Mengurai Kompleksitas Aksi Mengeroyok: Dari Psikologi Individu ke Kejahatan Kolektif

Aksi mengeroyok, sebuah tindakan kejahatan yang melibatkan lebih dari satu pelaku, sering kali mengguncang nalar kemanusiaan karena menampilkan sisi paling gelap dari perilaku kolektif. Fenomena ini bukan sekadar penjumlahan agresi individu, melainkan manifestasi kompleks dari interaksi psikologis, sosiologis, dan situasional. Ketika sekelompok orang bersatu untuk menyerang atau mengintimidasi satu individu—baik secara fisik maupun verbal—norma-norma sosial sering kali terdegradasi, memberikan ruang bagi impuls kekerasan yang dilegitimasi oleh kehadiran kelompok. Artikel ini akan menyelami akar penyebab, mekanisme psikologis yang mendasarinya, serta dampak jangka panjang dari tindakan mengeroyok dalam berbagai konteks masyarakat kontemporer.

I. Definisi, Etimologi, dan Konteks Hukum Aksi Mengeroyok

Secara etimologi, kata mengeroyok merujuk pada tindakan menyerang secara beramai-ramai atau berkelompok. Dalam konteks sosial, ia mencakup spektrum luas, mulai dari kekerasan fisik yang disengaja hingga intimidasi psikologis yang sistematis, seperti perundungan kolektif atau mobbing. Inti dari aksi mengeroyok adalah ketidakseimbangan kekuatan yang ekstrem, di mana korban berada dalam posisi yang sangat rentan karena harus menghadapi tekanan dari banyak pihak.

A. Aspek Yuridis dalam Tindak Pidana Kolektif

Dalam hukum pidana di banyak yurisdiksi, tindakan mengeroyok sering kali dikategorikan sebagai kejahatan yang diperberat (agravated offense) karena adanya unsur permufakatan dan kekuatan kolektif. Di Indonesia, Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara spesifik mengatur tentang kekerasan terhadap orang atau barang yang dilakukan di muka umum secara bersama-sama. Unsur-unsur penting yang memberatkan adalah:

  1. Keterlibatan Kolektif: Adanya minimal dua orang atau lebih yang secara aktif terlibat dalam penyerangan.
  2. Perbuatan di Muka Umum: Tindakan yang dilakukan di tempat yang dapat dilihat oleh khalayak umum, menambah unsur kerusuhan dan ketidakamanan publik.
  3. Kekerasan Fisik atau Non-Fisik: Meskipun sering dikaitkan dengan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka berat atau kematian, interpretasi modern juga mencakup pengeroyokan verbal atau psikologis yang menimbulkan kerugian serius.

Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus mengeroyok, pertanggungjawaban pidana tidak hanya dibebankan kepada pelaku utama yang mungkin memberikan pukulan paling mematikan, tetapi juga kepada semua pihak yang hadir dan turut serta dalam aksi kekerasan tersebut, bahkan jika peran mereka hanya sekadar memprovokasi, menghalangi bantuan, atau menciptakan suasana yang mendukung agresi kolektif. Hukum memandang partisipasi kelompok sebagai faktor yang meningkatkan bahaya dan intensitas kejahatan, sehingga hukuman yang dijatuhkan cenderung lebih berat dibandingkan dengan agresi yang dilakukan oleh satu individu.

Analisis mendalam terhadap kasus-kasus mengeroyok menunjukkan adanya pola konsisten di mana para pelaku merasa kebal atau terlindungi oleh jumlah mereka. Perasaan anonimitas dan difusi tanggung jawab ini, yang akan dibahas lebih lanjut dalam konteks psikologi massa, merupakan mesin pendorong utama di balik eskalasi kekerasan. Ketika individu merasa bahwa kesalahan atau konsekuensi akan dibagi rata di antara kelompok, hambatan moral dan etika pribadi cenderung runtuh secara dramatis. Hal ini menciptakan lingkungan di mana tindakan yang dianggap tidak terpikirkan oleh individu dapat dengan mudah dieksekusi oleh kelompok.

Ilustrasi Aksi Mengeroyok Ilustrasi sekelompok orang mengepung satu individu yang berada di pusat. Korban

Alt Text: Ilustrasi sekelompok orang mengepung satu individu.

II. Psikologi Massa dan Mekanisme Deindividuasi

Untuk memahami mengapa individu yang normal dan patuh pada aturan dapat berpartisipasi dalam aksi mengeroyok yang brutal, kita harus meninjau teori psikologi kerumunan. Konsep sentral di sini adalah deindividuasi dan difusi tanggung jawab, yang secara sinergis menghilangkan batasan moral pribadi.

A. Deindividuasi: Hilangnya Diri dalam Kelompok

Deindividuasi adalah keadaan psikologis di mana individu kehilangan rasa kesadaran diri dan tanggung jawab personal ketika berada dalam kerumunan besar atau kelompok. Gustave Le Bon, pelopor psikologi kerumunan, menjelaskan bahwa dalam kerumunan, pikiran kolektif (âme collective) mengambil alih pikiran individu. Proses ini memiliki beberapa konsekuensi kunci:

  1. Anonimitas: Kehadiran banyak orang membuat pelaku merasa tidak teridentifikasi. Mereka percaya bahwa tindakan mereka tidak akan ditelusuri kembali kepada mereka secara pribadi, yang menurunkan ketakutan akan hukuman.
  2. Penularan Emosi (Contagion): Emosi dan perilaku dalam kelompok menyebar dengan cepat dan tak terhindarkan. Ketakutan, kemarahan, atau bahkan kegembiraan yang dirasakan oleh satu atau dua individu dapat dengan cepat menjangkiti seluruh anggota kelompok, menciptakan gelombang energi yang sulit dikendalikan.
  3. Reduksi Kontrol Diri: Norma-norma internal, seperti hati nurani dan moralitas pribadi, digantikan oleh norma-norma situasional yang disepakati oleh kelompok, meskipun norma tersebut bersifat destruktif.

Dalam konteks mengeroyok, deindividuasi berfungsi sebagai katalisator. Ketika seorang pelaku mulai beraksi, partisipasi anggota lain bukan hanya sekadar dukungan, tetapi konfirmasi bahwa tindakan tersebut ‘dibenarkan’ oleh kelompok. Lingkaran umpan balik positif ini memperkuat keyakinan kolektif bahwa agresi adalah respons yang valid dan diperlukan.

B. Difusi Tanggung Jawab dan Efek Bystander

Difusi tanggung jawab adalah fenomena di mana individu yang menjadi bagian dari kelompok cenderung merasa kurang bertanggung jawab atas suatu hasil, karena tanggung jawab tersebut terbagi di antara semua anggota kelompok. Dalam situasi mengeroyok, setiap pelaku merasa hanya menyumbang sedikit dari keseluruhan kerusakan, sehingga meminimalkan rasa bersalah mereka.

Ini terkait erat dengan Efek Bystander, meskipun Efek Bystander lebih sering merujuk pada keengganan orang untuk menolong korban ketika ada orang lain di sekitar. Namun, dalam konteks pengeroyokan, Efek Bystander terdistorsi menjadi 'dukungan pelaku', di mana individu yang mungkin enggan melakukan kekerasan sendirian menjadi termotivasi untuk bertindak agresif karena mereka melihat orang lain melakukannya. Mereka menganggap bahwa jika banyak orang melakukan tindakan tersebut, maka tindakan itu, meskipun kejam, mungkin dapat diterima atau minimal risikonya. Fenomena ini menciptakan spiral eskalasi kekerasan yang sangat cepat dan destruktif. Setiap pukulan yang dilayangkan, setiap hinaan yang diucapkan, merupakan konfirmasi bahwa batas moral telah dilewati, dan kelompok tersebut telah berkomitmen pada jalur kekejaman yang sama.

Analisis ini diperluas pada studi kasus di mana agresi kolektif terjadi. Misalnya, dalam kerusuhan sipil atau kekerasan stadion, individu-individu yang sebelumnya menunjukkan perilaku sopan di lingkungan pribadi mereka dapat dengan mudah terlibat dalam vandalisme dan kekerasan brutal. Studi mendalam oleh Zimbardo dan kawan-kawan tentang peran deindividuasi selalu menunjukkan korelasi kuat antara tingkat anonimitas dan penurunan pengendalian diri. Kelompok yang merasa tersembunyi, baik oleh kegelapan, penutup wajah, atau sekadar banyaknya jumlah, cenderung menunjukkan peningkatan perilaku antisosial. Dalam kasus mengeroyok yang terencana, rasa anonimitas ini digantikan oleh rasa kebersamaan tujuan yang kuat, di mana tujuan kelompok (menghukum, merendahkan, atau melukai korban) mengambil prioritas absolut atas etika pribadi. Inilah alasan mengapa intervensi dini sangat vital; begitu dinamika kelompok terbentuk, sangat sulit untuk membalikkan momentum psikologis menuju agresi.

III. Manifestasi Kontemporer Aksi Mengeroyok

Aksi mengeroyok tidak terbatas pada kekerasan fisik di jalanan. Dalam masyarakat modern, fenomena ini telah bermutasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru, terutama di ranah digital dan institusional.

A. Pengeroyokan Digital (Cyber Mobbing)

Internet, yang seharusnya menjadi ruang bebas, kini menjadi medan pertempuran di mana aksi mengeroyok terjadi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya. Cyber mobbing atau pengeroyokan siber melibatkan sekelompok besar pengguna yang menargetkan satu individu dengan komentar kebencian, ancaman, penghinaan, atau penyebaran informasi palsu (hoaks). Karakteristik utamanya meliputi:

  1. Jangkauan Global: Korban dapat diserang oleh ribuan orang dari berbagai belahan dunia secara bersamaan.
  2. Anonimitas Maksimal: Pengguna sering kali bersembunyi di balik nama samaran atau akun anonim, memperkuat efek deindividuasi dan menghilangkan rasa tanggung jawab.
  3. Dampak Permanen: Konten digital, setelah diunggah, hampir mustahil dihapus sepenuhnya, menyebabkan kerusakan reputasi dan trauma psikologis yang abadi bagi korban.

Aksi mengeroyok di dunia maya sering kali dipicu oleh perbedaan pendapat politik, isu sosial sensitif, atau kesalahpahaman kecil yang tiba-tiba meledak menjadi kemarahan massa. Kecepatan penyebaran informasi dan reaksi emosional yang diperkuat oleh algoritma media sosial menjadikan korban sebagai sasaran empuk yang sulit membela diri dari serangan kolektif yang tak terorganisir namun efektif dalam menghancurkan mentalitas.

B. Mengeroyok dalam Konteks Institusional (Bullying dan Mobbing di Tempat Kerja)

Di lingkungan sekolah atau tempat kerja, aksi mengeroyok mengambil bentuk perundungan (bullying) yang dilakukan oleh sekelompok siswa atau rekan kerja (mobbing). Ini bukan lagi sekadar konflik antarpribadi, melainkan upaya sistematis untuk mengisolasi, merendahkan, dan memaksa korban keluar dari lingkungan tersebut.

Dalam konteks institusional, pengeroyokan cenderung lebih halus namun lebih merusak secara psikologis. Ini bisa berupa:

Dampak dari mengeroyok jenis ini sangat besar; korban sering mengalami kecemasan kronis, depresi, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Lingkungan yang memungkinkan mobbing terjadi menunjukkan kegagalan kepemimpinan dalam menegakkan etika dan perlindungan bagi semua anggotanya, membiarkan dinamika kekuatan yang tidak sehat beroperasi bebas. Hal ini semakin diperburuk oleh budaya organisasi yang mungkin secara implisit membenarkan perilaku agresif demi mencapai tujuan tertentu, atau sekadar karena adanya ketakutan bawahan untuk melaporkan pelaku yang mungkin berada dalam posisi kekuasaan.

IV. Dampak Trauma Jangka Panjang bagi Korban dan Pelaku

Konsekuensi dari aksi mengeroyok jauh melampaui luka fisik atau kerugian properti. Trauma yang dialami korban dan bahkan dampak psikologis pada pelaku memerlukan perhatian serius dan intervensi yang komprehensif.

A. Korban: Fragmentasi Identitas dan Kecemasan Sosial

Bagi korban, serangan kolektif menghadirkan tingkat ancaman yang berbeda dari serangan individu. Serangan yang dilakukan oleh sekelompok orang mengirimkan pesan yang menghancurkan: bahwa bukan hanya satu orang, tetapi seluruh kelompok, menganggap korban tidak layak mendapatkan rasa hormat atau keamanan. Hal ini dapat menyebabkan:

Proses pemulihan memerlukan terapi yang berfokus pada pembangunan kembali rasa aman, pengolahan memori traumatis, dan restrukturisasi kognitif untuk melawan keyakinan yang merusak bahwa 'dunia adalah tempat yang berbahaya' atau 'saya pantas dikeroyok'. Dukungan sosial yang kuat dan sistem peradilan yang adil sangat penting untuk memvalidasi pengalaman korban dan membantu mereka bergerak maju.

B. Pelaku: Pembentukan Identitas Agresif dan Minimnya Empati

Meskipun pelaku aksi mengeroyok mungkin tampak menikmati perasaan kekuatan yang diberikan oleh kelompok, tindakan tersebut juga meninggalkan jejak negatif pada perkembangan psikologis mereka. Partisipasi dalam kekerasan kolektif dapat memperkuat identitas antisosial dan mengurangi kemampuan mereka untuk berempati.

Difusi tanggung jawab, yang awalnya berfungsi melindungi pelaku dari rasa bersalah, justru dapat mengikis mekanisme moral internal. Jika tindakan kekerasan berhasil tanpa konsekuensi serius (atau dengan konsekuensi yang dianggap sepele), perilaku tersebut diperkuat sebagai strategi yang efektif untuk mencapai tujuan. Ini bisa meningkatkan risiko perilaku kekerasan di masa depan. Intervensi untuk pelaku harus berfokus pada:

Jika pelaku adalah remaja, kegagalan untuk mengintervensi dengan tepat dapat mengarahkan mereka ke jalur kriminalitas yang lebih parah. Oleh karena itu, sistem peradilan restoratif sering kali dicari sebagai alternatif untuk memungkinkan pelaku menghadapi konsekuensi tindakan mereka secara langsung dan memahami kerugian yang mereka timbulkan.

Dampak psikologis yang ditimbulkan oleh aksi mengeroyok adalah fenomena multidimensi yang memerlukan pendekatan holistik. Pada tingkat yang paling dasar, trauma yang dialami korban bukan hanya trauma fisik, melainkan trauma sosial: serangan terhadap status sosial, harga diri, dan hak asasi untuk eksis tanpa ancaman. Konsekuensi ini dapat bermanifestasi sebagai fobia sosial, di mana ketakutan terhadap kelompok atau keramaian menjadi sedemikian parah sehingga membatasi fungsi sehari-hari. Sementara itu, bagi pelaku, berpartisipasi dalam pengeroyokan dapat menjadi semacam 'gerbang masuk' menuju perilaku devian yang lebih luas, terutama jika kekerasan tersebut diidolakan atau dinormalisasi dalam lingkungan sosial mereka.

V. Strategi Pencegahan dan Penegakan Keadilan Restoratif

Pencegahan aksi mengeroyok harus dilakukan pada tiga tingkatan: individu, institusional, dan struktural/hukum. Pendekatan yang efektif harus menggabungkan penegakan hukum yang tegas dengan program pencegahan berbasis empati dan pendidikan.

A. Reformasi Pendidikan dan Program Empati

Pencegahan paling awal dan paling vital adalah melalui pendidikan. Sekolah harus menjadi garis pertahanan pertama melawan pembentukan mentalitas kolektif yang destruktif. Program pendidikan harus fokus pada:

  1. Pendidikan Karakter dan Keterampilan Sosial: Mengajarkan manajemen konflik, komunikasi asertif tanpa agresi, dan pentingnya menghargai perbedaan.
  2. Penghancuran Efek Bystander: Melatih siswa untuk menjadi ‘bystander yang aktif’—individu yang didorong untuk mengintervensi atau mencari bantuan ketika mereka menyaksikan perundungan atau ancaman kekerasan. Ini secara langsung melawan difusi tanggung jawab.
  3. Penyadaran Deindividuasi: Mengadakan diskusi terbuka tentang bagaimana kelompok dapat memanipulasi emosi dan mengurangi pertimbangan moral, khususnya dalam konteks media sosial.

Penerapan program anti-bullying dan mobbing yang ketat di sekolah dan tempat kerja adalah wajib. Institusi harus memiliki protokol yang jelas untuk melaporkan, menyelidiki, dan menjatuhkan sanksi terhadap perilaku mengeroyok, memastikan bahwa tidak ada ruang bagi impunitas yang dapat memperkuat perilaku kolektif yang merusak.

B. Penegakan Hukum dan Keadilan Restoratif

Sistem peradilan harus memastikan bahwa kejahatan mengeroyok ditangani dengan serius, mencerminkan peningkatan bahaya yang ditimbulkannya. Perluasan definisi kejahatan kolektif untuk mencakup pengeroyokan siber menjadi semakin mendesak. Namun, di luar hukuman penjara, keadilan restoratif menawarkan jalur yang penting untuk rehabilitasi, terutama bagi pelaku muda.

Keadilan restoratif berfokus pada perbaikan kerugian yang ditimbulkan dan rekonsiliasi, bukan hanya hukuman. Melalui proses ini, korban dan pelaku, difasilitasi oleh mediator, dapat bertemu (jika aman dan diinginkan oleh korban). Tujuan utamanya adalah memaksa pelaku untuk secara langsung menghadapi penderitaan korban, memecah dinding anonimitas dan difusi tanggung jawab yang melindungi mereka. Ketika seorang pelaku harus secara pribadi mendengarkan dampak traumatis dari tindakan mengeroyok yang mereka lakukan, empati kognitif dapat dipicu, yang merupakan langkah pertama menuju perubahan perilaku jangka panjang.

Pendekatan hukum ini juga harus mempertimbangkan peran provokator dan pemimpin kelompok. Dalam banyak kasus mengeroyok, ada satu atau dua individu yang berfungsi sebagai katalisator, mengarahkan emosi kelompok menuju target. Penegakan hukum harus secara spesifik menargetkan dan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada para pemimpin ini untuk menghancurkan struktur komando kelompok agresif.

VI. Membangun Solidaritas dan Resistensi terhadap Kekerasan Kolektif

Mengatasi fenomena mengeroyok memerlukan pergeseran paradigma dari fokus pada 'hukuman individual' menjadi 'tanggung jawab kolektif'. Masyarakat harus secara aktif memupuk budaya di mana agresi kelompok tidak hanya tidak ditoleransi tetapi secara aktif ditolak oleh mayoritas. Solidaritas sosial adalah penawar paling ampuh terhadap psikologi massa yang destruktif.

Ketika seseorang dikeroyok, mereka tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tetapi juga korban kegagalan sosial—kegagalan orang-orang di sekitar untuk melangkah maju dan mengintervensi. Membangun resistensi berarti menciptakan lingkungan di mana intervensi proaktif menjadi norma, bukan pengecualian. Ini membutuhkan keberanian sipil (civic courage) yang didukung oleh sistem yang melindungi para pemberi bantuan.

Dalam jangka panjang, pencegahan kekerasan kolektif seperti aksi mengeroyok bergantung pada kemampuan kita sebagai masyarakat untuk mengatasi kesenjangan sosial, ketidaksetaraan, dan prasangka yang sering kali menjadi bahan bakar awal bagi permusuhan kelompok. Ketika masyarakat merasa terfragmentasi, terpinggirkan, atau tidak didengar, energi kolektif sering kali diarahkan pada kambing hitam yang dianggap bertanggung jawab atas kesengsaraan mereka. Oleh karena itu, investasi dalam kohesi sosial, keadilan ekonomi, dan representasi politik yang inklusif adalah strategi pencegahan struktural yang paling mendasar dan berkelanjutan. Kita harus memastikan bahwa saluran-saluran yang sah untuk mengatasi frustrasi dan ketidakadilan terbuka, sehingga individu tidak merasa perlu menggunakan kekerasan kolektif yang merusak untuk mendapatkan perhatian atau kekuasaan.

Setiap upaya untuk memahami dan mencegah tindakan mengeroyok harus didasarkan pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang sangat rentan terhadap pengaruh kelompok. Dengan memperkuat kesadaran individu, menegakkan hukum secara adil dan tegas, serta memprioritaskan pendidikan empati, kita dapat berharap untuk meredam kegelapan psikologi massa dan mempromosikan perilaku kolektif yang didasarkan pada penghormatan dan tanggung jawab.

***

VII. Analisis Mendalam Mengenai Pemicu Sosial dan Ekonomi

Fenomena mengeroyok seringkali memiliki akar yang lebih dalam dari sekadar agresi spontan. Kondisi sosial dan ekonomi yang mendasari sebuah komunitas dapat berfungsi sebagai pemicu (trigger) yang signifikan. Dalam komunitas dengan tingkat pengangguran tinggi, kesenjangan ekonomi yang mencolok, dan kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas, rasa frustrasi dan ketidakberdayaan kolektif dapat memuncak. Ketika kelompok merasa terpinggirkan, identitas kelompok menjadi benteng pertahanan, dan agresi terhadap 'yang lain' (out-group) berfungsi sebagai katarsis yang menyesatkan. Studi sosiologi konflik menunjukkan bahwa peningkatan kekerasan kolektif, termasuk mengeroyok, sering kali berkorelasi langsung dengan persepsi ketidakadilan distributif. Kelompok yang merasa dirugikan cenderung mencari sasaran yang mudah dikalahkan untuk melampiaskan kemarahan mereka, dan aksi mengeroyok menyediakan sarana kekerasan yang diperkuat secara sosial untuk mencapai pelepasan emosional tersebut.

Lebih lanjut, peran media, baik tradisional maupun sosial, dalam membingkai narasi juga sangat krusial. Ketika media secara berulang kali menampilkan kelompok atau individu tertentu sebagai musuh, sebagai penyebab dari semua masalah sosial, hal ini menciptakan legitimasi kognitif bagi aksi mengeroyok. Dehumanisasi yang dilakukan melalui narasi media massa menghilangkan batasan moral bagi para calon pelaku. Mereka tidak lagi melihat korban sebagai individu dengan perasaan, melainkan sebagai simbol dari masalah yang perlu 'dibersihkan' atau 'dihukum'. Dalam konteks ini, tindakan mengeroyok berubah dari kejahatan pribadi menjadi tindakan 'keadilan' yang disalahpahami, diperkuat oleh keyakinan palsu bahwa mereka sedang berjuang demi kepentingan kelompok yang lebih besar.

Pola ini terlihat jelas dalam kasus-kasus pengeroyokan yang berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Prasangka yang diwariskan dari generasi ke generasi, diperkuat oleh agitasi politik atau keagamaan, dapat mempersenjatai kelompok dengan pembenaran moral yang kuat. Kekuatan kelompok lantas digunakan untuk menekan minoritas atau individu yang dianggap menyimpang dari norma mayoritas. Di sinilah terletak bahaya terbesar dari psikologi kelompok: kemampuan untuk mengubah kebencian yang samar-samar menjadi tindakan kekerasan yang terkoordinasi dan brutal.

VIII. Pendalaman Teori Kriminalitas Kelompok dan Interaksi Sosial

Teori-teori kriminalitas kelompok menyediakan kerangka kerja untuk menganalisis bagaimana kejahatan mengeroyok diorganisasi, meskipun sering kali tanpa perencanaan formal. Teori Kontrol Sosial, misalnya, menunjukkan bahwa perilaku menyimpang terjadi ketika ikatan individu dengan masyarakat melemah. Dalam kasus mengeroyok, ikatan ini tidak hanya melemah tetapi digantikan oleh ikatan kuat dengan subkultur atau geng yang mengedepankan kekerasan sebagai alat komunikasi dan kontrol. Subkultur ini menyediakan norma-norma yang berlawanan dengan norma masyarakat umum, memuji agresi dan keberanian dalam melakukan kekerasan kolektif.

Selain itu, Teori Pembelajaran Sosial, yang dicetuskan oleh Albert Bandura, menjelaskan bagaimana perilaku agresif dipelajari. Pelaku mengeroyok sering kali belajar bahwa kekerasan kolektif efektif—mereka melihat senior mereka lolos dari hukuman, atau mendapatkan status dan pengakuan dari rekan-rekan mereka karena kebrutalan yang mereka tunjukkan. Proses vikarius ini (belajar dari pengamatan orang lain) sangat kuat dalam lingkungan yang didominasi geng atau kelompok yang mengagungkan kekuatan fisik. Kekerasan menjadi perilaku yang diulang dan diperkuat, menciptakan siklus di mana setiap generasi baru pelaku belajar untuk menggunakan kekuatan angka demi mencapai tujuan mereka, baik itu dominasi teritorial, balas dendam, atau sekadar sensasi kekuatan yang temporer.

Interaksi sosial dalam kelompok pelaku juga memperlihatkan adanya 'polaritas kelompok' (group polarization), di mana keputusan atau kecenderungan kelompok menjadi lebih ekstrem setelah diskusi dan interaksi. Jika individu A sedikit marah dan individu B juga sedikit marah, ketika mereka berinteraksi dalam kelompok yang bertujuan untuk 'menghukum' seseorang, kemarahan mereka tidak hanya dijumlahkan; ia dikalikan. Kelompok tersebut pada akhirnya akan membuat keputusan yang jauh lebih ekstrem, agresif, dan berisiko dibandingkan dengan keputusan yang akan diambil oleh anggota individu sebelum interaksi kelompok tersebut. Ini menjelaskan mengapa pengeroyokan sering kali berujung pada cedera parah atau bahkan kematian yang mungkin tidak dimaksudkan oleh salah satu pelaku awal, tetapi merupakan hasil dari momentum destruktif kolektif yang tidak dapat dihentikan.

Pemahaman mengenai dinamika polaritas ini sangat penting dalam penanggulangan. Intervensi harus dilakukan sebelum polaritas terbentuk. Setelah emosi kelompok memuncak dan keputusan ekstrem telah diambil, hampir mustahil untuk mengembalikan individu ke kondisi rasionalitas. Oleh karena itu, polisi dan pihak keamanan dilatih untuk membubarkan kerumunan sebelum terjadi titik didih (tipping point) kekerasan, karena begitu aksi mengeroyok dimulai, kerusakan yang ditimbulkan akan menjadi cepat dan luas.

Upaya pencegahan harus secara aktif menargetkan dinamika internal kelompok-kelompok berisiko. Ini melibatkan program yang menawarkan alternatif identitas dan afiliasi yang positif, memberikan peluang bagi kaum muda untuk mendapatkan pengakuan melalui cara-cara konstruktif, bukan melalui agresi kolektif. Ketika individu merasa dihargai dan memiliki tempat yang aman dalam komunitas yang luas, kebutuhan untuk mencari validasi melalui kelompok kecil yang destruktif akan berkurang secara signifikan. Struktur sosial yang mendukung adalah benteng terkuat melawan daya tarik kekuatan yang ditawarkan oleh aksi mengeroyok.

Dampak traumatis dari aksi mengeroyok juga menyoroti kegagalan sistem pengawasan sosial. Kekerasan kolektif jarang terjadi tanpa ada tanda-tanda peringatan. Selalu ada bisikan, ancaman, atau mobilisasi yang mendahuluinya. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memiliki jaringan informasi kuat dan keberanian untuk melaporkan potensi kekerasan sebelum ia meletus. Kelengahan atau ketakutan publik untuk mengintervensi adalah bahan bakar yang memungkinkan kelompok agresif untuk berkembang. Dalam konteks ini, setiap individu memiliki peran dalam mencegah aksi mengeroyok, bukan hanya polisi atau lembaga penegak hukum. Keamanan kolektif adalah tanggung jawab kolektif.

IX. Tantangan dalam Penanganan Kasus Mengeroyok Siber

Pengeroyokan siber (cyber mobbing) menghadirkan tantangan unik yang menuntut adaptasi hukum dan teknologi. Salah satu kesulitan terbesar adalah yurisdiksi. Pelaku pengeroyokan siber dapat berada di berbagai negara, dan korban mengalami trauma di negara lain. Koordinasi lintas batas untuk penegakan hukum seringkali lambat dan terhambat oleh perbedaan undang-undang privasi dan kebebasan berekspresi. Lebih lanjut, sifat anonim internet membuat identifikasi pelaku menjadi proses yang mahal dan rumit, membutuhkan kerja sama dari platform media sosial yang seringkali enggan untuk menyerahkan data pengguna tanpa perintah pengadilan yang sangat spesifik.

Tantangan lain adalah skalabilitas kerusakan. Serangan mengeroyok fisik terbatas oleh lokasi dan waktu. Pengeroyokan siber tidak memiliki batasan tersebut. Kerusakan reputasi dapat terjadi dalam hitungan jam dan dapat dilihat oleh jutaan orang, menyebabkan kerugian profesional dan psikologis yang seringkali tidak proporsional dengan tindakan awal korban. Sering kali, korban pengeroyokan siber adalah mereka yang menyuarakan pendapat minoritas atau mengkritik figur publik yang memiliki basis penggemar besar. Ketika basis penggemar tersebut dimobilisasi, baik secara sengaja maupun organik, efek mengeroyok dapat menghancurkan karier seseorang, mengancam keselamatan fisik mereka, dan memaksa mereka meninggalkan platform digital sepenuhnya.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan regulasi platform yang lebih ketat, yang mewajibkan mereka untuk berinvestasi dalam teknologi deteksi mobilisasi kebencian (hate speech mobilization) dan memberikan sanksi tegas, seperti penghapusan akun permanen, terhadap mereka yang terlibat dalam mengeroyok secara masif. Selain itu, pendidikan literasi digital harus diperkuat agar masyarakat memahami bahwa berpartisipasi dalam pengeroyokan siber, meskipun hanya dengan me-retweet atau memberikan komentar menghina, tetap merupakan bentuk agresi kolektif yang memiliki konsekuensi nyata di dunia nyata. Masyarakat perlu diajarkan bahwa layar gawai tidak memberikan imunitas moral atas tindakan mereka.

Keadilan bagi korban pengeroyokan siber juga harus mencakup hak untuk dilupakan (right to be forgotten), di mana konten-konten yang merendahkan atau mengancam harus dihapus dari hasil mesin pencari setelah jangka waktu tertentu, memungkinkan korban untuk membangun kembali kehidupan digital dan reputasi mereka tanpa bayang-bayang serangan masa lalu yang brutal. Ini adalah pengakuan bahwa pengeroyokan siber meninggalkan luka digital yang memerlukan penyembuhan dan pembersihan yang sistematis.

X. Etika dan Peran Komunitas dalam Isolasi Pelaku Mengeroyok

Komunitas memainkan peran yang tak tergantikan dalam mencegah pengulangan aksi mengeroyok. Ketika kejahatan kolektif terjadi, sering kali ada kecenderungan dalam komunitas untuk melindungi atau membenarkan pelaku, terutama jika pelaku berasal dari kelompok yang dominan atau populer. Etika komunal menuntut penolakan tegas terhadap segala bentuk pembenaran kekerasan kelompok. Isolasi sosial terhadap pelaku, meskipun bukan hukuman formal, adalah alat yang sangat efektif untuk menunjukkan bahwa perilaku mengeroyok tidak akan dihargai atau diterima.

Ini bukan berarti mengucilkan individu secara permanen, tetapi menahan validasi sosial sampai pelaku menunjukkan pertobatan sejati dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memperbaiki kesalahan mereka, seringkali melalui program keadilan restoratif yang ketat. Komunitas harus menciptakan ruang aman bagi korban untuk berbicara tanpa takut akan pembalasan atau victim-blaming. Dalam banyak kasus mengeroyok, korban sering disalahkan karena 'memprovokasi' serangan tersebut, sebuah mekanisme pertahanan yang dianut oleh masyarakat untuk menghindari kenyataan bahwa kekerasan brutal terjadi tanpa alasan yang sah.

Untuk secara efektif melawan mentalitas mengeroyok, komunitas harus mempromosikan para pahlawan sosial—mereka yang berani mengintervensi atau melapor—dan memberikan mereka dukungan. Ketika masyarakat secara kolektif mengirimkan pesan bahwa melindungi yang lemah adalah tanggung jawab setiap orang, lingkungan menjadi kurang kondusif bagi terbentuknya psikologi massa yang agresif. Membangun budaya kepedulian yang mendalam adalah investasi sosial jangka panjang yang akan mengurangi insiden mengeroyok, baik di dunia nyata maupun di ruang siber. Fenomena mengeroyok adalah cerminan dari kesehatan kolektif kita, dan hanya melalui upaya kolektif yang berkelanjutan kita dapat menyembuhkan luka sosial yang diakibatkannya.

Keputusan untuk terlibat dalam aksi mengeroyok selalu merupakan pilihan, meskipun pilihan itu dibuat di bawah tekanan psikologis kelompok. Setiap individu, terlepas dari situasi, memegang tanggung jawab moral untuk menolak menjadi bagian dari mesin kekerasan. Pendidikan moral yang kuat, penegakan hukum yang transparan, dan struktur sosial yang suportif adalah fondasi yang diperlukan untuk memastikan bahwa kekuatan kelompok digunakan untuk tujuan konstruktif, bukan destruktif. Pengakhiran fenomena mengeroyok adalah tujuan yang ambisius, tetapi melalui komitmen kolektif terhadap empati dan keadilan, hal itu dapat dicapai.

Ilustrasi Solusi dan Keadilan Diagram interaksi sosial yang sehat dan keadilan. Korban Pelaku Mediator Pencegahan Restorasi

Alt Text: Diagram interaksi sosial yang sehat dan keadilan.

Dengan demikian, perjalanan panjang untuk memahami dan memitigasi aksi mengeroyok membutuhkan disiplin ilmu yang terintegrasi, mulai dari studi psikologi mendalam tentang deindividuasi, hingga penerapan kerangka hukum yang adaptif terhadap kekerasan kolektif, baik di ruang fisik maupun digital. Harapannya, dengan peningkatan kesadaran dan intervensi yang tepat, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman, di mana kekuatan kolektif diarahkan untuk kebaikan bersama, bukan untuk destruksi individu.

🏠 Kembali ke Homepage