Ilustrasi Simbolis: Sirih dan Pinang, komponen inti dalam tradisi mengetum.
Praktik mengetum, dalam konteks sejarah dan budaya Nusantara, merujuk pada ritual mengunyah sebungkus campuran yang dikenal sebagai sirih pinang. Ini adalah tradisi kuno yang telah mendarah daging dalam struktur sosial, ritual keagamaan, dan diplomasi di seluruh Asia Tenggara selama ribuan tahun. Kata kerja ‘mengetum’ itu sendiri mencakup seluruh proses meramu, menyajikan, dan mengunyah adonan tersebut, yang secara tradisional terdiri dari daun sirih (Piper betle), irisan buah pinang (Areca catechu), kapur sirih (CaCO3), dan seringkali tambahan gambir atau tembakau. Praktik ini bukan sekadar kebiasaan rekreasional, melainkan penanda status, simbol persahabatan, dan elemen penting dalam upacara adat—dari perkawinan hingga penyambutan tamu terhormat.
Namun, diskursus mengenai mengetum telah mengalami evolusi signifikan di era modern. Dalam beberapa dekade terakhir, terutama di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia dan Malaysia, istilah ‘Ketum’ telah diadopsi secara luas untuk merujuk pada tanaman lain dengan sifat psikoaktif dan stimulan, yaitu Mitragyna speciosa (dikenal sebagai Kratom). Pergeseran makna ini menciptakan kontinum budaya yang menarik, di mana istilah kuno diterapkan pada zat botani modern, meskipun keduanya memiliki fungsi sosial dan farmakologis yang berbeda, namun sama-sama dikonsumsi untuk efek stimulan atau pengobatan.
Artikel yang komprehensif ini bertujuan untuk menggali akar tradisi mengetum sirih pinang—meliputi sejarahnya yang panjang, simbolisme budayanya yang kompleks, dan efek biologis komponennya—sebelum beralih ke pembahasan mendalam tentang ‘Ketum’ modern (Mitragyna speciosa). Melalui eksplorasi ini, kita akan memahami bagaimana praktik konsumsi botani stimulan telah bertahan dan bertransformasi dalam masyarakat Nusantara, sekaligus meninjau tantangan kesehatan dan regulasi yang menyertai kedua praktik tersebut.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa praktik mengetum atau mengunyah sirih pinang telah ada setidaknya selama 4.000 tahun, menjadikannya salah satu tradisi konsumsi stimulan tertua di dunia. Penemuan arkeologis paling awal berasal dari Gua Duyong di Filipina, di mana sisa-sisa pinang yang berkapur (mengindikasikan penggunaan kapur dalam campuran) ditemukan, yang diperkirakan berasal dari 2.500 SM. Di Indonesia sendiri, jejak sejarah ini tersebar luas, tercermin dalam prasasti kuno dan relief candi.
Penyebaran tradisi mengetum terkait erat dengan migrasi masyarakat Austronesia. Dari India hingga Melanesia, kebiasaan ini menjadi perekat sosial yang fundamental. Dalam masyarakat Melayu, Jawa, dan Sumatera, sirih pinang bukan hanya camilan; ia adalah mata uang sosial. Kerajaan-kerajaan maritim besar, seperti Sriwijaya dan Majapahit, memanfaatkan sirih pinang sebagai alat diplomasi. Menawarkan sirih kepada utusan asing atau pemimpin daerah adalah bentuk pengakuan dan persetujuan damai.
Dalam naskah-naskah kuno, seperti serat dan kakawin, mengetum digambarkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari bangsawan di istana hingga petani di sawah. Warna merah darah yang dihasilkan saat mengunyah dianggap simbolik, mewakili semangat, darah, dan ikatan kekerabatan yang kuat. Oleh karena itu, peralatan mengetum, seperti puan atau tepak sirih, sering dibuat dari logam mulia dan dihiasi ukiran rumit, menunjukkan status dan kekayaan pemiliknya.
Kompleksitas praktik mengetum terletak pada kombinasi sinergis dari empat komponen utama, yang masing-masing memainkan peran farmakologis dan simbolis yang berbeda:
Ketepatan komposisi adalah kunci. Mengetum yang dilakukan dengan rasio bahan yang tidak tepat dapat menyebabkan mual, pusing, atau sensasi terbakar yang tidak menyenangkan. Keahlian meramu campuran ini adalah pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi mengetum adalah cerminan hierarki dan nilai-nilai budaya. Dalam banyak masyarakat, menolak tawaran sirih pinang dapat dianggap sebagai penghinaan serius.
Dalam konteks adat, sirih pinang adalah ‘pembuka bicara’. Ketika sebuah keluarga ingin melamar anak gadis, mereka tidak langsung membicarakan pernikahan; mereka mengirim tepak sirih yang telah diisi. Jika sirih itu diterima dan dikunyah bersama, negosiasi dapat dimulai. Sirih melambangkan kemauan untuk berdamai, memulai hubungan, dan memperkuat sumpah.
Di beberapa komunitas, cara seseorang mengetum atau jenis wadah yang digunakan mencerminkan status sosial mereka. Wanita paruh baya dan tetua seringkali yang paling mahir dalam meramu campuran dan sering dianggap sebagai penjaga tradisi. Sementara pria menggunakannya sebagai stimulan saat bekerja keras, wanita sering menggunakannya dalam pertemuan sosial dan upacara ritual. Perlengkapan mengetum yang mewah juga menjadi indikator kekayaan dan garis keturunan bangsawan.
Di luar aspek sosial, sirih pinang juga dianggap memiliki khasiat pengobatan. Daun sirih diyakini dapat meredakan sakit gigi, menyembuhkan luka ringan, dan bertindak sebagai penghangat badan. Kombinasi yang dihasilkan dari mengetum juga dipercaya dapat mengurangi bau mulut dan memperkuat gusi, meskipun pengetahuan modern telah menyajikan sudut pandang yang lebih kritis terhadap dampak jangka panjangnya pada kesehatan mulut.
Saat seseorang mulai mengetum, proses kimiawi yang kompleks segera terjadi. Pinang mengandung alkaloid utama berupa arekolin. Arekolin bersifat basa lemah. Kapur sirih, yang merupakan kalsium hidroksida (basa kuat), berfungsi untuk menaikkan pH adonan secara drastis. Peningkatan pH ini sangat penting karena ia mengubah arekolin yang terprotonasi menjadi arekolin dalam bentuk basa bebas (free base).
Fakta Kimia Kunci: Bentuk arekolin basa bebas jauh lebih lipofilik (larut dalam lemak) daripada bentuk terprotonasi, memungkinkannya melintasi membran mukosa mulut dan masuk ke aliran darah dengan kecepatan tinggi. Kecepatan penyerapan yang cepat inilah yang menghasilkan efek stimulan yang hampir instan, seperti peningkatan denyut jantung dan sensasi panas yang menjalar.
Selain arekolin, pinang mengandung alkaloid minor seperti arekaidin dan guvakolin, yang juga berkontribusi pada efek farmakologis. Sinergi antara alkaloid dari pinang dan senyawa seperti eugenol dari sirih menciptakan efek "high" atau stimulasi yang unik, yang membuat tradisi mengetum bertahan lintas generasi, meskipun dampaknya pada gigi dan gusi sangat terlihat.
Efek yang paling sering dilaporkan dari mengetum adalah stimulasi saraf otonom. Arekolin adalah parasimpatomimetik, artinya ia meniru efek sistem saraf parasimpatik. Pengguna mengalami peningkatan air liur (yang sangat banyak, sehingga sering harus meludah), berkeringat, dan sensasi euforia ringan yang cepat berlalu.
Secara spesifik, mengunyah campuran ini memicu:
Seiring dengan modernisasi dan pergeseran sosial, istilah mengetum dan ‘Ketum’ telah mengambil dimensi baru. Dalam beberapa konteks modern di Asia Tenggara, khususnya di daerah yang berbatasan dengan Semenanjung Melayu, ‘Ketum’ telah menjadi sinonim untuk Mitragyna speciosa, sebuah pohon tropis dari keluarga kopi yang daunnya memiliki sifat psikoaktif dan obat yang kuat. Pergeseran ini menarik karena ia mewakili kebutuhan masyarakat akan stimulan botani yang mudah diakses, meskipun bahan dasarnya telah berubah total.
Mitragyna speciosa, atau Kratom, secara tradisional dikenal di Indonesia (terutama Kalimantan dan Sumatera) dan Malaysia karena penggunaan daunnya untuk tujuan pengobatan atau rekreasional. Mirip dengan fungsi tradisional mengetum sirih pinang, Kratom sering digunakan oleh buruh dan petani untuk meningkatkan stamina, meredakan nyeri otot akibat kerja keras, dan mengobati gejala penarikan opium (opioid substitusi).
Meskipun sirih pinang dimakan, Kratom biasanya dikonsumsi dalam beberapa cara:
Koneksi linguistik antara kedua praktik ini diperkuat oleh fakta bahwa keduanya melibatkan konsumsi botani stimulan yang tumbuh lokal. Jika dahulu masyarakat mengandalkan sirih pinang untuk peningkatan energi ritual, kini beberapa beralih ke Ketum (Kratom) untuk tujuan yang serupa namun dengan efek farmakologis yang jauh lebih kuat dan berbeda.
Perbedaan utama antara tradisi mengetum kuno (sirih pinang) dan ‘Ketum’ modern (Kratom) terletak pada alkaloid aktifnya dan target reseptor di otak:
Dengan demikian, meskipun secara budaya istilah ‘mengetum’ mungkin telah berevolusi, secara ilmiah, kedua zat tersebut beroperasi melalui jalur neurokimia yang berbeda.
Mengingat peran Ketum telah menjadi isu kesehatan dan regulasi yang dominan di Asia Tenggara, penting untuk memahami kimia dan mekanismenya secara mendalam. Kratom mengandung lebih dari 40 alkaloid berbeda, namun dua yang paling penting adalah Mitragynine (MG) dan 7-Hydroxymitragynine (7-OH-MG).
Mitragynine adalah alkaloid paling melimpah dalam daun Kratom. Uniknya, MG memiliki struktur kimia yang sangat berbeda dari opioid tradisional (seperti morfin atau kodein), namun ia berfungsi sebagai agonis parsial reseptor μ-opioid (MOR). Reseptor MOR adalah target utama bagi obat penghilang rasa sakit opioid dan juga bertanggung jawab atas efek euforia dan adiksi.
Pada dosis rendah, MG cenderung mempromosikan pelepasan neurotransmiter seperti norepinefrin dan serotonin, menghasilkan efek stimulan yang mirip dengan kopi atau, secara paralel, efek stimulan ringan dari tradisi mengetum sirih pinang. Efek ini dimanfaatkan oleh buruh yang membutuhkan energi dan ketahanan fisik.
7-OH-MG ditemukan dalam konsentrasi yang jauh lebih rendah di daun Kratom dibandingkan MG. Namun, zat ini memiliki potensi analgesik yang jauh lebih besar. 7-OH-MG diperkirakan 13 kali lebih kuat sebagai agonis reseptor MOR daripada MG, dan bahkan beberapa kali lebih kuat daripada morfin. Sebagian besar MG yang dicerna diubah menjadi 7-OH-MG melalui metabolisme hati (sitokrom P450). Efek penghilang rasa sakit yang kuat dan efek sedatif Kratom dosis tinggi sebagian besar disebabkan oleh metabolit ini.
Sifat dualistik Kratom—stimulan pada dosis rendah dan sedatif/analgesik pada dosis tinggi—adalah kunci mengapa zat ini menjadi populer, baik sebagai obat tradisional maupun sebagai subjek kontroversi regulasi global.
Sama seperti tradisi mengetum yang memiliki variasi komposisi regional, Kratom juga diklasifikasikan berdasarkan warna urat daun (yang mencerminkan kematangan dan metode pengeringan), yang pada gilirannya mempengaruhi rasio alkaloid:
Meskipun tradisi mengetum sirih pinang memiliki nilai budaya yang tinggi, ilmu kedokteran modern telah menyoroti risiko kesehatan yang signifikan dari penggunaan jangka panjang, terutama terkait dengan kapur dan pinang.
Risiko terbesar adalah kanker mulut. Pinang diklasifikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai karsinogen Kelompok 1, yang berarti zat tersebut pasti menyebabkan kanker pada manusia. Arekolin dalam pinang adalah agen mutagenik, dan kapur (basa kuat) menyebabkan kerusakan abrasi dan iritasi kronis pada mukosa mulut, menciptakan lingkungan yang ideal untuk perkembangan kanker. Kondisi prekanker seperti Oral Submucous Fibrosis (OSF), yang menyebabkan kekakuan parah pada mulut, sangat umum di antara pengguna sirih pinang kronis.
Warna merah gelap yang mencolok akibat oksidasi alkaloid yang terikat pada enamel gigi. Meskipun secara historis gigi hitam dianggap estetis di beberapa budaya, secara medis ini adalah indikasi kerusakan parah. Kapur yang bersifat abrasif dan kebiasaan mengunyah berulang menyebabkan erosi gigi dan penyakit periodontal yang parah, seringkali mengakibatkan kerontokan gigi dini.
Isu kesehatan dan sosial yang terkait dengan ‘Ketum’ modern jauh lebih akut dan telah memicu respons regulasi yang lebih keras dari pemerintah.
Karena Mitragynine bekerja pada reseptor opioid, penggunaan Kratom dalam dosis tinggi dan berkelanjutan dapat menyebabkan ketergantungan fisik. Gejala penarikan Kratom, yang dapat meliputi insomnia, mual, sakit otot, dan kecemasan, serupa dengan gejala penarikan opioid ringan hingga sedang. Ini menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di daerah di mana Ketum dikonsumsi secara luas, terutama di kalangan pemuda.
Berbeda dengan tradisi mengetum sirih pinang yang bahan-bahannya mudah dikenali, pasar Kratom global seringkali melibatkan produk bubuk yang tidak terstandarisasi. Kontaminasi oleh bakteri (seperti Salmonella), logam berat, atau penambahan obat-obatan lain yang ilegal telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan, meningkatkan risiko keracunan dan overdosis.
Regulasi terhadap dua bentuk mengetum ini sangat berbeda:
Di banyak wilayah perkotaan di Asia Tenggara, praktik mengetum sirih pinang mengalami penurunan tajam. Gigi merah dan kebutuhan untuk sering meludah dianggap tidak sesuai dengan estetika modern dan gaya hidup serba cepat. Generasi muda beralih ke stimulan yang lebih konvensional, seperti kopi, teh, dan minuman energi.
Namun, upaya pelestarian budaya terus dilakukan. Di beberapa daerah adat di Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur, ritual mengetum tetap menjadi bagian integral dari upacara adat, memastikan bahwa warisan simbolisme sirih pinang tidak sepenuhnya hilang. Puan dan tepak sirih kuno kini sering ditemukan di museum, berfungsi sebagai pengingat akan masa lalu di mana sebuah gulungan daun bisa menentukan nasib sebuah kerajaan.
Meskipun sirih pinang berisiko, dan Kratom kontroversial, penelitian modern terus menggali potensi senyawa botani ini.
Kedua tradisi mengetum ini, yang terentang dari ribuan tahun praktik hingga tantangan modern, menunjukkan bahwa tumbuhan tropis di Nusantara adalah gudang senyawa bioaktif. Tantangannya adalah bagaimana memisahkan nilai obat dari risiko konsumsi tradisional dan rekreasional.
Praktik mengetum, baik dalam bentuk tradisional sirih pinang maupun adaptasi modern sebagai konsumsi Mitragyna speciosa, adalah cerminan abadi dari hubungan mendalam masyarakat Asia Tenggara dengan lingkungan botani mereka. Kedua praktik ini berfungsi sebagai stimulan sosial, alat pengobatan, dan peredam rasa sakit, meskipun dengan mekanisme biologis yang sangat berbeda.
Dari ritual kuno yang mewarnai gigi bangsawan menjadi merah, hingga perdebatan panas mengenai legalitas alkaloid psikoaktif yang diekspor secara global, tradisi mengetum terus berkembang dan beradaptasi. Memahami kontinum ini bukan hanya tentang menelusuri sejarah kebiasaan mengunyah, tetapi juga tentang mengakui bagaimana kebutuhan manusia akan stimulasi, pengobatan, dan koneksi sosial terus menerus mencari jawabannya di alam. Masa depan praktik ini akan ditentukan oleh keseimbangan antara penghormatan terhadap warisan budaya dan tanggung jawab terhadap kesehatan publik di era ilmu pengetahuan modern.
Jelas bahwa warisan yang terkandung dalam kata ‘mengetum’ jauh lebih kaya daripada sekadar tindakan fisik; ia adalah narasi berkelanjutan tentang identitas, farmakologi, dan ketahanan budaya di Nusantara.