Simbol pengabdian dan kewaspadaan seorang gembala.
Menggembala, atau praktik memelihara dan memindahkan ternak seperti domba, kambing, atau sapi di padang rumput, adalah salah satu pondasi peradaban manusia yang paling kuno. Jauh sebelum revolusi pertanian menetapkan pemukiman permanen, aktivitas menggembala telah membentuk struktur sosial, ekonomi, dan bahkan filosofi kehidupan banyak budaya di seluruh dunia. Praktik ini bukan sekadar rutinitas mencari pakan; ia adalah sebuah seni manajemen ekosistem, keterampilan navigasi, dan sebuah disiplin ilmu yang menuntut kesabaran, observasi tajam, dan pemahaman mendalam tentang siklus alam.
Aktivitas menggembala adalah jembatan antara manusia dan lingkungan liar. Penggembala hidup di garis batas peradaban, mengandalkan naluri, pengetahuan warisan, dan koneksi spiritual dengan tanah yang mereka lalui. Dalam narasi sejarah, penggembala sering kali digambarkan sebagai figur arketipal: dari pahlawan Alkitab hingga ksatria nomaden di padang stepa Asia Tengah. Eksplorasi mendalam terhadap praktik menggembala mengungkap lebih dari sekadar sejarah peternakan; ia menunjukkan bagaimana manusia belajar hidup harmonis dan berkelanjutan dengan sumber daya alam yang terbatas.
Asal mula menggembala (pastoralisme) dapat ditelusuri kembali ke masa Neolitik, sekitar 10.000 hingga 8.000 tahun yang lalu, ketika manusia mulai mendomestikasi hewan. Domestikasi ini adalah respons terhadap kebutuhan akan sumber protein yang stabil, berbeda dengan perburuan yang tidak menentu. Kambing dan domba adalah yang pertama didomestikasi di wilayah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent), dan ini menandai pergeseran besar dalam cara hidup manusia.
Terdapat dua model utama dalam praktik menggembala yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan iklim. Model ini sangat menentukan kepadatan populasi, pola migrasi, dan bahkan sistem politik komunitas tersebut:
Perbedaan mendasar ini mencerminkan strategi adaptasi terhadap lingkungan yang keras. Penggembala nomaden harus memiliki pengetahuan meteorologi dan geografi yang luar biasa untuk menjamin kelangsungan hidup kawanannya, sebab kesalahan kecil dalam navigasi atau waktu migrasi bisa berakibat fatal bagi seluruh ternak.
Ironisnya, meskipun sering dipandang sebagai gaya hidup primitif, penggembalaan memiliki peran krusial dalam pertukaran budaya dan penyebaran inovasi. Kelompok-kelompok penggembala adalah penghubung utama antara peradaban menetap di Timur dan Barat. Mereka membawa teknologi, bahasa, dan genetika melintasi benua. Penemuan roda, domestikasi kuda, dan pengembangan sistem tulisan awal sering kali terkait erat dengan interaksi antara penggembala nomaden dan masyarakat pertanian.
"Penggembala adalah penjaga memori ekologis; mereka tahu ritme tanah yang tidak dipahami oleh para petani atau penduduk kota. Pengetahuan mereka adalah peta hidup tentang cara bertahan dalam ketidakpastian."
Menggembala bukanlah pekerjaan pasif; ia membutuhkan serangkaian keterampilan teknis dan manajerial yang rumit. Inti dari semua teknik ini adalah prinsip manajemen rotasi dan konservasi padang rumput.
Seorang gembala harus menjadi ahli botani amatir. Mereka harus mampu mengidentifikasi jenis rumput yang paling bergizi (palatabilitas), mengetahui kapan rumput tersebut berada pada puncak nutrisinya, dan memprediksi bagaimana pola hujan akan memengaruhi regenerasi pakan.
Penggembalaan modern menekankan pada rotasi terencana (rotational grazing) untuk mencegah penggembalaan berlebihan (overgrazing). Rotasi yang efektif melibatkan pembagian padang rumput menjadi beberapa petak dan memindahkan ternak sebelum rumput di petak pertama terlalu pendek. Ini memberikan waktu istirahat (rest period) yang cukup bagi rumput untuk tumbuh kembali, memastikan biomassa yang sehat dan mencegah erosi tanah.
Akses ke air adalah faktor pembatas utama dalam menggembala. Gembala harus memahami lokasi mata air tersembunyi, pola pengisian ulang sungai musiman, dan teknik konservasi air, terutama di lingkungan semi-kering. Pemilihan jalur migrasi seringkali didiktekan oleh jarak aman antara sumber air yang terjamin.
Anjing adalah mitra kerja tak ternilai harganya bagi seorang gembala. Terdapat dua kategori utama anjing gembala, masing-masing dengan peran yang berbeda:
Selain anjing, tongkat gembala bukan hanya alat berjalan. Bentuknya yang melengkung (crook) digunakan untuk menangkap atau mengarahkan ternak yang tersesat tanpa menyakiti mereka, sementara ujungnya yang lurus digunakan sebagai ekstensi tangan untuk menguji stabilitas tanah atau menghitung kawanan.
Diskusi modern tentang menggembala seringkali berkutat pada isu lingkungan. Apakah penggembalaan merusak atau menyelamatkan ekosistem? Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana praktik tersebut dijalankan.
Harmoni antara ternak dan lanskap alam.
Dalam sistem penggembalaan yang benar, ternak adalah mitra ekologis. Mereka membantu kesehatan tanah melalui beberapa cara:
Namun, jika penggembalaan tidak diatur, terutama di lahan yang sensitif, hasilnya bisa menjadi degradasi parah, penggurunan (desertifikasi), dan hilangnya lapisan tanah atas akibat erosi angin dan air.
Sektor ternak sering dikritik karena kontribusi emisi metana. Namun, model penggembalaan terkelola (holistic planned grazing) menawarkan solusi regeneratif. Dengan memastikan rumput memiliki waktu istirahat yang cukup, padang rumput yang sehat mampu menyerap dan menyimpan sejumlah besar karbon dari atmosfer (carbon sequestration) melalui sistem akar yang dalam. Dengan kata lain, penggembalaan yang dilakukan secara bijak dapat mengubah padang rumput dari sumber emisi menjadi penyimpan karbon vital.
Kajian mendalam menunjukkan bahwa komunitas penggembala tradisional seringkali beroperasi pada model yang sangat rendah emisi dan memaksimalkan output protein dengan input energi yang minimal, jauh lebih efisien dibandingkan peternakan pabrik modern yang bergantung pada pakan impor dan infrastruktur intensif.
Kehidupan seorang gembala tidak pernah mudah. Mereka menghadapi tantangan fisik, ekonomi, dan politik yang terus berkembang, mengancam kelangsungan praktik kuno ini.
Predator adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi. Serigala, puma, dan beruang dapat melumpuhkan kawanan besar dalam semalam. Strategi pengelolaan predator telah bergeser dari pemusnahan total ke metode mitigasi non-letal, seperti penggunaan anjing LGD yang efektif, pagar listrik, dan pengawasan manusia yang konstan.
Selain predator, penyakit ternak seperti antraks, penyakit mulut dan kuku (PMK), atau penyakit parasit dapat menyebar dengan cepat dalam kawanan yang padat. Gembala harus menjadi ahli diagnosa dini dan karantina darurat, seringkali tanpa akses ke dokter hewan profesional.
Seiring pertumbuhan populasi global, penggembala nomaden semakin sering berhadapan dengan konflik lahan. Ekspansi pertanian, pembangunan infrastruktur, dan penetapan taman nasional membatasi jalur migrasi tradisional (transhumance routes). Hilangnya jalur ini memaksa ternak untuk tetap berada di area yang sama lebih lama, yang pada gilirannya menyebabkan penggembalaan berlebihan dan degradasi lingkungan yang serius.
Regulasi pemerintah yang tidak sensitif terhadap kebutuhan pastoralis, seperti larangan pergerakan lintas batas atau pajak penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, menambah tekanan ekonomi. Hal ini sering memaksa penggembala untuk meninggalkan cara hidup mereka dan pindah ke kota, mengakibatkan hilangnya pengetahuan ekologis yang unik.
Perubahan iklim telah memperburuk ketidakpastian dalam penggembalaan. Kekeringan yang lebih panjang dan intens, serta banjir yang tiba-tiba, menghancurkan padang rumput musiman. Gembala yang biasanya dapat mengandalkan hujan di bulan tertentu kini menghadapi kegagalan total. Fenomena ini tidak hanya mengancam ternak tetapi juga memicu konflik antarkomunitas karena persaingan memperebutkan sumber daya air dan pakan yang semakin langka.
Dalam hampir setiap tradisi spiritual dan filosofis, figur penggembala memegang tempat yang tinggi. Metafora penggembala melampaui pekerjaan fisik; ia mewakili esensi kepemimpinan, kepedulian, dan pengorbanan.
Kepemimpinan seorang gembala adalah model kepemimpinan pelayan. Gembala tidak berjalan di depan kawanan untuk memaksa; ia berjalan di antara atau di belakang kawanan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dan untuk mengarahkan secara subtil. Ini memerlukan atribut utama:
Dalam konteks agama, seperti dalam tradisi Abrahamik, Tuhan sering digambarkan sebagai Gembala, dan manusia sebagai kawanan yang dipimpin dan dilindungi. Hal ini menyoroti peran penggembala sebagai penjaga moral dan fisik.
Hidup menggembala menuntut integrasi total dengan lingkungan. Seorang penggembala harus mampu membaca tanda-tanda alam yang tidak terlihat oleh mata awam: arah angin, perubahan bau tanah, perilaku burung, atau pola pergerakan serangga. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dan merupakan bentuk kecerdasan ekologis lokal (Traditional Ecological Knowledge - TEK).
Keterhubungan ini menumbuhkan rasa hormat mendalam terhadap siklus kehidupan dan kematian. Gembala memahami bahwa mereka adalah bagian dari rantai makanan, bukan penguasanya. Mereka merayakan kelahiran dan berduka atas kehilangan, mengakui bahwa keberlangsungan hidup mereka terikat pada kesehatan ekosistem secara keseluruhan.
Di banyak negara maju, praktik menggembala telah mengalami transformasi drastis, bergeser dari gaya hidup nomaden menjadi bagian dari rantai pasok daging dan serat global yang terindustrialisasi. Transformasi ini membawa baik peluang maupun risiko.
Teknologi telah mulai diintegrasikan ke dalam manajemen penggembalaan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi tenaga kerja yang berat:
Meskipun teknologi ini menawarkan solusi, ia juga menimbulkan pertanyaan etika tentang penggantian peran manusia dan anjing gembala, serta risiko hilangnya koneksi intim dengan alam yang menjadi ciri khas penggembalaan tradisional.
Munculnya kesadaran konsumen akan dampak lingkungan dari makanan telah menempatkan praktik menggembala tradisional—terutama yang dilakukan secara regeneratif—sebagai solusi pangan premium. Daging, wol, dan produk susu dari ternak yang digembalakan secara etis dan ekologis memiliki nilai jual yang lebih tinggi, menarik generasi muda untuk kembali ke praktik ini.
Gerakan ini berfokus pada: memperbaiki tanah yang rusak, meningkatkan keanekaragaman hayati padang rumput, dan membangun ketahanan sistem pangan lokal. Penggembalaan regeneratif bukan hanya tentang memelihara ternak, tetapi tentang memperbaiki planet satu petak rumput pada satu waktu.
Untuk memahami kompleksitas menggembala, perlu dilihat contoh adaptasi budaya di berbagai lingkungan ekstrem.
Maasai di Kenya dan Tanzania adalah penggembala murni yang hidupnya berpusat pada sapi, yang merupakan sumber status sosial, pangan, dan spiritual. Mereka mempraktikkan mobilitas tinggi untuk menghindari penggembalaan berlebihan. Sapi Maasai beradaptasi dengan baik terhadap penyakit lokal dan kekeringan. Namun, tekanan dari pembangunan real estat dan konservasi satwa liar yang membatasi akses ke padang rumput tradisional telah menjadi tantangan eksistensial bagi budaya mereka.
Di Dataran Tinggi Tibet yang ekstrem, penggembalaan yak (sejenis sapi berbulu tebal) adalah satu-satunya cara hidup yang berkelanjutan. Yak menyediakan susu, daging, wol, dan bahan bakar (kotoran kering). Gembala Tibet mempraktikkan transhumance vertikal, memindahkan ternak ke padang rumput yang sangat tinggi selama musim panas dan turun ke lembah yang lebih terlindungi saat musim dingin. Sistem ini telah menjaga kesehatan padang rumput alpine selama ribuan tahun, meskipun kini terancam oleh kebijakan pemukiman kembali (sedentarization) oleh pemerintah.
Di Indonesia, menggembala seringkali terintegrasi dengan sistem pertanian padi. Sapi Bali, kerbau, atau kambing biasanya digembalakan di lahan sawah pasca panen untuk memakan sisa jerami sambil membuahi tanah. Di beberapa wilayah, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan sabana yang luas, praktik penggembalaan sapi dan kuda lebih mendekati model pastoralis murni, menuntut pemindahan ternak antar pulau atau antar padang rumput yang jaraknya jauh, menghadapi iklim yang sangat kering.
Peran lokal penggembala sering kali juga melibatkan fungsi sosial, seperti penyedia tenaga kerja untuk membajak sawah (kerbau) atau sebagai tabungan hidup bagi keluarga yang dijual saat ada kebutuhan mendesak (pesta adat, pernikahan, atau pendidikan anak).
Masa depan ketahanan pangan global mungkin tidak terletak pada teknologi baru, melainkan pada pemulihan dan penghormatan terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh para penggembala tradisional.
Ternak yang digembalakan secara tradisional, seperti sapi lokal atau domba ekor gemuk, seringkali memiliki ketahanan genetik yang jauh lebih baik terhadap penyakit lokal, parasit, dan iklim ekstrem dibandingkan ras impor yang dikembangkan untuk produksi massal. Praktik menggembala memastikan variasi genetik ini tetap hidup di alam liar, bukan hanya dalam bank gen beku.
Gembala adalah konservator ternak yang aktif. Mereka memilih dan membiakkan hewan yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan yang keras, bukan hanya yang paling cepat tumbuh. Proses seleksi alam dan buatan ini menciptakan stok ternak yang 'tangguh' dan esensial untuk beradaptasi dengan perubahan iklim di masa depan.
Penting untuk diakui bahwa praktik menggembala memiliki nilai yang melampaui harga pasar daging atau susu. Nilai-nilai ini meliputi:
Mempertahankan gaya hidup penggembala adalah investasi dalam modal sosial dan ekologis, bukan sekadar subsidi untuk sektor pertanian.
Penggembalaan yang berkelanjutan menghormati siklus air dan tanah.
Menggembala adalah pelajaran abadi tentang kesederhanaan dan ketergantungan. Ia memaksa manusia untuk menerima batasan alam dan bekerja dalam kerangka ekologis yang ditentukan oleh musim, air, dan tanah. Di dunia yang semakin cepat dan terisolasi, nilai-nilai yang ditawarkan oleh penggembalaan—perhatian, ketekunan, dan hubungan tak terpisahkan dengan lingkungan—menjadi semakin relevan.
Untuk memastikan kelangsungan praktik ini, diperlukan pengakuan global terhadap kontribusi penggembalaan tradisional terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan. Dukungan harus diarahkan pada perlindungan jalur transhumance, integrasi pengetahuan penggembala dalam kebijakan lingkungan, dan pengembangan pasar yang menghargai produk yang dihasilkan secara regeneratif.
Gembala, dengan tongkatnya dan kawanan ternaknya, tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk bertahan hidup, bukan dengan menaklukkan, tetapi dengan melayani dan menjaga ekosistem yang mendukung kehidupan.
Keberhasilan menggembala sangat bergantung pada pemahaman fisiologi spesifik ternak yang digembalakan. Hewan-hewan pastoralis, seperti domba dan kambing, adalah ruminansia. Kemampuan unik mereka untuk mengonsumsi selulosa (yang tidak dapat dicerna oleh manusia) dan mengubahnya menjadi protein adalah inti dari sistem pangan pastoral.
Sistem pencernaan ruminansia, dengan empat perut (terutama rumen), memungkinkan mereka untuk mendegradasi bahan tanaman yang keras dan berserat. Mikroorganisme dalam rumen melakukan fermentasi, menghasilkan asam lemak volatil (VFA) yang kemudian diserap sebagai sumber energi utama hewan. Proses ini memungkinkan penggembala memanfaatkan lahan marginal—area yang terlalu kering, berbatu, atau curam untuk pertanian menetap—yang merupakan kontribusi ekologis yang signifikan.
Kambing, misalnya, dikenal karena kemampuan mereka memakan semak belukar dan daun yang ditolak oleh domba atau sapi. Peran mereka dalam pengendalian vegetasi di daerah kering sangat penting. Domba, di sisi lain, sangat efisien dalam merumput di padang rumput pendek. Manajemen ternak yang bijaksana seringkali melibatkan kawanan campuran (mixed grazing) untuk memanfaatkan seluruh spektrum vegetasi di suatu area, memaksimalkan efisiensi pakan dan mencegah satu jenis rumput punah.
Gembala harus mahir dalam manajemen stres ternak. Pergerakan yang berlebihan atau manajemen air yang buruk dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan yang cepat. Di iklim panas, gembala harus memastikan kawanan bergerak selama jam-jam dingin (dini hari atau senja) dan beristirahat di tempat teduh selama puncak panas. Pengamatan terhadap perilaku ternak—apakah mereka megap-megap, mencari air berlebihan, atau menunjukkan apatis—adalah indikator kesehatan yang harus segera direspons.
Di daerah dingin, penggembala harus memastikan ternak memiliki lapisan lemak yang cukup sebelum musim dingin tiba dan dapat menemukan tempat berlindung dari angin dan salju yang ekstrem. Pengetahuan tentang penempatan penampungan alami, seperti sisi gunung yang terlindungi atau hutan pinus, adalah keterampilan hidup yang esensial.
Meskipun menggembala tampak sebagai kegiatan yang terisolasi dari pasar global, ia sangat dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi, subsidi pertanian, dan fluktuasi harga komoditas global.
Penggembala tradisional sering kali kesulitan bersaing dengan harga rendah yang ditawarkan oleh peternakan pabrik yang disubsidi. Model peternakan pabrik bergantung pada skala besar, pakan biji-bijian yang murah (seringkali kedelai atau jagung yang disubsidi), dan minimnya biaya pergerakan. Hasilnya, produk pastoralis (yang memerlukan biaya tenaga kerja dan mobilitas tinggi) seringkali dianggap mahal atau tidak efisien oleh pasar umum.
Ketidakmampuan bersaing ini mendorong banyak keluarga gembala untuk menjual tanah mereka atau menghentikan praktik nomaden, mempercepat urbanisasi dan krisis sosial di komunitas pastoral. Solusinya terletak pada diferensiasi pasar, di mana konsumen bersedia membayar lebih untuk produk yang memberikan manfaat lingkungan dan etika yang jelas (dikenal sebagai produk *value-added*).
Bahkan penggembala nomaden yang bergantung sepenuhnya pada rumput liar pun kini terpengaruh oleh pasar global. Harga bahan bakar untuk transportasi (jika mereka menggunakan kendaraan pendukung), harga obat-obatan hewan impor, dan fluktuasi harga wol atau kulit di pasar internasional secara langsung memengaruhi profitabilitas mereka. Peningkatan biaya hidup dan kebutuhan untuk mengirim anak ke sekolah juga mendorong para gembala untuk mencari pendapatan tunai yang lebih tinggi, seringkali melalui peningkatan jumlah ternak, yang berisiko menyebabkan penggembalaan berlebihan.
Komunitas penggembala memiliki struktur sosial dan politik yang unik, dibentuk oleh mobilitas dan kebutuhan akan kerja sama timbal balik.
Di banyak budaya pastoral, lahan penggembalaan tidak dimiliki secara individu, melainkan dikelola secara komunal. Keputusan tentang kapan dan di mana bergerak dibuat melalui konsensus oleh dewan tetua atau pemimpin gembala (*patrol leader*). Sistem kepemilikan komunal ini adalah mekanisme vital untuk memastikan keberlanjutan. Tidak ada individu yang dapat merusak seluruh area dengan penggembalaan berlebihan, karena kelangsungan hidup semua orang bergantung pada kesehatan padang rumput secara keseluruhan.
Koperasi penggembala modern berupaya mereplikasi struktur komunal ini dalam konteks pasar. Mereka memungkinkan gembala kecil untuk menyatukan sumber daya untuk pembelian pakan, pemasaran produk, dan negosiasi harga yang lebih baik.
Pembagian kerja dalam komunitas pastoral sangat terdefinisi. Pria muda sering bertanggung jawab atas perjalanan jarak jauh (migrasi) dan perlindungan terhadap predator. Wanita bertanggung jawab atas pemrosesan hasil ternak (pembuatan keju, mentega, atau tenun wol), pengawasan ternak kecil (kambing dan domba dekat kamp), dan pendidikan anak-anak.
Anak-anak mulai belajar keterampilan menggembala sejak usia dini, seringkali bertanggung jawab atas kawanan kecil di usia enam atau tujuh tahun. Proses magang yang intensif ini memastikan transfer pengetahuan ekologis yang kompleks dan merupakan kunci keberlanjutan budaya pastoral.
Berbeda dengan sistem peternakan intensif, penggembalaan tradisional, secara inheren, memberikan standar kesejahteraan hewan yang tinggi. Ternak hidup di lingkungan alami, memiliki kebebasan bergerak (freedom to roam), dan diberi makan sesuai dengan diet alami mereka (rumput).
Gerakan konstan yang diperlukan dalam penggembalaan (transhumance) menjaga kesehatan fisik ternak. Mereka cenderung memiliki masalah kaki yang lebih sedikit dan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat karena paparan yang lebih luas terhadap lingkungan. Interaksi sosial dalam kawanan besar (berbeda dengan isolasi di kandang intensif) juga meningkatkan kesehatan mental mereka.
Namun, aspek kesejahteraan yang paling penting adalah peran gembala sebagai pengasuh individu. Meskipun mengelola ratusan ekor, gembala yang mahir dapat mengenali setiap individu ternak, memahami riwayat kesehatan dan perilakunya, dan memberikan perawatan yang ditargetkan.
Dalam komunitas pastoral, pemanenan hasil ternak (baik untuk daging, susu, atau wol) sering kali dilakukan dengan etika yang mendalam. Hewan tidak dipandang hanya sebagai komoditas; mereka adalah anggota keluarga dan penyedia kehidupan. Pemanenan harus dilakukan dengan cara yang menghormati pengorbanan hewan tersebut. Misalnya, di banyak budaya, hewan hanya disembelih untuk acara-acara penting atau hanya setelah mencapai usia produktif maksimum, berbeda dengan praktik pasar yang berfokus pada kecepatan pertumbuhan.
Untuk mengamankan tempat penggembalaan di abad ke-21, fokus harus beralih dari sekadar bertahan hidup menjadi regenerasi lahan dan masyarakat. Penggembalaan regeneratif menempatkan kesehatan tanah di atas produksi maksimal.
Langkah kunci adalah mengembangkan metrik yang dapat mengukur dampak positif penggembalaan, bukan hanya outputnya. Metrik ini meliputi: peningkatan kandungan karbon organik tanah, peningkatan infiltrasi air, dan peningkatan keanekaragaman spesies tanaman di padang rumput.
Sistem ini memerlukan kerja sama erat antara gembala, ilmuwan tanah, dan pemerintah. Sertifikasi dan label produk yang jelas diperlukan untuk memberikan insentif finansial kepada para gembala yang mengelola lahan mereka demi kesehatan ekosistem jangka panjang.
Krisis utama yang dihadapi oleh komunitas pastoral di banyak tempat adalah kurangnya regenerasi. Anak-anak muda enggan mengambil alih pekerjaan yang berat dan berisiko rendah keuntungan ini. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan baru sangat penting. Pelatihan harus menggabungkan TEK (pengetahuan tradisional) dengan ilmu ekologi modern, manajemen bisnis, dan teknologi GPS.
Menciptakan narasi baru yang menghargai gembala sebagai manajer ekosistem penting, bukan hanya pekerja kasar, dapat menarik kembali talenta muda dan memastikan kelangsungan pengetahuan unik ini. Menggembala adalah profesi masa depan yang secara langsung mengatasi dua tantangan global terbesar: krisis iklim dan ketahanan pangan.
Menggembala, dalam segala kerumitan dan keindahannya, adalah pengingat bahwa hubungan manusia dengan sumber daya alam adalah hubungan yang harus dipelihara dengan hormat, kesabaran, dan perhatian yang tak pernah padam.