mendapatkan informasi yang akurat dan memilih metode yang paling sesuai dengan kondisi kesehatan dan usia anak mereka, menjadikan transisi ini langkah yang sehat dan bahagia dalam perjalanan hidup anak.