Pernikahan, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar ikatan sosial atau pemenuhan kebutuhan biologis semata. Ia adalah institusi suci yang ditegakkan di atas fondasi wahyu ilahi, dirangkai dengan janji yang berat, dan dihiasi dengan prinsip-prinsip spiritualitas mendalam. Al-Quran memberikan landasan filosofis, etis, dan hukum yang komprehensif mengenai pernikahan, mengangkatnya sebagai salah satu ayat (tanda) kebesaran Allah di muka bumi. Inti dari ajaran ini berkisar pada penciptaan ketenangan, kasih sayang yang tulus, dan rahmat yang berkelanjutan.
Representasi visual kesatuan dan ketenangan (Sakinah) yang dihasilkan dari ikatan suci.
Kajian ini akan menelusuri secara mendalam ayat-ayat sentral yang membentuk kerangka syariat pernikahan. Kita akan melihat bagaimana Al-Quran tidak hanya menetapkan hak dan kewajiban, tetapi juga menanamkan dimensi spiritual, menjadikannya perjalanan menuju kesempurnaan iman dan keindahan etika, yang dikenal sebagai husnul khuluq.
Ayat yang paling sering dikutip dan menjadi inti filosofi pernikahan Islam adalah Surah Ar-Rum ayat 21. Ayat ini menjelaskan tujuan eksistensial dari pernikahan, yaitu penciptaan kedamaian dan kasih sayang sebagai tanda kekuasaan Allah.
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Ayat ini menyebutkan tiga pilar utama yang harus dibangun dalam rumah tangga, yang semuanya merupakan pemberian Ilahi: Litaskunū Ilaihā (Ketenangan), Mawaddah (Kasih Sayang), dan Rahmah (Kasih Sayang yang Penuh Belas Kasih).
Kata Sakinah (تَسْكُنُوا) berasal dari kata dasar sakana, yang berarti diam, tenang, atau menetap. Dalam konteks pernikahan, Sakinah adalah tujuan primer. Suami dan istri diciptakan untuk menjadi sumber ketenangan satu sama lain. Ketenangan ini bukan sekadar fisik, melainkan psikologis, emosional, dan spiritual. Rumah tangga harus menjadi pelabuhan aman (safe harbor) dari hiruk pikuk dunia luar.
Menurut para mufasir, termasuk Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, Sakinah adalah antitesis dari kegelisahan. Ketika seseorang menikah, ia menemukan ‘tempat tinggal’ yang definitif. Ini mencakup rasa aman finansial, kepastian emosional, dan dukungan moral. Tanpa Sakinah, ikatan pernikahan hanya akan menjadi kontrak formal yang hampa. Ketenangan ini mensyaratkan adanya kepercayaan penuh (tsiqah) dan keterbukaan (shafā’) di antara pasangan. Ketenangan tidak mungkin tercapai jika ada rahasia besar yang menghalangi keintiman emosional, atau jika salah satu pihak merasa terancam secara psikologis oleh pihak lainnya. Sakinah adalah fondasi, di atasnya Mawaddah dan Rahmah dibangun.
Lebih lanjut, Sakinah juga berhubungan dengan konsistensi dan prediktabilitas. Pasangan harus mampu memprediksi reaksi positif dari pasangannya dalam situasi sulit, sehingga mengurangi tingkat stres dan kecemasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika Sakinah hilang, rumah tangga berubah menjadi medan konflik dan sumber ketegangan, yang justru berkebalikan dengan tujuan penciptaan pasangan oleh Allah SWT.
Kata Mawaddah (مَوَدَّةً) merujuk pada bentuk cinta yang aktif, manifestatif, dan sering kali disertai dengan gairah. Ini adalah cinta yang diekspresikan, yang terasa hangat dan terlihat jelas melalui perbuatan. Mawaddah adalah dorongan untuk menyenangkan pasangan, memberikan hadiah, dan menunjukkan kasih sayang secara fisik dan verbal. Para ulama sering menafsirkan Mawaddah sebagai cinta yang muncul di masa-masa awal pernikahan, penuh energi dan keromantisan.
Mawaddah memiliki unsur pilihan dan usaha. Berbeda dengan cinta naluriah terhadap anak, Mawaddah antar pasangan adalah cinta yang dipelihara melalui tindakan sehari-hari. Ini mencakup etika komunikasi yang baik, penghormatan, dan kemampuan untuk mengagumi kebaikan pasangan. Mawaddah adalah elemen yang menjaga agar hubungan tetap hidup dan tidak kering, memastikan adanya daya tarik yang berkelanjutan (istiqrar al-jādhībiyyah). Apabila Mawaddah mulai meredup, maka pasangan harus bekerja keras untuk menyalakannya kembali melalui interaksi yang positif dan berkualitas.
Dalam konteks Fiqh Mu’amalah, Mawaddah dapat diterjemahkan sebagai kebersamaan emosional yang melampaui kewajiban finansial. Suami yang menunaikan nafkah dan istri yang melaksanakan tugas rumah tangga, namun melakukannya tanpa Mawaddah, akan menghasilkan hubungan yang dingin. Mawaddah adalah "roh" yang menghidupkan kontrak pernikahan.
Rahmah (رَحْمَةً) adalah kasih sayang yang melampaui keadaan fisik atau emosional. Ini adalah belas kasihan, pengampunan, dan dukungan tanpa syarat. Rahmah menjadi sangat vital ketika Mawaddah mengalami pasang surut, terutama di masa-masa sulit, sakit, tua, atau ketika pasangan menunjukkan kekurangan yang sulit diterima.
Rahmah adalah puncak kematangan spiritual dalam pernikahan. Ketika pasangan telah melalui berbagai ujian hidup, kecantikan fisik memudar, atau kesulitan ekonomi melanda, yang tersisa dan mampu mempertahankan ikatan adalah Rahmah. Rahmah bersifat inklusif; ia mencakup pengasuhan anak, merawat pasangan yang sakit, dan memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan. Ini adalah manifestasi dari sifat Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam interaksi manusia.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa Rahmah adalah jaring pengaman spiritual. Jika Mawaddah adalah cinta yang berbasis manfaat dan daya tarik (meskipun suci), Rahmah adalah cinta yang berbasis kewajiban spiritual untuk saling menjaga demi meraih rida Allah. Hal ini yang memastikan pernikahan tetap langgeng bahkan saat cinta romantis (Mawaddah) sedang diuji. Saling memaafkan, menutupi aib, dan bersabar (sabr) adalah inti dari Rahmah.
Kesimpulannya, QS Ar-Rum: 21 mengajarkan bahwa pernikahan adalah ekosistem spiritual yang seimbang: Sakinah (dasar keamanan), Mawaddah (bahan bakar energi), dan Rahmah (perekat di masa krisis). Ketiga elemen ini adalah tanda (Ayat) yang harus direnungkan oleh 'kaum yang berpikir' (يَتَفَكَّرُونَ).
Ayat lain yang memberikan gambaran metaforis yang sangat mendalam mengenai hakikat hubungan suami istri terdapat dalam Surah Al-Baqarah.
"...Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini menggunakan metafora 'pakaian' (Libas), yang mengandung empat fungsi esensial dalam hubungan suami istri, jauh melampaui konteks awal ayat mengenai aturan puasa.
Pakaian berfungsi menutupi aurat fisik. Dalam pernikahan, pasangan berfungsi menutupi 'aurat' emosional dan spiritual satu sama lain. Pasangan harus menjadi benteng yang melindungi reputasi dan martabat pasangannya. Ini menuntut kerahasiaan mutlak (sirr al-zawjiyyah); aib atau kekurangan pasangan harus disimpan rapat. Pasangan tidak boleh membicarakan kekurangan pasangannya di hadapan orang lain, bahkan kepada keluarga terdekat, kecuali dalam situasi darurat syar'i (seperti konsultasi hukum atau medis). Menutup aib adalah manifestasi Rahmah yang paling praktis.
Konteks perlindungan ini juga meluas pada perlindungan dari maksiat. Kehadiran pasangan yang sah membantu menjaga kehormatan dan menghindari perbuatan keji. Dengan demikian, pernikahan adalah sistem perlindungan moral (hifzh al-'iffah) yang dirancang oleh syariat.
Pakaian adalah hal yang paling dekat menempel pada tubuh. Metafora ini menunjukkan bahwa hubungan suami istri harus dicirikan oleh kedekatan dan keintiman yang maksimal. Kedekatan ini bukan hanya keintiman fisik, tetapi juga kedekatan pemikiran, perasaan, dan cita-cita. Hubungan yang ideal adalah hubungan di mana pasangan merasa bahwa mereka adalah bagian integral dari diri yang lain.
Kedekatan yang disimbolkan oleh 'pakaian' menuntut adanya keterlibatan penuh dalam kehidupan pasangan. Suami dan istri harus menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesah, orang pertama yang diajak berbagi kebahagiaan, dan orang pertama yang memberikan nasihat. Keintiman ini menumbuhkan ketergantungan yang sehat (ta'awwun) dalam menjalani roda kehidupan.
Pakaian yang baik akan memperindah pemakainya. Demikian pula, suami istri harus menjadi perhiasan bagi pasangannya. Mereka harus saling mendorong untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka, baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual. Istri yang menghormati suami menaikkan martabat suami, dan suami yang mencintai serta melindungi istri membuat istri merasa berharga dan indah.
Fungsi Zinah ini menekankan aspek estetika perilaku (jamāl al-sulūk). Bagaimana pasangan bersikap di hadapan orang lain adalah cerminan dari pernikahan mereka. Sikap saling menghargai di depan umum adalah bagian dari peran "pakaian" yang memperindah martabat pasangan.
Pakaian memberikan kenyamanan dan kehangatan dari cuaca. Pernikahan harus memberikan kehangatan emosional dan kenyamanan psikologis dari dinginnya realitas kehidupan. Ketika dunia terasa keras dan dingin, rumah tangga harus menjadi tempat berlindung yang hangat.
Pencapaian kenyamanan ini menuntut adanya fleksibilitas dan toleransi. Pasangan harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan suasana hati dan kondisi pasangannya, memberikan ruang dan waktu yang dibutuhkan, sehingga rumah tangga benar-benar menjadi 'tempat yang nyaman untuk beristirahat' dari kelelahan spiritual dan material.
Pernikahan bukan hanya ikatan personal, tetapi adalah kontrak suci yang disebut oleh Al-Quran dengan istilah yang sangat berat, Mitsaqan Ghalizhan (Janji yang Kuat/Berat).
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mahar) padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain, dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Mitsaqan Ghalizhan)?" (QS. An-Nisa [4]: 21)
Istilah Mitsaqan Ghalizhan hanya digunakan tiga kali dalam Al-Quran: untuk perjanjian Allah dengan para Nabi terdahulu (QS. Al-Ahzab: 7), perjanjian dengan Bani Israil di Bukit Thur (QS. An-Nisa: 154), dan perjanjian pernikahan. Penggunaan istilah yang sama ini menunjukkan betapa besar bobot spiritual dan hukum pernikahan di mata Allah.
Pernikahan bukanlah kontrak jual beli yang bisa dibatalkan dengan kerugian finansial kecil. Ia adalah sumpah yang melibatkan nama Allah dan disaksikan oleh umat. Ketika seorang pria dan wanita mengucapkan akad, mereka pada dasarnya mengambil alih tanggung jawab yang sebelumnya hanya dipikul oleh para Nabi: memegang teguh janji yang berat.
Janji ini mencakup kewajiban menjaga kehormatan, melindungi keturunan, dan berpegang teguh pada syariat Allah dalam berinteraksi. Beratnya perjanjian ini menuntut agar pasangan tidak memandang perceraian sebagai solusi ringan. Sebaliknya, setiap perselisihan harus diselesaikan dengan upaya maksimal rekonsiliasi, mengingat janji suci yang telah diikrarkan.
Bobot Mitsaqan Ghalizhan juga tercermin dalam tanggung jawab yang melekat setelah akad. Bagi suami, tanggung jawab ini terkait dengan nafkah, perlindungan (qawwamah), dan perlakuan etis. Bagi istri, tanggung jawab terkait dengan kepatuhan dalam hal yang makruf dan menjaga kehormatan rumah tangga.
Tanggung jawab ini bersifat abadi, dalam artian bahwa dampaknya akan meluas hingga hari Kiamat. Pelanggaran terhadap janji ini—seperti perlakuan zalim, pengabaian, atau perselingkuhan—dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kontrak yang memiliki nilai spiritual tertinggi di antara kontrak-kontrak muamalah lainnya. Oleh karena itu, persiapan sebelum memasuki gerbang pernikahan haruslah menyeluruh, mencakup pemahaman hak dan kewajiban serta kesiapan spiritual untuk memikul janji yang sangat berat ini.
Para ulama ushul fiqh menekankan bahwa karena pernikahan adalah Mitsaqan Ghalizhan, maka setiap rukun dan syaratnya harus dipenuhi dengan sangat ketat, menjauhkan pernikahan dari unsur main-main, paksaan, atau penipuan (tadlīs). Keikhlasan dan niat tulus untuk membangun keluarga yang diridai Allah adalah prasyarat utama untuk memenuhi janji yang berat ini.
Al-Quran tidak hanya memberikan tujuan spiritual, tetapi juga menetapkan etika interaksi sehari-hari yang harus dilakukan berdasarkan keadilan dan kebaikan (Ma’ruf). Surah An-Nisa ayat 19 adalah panduan utama dalam etika berumah tangga.
"...Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut (Ma’ruf). Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya." (QS. An-Nisa [4]: 19)
Inti dari ayat ini adalah perintah universal untuk berinteraksi dengan istri (dan sebaliknya) secara Bil Ma’ruf (dengan cara yang patut, baik, dan diterima secara syariat serta sosial). Ma'ruf melampaui sekadar menunaikan hak dasar.
Ma’ruf mencakup:
Bagian kedua ayat, "Fa In Karihtumūhunna fa 'Asā an Takrahū Shay'an wa Yaj'ala Allāhu Fīhi Khayran Kathīran," (Jika kamu tidak menyukai mereka, boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya) adalah pelajaran psikologis dan teologis yang mendalam.
Ayat ini mengajarkan bahwa perasaan negatif (seperti bosan, kecewa, atau jengkel) adalah bagian alami dari kehidupan berpasangan. Islam tidak menuntut cinta yang buta dan konstan, tetapi menuntut tindakan yang konsisten berdasarkan Ma’ruf, meskipun perasaan sedang surut. Ketika timbul ketidaksukaan, pasangan (khususnya suami sebagai pemimpin) diperintahkan untuk menahan diri dari tindakan gegabah (seperti talak) dan mencari kebaikan (khayran kathīran) yang tersembunyi. Kebaikan ini mungkin berupa anak yang saleh yang lahir dari pernikahan tersebut, atau pahala kesabaran yang besar.
Mufasir modern sering menafsirkan kebaikan yang banyak (Khayran Kathīran) sebagai hasil dari kesabaran strategis (Sabr Istirātījī). Dengan menahan diri, pasangan memberikan waktu bagi Mawaddah untuk kembali muncul dan bagi Rahmah untuk menguatkan ikatan. Kebaikan ini adalah janji Ilahi bagi mereka yang menjaga janji suci (Mitsaqan Ghalizhan) meskipun sedang menghadapi ujian emosional.
Prinsip ini menegaskan bahwa nilai pernikahan di mata Allah tidak diukur dari tingkat kesempurnaan pasangan, melainkan dari tingkat kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan kewajiban etis, bahkan terhadap pasangan yang memiliki kekurangan.
Meskipun monogami adalah norma yang diutamakan dalam Islam, Al-Quran membahas konteks di mana poligami diperbolehkan, namun dengan syarat yang sangat ketat, menekankan kembali prinsip keadilan yang absolut.
"...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa [4]: 3, bagian yang relevan)
Ayat ini berfungsi sebagai pembatasan (limitasi) praktik poligami yang tidak terkontrol pada masa Jahiliyah. Batasan maksimal empat istri diiringi dengan peringatan keras mengenai keadilan.
Kata kunci dalam ayat ini adalah Al-Adl (Keadilan). Keadilan yang dimaksud di sini, menurut konsensus para fuqaha (ahli fikih), adalah keadilan yang bersifat fisik dan material, yaitu pembagian waktu (giliran bermalam), nafkah, pakaian, dan perlakuan lahiriah. Ini adalah jenis keadilan yang dapat diukur dan dilaksanakan secara manusiawi. Jika seorang suami merasa bahwa ia tidak mampu memberikan hak-hak material ini secara setara, maka haram baginya untuk menambah istri, dan ia wajib mencukupkan diri dengan satu istri (fawāḥidah).
Ketidakadilan dalam nafkah, misalnya, dianggap sebagai pelanggaran Mitsaqan Ghalizhan dan dapat menjadi alasan gugatan cerai (khulu') oleh istri yang merasa dirugikan. Keadilan material adalah pertanggungjawaban duniawi dan akhirat.
Keadilan emosional (cinta di hati) tidak diwajibkan, karena Al-Quran mengakui keterbatasan manusia dalam hal perasaan hati (QS. An-Nisa: 129: "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian"). Ayat 129 ini melengkapi Ayat 3 dengan menjelaskan bahwa sementara keadilan hati adalah mustahil, usaha untuk bersikap adil lahiriah adalah kewajiban. Suami harus sangat berhati-hati agar kecenderungan hati tidak diterjemahkan menjadi ketidakadilan material atau pengabaian total terhadap istri yang kurang dicintai.
Kesimpulan dari kedua ayat ini adalah: Poligami adalah izin dengan syarat, bukan anjuran. Syarat tersebut adalah keadilan mutlak, dan jika diragukan, maka monogami adalah pilihan yang lebih mendekatkan kepada ketakwaan (adna an lā ta'ūlū).
Al-Quran juga menetapkan struktur kepemimpinan dan tanggung jawab finansial dalam rumah tangga melalui konsep Qawwamah, yang sering disalahpahami sebagai superioritas mutlak, padahal ia adalah kewajiban berat.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (Qawwamun) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa [4]: 34, bagian yang relevan)
Konsep Qawwamah (pemimpin/penanggung jawab) adalah fungsi struktural, bukan penghargaan spiritual. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kepemimpinan dengan dua hal.
Ini adalah alasan utama dan yang paling dapat diukur. Laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga karena ia memiliki kewajiban hukum untuk menafkahkan hartanya bagi istri dan anak-anak, terlepas dari kekayaan istri. Nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal) adalah hak istri dan kewajiban mutlak suami. Jika suami tidak mampu atau menolak menunaikan nafkah, hak Qawwamah-nya dapat dipertanyakan secara hukum (misalnya, melalui fasakh atau talak ta’liq).
Tanggung jawab finansial ini mencerminkan prinsip ekonomi syariah dalam rumah tangga, memastikan bahwa istri dilindungi dari beban mencari nafkah, sehingga ia dapat fokus pada aspek-aspek lain dari kehidupan keluarga, seperti pengasuhan dan ketenangan (Sakinah). Nafkah harus diberikan secara Ma’ruf, sesuai kemampuan suami dan kebutuhan istri.
Keutamaan ini ditafsirkan oleh ulama sebagai keutamaan dalam hal fisik dan fungsi tertentu yang diperlukan untuk kepemimpinan eksternal, seperti daya tahan fisik dan kesiapan untuk mengambil keputusan tegas di luar rumah. Ini adalah keutamaan fungsional, bukan keutamaan spiritual (di mana laki-laki dan perempuan adalah setara, QS. An-Nahl: 97).
Qawwamah adalah pelayanan, bukan dominasi. Pemimpin dalam Islam adalah pelayan bagi yang dipimpin. Oleh karena itu, Qawwamah harus dilaksanakan dengan musyawarah (syura) dan rasa tanggung jawab yang tinggi, menjauhi tirani atau otoritarianisme.
Karena pernikahan adalah Mitsaqan Ghalizhan, perpisahan haruslah diatur dengan etika tertinggi untuk menjaga martabat semua pihak. Al-Quran memberikan aturan rinci mengenai talak dan rujuk, memastikan bahwa perpisahan dilakukan dengan cara yang Ma’ruf.
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Ihsan)." (QS. Al-Baqarah [2]: 229, bagian yang relevan)
"Apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) iddahnya, maka rukuklah kembali kepada mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu menahan mereka dengan maksud menyusahkan (memudaratkan), karena dengan demikian kamu menganiaya diri kamu sendiri." (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Ayat-ayat talak ini menegaskan bahwa bahkan di ujung hubungan, prinsip Mawaddah dan Rahmah harus tetap ada dalam bentuk Ihsan (kebaikan yang sempurna) dan Ma’ruf. Talak harus menjadi jalan keluar terakhir, bukan alat pemerasan atau penghinaan.
Syariat menetapkan talak hanya dua kali yang dapat dirujuk. Ini memberikan jeda waktu (masa iddah) agar pasangan memiliki kesempatan untuk menenangkan diri dan mempertimbangkan kembali. Tujuannya adalah mencegah talak yang dipicu oleh emosi sesaat. Jika harus berpisah, perpisahan harus dilakukan dengan Tasrīḥun Bi’Ihsān (melepaskan dengan kebaikan).
Ihsan di sini mencakup:
Ayat 231 secara eksplisit melarang praktik menahan mantan istri di masa iddah tanpa niat untuk rujuk (Dhīrār) hanya untuk menyusahkan atau memerasnya. Hal ini dianggap sebagai perbuatan zalim (zhalama nafsahu). Ini menunjukkan bahwa hak talak yang diberikan kepada suami tidak boleh disalahgunakan sebagai alat kekuasaan yang kejam. Kesucian janji pernikahan harus dijaga bahkan setelah kontrak secara formal berakhir.
Ayat-ayat pernikahan juga menekankan tanggung jawab berkelanjutan pasangan untuk saling mendidik (Tarbiyah) demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pernikahan adalah institusi pendidikan bagi pasangan itu sendiri.
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (QS. At-Tahrim [6]: 6, bagian yang relevan)
Ayat ini menetapkan bahwa kepemimpinan (Qawwamah) dan tugas istri dalam rumah tangga (Mu'asyarah bil Ma'ruf) pada dasarnya adalah tugas Tarbiyah (pendidikan) yang berorientasi pada keselamatan akhirat. Tanggung jawab suami dan istri adalah saling mengingatkan untuk menjaga diri dari perbuatan yang menjerumuskan ke dalam api neraka.
Kewajiban menjaga diri dan keluarga (Qū Anfusakum wa Ahlīkum Nārā) menuntut adanya:
Apabila pernikahan gagal memenuhi fungsi Tarbiyah ini, maka ia telah kehilangan tujuan utamanya, yaitu menjadi jalan menuju surga (thariq ilā al-jannah). Dengan demikian, pernikahan yang ideal menurut Al-Quran adalah institusi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan emosional (Sakinah, Mawaddah), tetapi juga kebutuhan spiritual tertinggi (Tarbiyah dan Ihsan).
Konsep Mawaddah dan Rahmah yang disematkan dalam QS. Ar-Rum: 21 tidak hanya berlaku untuk pasangan, tetapi merambat menjadi etika interaksi terhadap generasi penerus dan keluarga besar. Al-Quran menjamin keberlanjutan keharmonisan melalui prinsip penghormatan terhadap orang tua, yang merupakan akar dari keluarga yang telah menikah.
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al-Isra [17]: 23)
Pernikahan secara otomatis memperluas kewajiban Rahmah ke keluarga besar pasangan. Kebaikan (Ihsan) kepada orang tua pasangan adalah perwujudan tertinggi dari Mu'asyarah Bil Ma’ruf terhadap pasangan itu sendiri. Suami yang berbuat baik kepada orang tua istri (mertua) telah menerapkan Rahmah secara sempurna, dan sebaliknya. Konflik yang paling sering merusak Sakinah dalam rumah tangga modern adalah perselisihan mengenai peran dan hak orang tua dan mertua.
Kepatuhan pada etika Birrul Walidain (berbuat baik kepada orang tua) memastikan bahwa lingkaran keluarga tidak terputus. Ketika anak-anak melihat Mawaddah dan Rahmah diterapkan tidak hanya antara suami dan istri tetapi juga antara anak dan orang tua, mereka belajar nilai-nilai inti yang akan mereka bawa ke dalam pernikahan mereka sendiri. Rumah tangga yang berhasil menurut Al-Quran adalah rumah tangga yang stabil secara vertikal (terhadap orang tua) dan stabil secara horizontal (terhadap pasangan).
Ayat Al-Isra: 23 menegaskan bahwa perlakuan terhadap orang tua yang sudah tua harus dilakukan dengan penuh kebaikan (Ihsan), bahkan lebih tinggi daripada sekadar keadilan (Adl). Prinsip Ihsan inilah yang harus dibawa oleh pasangan suami istri saat merawat orang tua mereka, menjadikannya bagian integral dari pelaksanaan janji Mitsaqan Ghalizhan.
Tujuan akhir dari pernikahan adalah melestarikan keturunan yang saleh. Al-Quran mencatat doa-doa para Nabi yang memohon keturunan sebagai cerminan bahwa pernikahan adalah sarana utama untuk membangun umat yang bertakwa.
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah pewaris yang paling baik." (QS. Al-Anbiya [21]: 89)
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (Qurrata A’yun), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan [25]: 74)
Doa yang dipanjatkan oleh ‘Ibād ar-Raḥmān (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih) dalam QS. Al-Furqan: 74 merangkum harapan tertinggi dari institusi pernikahan: Qurrata A’yun (penyejuk mata/hati). Keturunan yang menjadi penyejuk hati adalah anak yang saleh, yang kehadirannya membawa Sakinah, yang perilakunya meningkatkan Mawaddah, dan yang kebutuhannya menumbuhkan Rahmah dalam rumah tangga.
Doa ini tidak hanya meminta anak yang baik, tetapi juga meminta agar pasangan menjadi teladan bagi anak-anak tersebut, yang tercermin dari permintaan 'wa aj'alnā lil-muttaqīna imāmā' (dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa). Ini mengaitkan keberhasilan pernikahan dengan kualitas spiritual pasangan. Pernikahan adalah madrasah tempat pasangan bersama-sama berusaha mencapai tingkat ketakwaan yang lebih tinggi (Imamah dalam takwa), sehingga mereka layak memimpin anak-anak mereka menuju kebaikan abadi.
Pengejawantahan Rahmah dalam pengasuhan anak menuntut kesabaran yang luar biasa, konsistensi dalam pendidikan (Tarbiyah), dan pengorbanan finansial dan emosional yang terus menerus. Ini adalah investasi jangka panjang dalam menunaikan Mitsaqan Ghalizhan.
Kajian mendalam terhadap ayat-ayat Al-Quran tentang pernikahan menunjukkan bahwa Islam memandang institusi ini sebagai pondasi peradaban dan sumber kebahagiaan sejati. Setiap aspek kehidupan berpasangan, mulai dari fondasi emosional, hak dan kewajiban material, hingga etika perpisahan, diatur dengan sangat rinci dan didasarkan pada prinsip-prinsip Ilahi yang luhur.
Setiap pasangan Muslim dituntut untuk menjadikan ayat-ayat ini sebagai konstitusi rumah tangga mereka. Membaca Al-Quran tidak hanya untuk mencari pahala, tetapi untuk memahami bagaimana hidup harmonis sesuai kehendak Sang Pencipta. Ketika Mawaddah dihidupkan, Rahmah menjadi pelindung, dan Mitsaqan Ghalizhan dihormati, maka janji Sakinah Ilahi akan terpenuhi, menjadikan pernikahan sebagai ladang pahala yang tak terputus hingga hari akhir.
Keindahan ajaran Al-Quran tentang pernikahan terletak pada sifatnya yang seimbang; ia mengakui kebutuhan biologis dan emosional manusia, namun mengangkat pemenuhannya ke tingkat ibadah yang tertinggi. Ia menetapkan batas-batas hukum, namun menekankan pentingnya moral dan etika (Ihsan) yang melampaui batas hukum tersebut. Dalam memahami dan menerapkan seluruh ayat-ayat ini secara kaffah (menyeluruh), pasangan Muslim menemukan blueprint menuju rumah tangga yang diridai, yang menjadi manifestasi surga di dunia, dan bekal untuk surga di akhirat.
Penting untuk diingat bahwa setiap rujukan ayat di atas menuntut refleksi (tafakkur) yang mendalam. Misalnya, ketika Al-Quran berbicara tentang Mawaddah dan Rahmah, pasangan diminta untuk secara aktif bertanya: apa saja tindakan konkret yang telah kami lakukan hari ini untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan belas kasih kami? Ketika berbicara tentang Ma’ruf, pasangan harus mengevaluasi: apakah cara bicara dan perlakuan saya hari ini sudah memenuhi standar kebaikan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW?
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam adalah sebuah proyek perbaikan diri bersama (mashrū' at-taḥsīn az-zawjī). Kekuatan ikatan ini tidak hanya diukur dari durasinya, tetapi dari kedalaman spiritual dan etika yang terbangun di dalamnya. Al-Quran memberikan peta jalan yang jelas, dan kuncinya terletak pada komitmen pasangan untuk selalu kembali kepada sumber petunjuk, yaitu Kalamullah yang mulia, demi mencapai rumah tangga yang diberkahi, tenang, penuh cinta, dan rahmat.
Semoga setiap Muslim yang menempuh jalan pernikahan selalu diingatkan akan keagungan Mitsaqan Ghalizhan dan senantiasa berjuang membangun rumah tangga yang menjadi 'tanda-tanda' kebesaran Allah (Ayatullah) di tengah umat manusia, sesuai firman-Nya dalam QS. Ar-Rum: 21, bagi kaum yang senantiasa menggunakan akalnya untuk berpikir dan merenung.
***
Elaborasi lanjut tentang pengaplikasian praktis Mawaddah dan Rahmah:
Mawaddah, sebagai cinta yang aktif dan terekspresikan, membutuhkan upaya sadar. Al-Quran mendorong ekspresi ini dalam berbagai cara:
Salah satu manifestasi Mawaddah adalah kejujuran emosional. Pasangan harus merasa aman untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Mawaddah mewajibkan adanya interaksi yang penuh perhatian, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang mendengarkan cerita istrinya dengan sabar. Dalam dunia modern yang serba cepat, Mawaddah diterjemahkan sebagai memberikan 'waktu kualitas' (waqt al-jawda) tanpa gangguan teknologi, di mana pasangan benar-benar hadir satu sama lain.
Pengabaian emosional adalah musuh Mawaddah. Jika komunikasi hanya terbatas pada urusan logistik rumah tangga dan anak-anak, maka ruh Mawaddah akan layu. Oleh karena itu, investasi waktu dalam dialog mendalam, perencanaan masa depan bersama, dan berbagi minat yang sama adalah tuntutan dari ayat Mawaddah.
Mawaddah juga berkaitan dengan daya tarik fisik. Pakaian (Libas) adalah perhiasan (Zinah). Saling menjaga penampilan fisik dan kebersihan adalah hak Mawaddah. Ini adalah ibadah ketika dilakukan dengan niat untuk menyenangkan pasangan. Al-Quran secara implisit menolak pandangan bahwa penampilan hanya penting di luar rumah; justru, penampilan terbaik harus disajikan di dalam rumah, untuk pasangan yang telah mengikrarkan janji suci.
Rahmah, sebagai belas kasih dan pengampunan, diuji paling keras saat terjadi konflik. Manajemen konflik yang diajarkan Al-Quran selalu berpegang pada prinsip meminimalkan kerugian dan memaksimalkan kebaikan yang tersembunyi (khayran kathīran).
Ketika salah satu pasangan menunjukkan kelemahan (emosional, finansial, atau bahkan kekurangan fisik), Rahmah menuntut toleransi tanpa batas. Sifat dasar manusia adalah tidak sempurna; pernikahan adalah tempat di mana ketidaksempurnaan ini ditutupi (Libas). Rahmah bertindak sebagai 'filter' yang mengubah pandangan negatif terhadap kekurangan pasangan menjadi kesempatan untuk mendapatkan pahala kesabaran.
QS. An-Nisa: 35 memberikan panduan spesifik ketika terjadi perselisihan parah:
"Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (QS. An-Nisa [4]: 35)
Ayat ini menetapkan mekanisme mediasi wajib sebelum keputusan cerai diambil. Keterlibatan pihak ketiga dari kedua keluarga (Hakam) menunjukkan bahwa pernikahan adalah urusan kolektif yang melibatkan suku dan komunitas, bukan hanya individu. Niat (In Yurīdā Iṣlāḥan) adalah kunci; jika kedua belah pihak dan mediator memiliki niat tulus untuk rekonsiliasi (Islah), Allah akan memberikan taufik (petunjuk untuk kesuksesan).
Ini adalah wujud Rahmah struktural. Syariat memastikan bahwa tidak ada perpisahan yang terjadi karena keputusasaan atau keegoisan sepihak tanpa adanya upaya Rahmah terakhir yang serius dari komunitas keluarga besar.
Pada akhirnya, semua ayat pernikahan kembali pada konsep Tauhid (keesaan Allah). Mencintai pasangan (Mawaddah) dan bersikap baik (Rahmah) adalah cara seorang hamba beribadah kepada Allah, karena ia menaati perintah-Nya untuk menjaga Mitsaqan Ghalizhan dan menciptakan Sakinah.
Ketaatan suami dan istri dalam menunaikan hak dan kewajiban mereka adalah bukti iman (imān al-kāmil). Ketika pasangan mampu hidup berdampingan dalam harmoni, meskipun menghadapi tantangan yang keras, mereka telah mewujudkan janji yang kuat, membuktikan bahwa Al-Quran adalah panduan hidup yang sempurna, yang mampu mengubah kontrak sosial menjadi perjalanan spiritual yang menenangkan dan diridai Ilahi.
Filosofi pernikahan Al-Quran menolak individualisme. Ia menuntut kolektivisme yang sehat, di mana kebahagiaan individu ditemukan dalam mengupayakan kebahagiaan pasangan, sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Mawaddah yang tulus dan Rahmah yang abadi adalah warisan terindah yang dapat diberikan oleh pasangan Muslim kepada umat dan generasi yang akan datang.