Dalam khazanah bahasa dan budaya Indonesia, terdapat sejumlah idiom yang memiliki bobot makna mendalam, tidak hanya sekadar rangkaian kata, melainkan cerminan dari kompleksitas interaksi sosial dan moralitas manusia. Salah satu ungkapan yang paling tajam dalam menggambarkan pengkhianatan yang dilakukan secara diam-diam dan sistematis adalah “menggunting dalam lipatan.”
Secara harfiah, frasa ini merujuk pada tindakan seorang penjahit yang memotong kain bukan di area terbuka yang terlihat, melainkan di bagian lipatan atau tumpukan, tempat pemotongan itu tidak disadari hingga kain tersebut dibentangkan. Dalam konteks sosial, idiom ini menjadi metafora sempurna untuk mendefinisikan pengkhianatan tersembunyi—tindakan destruktif yang dilakukan oleh seseorang yang berada sangat dekat dengan korban, sering kali dari lingkaran kepercayaan terdalam, tanpa menimbulkan kecurigaan eksternal.
Fenomena “menggunting dalam lipatan” jauh melampaui sekadar perselisihan atau ketidaksepakatan biasa. Ini adalah operasi rahasia, di mana pelaku memanfaatkan posisi kepercayaannya, akses terhadap informasi sensitif, dan terutama, keengganan korban untuk mencurigai orang terdekatnya. Ini adalah penghancuran yang dimulai dari inti, melemahkan struktur dari dalam sebelum kehancuran eksternal terlihat. Analisis mendalam terhadap motif, metode, dan dampak dari tindakan ini memerlukan penelusuran multidisiplin, mencakup psikologi, sosiologi, hingga strategi organisasi.
Menggunting dalam Lipatan: Tindakan destruktif yang tersembunyi dari pandangan langsung.
Untuk memahami kedalaman idiom ini, kita harus melihat konteks sosiologis dari masyarakat tradisional. Konsep pengkhianatan dari dalam bukanlah hal baru; ia telah menjadi tema abadi dalam mitologi, sastra, dan sejarah manusia. Namun, ‘menggunting dalam lipatan’ menawarkan nuansa kehati-hatian khas masyarakat Timur, di mana wajah (citra publik) dan harmoni (keserasian kolektif) dijunjung tinggi.
Dalam banyak kebudayaan, kain melambangkan identitas, status, dan integritas. Pakaian yang rapi dan utuh mencerminkan martabat pemakainya. Kesempurnaan sehelai kain sangat bergantung pada proses penjahitan yang teliti. Penjahit, dalam metafora ini, adalah pemegang kunci integritas material. Jika penjahit, yang seharusnya melindungi dan menyatukan, justru merusak material tersebut di tempat yang tidak terlihat, ia melanggar sumpah profesional dan kepercayaan dasar.
Kepercayaan adalah lipatan itu sendiri. Dalam organisasi atau hubungan interpersonal, kita memercayai orang lain untuk menjaga batas-batas dan rahasia; kita memberi mereka akses ke ‘lipatan’ kerentanan kita. Pelaku pengkhianatan ini tidak menyerang dari luar, melainkan merusak struktur internal dari kekerabatan, pertemanan, atau kerjasama yang seharusnya dijaga. Kerusakan yang dihasilkan bersifat fatalistik karena ia menciptakan cacat struktural yang tidak dapat diperbaiki tanpa membongkar seluruh sistem.
Pengkhianatan yang dilakukan secara terbuka, seperti pemberontakan atau penolakan terang-terangan, meskipun menyakitkan, setidaknya menawarkan kejelasan. Korban tahu siapa musuhnya. Sebaliknya, ‘menggunting dalam lipatan’ meninggalkan korban dalam kebingungan kronis, bertanya-tanya mengapa sistem mereka tiba-tiba goyah, mengapa proyek gagal, atau mengapa rahasia bocor, padahal semua tampak baik-baik saja di permukaan.
Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sumber masalah inilah yang membuat metode ini begitu efektif dan merusak psikologis. Pelaku sering kali berdiri di samping korban, menunjukkan simpati palsu, bahkan membantu mencari 'penyebab' masalah, sementara mereka sendiri adalah arsitek kehancurannya. Keberadaan pengkhianat di dekat korban menciptakan medan magnet kebohongan yang terus-menerus menarik sumber daya mental dan emosional korban.
Siapakah individu yang mampu melakukan pengkhianatan dengan tingkat kerahasiaan dan kedekatan emosional seperti ini? Sering kali, mereka bukanlah psikopat klinis dalam pengertian tradisional, tetapi individu dengan campuran ambisi tak terkendali, rasa tidak aman yang mendalam, dan kemampuan luar biasa untuk berakting dan memanipulasi.
Pelaku “menggunting dalam lipatan” sering didorong oleh narsisme situasional. Mereka percaya bahwa mereka berhak atas hasil yang lebih baik—promosi, kekuasaan, atau kekayaan—daripada yang mereka terima saat ini. Ketika jalur yang sah terasa terlalu panjang atau sulit, mereka merasa dibenarkan untuk menggunakan jalan pintas yang tidak etis.
Rasa berhak ini memungkinkan mereka merasionalisasi tindakan mereka. Mereka melihat korban (target mereka) bukan sebagai rekan atau teman, melainkan sebagai penghalang, entitas yang harus dipindahkan. Dalam pandangan mereka, kerugian yang diderita korban hanyalah 'kerusakan kolateral' demi mencapai tujuan superior mereka. Mereka jarang merasakan empati sejati terhadap penderitaan yang mereka ciptakan, karena fokus utama mereka adalah validasi diri dan kemenangan pribadi.
Kesuksesan pengkhianatan tersembunyi sangat bergantung pada kemampuan manipulasi sosial. Individu ini sering kali merupakan aktor ulung yang ahli dalam memproyeksikan citra kesetiaan dan kompetensi. Mereka menguasai seni gaslighting, yaitu taktik membuat korban mempertanyakan realitas dan kewarasan mereka sendiri.
Contohnya, jika seorang pelaku menahan informasi penting yang menyebabkan kerugian finansial, alih-alih disalahkan, mereka akan memutarbalikkan fakta, menyalahkan sistem yang "terlalu rumit" atau kemampuan korban yang "kurang teliti." Mereka menciptakan kabut kebingungan, memastikan bahwa energi yang seharusnya digunakan untuk mendeteksi bahaya dihabiskan untuk mengatasi keraguan diri.
Dualitas Pelaku: Wajah publik yang penuh kesetiaan menutupi niat destruktif.
Salah satu taktik psikologis yang paling cerdik adalah menggunakan kerentanan palsu. Pelaku sering memposisikan diri sebagai yang lemah, yang membutuhkan bantuan, atau yang paling rentan terhadap kegagalan. Ini bertujuan untuk menumpulkan naluri pertahanan korban.
Ketika seseorang terlihat tidak berbahaya, motivasi untuk mencurigainya berkurang drastis. Dengan memainkan peran sebagai 'orang baik' yang berjuang, pelaku mendapatkan akses tanpa batas ke sumber daya dan informasi, karena korban percaya bahwa mereka sedang membantu, bukan sedang dibongkar dari dalam.
Fenomena ‘menggunting dalam lipatan’ tidak terbatas pada ruang lingkup personal; ia merasuk ke dalam struktur organisasi dan sistem sosial yang lebih besar. Manifestasinya di era modern menjadi lebih kompleks karena teknologi memberikan lapisan 'lipatan' baru untuk menyembunyikan aksi.
Dalam dunia korporat yang kompetitif, pengkhianatan dari dalam adalah salah satu ancaman terbesar bagi keberlangsungan perusahaan. Ini dapat terjadi melalui beberapa jalur:
Seorang eksekutif senior yang tidak puas atau memiliki loyalitas terpecah dapat ‘menggunting dalam lipatan’ dengan cara menyabotase proyek penting. Sabotase ini tidak dilakukan dengan merusak peralatan secara fisik, melainkan dengan menunda persetujuan penting, memberikan nasihat strategis yang salah, atau secara sengaja mengalihkan sumber daya terbaik ke proyek yang ditujukan untuk gagal, sementara proyek pribadi mereka sendiri mendapatkan dukungan penuh.
Pada akhirnya, ketika proyek utama perusahaan goyah, si pelaku tampil sebagai pahlawan yang 'membersihkan kekacauan' atau justru menggunakan kegagalan tersebut sebagai alasan untuk menggulingkan atasan atau pesaingnya. Mereka telah memotong garis pendukung di dalam kain perusahaan, menunggu saat yang tepat untuk membentangkannya dan memperlihatkan kerusakan.
Kasus yang lebih ekstrem adalah penjualan rahasia dagang kepada pesaing. Karyawan atau mitra bisnis yang memiliki akses ke algoritma, daftar klien, atau prototipe rahasia dapat menyalin dan menjualnya secara tersembunyi. Karena mereka adalah bagian dari tim keamanan internal, mereka tahu persis bagaimana menghindari protokol deteksi. Mereka bergerak di antara 'lipatan' sistem keamanan siber dan kontrol akses fisik, menimbulkan kerugian miliaran dolar tanpa pernah menginjakkan kaki di kantor pesaing.
Arena politik adalah ladang subur bagi pengkhianatan tersembunyi. Di sini, ‘lipatan’ adalah faksi, koalisi, dan sumpah kesetiaan publik. Tindakan ‘menggunting dalam lipatan’ adalah strategi yang paling sering digunakan untuk meruntuhkan kekuasaan tanpa memicu konflik terbuka yang dapat merusak citra publik.
Seorang rekan koalisi dapat memulai kampanye disinformasi yang sangat halus, membocorkan informasi yang tampaknya tidak berbahaya namun merusak citra integritas pemimpinnya. Mereka tidak menyerang secara langsung, tetapi menanam benih keraguan di kalangan publik atau anggota partai. Ketika kepercayaan mulai terkikis, struktur kekuasaan menjadi rentan, dan pelaku dapat melangkah maju, berpura-pura menjadi solusi atas masalah yang sebenarnya mereka ciptakan.
Dalam skenario politik, 'gunting' yang digunakan adalah manipulasi media, penyebaran rumor yang terstruktur, dan penempatan agen-agen yang tidak loyal di posisi-posisi kunci birokrasi, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diluncurkan oleh target akan menghadapi hambatan internal yang tak terduga.
Mungkin yang paling menyakitkan adalah manifestasi dalam lingkup pribadi. Dalam sebuah pernikahan, persahabatan, atau hubungan keluarga, ‘lipatan’ adalah intimasi dan janji abadi. Pelaku di sini mungkin tidak mencari kekuasaan finansial, tetapi kekuasaan emosional atau pelepasan dari kewajiban.
Contohnya, pasangan yang diam-diam menyembunyikan aset, mempersiapkan rencana perceraian yang matang tanpa memberi tahu pasangannya. Mereka mempertahankan facade rumah tangga yang bahagia sambil mengumpulkan bukti, berkonsultasi dengan pengacara, dan memindahkan dana. Ketika 'kain' hubungan itu dibentangkan di pengadilan, kerusakannya bersifat total dan tiba-tiba. Korban tidak hanya kehilangan harta, tetapi juga rasa realitas dan keamanan emosional.
Tindakan ‘menggunting dalam lipatan’ memerlukan perencanaan yang cermat dan eksekusi yang sabar. Terdapat beberapa taktik inti yang selalu digunakan oleh pelaku untuk memastikan bahwa tindakan mereka tetap tersembunyi hingga terlambat.
Pelaku harus membangun dua citra yang bertentangan: Citra yang ditampilkan (kesetiaan, kompetensi, dukungan) dan Citra yang disembunyikan (ambisi, destruktif, sinis). Kesuksesan terletak pada konsistensi citra yang ditampilkan.
Mereka sering kali menjadi orang yang pertama menawarkan bantuan dalam krisis yang mereka buat, atau menjadi pendengar setia saat korban melampiaskan frustrasi tentang masalah yang disebabkan oleh si pelaku sendiri. Hal ini memperkuat kepercayaan korban, membuat ide bahwa orang ini adalah pengkhianat menjadi tidak masuk akal dalam pikiran korban. Kepercayaan ganda ini berfungsi sebagai perisai emosional dan operasional.
Alih-alih berbohong secara total (yang mudah terdeteksi), pelaku menggunakan kebenaran parsial. Mereka menahan informasi krusial, atau menyajikannya dengan konteks yang dimanipulasi. Ini disebut sebagai kebohongan melalui kelalaian.
Dalam proyek tim, misalnya, pelaku mungkin melaporkan status tugas A dan B dengan jujur, tetapi sengaja menghilangkan status kritis tugas C (yang merupakan tanggung jawabnya dan yang akan menyebabkan keterlambatan seluruh proyek). Ketika kegagalan terjadi, mereka dapat berdalih, "Saya sudah melaporkan apa yang diminta," menggeser tanggung jawab ke sistem yang tidak meminta laporan C secara eksplisit, padahal mereka tahu C adalah kuncinya.
Di lingkungan yang sangat menjunjung tinggi formalitas, hirarki, atau norma kesopanan (seperti di banyak budaya Asia), pelaku memanfaatkan keengganan orang untuk menantang otoritas atau melanggar kesopanan. Kecurigaan dianggap tidak sopan atau bahkan fitnah, yang memberi pelaku perlindungan dari pemeriksaan yang ketat.
Pelaku tahu bahwa korban akan cenderung memberi mereka manfaat dari keraguan, didorong oleh prinsip bahwa "tidak mungkin orang sedekat ini berkhianat." Kerangka berpikir ini adalah pelindung utama yang memungkinkan 'gunting' beroperasi dalam 'lipatan' tanpa terdeteksi.
Dampak dari ‘menggunting dalam lipatan’ jauh lebih parah daripada kerugian material atau kegagalan proyek sesaat. Konsekuensi paling merusak adalah erosi kepercayaan, baik pada tingkat individu maupun institusional.
Bagi korban, pengkhianatan dari orang terdekat menyebabkan trauma ganda. Pertama, trauma kerugian itu sendiri (finansial, jabatan, hubungan). Kedua, trauma kognitif yang timbul dari fakta bahwa realitas mereka selama ini adalah palsu. Proses ini disebut sebagai disonansi kognitif yang parah.
Korban harus merekonsiliasi fakta bahwa orang yang mereka cintai atau percayai, yang mungkin telah berbagi makanan, rahasia, dan impian, secara aktif merencanakan kehancuran mereka. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang dalam membentuk hubungan baru, paranoid, dan krisis identitas profesional maupun personal. Korban seringkali menyalahkan diri sendiri karena "terlalu bodoh" atau "terlalu percaya," yang merupakan efek samping yang diinginkan oleh pelaku.
Ketika pengkhianatan tersembunyi terungkap dalam sebuah organisasi, dampaknya menyebar seperti racun. Ini menghancurkan fondasi kepercayaan di antara anggota tim.
Setelah insiden terjadi, setiap interaksi dipertanyakan. Anggota tim mulai mencurigai motif rekan mereka, komunikasi menjadi kaku dan formal, dan inovasi terhambat karena orang takut berbagi ide sensitif. Budaya organisasi beralih dari kolaborasi menjadi pengawasan internal yang paranoid. Biaya yang timbul dari hilangnya efisiensi, peningkatan prosedur birokrasi (untuk mencegah pengkhianatan), dan rendahnya moral karyawan seringkali melebihi kerugian langsung yang disebabkan oleh tindakan si pelaku itu sendiri.
Sebuah tim yang telah mengalami 'guntingan' di lipatannya akan memerlukan waktu yang sangat lama untuk memperbaiki kain kepercayaannya. Proses pemulihan ini harus melibatkan transparansi radikal dan pembangunan kembali struktur nilai yang tidak lagi memungkinkan ruang bagi ambiguitas moral.
Meskipun pengkhianatan ‘menggunting dalam lipatan’ dirancang agar sulit dideteksi, ada mekanisme proaktif yang dapat diterapkan, baik secara personal maupun organisasi, untuk meminimalkan risiko dan mempercepat deteksi.
Di lingkungan kerja, mengurangi 'lipatan' tempat rahasia dapat bersembunyi adalah kunci. Transparansi radikal tidak berarti setiap orang mengetahui segalanya, melainkan bahwa proses pengambilan keputusan, matriks tanggung jawab, dan data kinerja harus mudah diaudit dan diverifikasi oleh pihak independen.
Jika setiap keputusan memiliki jejak digital yang jelas dan memerlukan otorisasi berlapis dari berbagai fungsi yang berbeda, maka upaya untuk memanipulasi informasi atau mengalihkan sumber daya secara diam-diam akan menjadi jauh lebih sulit. Ini menukik balik ke akar idiom: jika kainnya dibentangkan dan tidak ada lipatan, tidak ada tempat untuk menggunting secara rahasia.
Pelaku, seberapa pun pandainya mereka, sering kali menunjukkan ketidaksesuaian kecil antara apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan (inkonsistensi verbal vs. non-verbal).
Pada tingkat personal, perhatikan 'red flags' yang sering diabaikan: janji yang terlalu berlebihan, kebutuhan konstan untuk memuji diri sendiri (terutama setelah kegagalan tim), atau keengganan yang tidak wajar untuk berbagi data mentah, bersikeras hanya menyajikan versi yang sudah ‘bersih’ atau disimpulkan. Perubahan mendadak dalam gaya hidup, pengeluaran yang tidak sesuai dengan pendapatan, atau lonjakan ambisi yang tiba-tiba juga patut dicermati.
Di tingkat organisasi, mekanisme deteksi harus berfokus pada audit perilaku: Apakah seorang karyawan tertentu selalu menjadi penengah dalam konflik yang melibatkan orang yang sama? Apakah mereka secara konsisten mengisolasi informasi dan memonopoli komunikasi dengan pihak luar? Pola seperti ini menunjukkan upaya untuk mengendalikan arus informasi, prasyarat utama untuk ‘menggunting dalam lipatan’.
Ketergantungan pada satu individu untuk peran yang sangat penting (single point of failure) menciptakan lipatan terbesar. Rotasi berkala karyawan di posisi-posisi kunci, terutama di bidang keuangan, logistik, dan pengembangan rahasia, adalah mekanisme pertahanan penting.
Audit harus dilakukan oleh pihak ketiga yang benar-benar independen dan tidak memiliki hubungan emosional atau historis dengan subjek yang diaudit. Tujuan audit bukan hanya menemukan kesalahan finansial, tetapi juga mengevaluasi risiko proses dan memeriksa jalur pengambilan keputusan yang tidak wajar. Audit independen bertindak sebagai cermin eksternal yang memaksa organisasi untuk melihat ke dalam lipatan tersembunyinya sendiri.
Memahami “menggunting dalam lipatan” secara komprehensif juga menuntut eksplorasi motif yang lebih kompleks daripada sekadar keserakahan murni. Kadang-kadang, motifnya adalah balas dendam yang dingin dan terencana, berakar dari pengalaman masa lalu yang menciptakan dendam mendalam, yang kemudian dieksekusi dengan kesabaran luar biasa.
Bagi beberapa pelaku, tindakan destruktif ini adalah cara untuk mengkompensasi rasa inferioritas yang mendalam. Dengan menghancurkan orang yang lebih sukses, lebih dicintai, atau lebih berkuasa, mereka secara psikologis merasa mengangkat status mereka sendiri. Mereka tidak hanya menginginkan kesuksesan target; mereka menginginkan kehancurannya sebagai validasi bahwa mereka setidaknya setara atau lebih unggul dalam permainan manipulasi.
Jenis pengkhianatan ini seringkali lebih sulit dideteksi karena pemicunya bersifat pribadi dan tidak rasional dalam kerangka bisnis. Ia membutuhkan analisis menyeluruh terhadap riwayat hubungan, gesekan kekuasaan masa lalu, dan dinamika psikologis internal dalam tim atau keluarga.
Pelaku yang paling mahir tidak hanya merusak target utama, tetapi juga menanam benih ketidakpercayaan di sekitar target. Mereka dapat melakukan ‘guntingan’ kecil yang tidak fatal, hanya untuk menciptakan keretakan kecil dalam hubungan target dengan orang lain. Ini sering disebut sebagai strategi ‘seribu potongan kertas’.
Setiap potongan kecil—seperti menyampaikan kabar burung yang ambigu, menafsirkan kata-kata target secara negatif, atau menunjukkan keprihatinan palsu tentang kompetensi target kepada pihak ketiga—tidak cukup untuk menjadi dasar tuduhan pengkhianatan. Namun, secara kolektif, potongan-potongan ini melemahkan citra target. Ketika tiba saatnya bagi pelaku untuk melancarkan serangan besar, tidak ada seorang pun yang memiliki cukup kepercayaan pada korban untuk membelanya.
Di era digital, lipatan pengkhianatan telah meluas ke ranah siber. Pelaku internal dapat menggunakan akses mereka ke sistem IT untuk mengubah data secara halus, menghapus jejak komunikasi yang memberatkan, atau menyamar sebagai pengguna lain (impersonasi digital) untuk memposting atau mengirim email yang merusak reputasi.
Aksi ini sering kali tidak meninggalkan jejak yang jelas karena mereka menggunakan kredensial yang sah. ‘Menggunting dalam lipatan’ di ruang siber berarti memanipulasi log sistem, menyembunyikan file di folder yang tidak diawasi, atau memprogram ‘bom waktu’ digital yang baru akan aktif beberapa bulan setelah pelaku telah meninggalkan organisasi, memastikan bahwa kecurigaan tidak pernah jatuh pada mereka.
Idiom “menggunting dalam lipatan” tetap relevan karena ia menangkap esensi kelemahan paling fundamental dalam interaksi manusia: ketergantungan kita pada kepercayaan. Selama manusia membentuk hubungan, baik personal, profesional, maupun politik, akan selalu ada risiko bahwa seseorang di lingkaran terdalam akan memanfaatkan kerentanan yang telah diberikan kepadanya.
Pengkhianatan yang tersembunyi ini mengajarkan kita pelajaran yang pahit tentang pentingnya kewaspadaan yang berhati-hati. Kewaspadaan ini bukanlah paranoia, melainkan kehati-hatian strategis yang menuntut agar kita tidak hanya fokus pada ancaman eksternal (serangan pesaing atau musuh yang jelas), tetapi juga pada integritas struktur internal (kualitas kepemimpinan, proses transparansi, dan kesehatan psikologis tim).
Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, lipatan untuk menyembunyikan tindakan destruktif semakin banyak. Oleh karena itu, kemampuan untuk membedakan antara loyalitas sejati dan kepura-puraan, antara kejujuran dan manipulasi yang terampil, adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial. Hanya dengan secara proaktif membongkar lipatan-lipatan ini dan menuntut transparansi etika, kita dapat melindungi integritas diri dan institusi dari gunting yang tersembunyi dan merusak.
Kerusakan yang disebabkan oleh ‘menggunting dalam lipatan’ adalah pengingat bahwa musuh yang paling berbahaya sering kali mengenakan seragam teman, rekan kerja, atau bahkan orang yang kita cintai, menunggu saat yang tepat untuk membuat pemotongan yang tidak terlihat dan mematikan.