Istilah "menggarong" memiliki resonansi yang kuat dalam bahasa Indonesia, jauh melampaui makna sederhana pencurian atau perampokan biasa. Ia merujuk pada tindakan penguasaan atau perampasan harta benda dalam skala masif, seringkali disertai dengan kekerasan struktural, penipuan sistemik, atau penyalahgunaan kekuasaan yang terlembaga. Menggarong bukan sekadar kejahatan individu; ia adalah fenomena sosial-politik yang mencerminkan kerapuhan tata kelola dan moralitas publik. Ketika kejahatan dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjaga, dan melibatkan kerugian yang ditanggung oleh seluruh rakyat, maka istilah yang paling tepat untuk mendeskripsikannya adalah menggarong.
Secara etimologi, "garong" sering dihubungkan dengan perampok besar, penyamun, atau bandit yang beroperasi dalam kelompok dan melakukan aksinya secara terorganisasi. Dalam konteks modern, makna ini telah berevolusi dari perampokan fisik di jalanan atau desa menjadi "perampokan" kekayaan negara melalui mekanisme hukum, kebijakan, atau transaksi bisnis yang dicurangi. Konotasi historisnya memberikan bobot moral yang berat: tindakan menggarong adalah tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan ancaman langsung terhadap tatanan sosial yang adil.
Perbedaan fundamental antara mencuri biasa dengan menggarong terletak pada skala, subjek korban, dan metode eksekusi. Pencurian skala kecil merugikan individu; menggarong skala besar merugikan kolektivitas. Pelaku menggarong sering kali mengenakan jubah legitimasi, menggunakan pena, dokumen legal, dan keputusan politik sebagai senjata, alih-alih senjata tajam. Inilah yang membuat praktik ini jauh lebih berbahaya dan sulit diberantas, karena ia bersembunyi di balik legalitas formal.
Praktik menggarong masa kini hadir dalam berbagai bentuk, namun semuanya bermuara pada pengalihan aset publik atau sumber daya kolektif ke tangan segelintir elite. Spektrum ini meliputi:
Setiap manifestasi ini menunjukkan bahwa menggarong adalah kejahatan yang terstruktur, yang membutuhkan kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Ia membutuhkan arsitek, pelaksana, penjaga, dan pencuci uang. Struktur ini memastikan bahwa praktik perampasan kekayaan publik dapat berlangsung secara berkelanjutan, terlepas dari pergantian kepemimpinan politik, selama sistem kelembagaan masih rapuh dan mudah dibeli.
Untuk memahami kedalaman dari praktik menggarong, kita harus membedah bagaimana mekanisme kejahatan ini bekerja dalam sistem. Ini bukan lagi sekadar mengambil uang tunai, melainkan memanipulasi seluruh rantai nilai ekonomi dan regulasi untuk menciptakan "celah legal" bagi perampasan. Praktik ini bekerja dalam lingkaran setan yang saling menguatkan, memastikan impunitas bagi para pelakunya.
Jantung dari praktik menggarong skala besar adalah kemampuan untuk memanipulasi aturan main. Pelaku menggarong tidak melanggar hukum; mereka mengubah hukum itu sendiri. Proses ini dikenal sebagai "korupsi legislatif" atau regulatory capture, di mana kepentingan khusus mendikte perumusan undang-undang, peraturan pemerintah, atau kebijakan teknis yang seharusnya netral dan melayani kepentingan publik.
Contoh klasik adalah proses tender proyek infrastruktur. Alih-alih mendapatkan harga terbaik bagi negara, spesifikasi proyek dibuat sedemikian rupa sehingga hanya perusahaan tertentu—yang terafiliasi dengan jaringan penggarong—yang dapat memenuhinya. Atau, dalam sektor sumber daya alam, undang-undang lingkungan dilonggarkan atau ketentuan sanksi dihilangkan, membuka jalan bagi eksploitasi destruktif yang meraup keuntungan jangka pendek bagi korporasi dan elite politik, namun menanggung kerugian ekologis jangka panjang bagi masyarakat.
Proses ini sangat halus: ia melibatkan lobi yang intens, dana kampanye politik yang besar, dan penempatan individu-individu yang loyal di posisi-posisi strategis di badan regulator dan penegak hukum. Dengan mengendalikan regulasi, para penggarong menciptakan lingkungan di mana kegiatan ilegal mereka menjadi tampak legal, atau setidaknya, sangat sulit untuk diperkarakan.
Menggarong mustahil dilakukan oleh satu orang. Ia memerlukan jaringan yang kokoh dan tertutup, yang sering disebut sebagai oligarki atau kleptokrasi. Jaringan ini melibatkan elite politik, pengusaha besar, dan aparatur negara yang bekerja sama untuk membagi hasil penjarahan dan saling melindungi dari tuntutan hukum. Karakteristik utama jaringan ini adalah:
Kekuatan oligarki dalam menggarong terletak pada kemampuannya untuk mengkooptasi institusi. Mereka tidak hanya merampok uang; mereka merampok fungsi dasar negara, mengubah negara dari pelayan publik menjadi instrumen keuntungan pribadi bagi segelintir orang. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan publik yang mendalam, yang pada gilirannya melemahkan legitimasi pemerintah dan demokrasi itu sendiri.
Dampak dari praktik menggarong jauh melampaui sekadar kerugian finansial yang dihitung dalam triliunan rupiah. Dampak terbesarnya adalah erosi kepercayaan, distorsi pasar, dan degradasi moral bangsa yang merusak pondasi pembangunan berkelanjutan.
Menggarong bertindak sebagai pajak tersembunyi yang ditarik secara paksa dari perekonomian. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk layanan publik—seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur—dialihkan ke kantong pribadi. Konsekuensi ekonominya sangat parah:
Mungkin kerugian terbesar dari menggarong adalah kehancuran modal sosial. Kepercayaan adalah perekat masyarakat, dan praktik perampasan kekayaan publik secara terang-terangan menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Ketika rakyat melihat bahwa kejahatan besar tidak dihukum, atau bahkan dilegalkan, moralitas kolektif runtuh.
Fenomena ini menciptakan "sinisme publik", di mana masyarakat mulai menganggap korupsi dan perampasan sebagai hal yang normal atau "biaya berbisnis". Jika elite mencuri triliunan tanpa konsekuensi, mengapa masyarakat kecil harus jujur? Sikap apatis dan sinis ini menjadi hambatan psikologis terbesar dalam upaya reformasi dan penegakan hukum.
Lebih jauh lagi, menggarong merusak meritokrasi. Generasi muda melihat bahwa jalur tercepat menuju kekayaan dan kekuasaan bukan melalui kerja keras dan inovasi, melainkan melalui koneksi dan kolusi. Hal ini mematikan semangat kewirausahaan dan keunggulan kompetitif, karena sistem dipandang sebagai sarang ketidakadilan yang tidak menghargai kemampuan, melainkan kedekatan dengan kekuasaan.
Dalam konteks politik, menggarong adalah bentuk ekstrem dari perampasan kedaulatan rakyat. Pemilu dan proses politik menjadi sekadar alat untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang akan digarong, bukan sarana untuk mewujudkan kebijakan publik yang lebih baik. Dana haram dari praktik menggarong digunakan untuk membiayai kampanye politik, membeli suara, dan memanipulasi media, sehingga siklus korupsi politik terus berputar tanpa henti.
Negara yang terlalu banyak digarong rentan terhadap intervensi asing dan kehilangan kedaulatan ekonominya. Ketika aset strategis dijual murah atau kebijakan ekonomi didikte oleh kepentingan asing yang berkolaborasi dengan elite lokal yang korup, kemampuan negara untuk menentukan nasibnya sendiri terkikis. Praktik menggarong, pada akhirnya, adalah kejahatan terhadap kedaulatan bangsa.
Perlawanan terhadap praktik menggarong membutuhkan strategi yang komprehensif, tidak hanya fokus pada penindakan (represif) tetapi juga pada pencegahan dan perbaikan sistem (preventif). Ini adalah perang yang memerlukan ketahanan institusional, transparansi radikal, dan partisipasi publik yang militan.
Langkah pertama adalah memperkuat institusi yang bertanggung jawab untuk melawan korupsi dan pencucian uang. Institusi anti-korupsi harus memiliki independensi penuh, sumber daya yang memadai, dan kewenangan investigasi yang tidak terbatasi oleh intervensi politik. Beberapa fokus utama meliputi:
Fokus penindakan harus bergeser dari sekadar memenjarakan pelaku (hukuman badan) menuju pemulihan aset (hukuman finansial). Praktik menggarong efektif jika kekayaan hasil rampasan tetap aman. Oleh karena itu, hukum harus memfasilitasi pelacakan aset lintas batas, penyitaan tanpa proses pidana (non-conviction based asset recovery), dan kerja sama internasional yang kuat, terutama dengan yurisdiksi yang sebelumnya dianggap surga pajak. Pemulihan aset adalah cara paling efektif untuk memutus rantai insentif bagi para penggarong.
Unit pengawasan internal di setiap kementerian dan lembaga harus diperkuat dan diisi oleh profesional yang tidak terafiliasi secara politik. Pengawasan keuangan dan audit harus dilakukan secara rutin dan transparan. Penggunaan teknologi, seperti big data analytics, dapat membantu mendeteksi anomali dalam transaksi keuangan publik atau tender proyek yang mencurigakan secara real-time, sebelum dana publik terlanjur digarong.
Kegelapan adalah teman terbaik para penggarong. Oleh karena itu, transparansi harus menjadi norma. Semua data terkait anggaran, tender proyek, perizinan sumber daya alam, dan laporan harta kekayaan pejabat harus dibuka ke publik dalam format yang mudah diakses dan dapat dianalisis (open data format).
Transparansi kepemilikan perusahaan (beneficial ownership transparency) adalah kunci untuk mengungkap jaringan penggarong yang bersembunyi di balik perusahaan cangkang. Setiap kontrak publik, terutama yang melibatkan sumber daya alam atau proyek infrastruktur besar, harus diungkap secara detail, memungkinkan media, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bertindak sebagai auditor eksternal yang tak terbayar.
Seringkali, informasi tentang praktik menggarong datang dari orang dalam (whistleblower). Negara harus memastikan perlindungan hukum dan fisik yang mutlak bagi mereka yang berani mengungkap kebenaran. Tanpa perlindungan ini, budaya bungkam akan terus mendominasi birokrasi, memungkinkan kejahatan tersembunyi berlanjut.
Peran masyarakat sipil dan media independen juga tak tergantikan. Organisasi non-pemerintah yang fokus pada anti-korupsi harus didukung dan diberi ruang untuk melakukan investigasi dan advokasi. Mereka bertindak sebagai "anjing penjaga" (watchdogs) yang memaksa pemerintah untuk bertanggung jawab, bahkan ketika lembaga penegak hukum sedang mengalami tekanan politik.
Mengapa, di tengah kemakmuran dan kesempatan, seseorang memilih untuk merampas kekayaan publik? Jawaban ini terletak pada perpaduan antara kesempatan sistemik dan kelemahan psikologis manusia, terutama yang berkaitan dengan hasrat tak terbatas akan kekuasaan dan kekayaan.
Fenomena menggarong seringkali terkait dengan "Tragedi Kepemilikan Bersama" (Tragedy of the Commons) versi modern. Ketika kekayaan dianggap sebagai milik "negara"—entitas abstrak yang terasa jauh dari individu—rasa tanggung jawab dan kepemilikan kolektif menghilang. Para elite yang berada di posisi pengambil keputusan melihat sumber daya negara sebagai mangsa yang siap dicaplok, karena mereka tidak merasakan dampak langsung kerugian tersebut pada diri mereka sendiri.
Secara psikologis, hasrat untuk menggarong didorong oleh hubris (kesombongan ekstrem) dan rasa impunitas. Kekuasaan yang tidak terkontrol menghasilkan keyakinan bahwa aturan tidak berlaku bagi mereka. Uang yang sangat besar, dikombinasikan dengan kekuasaan politik, menciptakan distorsi realitas di mana kebutuhan pribadi dianggap lebih penting daripada kesejahteraan jutaan orang.
Sosiolog menyoroti bahwa dalam kasus menggarong skala besar, motivasinya bukan lagi kebutuhan, tetapi kompetisi kekuasaan dan status. Kekayaan yang dirampas adalah skor, penanda dominasi dalam jaringan oligarki. Uang tersebut menjadi simbol kemampuan untuk membengkokkan sistem, yang pada gilirannya memperkuat rasa superioritas dan kesombongan mereka.
Lingkungan sosial yang sangat menghargai kekayaan materi dan konsumsi mewah juga berkontribusi pada praktik menggarong. Dalam masyarakat yang mendefinisikan kesuksesan semata-mata berdasarkan akumulasi harta, tekanan untuk menjadi "kaya"—dengan cara apa pun—menjadi sangat kuat. Kebutuhan untuk memamerkan gaya hidup mewah kepada sesama elite mendorong pencarian dana haram yang cepat dan besar.
Budaya ini menciptakan justifikasi internal bagi para penggarong: "Semua orang melakukannya," atau "Ini adalah hak saya setelah bekerja keras mencapai posisi ini." Justifikasi ini membantu mereka mengatasi disonansi kognitif (pertentangan moral) antara tindakan kriminal mereka dan citra diri mereka sebagai warga negara yang terhormat.
Perlawanan terhadap praktik menggarong harus dipandang sebagai upaya pembangunan ketahanan nasional, sama pentingnya dengan pertahanan militer. Jika kekayaan negara terus digarong, maka fondasi ekonomi dan sosial akan runtuh, membuat negara rentan dari dalam.
Solusi jangka panjang terletak pada perubahan budaya dan moral, dimulai dari pendidikan. Nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab publik harus diintegrasikan secara mendalam dalam sistem pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter yang menolak segala bentuk penggarongan, sekecil apa pun.
Pendidikan juga harus mencakup literasi finansial dan literasi politik, sehingga masyarakat mampu mengenali dan membedakan antara kebijakan publik yang pro-rakyat dan kebijakan yang didesain untuk merampas aset negara. Warga negara yang terdidik adalah garis pertahanan pertama melawan manipulasi dan perampasan.
Jika pengadilan dapat dibeli, maka semua upaya pemberantasan menggarong akan sia-sia. Peradilan yang independen, profesional, dan berintegritas adalah benteng terakhir pertahanan negara. Reformasi peradilan harus mencakup peningkatan kesejahteraan hakim dan jaksa, pengawasan ketat terhadap harta kekayaan mereka, dan mekanisme akuntabilitas yang tegas terhadap praktik suap atau intervensi politik.
Hanya dengan pengadilan yang adil, sanksi bagi para penggarong dapat ditegakkan secara proporsional dengan kerugian yang mereka timbulkan, termasuk hukuman yang berat dan pemiskinan total melalui penyitaan aset. Selama para penggarong melihat keadilan sebagai komoditas yang bisa dibeli, mereka tidak akan pernah jera.
Praktik menggarong kini bersifat transnasional. Kekayaan dirampas di satu negara, dicuci di negara lain, dan diinvestasikan di yurisdiksi ketiga. Oleh karena itu, perlawanan juga harus bersifat global. Indonesia harus secara aktif berpartisipasi dalam konvensi internasional (seperti UNCAC - United Nations Convention Against Corruption) dan memperkuat perjanjian ekstradisi serta bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance - MLA) dengan negara-negara tempat aset hasil garongan disembunyikan.
Tekanan internasional, melalui organisasi seperti Financial Action Task Force (FATF) dan dukungan dari lembaga multilateral, dapat memaksa negara-negara surga pajak untuk membuka kerahasiaan finansial mereka, sehingga menyulitkan para penggarong menyembunyikan hasil kejahatan mereka. Memburu aset di luar negeri adalah upaya yang panjang dan mahal, tetapi vital untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi kekayaan hasil rampasan.
Analisis komprehensif ini menegaskan bahwa praktik menggarong bukanlah anomali, melainkan penyakit sistemik yang mengancam kelangsungan hidup bangsa. Ini adalah kejahatan yang berevolusi, mengikuti kemajuan teknologi dan globalisasi, menjadikannya semakin kompleks dan sulit dideteksi. Perampasan kekayaan publik tidak hanya merampok dana hari ini, tetapi merampok masa depan, kesempatan, dan harapan generasi mendatang.
Melawan menggarong memerlukan lebih dari sekadar penindakan hukum; ia menuntut komitmen kolektif untuk membangun good governance yang sejati, di mana etika mendahului kepentingan, dan akuntabilitas adalah prinsip yang tidak dapat ditawar. Keberanian moral dari setiap warga negara untuk menolak, melaporkan, dan melawan praktik perampasan adalah kunci. Kewaspadaan publik yang tinggi, ditambah dengan reformasi kelembagaan yang berkelanjutan dan tanpa kompromi, adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa kekayaan bangsa benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan bukan untuk memperkaya segelintir elite yang rakus.
Perjuangan ini adalah perjuangan abadi untuk integritas dan keadilan sosial. Selama masih ada kekuasaan dan kesempatan, potensi untuk menggarong akan selalu ada. Oleh karena itu, kita harus terus memperbarui pertahanan sistem, memperketat celah hukum, dan menanamkan budaya malu dan takut terhadap tindakan yang merampas hak kolektif. Hanya dengan demikian, kita dapat mengakhiri siklus perampasan ini dan memastikan masa depan yang lebih adil dan makmur bagi semua.
Proses pembongkaran jaringan penggarong memerlukan keberanian luar biasa dari penegak hukum, dan dukungan politik yang konsisten untuk membasmi akar-akar kejahatan ini. Kita berbicara tentang pembersihan menyeluruh yang menyentuh lapisan-lapisan paling atas dari kekuasaan politik dan ekonomi. Seringkali, kekuatan yang mempertahankan praktik menggarong begitu mengakar, sehingga setiap upaya reformasi akan disambut dengan resistensi yang brutal dan terkoordinasi. Ini bukan sekadar pertarungan hukum, melainkan pertarungan politik dan ideologi tentang siapa yang berhak atas kekayaan kolektif. Apakah negara ini milik rakyat, atau milik segelintir elite kleptokratis?
Kesinambungan upaya anti-garong ini juga harus diukur dari kemampuan sistem untuk mencegah reinkarnasi praktik serupa. Ketika satu jaringan berhasil dibongkar, jaringan lain seringkali sudah siap menggantikan tempatnya, menggunakan modus operandi yang lebih canggih dan tertutup. Oleh karena itu, reformasi harus bersifat dinamis dan adaptif, mengikuti perkembangan teknologi dan tren kejahatan global. Misalnya, praktik menggarong kini mulai merambah dunia digital dan kripto, menuntut keahlian investigasi digital yang tinggi dari lembaga penegak hukum. Jika negara tertinggal dalam adopsi teknologi pengawasan dan penindakan, maka celah baru untuk perampasan akan tercipta.
Integritas bukan hanya soal jujur, tetapi soal menolak kesempatan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah, terutama ketika keuntungan tersebut merugikan orang banyak. Pendidikan etika profesional, khususnya bagi mereka yang berada di posisi strategis dalam pengadaan barang dan jasa atau pengelolaan dana publik, harus ditingkatkan secara drastis. Seringkali, praktik menggarong dimulai dari penyimpangan kecil yang dinormalisasi, yang seiring waktu berubah menjadi kejahatan besar yang sistematis. Membangun kultur organisasi yang mengutamakan integritas di atas segalanya adalah investasi jangka panjang yang wajib dilakukan.
Di akhir refleksi ini, penting untuk menegaskan bahwa perampasan kekayaan publik, dengan segala bentuknya yang disebut menggarong, adalah manifestasi terburuk dari kegagalan moral dan kelembagaan. Ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan sejati suatu bangsa tidak hanya diukur dari lepasnya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari kemampuannya untuk melindungi sumber daya dan kekayaannya dari predator internal. Tanggung jawab untuk menjaga negeri ini dari praktik menggarong adalah tanggung jawab bersama, membutuhkan komitmen yang tidak pernah pudar dan kewaspadaan yang abadi.