Reaksi jijik atau rasa keji (yang seringkali kita definisikan sebagai 'mengejikan') adalah salah satu emosi manusia paling fundamental, namun paling kompleks. Emosi ini jauh melampaui sekadar perasaan mual; ia merupakan mekanisme pertahanan evolusioner, pilar penentu batas-batas moral, dan kompas budaya yang memandu interaksi kita dengan dunia. Kapasitas untuk menemukan sesuatu yang menjijikkan telah membentuk kebiasaan higienis, sistem kepercayaan, dan bahkan struktur masyarakat kita. Tanpa kemampuan ini, probabilitas bertahan hidup manusia, terutama dalam menghadapi patogen dan sumber daya yang terkontaminasi, akan menurun drastis.
Memahami apa yang kita anggap menjijikkan adalah memahami inti dari ketakutan kita terhadap kontaminasi, kerapuhan tubuh, dan pelanggaran tatanan sosial yang kita pahami. Artikel ini akan membedah emosi ini dari berbagai sudut pandang: biologis, psikologis, sosiologis, hingga manifestasinya dalam sejarah dan filsafat, mengungkap betapa esensialnya reaksi penolakan ini dalam mendefinisikan kemanusiaan kita.
Reaksi 'mengejikan' adalah respons biologis yang secara evolusioner sangat penting. Inti dari respons ini adalah Penghindaran Patogen. Sebelum manusia memahami konsep bakteri atau virus, nenek moyang kita yang menunjukkan kepekaan tinggi terhadap bau busuk, penampilan pembusukan, atau cairan tubuh yang tidak normal, memiliki peluang hidup yang jauh lebih besar. Mereka secara naluriah menghindari sumber penyakit yang tak terlihat.
Secara neurologis, emosi jijik sangat terkait erat dengan aktivitas di korteks insula, area otak yang memainkan peran penting dalam pemrosesan emosi, kesadaran tubuh, dan regulasi homeostasis. Ketika kita dihadapkan pada pemicu jijik—misalnya, daging busuk atau pemandangan cedera parah—korteks insula menyala, memicu respons fisik yang khas: mual, detak jantung yang melambat, dan dorongan kuat untuk menjauh. Reaksi fisik ini, yang bertujuan untuk mengeluarkan substansi beracun (muntah) atau membatasi paparan, menunjukkan betapa mendasarnya emosi ini bagi kelangsungan hidup fisik.
Aktivasi Korteks Insula sebagai pusat neurobiologis utama untuk memproses jijik dan penolakan kontaminasi.
Penelitian telah mengidentifikasi enam kategori utama pemicu jijik yang cenderung bersifat universal lintas budaya, menegaskan dasar evolusioner respons ini. Kategorisasi ini menunjukkan bahwa yang kita anggap menjijikkan bukanlah fenomena acak, melainkan reaksi terstruktur terhadap ancaman yang terulang dalam sejarah biologis manusia. Enam kategori tersebut meliputi:
Ini adalah pemicu yang paling umum dan langsung. Makanan yang menunjukkan tanda-tanda pembusukan—bau menyengat, jamur, tekstur yang aneh, atau serangga—segera memicu alarm biologis. Penghindaran ini sangat penting karena keracunan makanan adalah ancaman kematian paling nyata di lingkungan primitif. Bahkan, pada tingkat psikologis, konsep "makanan yang salah" (misalnya, memakan serangga di budaya yang tidak mengizinkannya) dapat memicu jijik meskipun secara fisik tidak berbahaya, menunjukkan adanya lapisan budaya di atas insting dasar.
Darah, muntah, kotoran, lendir, dan urine adalah pembawa patogen yang sangat efektif. Reaksi jijik terhadap zat-zat ini bersifat kuat dan otomatis. Dalam konteks medis atau perawatan, manusia harus secara sadar menekan insting alami ini untuk dapat berfungsi. Keengganan terhadap kontak dengan ekskreta ini juga menjadi dasar utama ritual kebersihan dan praktik sanitasi dalam masyarakat modern.
Individu atau lingkungan yang menunjukkan kurangnya perawatan diri yang ekstrem (misalnya, kuku kotor, pakaian lusuh, penumpukan sampah) menimbulkan jijik karena secara implisit menyiratkan tingginya risiko penyakit. Rasa jijik ini seringkali berfungsi sebagai sinyal sosial, mendorong anggota kelompok untuk menjaga standar kebersihan yang mengurangi ancaman penyakit kolektif.
Pemandangan mayat atau luka terbuka yang memperlihatkan organ dalam sangat menjijikkan karena merupakan pengingat brutal akan kerapuhan eksistensi dan merupakan sumber patogen yang sangat terkonsentrasi. Reaksi jijik ini, sering kali berpadu dengan rasa takut, mendorong manusia untuk menguburkan atau membuang mayat, sebuah praktik yang juga memiliki implikasi budaya dan ritualistik yang mendalam.
Banyak budaya memiliki keengganan kuat terhadap hewan tertentu, seperti tikus, kecoa, lintah, atau ular, yang secara historis terbukti membawa penyakit atau parasit. Meskipun ketakutan terhadap predator adalah kategori terpisah, jijik terhadap hewan-hewan ini berakar pada potensi mereka sebagai vektor penyakit.
Meskipun ini memiliki dasar moral dan sosial yang lebih kuat, banyak perilaku seksual yang dianggap "tidak wajar" atau tidak pantas secara budaya juga memicu reaksi jijik. Dalam kerangka evolusioner, ini mungkin terkait dengan penghindaran penyakit menular atau pemeliharaan batasan reproduksi yang ketat, meskipun interpretasi ini lebih diperdebatkan dalam konteks modern.
Seiring perkembangan kognisi manusia, reaksi jijik meluas dari ancaman fisik murni menjadi ancaman sosial dan moral. Psikolog Paul Rozin mendefinisikan pergeseran ini sebagai evolusi dari "disgust for the body" (jijik terhadap fisik) menjadi "disgust for the soul" (jijik terhadap jiwa atau moralitas). Apa yang kita anggap mengejikan di tingkat moral seringkali tidak melibatkan kontak fisik sama sekali, melainkan pelanggaran mendalam terhadap nilai-nilai inti atau norma keadilan.
Inti dari jijik psikologis adalah Prinsip Kontaminasi. Dalam pikiran manusia, sekali suatu objek atau individu "terkontaminasi" oleh sesuatu yang menjijikkan, kontaminasi tersebut dapat menyebar melalui kontak, bahkan tanpa perpindahan fisik patogen yang nyata. Contoh klasik adalah keengganan meminum jus dari gelas yang baru saja digunakan oleh seseorang yang kita benci, meskipun kita tahu gelas tersebut sudah dicuci bersih. Ini menunjukkan bahwa pikiran kita memproses jijik sebagai transfer sifat (yang jahat, kotor, menjijikkan) daripada transfer kuman.
Kontaminasi simbolis ini menjelaskan mengapa kita merasa jijik terhadap orang yang melakukan kejahatan keji. Perilaku mereka tidak hanya dilihat sebagai 'salah', tetapi sebagai 'kotor', dan kita ingin menjaga jarak fisik dan emosional dari mereka untuk menghindari 'kontaminasi' moral.
Rasa jijik memiliki efek samping sosial yang berbahaya: ia dapat digunakan untuk 'dehumanisasi'. Ketika suatu kelompok atau individu secara konsisten digambarkan dengan citra yang secara fisik menjijikkan (misalnya, dikaitkan dengan kotoran, penyakit, atau kutu), hal ini memicu reaksi jijik primal. Reaksi ini kemudian digunakan untuk merasionalisasi penolakan, diskriminasi, dan dalam kasus ekstrem, kekerasan. Jijik yang mendalam mematikan sirkuit empati, membuat penderitaan target penolakan tampak 'pantas' atau setidaknya 'tidak relevan' bagi kita, karena mereka telah ditempatkan di luar batas kemanusiaan yang bersih.
Jijik adalah emosi penolakan total. Ia tidak hanya menyuruh kita untuk menjauh; ia menyuruh kita untuk membuang, menghancurkan, dan melupakan. Dalam konteks sosial, ini adalah kekuatan pemisah yang sangat kuat.
Meskipun pemicu biologis jijik cukup universal, interpretasi dan aplikasi emosi ini sangat bervariasi antar budaya. Apa yang mengejikan di satu tempat bisa menjadi makanan lezat atau praktik suci di tempat lain. Ini menunjukkan bahwa budaya berfungsi sebagai 'filter' yang mengkalibrasi insting jijik alami.
Batasan diet adalah contoh paling nyata dari relativitas jijik. Mengapa sebagian besar masyarakat Barat merasa jijik memakan serangga, padahal serangga adalah sumber protein yang efisien? Mengapa daging babi haram bagi Yudaisme dan Islam, sementara di budaya lain ia adalah makanan pokok? Jawaban seringkali terletak pada interpretasi budaya tentang kebersihan, tatanan, dan 'kekotoran' (dirt) yang didefinisikan oleh antropolog Mary Douglas sebagai 'materi yang tidak pada tempatnya'.
Hewan yang sulit diklasifikasikan (seperti babi yang menggali di tanah, atau belut yang hidup di lumpur tetapi berbentuk seperti ular) seringkali menjadi target tabu diet. Mereka melanggar kategori rapi yang ingin diciptakan oleh masyarakat, dan pelanggaran tatanan ini memicu jijik yang kemudian dikodifikasi menjadi hukum agama atau sosial. Melalui ritual dan tabu, masyarakat secara kolektif melatih anggotanya untuk menanggapi hal-hal tertentu sebagai 'mengejikan' demi menjaga identitas dan kohesi kelompok.
Jijik sebagai alat sosial untuk mempertahankan batas-batas norma dan kebersihan yang disepakati oleh masyarakat.
Ironisnya, meskipun jijik adalah emosi penolakan, manusia juga memiliki ketertarikan aneh untuk mengeksplorasi yang menjijikkan melalui seni dan media. Konsep ‘grotesk’ dalam seni—penggambaran yang dilebih-lebihkan, sering kali menampilkan deformitas, pembusukan, atau kekejian tubuh—adalah upaya untuk mengolah emosi penolakan ini dalam konteks yang aman.
Mengapa kita menonton film horor yang menampilkan kekerasan brutal atau mutilasi? Sebagian besar teori psikologi seni menyatakan bahwa ini adalah sublimasi: kita secara sadar mencari pemicu jijik untuk menguji batas emosional kita. Dengan menghadapi yang 'mengejikan' dalam fiksi, kita memperkuat batas-batas moral dan fisik kita di dunia nyata. Tindakan ini juga bisa menjadi cara untuk mendapatkan kontrol atas rasa takut yang mendalam terhadap ketidaksempurnaan dan kematian, menjadikannya tontonan daripada ancaman nyata.
Sejarah manusia dipenuhi dengan peristiwa yang meninggalkan jejak rasa jijik kolektif, bukan hanya karena kehancuran fisik, tetapi karena pelanggaran total terhadap tatanan moral. Peristiwa-peristiwa ini membentuk trauma budaya yang bertahan lama dan mendefinisikan batas-batas 'kemungkinan' kebejatan manusia.
Aksi-aksi yang dilakukan selama genosida atau perang brutal seringkali dideskripsikan sebagai 'mengejikan' karena melampaui batas-batas moral yang dapat diterima. Ini mencakup tindakan penyiksaan yang bertujuan untuk mendegradasi korban sepenuhnya, menghilangkan kemanusiaan mereka di mata pelaku dan penonton. Dalam konteks ini, jijik bukan lagi hanya tentang kontaminasi kuman, tetapi tentang kontaminasi terhadap konsep kemanusiaan itu sendiri.
Kisah-kisah historis tentang kanibalisme non-survival, kekerasan seksual yang dilembagakan, atau pemanfaatan limbah manusia secara sistematis (seperti di kamp-kamp konsentrasi) menghasilkan rasa jijik yang melintasi generasi. Dokumentasi peristiwa ini, melalui foto atau saksi mata, memastikan bahwa kengerian tersebut tetap hidup, berfungsi sebagai peringatan tentang apa yang terjadi ketika batas-batas moral kolektif runtuh.
Wabah penyakit, seperti Maut Hitam atau pandemi modern, memicu reaksi jijik yang massif dan mengubah struktur sosial. Dalam periode wabah, jijik menjadi pendorong kepanikan, karena setiap orang menjadi potensi sumber kontaminasi. Penyakit yang secara visual menjijikkan—yang melibatkan luka bernanah, deformitas, atau keluarnya cairan tubuh yang tak terkontrol—memaksa masyarakat untuk mengisolasi, dan seringkali mengorbankan, yang sakit. Rasa jijik, yang seharusnya menjadi alat perlindungan individu, menjadi alat opresi kolektif ketika diterapkan tanpa belas kasihan.
Reaksi jijik terhadap penderita kusta (leprosy) di abad pertengahan adalah contoh sempurna. Kusta bukan hanya penyakit, tetapi stigma moral. Rasa jijik yang ditimbulkannya jauh lebih kuat daripada penyakit lain, mengisolasi korban secara total dari masyarakat, membuktikan bahwa penampakan fisik kekejian memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk kebijakan sosial, bahkan jika kebijakan itu didasarkan pada ketakutan buta daripada pemahaman medis.
Dalam filsafat, reaksi jijik seringkali dikaitkan dengan kengerian eksistensial, khususnya ketika manusia dipaksa untuk menghadapi realitas materialitas tubuh dan kefanaan. Jika biologis jijik adalah tentang menghindari penyakit, filosofis jijik adalah tentang menghindari kenyataan bahwa kita adalah materi yang pada akhirnya akan membusuk.
Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, dalam karyanya La Nausée (Mual), menjadikan rasa jijik (atau mual) sebagai metafora sentral untuk kengerian menghadapi keberadaan mentah dan tanpa makna. Karakter utamanya merasakan mual ketika ia menyadari bahwa objek-objek di sekitarnya tidak memiliki esensi intrinsik; mereka hanyalah materi yang ada tanpa alasan. Kekejian muncul dari kesadaran bahwa tubuh kita sendiri hanyalah "daging" yang dapat membusuk, dan kebebasan absolut yang menyertainya menjadi hal yang menakutkan, atau 'mengejikan'.
Jijik eksistensial ini adalah penolakan terhadap kenyataan bahwa manusia tidak berbeda fundamental dengan lumpur, tanaman, atau bangkai hewan—semuanya tunduk pada hukum alam, pembusukan, dan entropi. Keinginan untuk melarikan diri dari realitas ini memicu penciptaan 'esensi' (agama, moralitas, status sosial) yang berfungsi sebagai selimut pelindung melawan kebenaran biologis yang brutal.
Konsep ‘Lembah Tak Jelas’ (Uncanny Valley), meskipun berasal dari robotika dan estetika, merupakan manifestasi dari jijik kognitif. Kita merasa jijik ketika sesuatu tampak hampir, tetapi tidak sepenuhnya, manusia (seperti boneka yang terlalu realistis atau animasi yang canggung). Reaksi ini diyakini berasal dari ketidakmampuan otak untuk mengklasifikasikan objek tersebut: apakah itu manusia (hidup) atau non-manusia (mati atau objek)? Ketidakpastian ini memicu alarm karena melanggar kategori yang jelas yang kita gunakan untuk mengamankan dunia kita, memberikan sensasi ancaman atau penyakit.
Di balik tampilan yang 'mengejikan' secara teknologi, tersimpan ketakutan primitif kita terhadap duplikat yang tidak sempurna, yang mungkin menyiratkan kelemahan atau penyakit tersembunyi. Reaksi terhadap Lembah Tak Jelas adalah cerminan betapa kita bergantung pada kejelasan visual dan biologis untuk memproses dan menerima lingkungan kita.
Setelah mengupas lapisan biologis, psikologis, dan sosial dari reaksi 'mengejikan', kita kembali pada pertanyaan mendasar: bagaimana manusia dapat berfungsi, atau bahkan berkembang, di dunia yang penuh dengan pemicu jijik? Jawabannya terletak pada adaptasi, ritual, dan yang terpenting, habituasi.
Banyak profesi—dokter bedah, petugas kebersihan, petugas kamar mayat, atau petugas forensik—mengharuskan individu untuk secara sistematis menekan atau mematikan respons jijik alami mereka. Hal ini dilakukan melalui pelatihan intensif dan pembangunan kerangka kerja kognitif yang berbeda. Seorang dokter melihat isi perut bukan sebagai 'menjijikkan', tetapi sebagai 'kasus patologi' yang harus diperbaiki. Pemindahan fokus dari emosi ke tugas adalah kunci untuk mengatasi hambatan biologis yang ditimbulkan oleh rasa jijik.
Habituasi juga terjadi pada tingkat sosial. Hal-hal yang dulunya dianggap benar-benar menjijikkan (misalnya, beberapa praktik makanan non-tradisional atau gaya hidup minoritas) dapat menjadi lebih diterima seiring waktu, bukan karena sifat pemicunya berubah, tetapi karena paparan yang berulang dan penormaan sosial telah mendefinisikan ulang batas-batas penerimaan.
Meskipun sering dilihat sebagai emosi negatif, rasa jijik memiliki fungsi positif yang tak terbantahkan. Ia adalah penjaga kebersihan dan kesehatan, memaksa kita untuk mengorganisir lingkungan fisik kita. Lebih jauh lagi, jijik moral adalah fondasi dari tatanan etika. Keengganan kolektif kita terhadap tindakan pengkhianatan, kekejaman, atau eksploitasi yang 'mengejikan' adalah yang mendorong kita untuk mencari keadilan, membangun hukum, dan mempertahankan masyarakat yang beradab.
Rasa jijik pada akhirnya menunjukkan komitmen kita terhadap kemurnian—baik itu kemurnian fisik dari penyakit maupun kemurnian moral dari kejahatan. Kapasitas untuk menolak yang keji adalah cerminan dari kapasitas kita untuk mendambakan dan menciptakan yang baik, yang bersih, dan yang bermartabat. Tanpa batas tegas yang dibuat oleh emosi penolakan ini, batasan moral kita akan kabur, dan kita akan kehilangan kompas yang membedakan kehidupan yang sehat dan etis dari kekacauan biologis dan moral.
Oleh karena itu, meskipun kita mungkin ingin menghindari yang menjijikkan, kita harus menghargai emosi itu sendiri. Ia adalah suara hati primal dan biologis yang melindungi tubuh, pikiran, dan komunitas kita dari segala sesuatu yang mengancam untuk merusak tatanan, integritas, dan kelangsungan hidup kita.