Tradisi mengazankan bayi yang baru lahir merupakan salah satu ritual Islami yang sarat makna dan telah dipertahankan oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia. Ritua ini, yang dilakukan segera setelah kelahiran, bukanlah sekadar kebiasaan kultural, melainkan upaya mendalam untuk menanamkan pondasi spiritual yang kokoh, meletakkan kalimat tauhid sebagai suara pertama yang menyentuh gendang telinga sang insan baru.
Azan, yang secara harfiah berarti pengumuman atau seruan, biasanya identik dengan panggilan untuk shalat. Namun, ketika konteksnya dialihkan kepada bayi, ia berfungsi sebagai proklamasi keimanan yang diperdengarkan kepada makhluk yang baru saja menyelesaikan perjalanan ruhaniahnya menuju alam duniawi. Ia adalah pembuka lembaran kehidupan, sebuah ‘ikrar’ pertama bahwa kehidupan yang baru dimulai ini akan diarahkan kepada penyembahan hanya kepada Allah SWT.
Kajian mengenai praktik mengazankan bayi ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan tinjauan terhadap Hadits-hadits yang menjadi sandarannya, analisis fiqih dari berbagai mazhab, serta penggalian hikmah filosofis di balik rangkaian kalimat suci tersebut. Sebagaimana dalam banyak aspek ibadah, terdapat perbedaan sudut pandang di kalangan ulama mengenai status hukum praktik ini, yang memerlukan penjelasan rinci agar umat dapat memahaminya secara utuh.
Artikel ini akan membedah secara tuntas mulai dari sumber-sumber hukum primer yang sering dijadikan rujukan hingga perdebatan intensif mengenai derajat validitas riwayat yang digunakan. Kami akan mengupas tuntas tata cara yang benar, hikmah yang terkandung, serta pandangan-pandangan ulama besar yang mewakili berbagai madzhab fiqih dalam Islam.
Dasar utama praktik mengazankan bayi merujuk pada beberapa riwayat Hadits, meskipun terdapat perdebatan sengit di kalangan pakar Hadits (Muhadditsin) dan ahli hukum Islam (Fuqaha) mengenai kekuatan dan validitas (shahih atau dha'if) sanad dari riwayat-riwayat tersebut.
Riwayat yang paling sering dijadikan sandaran utama adalah Hadits yang bersumber dari Abu Rafi’, mantan budak Rasulullah SAW. Riwayat ini secara spesifik menyebutkan tindakan Nabi SAW saat cucu beliau, Hasan bin Ali, lahir:
Dari Abu Rafi’ ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW mengazankan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, dengan azan shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Hadits ini menjadi poros argumentasi bagi mayoritas ulama yang menyatakan bahwa praktik mengazankan bayi adalah sesuatu yang dianjurkan (Mandub atau Sunnah Mustahabbah). Mereka berpendapat bahwa tindakan Rasulullah SAW ini merupakan ketetapan syariat yang harus diikuti oleh umatnya, khususnya dalam menyambut kelahiran.
Perdebatan muncul ketika para ulama memeriksa rantai perawi (sanad) Hadits Abu Rafi’ ini. Imam At-Tirmidzi, meskipun meriwayatkannya, sering memberikan catatan bahwa Hadits tersebut dinilai sebagai Hasan Shahih (baik dan shahih) oleh sebagian ulama. Namun, ulama lain, seperti Yahya bin Ma’in, mengkritik salah satu perawi di dalamnya, yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, yang dianggap sebagai perawi yang lemah (Dha'if) atau bahkan sangat lemah (*Dha'if Jiddan*) dalam meriwayatkan Hadits.
Kelemahan pada sanad ini menyebabkan perbedaan pandangan fiqih. Bagi ulama yang menguatkan sanad tersebut (atau menggunakan kaidah *fadhail al-a'mal* – keutamaan amal), praktik ini tetap sunnah. Sementara bagi ulama yang sangat ketat dalam penerimaan Hadits (seperti beberapa ulama madzhab Hanafi dan sebagian Maliki), mereka cenderung menyatakan praktik ini sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar kuat (*tsabit*) atau bahkan Bid'ah (*Bid'ah Idhafiyah*) jika dilakukan dengan keyakinan wajib yang berlebihan.
Selain Azan di telinga kanan, terdapat pula riwayat tentang mengumandangkan Iqamah di telinga kiri. Riwayat ini, yang sering disandingkan dengan riwayat Azan, umumnya memiliki derajat kelemahan sanad yang lebih parah. Riwayat yang menyebutkan Iqamah di telinga kiri bayi seringkali dianggap sebagai *Dha'if Jiddan* atau bahkan *Mawdhu'* (palsu) oleh banyak ulama Hadits kontemporer.
Meskipun demikian, praktik *mengazankan* di kanan dan *mengiqamahkan* di kiri telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di banyak komunitas, didasarkan pada prinsip kehati-hatian (*ihtiyat*) dan harapan mendapatkan pahala dari *fadhail al-a'mal*. Para ulama yang membolehkan Azan dan Iqamah berargumen bahwa, meskipun sanadnya lemah, kandungan maknanya (memasukkan kalimat tauhid) adalah baik dan tidak bertentangan dengan syariat.
Perbedaan mengenai hukum mengazankan bayi mencerminkan metodologi yang berbeda dalam menerima dan menilai validitas riwayat Hadits di antara empat mazhab fiqih utama.
Mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling kuat menganjurkan praktik ini. Mereka menetapkan hukumnya sebagai Sunnah atau Mustahabbah (dianjurkan). Dasar utama mereka adalah Hadits Abu Rafi’, yang menurut pandangan para ulama Syafi’i seperti Imam An-Nawawi, cukup kuat untuk dijadikan dalil dalam masalah *fadhail al-a'mal*.
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, memiliki pandangan yang sangat mirip dengan Syafi'i. Mereka juga menetapkan praktik ini sebagai Mustahabbah. Imam Ahmad terkenal dengan prinsipnya yang menerima Hadits-hadits yang memiliki sedikit kelemahan sanad asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau Hadits Shahih, terutama dalam perkara anjuran amal kebaikan.
Para pengikut Hanbali melihat hikmah yang sangat besar dalam Azan tersebut, yaitu mengusir gangguan setan yang dipercaya hadir saat kelahiran. Mereka merujuk pada Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa setan lari ketika mendengar Azan.
Mazhab Hanafi, yang dikenal sangat ketat dalam menerima Hadits yang terkait dengan penetapan hukum utama (*Hukum Syar'i*), cenderung memiliki pandangan yang lebih berhati-hati. Sebagian besar ulama Hanafi menganggap Hadits tentang Azan bayi ini sebagai Hadits yang lemah (*Dha'if*) karena kritik terhadap perawi Ashim bin Ubaidillah.
Oleh karena itu, dalam banyak kitab fiqih Hanafi klasik, praktik ini tidak dimasukkan sebagai sunnah utama. Namun, ulama Hanafi belakangan (muta’akhirin) umumnya menerima praktik ini sebagai tradisi yang baik (*urf hasan*) atau anjuran umum (*istihbab*) tanpa menyamakannya dengan Sunnah Mu'akkadah yang pasti.
Mazhab Maliki, yang berbasis di Madinah, sering kali menekankan pada praktik generasi awal umat Islam di Madinah (*Amal Ahlul Madinah*). Dalam Mazhab Maliki, praktik mengazankan bayi adalah yang paling banyak diperdebatkan dan cenderung tidak dianjurkan secara formal sebagai Sunnah yang ditetapkan.
Kesimpulan Fiqih: Secara umum, meskipun ada perbedaan mendasar tentang status hukum (Sunnah atau Mustahabbah), mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang praktik mengazankan bayi sebagai perbuatan yang baik dan dianjurkan, terutama bagi mereka yang berpegang pada metode Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Setelah memahami dasar hukumnya, penting untuk mengetahui tata cara yang tepat dalam melaksanakan ritual mengazankan bayi agar sesuai dengan tuntunan yang dianjurkan oleh para ulama yang mendukung praktik ini. Pelaksanaan yang benar memerlukan perhatian pada waktu, posisi, dan lafal yang digunakan.
Disunnahkan untuk dilakukan sesegera mungkin setelah bayi lahir, idealnya sebelum bayi disusui atau disibukkan dengan urusan lain. Tujuan dari Azan adalah agar kalimat tauhid menjadi suara pertama yang masuk ke dalam pendengaran bayi.
Orang yang melakukan Azan disunnahkan dalam keadaan suci (berwudhu), menghadap kiblat, dan menggendong bayi dengan lembut.
Ritual Azan dan Iqamah dilakukan sebagai berikut:
Allahu Akbar (4x), Asyhadu an laa ilaaha illallah (2x), Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x), Hayya 'alash Shalah (2x), Hayya 'alal Falah (2x), Allahu Akbar (2x), Laa ilaaha illallah (1x).
Allahu Akbar (2x), Asyhadu an laa ilaaha illallah (1x), Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (1x), Hayya 'alash Shalah (1x), Hayya 'alal Falah (1x), Qad Qaamatis Shalaah (2x), Allahu Akbar (2x), Laa ilaaha illallah (1x).
Penting untuk diingat bahwa tujuan Azan dan Iqamah ini adalah substansi kalimat tauhid, bukan ritual shalat. Oleh karena itu, kekhusyukan dan niat orang tua dalam mengenalkan anak kepada Allah adalah yang utama.
Terlepas dari perdebatan mengenai status Haditsnya, praktik mengazankan bayi memuat hikmah spiritual dan filosofi teologis yang mendalam, yang menjadi alasan kuat mengapa umat Islam tetap melestarikannya.
Tujuan primer adalah memastikan kalimat tauhid (syahadat) menjadi hal pertama yang didengar oleh seorang manusia yang baru lahir. Hal ini merupakan simbol penanaman fitrah keimanan sejak detik pertama kehidupan. Sebagaimana jiwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci (*fitrah*), Azan berfungsi sebagai pengukuhan fitrah tersebut, menegaskan bahwa tujuan keberadaannya adalah untuk mengesakan Allah.
Salah satu hikmah yang sering disebutkan adalah perlindungan dari gangguan setan (syaitan). Setan dipercaya menunggu kelahiran seorang manusia untuk mencobanya. Hadits shahih menyebutkan bahwa setan lari terbirit-birit ketika mendengar Azan dikumandangkan. Dengan mengumandangkan Azan, orang tua berharap dapat membentengi anaknya secara spiritual dari godaan iblis sejak dini.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa Azan dan Iqamah bertujuan agar sambutan pertama bagi bayi adalah kalimat yang agung, yang didalamnya terdapat pengagungan kepada Allah, pengakuan terhadap Rububiyah-Nya, Syahadat, dan seruan menuju shalat. Ini adalah pengajaran pertama bagi ruhani sang anak, sebelum ia disentuh oleh bisikan dan godaan duniawi.
Azan berisi seruan untuk shalat (*Hayya 'alash Shalah*) dan seruan menuju kemenangan (*Hayya 'alal Falah*). Meskipun bayi belum memahami maknanya, para ulama menjelaskan bahwa ini adalah pengumuman simbolis bahwa anak ini, kelak, akan menjadi bagian dari umat yang melaksanakan shalat dan menuju kemenangan sejati di akhirat.
Beberapa ulama tafsir kontemporer mengaitkan Azan bayi dengan shalat jenazah. Mereka merenungkan bahwa Azan shalat adalah Azan tanpa Iqamah (setelah Azan langsung shalat). Azan bayi adalah Azan tanpa shalat. Sementara shalat jenazah adalah shalat tanpa Azan. Ini menjadi simbol bahwa kehidupan dimulai dengan Azan dan diakhiri dengan shalat jenazah, tanpa ada Azan dan Iqamah lain di tengahnya, menunjukkan singkatnya rentang hidup manusia.
Untuk memahami mengapa praktik mengazankan bayi menjadi area perdebatan, kita perlu menyelami lebih dalam metodologi para Muhadditsin (pakar Hadits) dalam menilai riwayat Abu Rafi’ yang menjadi dasar praktik ini. Analisis ini sangat penting karena melibatkan prinsip dasar ilmu rijal al-hadits (ilmu tentang perawi).
Sanad (rantai perawi) Hadits Abu Rafi' seringkali dikritik karena keberadaan Ashim bin Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Khattab. Meskipun berasal dari keturunan mulia, para pakar Hadits menilai ia memiliki kelemahan signifikan dalam hafalan dan akurasi (dhabth).
Beberapa ulama terkemuka memberikan penilaian terhadap Ashim:
Namun, perlu dicatat bahwa beberapa ulama lain, termasuk At-Tirmidzi, terkadang mengklasifikasikan riwayatnya sebagai *Hasan* (baik). Klasifikasi *Hasan* berarti Hadits tersebut memiliki kelemahan ringan tetapi diperkuat oleh riwayat lain (syawahid) atau konteks umum syariat, sehingga bisa diamalkan dalam hal anjuran kebaikan.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan tarik-menarik antara prinsip *Muhadditsin* (yang fokus pada kesahihan sanad mutlak) dan prinsip *Fuqaha* (yang fokus pada implementasi hukum dan maslahat umum).
Fuqaha yang mendukung (Syafi'iyyah dan Hanabilah) berpegangan pada kaidah: *Yajuzu al-Amalu bi al-Hadits ad-Dha’if fi Fadhail al-A’mal* (Boleh mengamalkan Hadits Dha’if dalam perkara keutamaan amal), selama kelemahan Hadits itu tidak parah dan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Dalam konteks mengazankan bayi, para pendukung melihat bahwa meskipun sanadnya tidak mencapai derajat Shahih al-Bukhari atau Muslim, substansinya (proklamasi Tauhid) sangat sejalan dengan semangat Islam.
Beberapa ulama Hadits kontemporer, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, setelah melakukan penelitian mendalam terhadap Hadits Abu Rafi’ dan Hadits terkait Iqamah, menguatkan bahwa riwayat tersebut pada dasarnya lemah. Oleh karena itu, beliau berkesimpulan bahwa praktik mengazankan bayi, meskipun niatnya baik, tidak memiliki dasar Sunnah yang kuat, dan lebih condong kepada kebiasaan yang baik tanpa status hukum syar'i yang terikat.
Namun, Syaikh Ibnu Utsaimin, dari madzhab Hanbali, tetap mengambil jalan tengah, menyatakan bahwa riwayat ini meskipun diperdebatkan, tidak dapat sepenuhnya diabaikan, dan praktik ini sebaiknya dipertahankan sebagai amalan yang dianjurkan dalam rangka *ihtiyat* (kehati-hatian) dan pengharapan pahala.
Keragaman pandangan ini adalah cerminan dari kekayaan metodologi fiqih dalam Islam, di mana umat diberi ruang untuk memilih pandangan yang paling menenangkan hati dan sesuai dengan mazhab yang mereka ikuti, selama tidak ada kesepakatan umum bahwa suatu praktik adalah Bid'ah yang sesat (*Bid'ah Sayyiah*).
Di luar kerangka fiqih murni, praktik mengazankan bayi juga mengambil peran penting dalam konteks sosial dan budaya komunitas Muslim di seluruh dunia. Ritual ini sering menjadi momen transisi, bukan hanya bagi bayi, tetapi juga bagi keluarga besar.
Kelompok masyarakat Muslim seringkali menjadikan Azan sebagai pengukuhan pertama identitas keislaman bagi anak yang baru lahir. Di beberapa budaya, Azan diikuti dengan serangkaian ritual lain seperti *tahnik* (memberi kurma yang dikunyah), pencukuran rambut (*aqiqah*), dan pemberian nama.
Tradisi ini sering melibatkan ulama atau pemuka agama setempat. Kehadiran ulama untuk mengazankan bayi dianggap membawa keberkahan dan doa yang lebih mustajab. Hal ini memperkuat ikatan antara keluarga dan institusi keagamaan.
Meskipun orang lain diperbolehkan mengazankan, penekanan pada peran ayah dalam melaksanakan ritual ini sangat besar. Hal ini merupakan simbol tanggung jawab awal ayah dalam menanamkan pendidikan agama kepada anaknya. Suara ayah menjadi suara pertama yang memperkenalkan anaknya pada Tauhid, menandakan dimulainya peran ayah sebagai pelindung dan pendidik spiritual.
Pertanyaan sering muncul mengenai Azan untuk bayi yang meninggal sebelum lahir (keguguran) atau bayi yang lahir dengan kondisi kesehatan kritis. Dalam kasus bayi meninggal, mayoritas ulama menyatakan bahwa Azan tidak perlu dilakukan, sebab Azan disyariatkan untuk menyambut kehidupan. Dalam kasus bayi kritis, dianjurkan untuk tetap mengazankan jika memungkinkan, sebagai upaya spiritual maksimal, meskipun fokus utama haruslah pada penyelamatan medis.
Di berbagai negara Muslim, praktik ini sangat mengakar sehingga hampir setiap kelahiran dipastikan didahului dengan Azan. Keberlanjutan praktik ini, meskipun didasarkan pada Hadits yang diperdebatkan, menunjukkan betapa umat Muslim sangat mendambakan agar anak-anak mereka sejak dini terekspos pada kebesaran Ilahi, menempatkan fondasi *aqidah* sebagai prioritas tertinggi di atas segala bentuk sambutan duniawi.
Meskipun Azan di telinga kanan adalah fokus utama perbincangan, praktik menyandingkannya dengan Iqamah di telinga kiri juga memerlukan penjelasan mendetail, terutama karena Iqamah memiliki landasan riwayat yang lebih lemah dibandingkan Azan.
Riwayat yang secara eksplisit menyebutkan Iqamah di telinga kiri seringkali berasal dari jalur periwayatan yang mengandung perawi yang sangat lemah (*matruk* atau *dha'if jiddan*). Misalnya, riwayat dari jalur Husain bin Ali (cucu Nabi) yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk mengazankan di kanan dan mengiqamahkan di kiri, seringkali dikritik keras oleh Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Bukhari karena keraguan pada perawinya.
Banyak ulama Syafi'i dan Hanbali yang menganjurkan Iqamah tidak semata-mata karena riwayat spesifik tersebut, melainkan karena *qiyas* (analogi). Mereka beranalogi bahwa karena Azan dan Iqamah selalu berpasangan dalam shalat (keduanya merupakan seruan dan persiapan menuju ibadah), maka logis jika dalam konteks menyambut kehidupan baru, keduanya juga disandingkan. Azan dianggap sebagai seruan awal, dan Iqamah dianggap sebagai kesiapan untuk melaksanakan Tauhid tersebut.
Ulama yang menolak anjuran Iqamah berpendapat bahwa karena landasan Haditsnya terlalu lemah, memasukkan Iqamah dalam ritual ini dapat dikategorikan sebagai penambahan dalam syariat yang tidak disahkan (*Bid'ah Idhafiyah*), terutama jika Iqamah diperlakukan setara dengan Azan yang setidaknya memiliki dasar riwayat *Hasan*.
Mereka menegaskan prinsip kehati-hatian: ibadah haruslah didasarkan pada dalil yang kuat. Jika dalilnya lemah, lebih baik meninggalkannya agar tidak jatuh pada praktik yang tidak dicontohkan secara jelas oleh Nabi SAW.
Namun, dalam praktik mayoritas umat Islam, Iqamah tetap dilakukan sebagai bagian dari paket penyambutan bayi. Rekonsiliasi yang ditawarkan oleh ulama adalah: jika seseorang ingin melakukannya, hendaknya dilakukan tanpa keyakinan bahwa itu adalah Sunnah Mu'akkadah yang pasti. Niatnya adalah *tabarruk* (mencari keberkahan) dan penanaman kalimat Allah, bukan melaksanakan perintah Sunnah yang jelas.
Demi mencapai kedalaman analisis yang memadai, kita harus kembali fokus pada titik sentral kontroversi hukum mengazankan bayi, yaitu perawi Ashim bin Ubaidillah. Pemahaman detail mengenai kritik terhadap perawi ini adalah kunci untuk memahami perbedaan fiqih antar-mazhab.
Ashim bin Ubaidillah adalah seorang Tabi’in dari Madinah yang meriwayatkan Hadits dari jalur Sahabat, termasuk Abu Rafi’. Kritik yang diarahkan kepadanya dalam Ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu kritik perawi) bukanlah mengenai kejujuran (dia tidak dituduh sebagai pendusta), melainkan mengenai ketidakmampuan hafalannya (*dhabth*) dan seringnya ia melakukan kekeliruan (*wahm*).
Dalam konteks Hadits Azan bayi, para kritikus Hadits berpendapat bahwa Azan adalah perkara yang harusnya sering terjadi (setiap ada kelahiran), sehingga harusnya diriwayatkan melalui banyak jalur yang shahih (*mutawatir* atau setidaknya *masyhur*). Karena Hadits ini hanya diriwayatkan melalui jalur tunggal yang lemah (melalui Ashim bin Ubaidillah), kelemahan tersebut menjadi sangat signifikan.
Para Fuqaha, terutama dari kalangan Syafi'iyyah dan sebagian Hanabilah, melakukan pembelaan terhadap Hadits yang diriwayatkan oleh Ashim dalam konteks *fadhail al-a'mal*:
Diskusi tentang Ashim bin Ubaidillah ini merupakan contoh klasik bagaimana Ilmu Hadits dan Ilmu Fiqih berinteraksi dan terkadang menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda-beda, semuanya dalam kerangka penghargaan terhadap Sunnah Nabi SAW.
Meskipun pembahasan utama praktik mengazankan berada dalam ranah fiqih dan Hadits, ritual ini juga membawa implikasi penting dalam ilmu psikologi perkembangan Islami dan pendidikan anak usia dini.
Ilmu pengetahuan modern menunjukkan bahwa janin dapat mendengar suara dari luar rahim dalam beberapa bulan terakhir kehamilan. Setelah lahir, pendengaran adalah salah satu indra pertama yang berfungsi penuh.
Azan, dengan irama yang tenang dan kata-kata yang mengandung keagungan, dipercaya memberikan ketenangan psikologis bagi bayi. Dalam perspektif spiritual Islam, suara ini adalah pengenalan pertama pada frekuensi keilahian.
Meskipun bayi belum mampu memproses makna, para pendidik Muslim berpendapat bahwa paparan suara Islami sejak dini merupakan langkah awal pembentukan identitas. Kalimat Tauhid yang merdu dan khusyuk dapat mempengaruhi alam bawah sadar, menanamkan rasa keterikatan spiritual yang mendalam.
Ini adalah awal dari pendidikan *Tarbiyah Islamiyah*, di mana orang tua mengambil peran aktif dalam "memprogram" anak mereka dengan nilai-nilai Islam, dimulai dari suara, sentuhan, dan lingkungan yang Islami.
Ritual mengazankan juga merupakan momen komitmen bagi orang tua. Ketika ayah atau ibu mengumandangkan Azan, mereka bukan hanya menyambut bayi, tetapi juga membuat janji kepada Allah untuk membesarkan anak tersebut di atas jalan Tauhid, shalat, dan kemenangan (*falah*). Ritual ini menjadi pengingat yang kuat bagi tanggung jawab *khalifah* (pemimpin) dalam keluarga.
Dengan demikian, praktik ini berfungsi sebagai jembatan antara dimensi spiritual dan dimensi praktis pendidikan anak, memastikan bahwa aspek keimanan tidak terlepas dari proses tumbuh kembang sang anak sejak detik pertama ia menghirup udara dunia.
Praktik mengazankan bayi biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian integral dari serangkaian ritual yang disunnahkan saat kelahiran. Integrasi ini memperkuat makna spiritual dan sosial dari setiap ritual.
Tahnik adalah ritual mengoleskan sedikit kunyahan kurma (atau makanan manis lainnya) ke langit-langit mulut bayi. Ritual ini juga berdasarkan Sunnah Nabi SAW. Para ulama Syafi’i dan Hanbali seringkali menganjurkan Azan dan Tahnik dilakukan berurutan. Azan untuk telinga (pendengaran) dan Tahnik untuk mulut (indera rasa dan persiapan makan), keduanya dilakukan oleh orang shalih untuk mendapatkan keberkahan.
Dalam banyak buku fiqih, urutan yang disarankan adalah: Azan (dan Iqamah), kemudian Tahnik, lalu pemberian nama, dan diakhiri dengan pencukuran rambut dan Aqiqah (yang dilakukan pada hari ketujuh).
Disunnahkan memberikan nama yang baik pada hari ketujuh atau hari kelahiran. Pemberian nama yang baik dan Islami setelah Azan dan Tahnik memperkuat pesan yang telah disampaikan melalui kalimat-kalimat suci. Nama yang Islami (seperti Abdullah, Abdurrahman, atau nama-nama Nabi) semakin mengukuhkan bahwa anak tersebut didedikasikan untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Karena adanya perbedaan pendapat mengenai status hukum, niat (niyyah) saat mengazankan menjadi sangat krusial. Niat yang paling murni adalah melakukan *tabarruk* (mencari keberkahan) dan menanamkan kalimat Tauhid kepada bayi, bukan semata-mata menjalankan kewajiban shalat atau mengamalkan Hadits yang dianggap dha'if.
Niat yang benar akan menghindarkan pelakunya dari kekhawatiran jatuh pada Bid'ah, karena hakikatnya, pengumuman kalimat Allah adalah sesuatu yang terpuji dalam setiap keadaan, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam konteks umum.
Aspek metafisika dalam ritual mengazankan bayi adalah salah satu hikmah terkuat yang diyakini umat. Para ulama menjelaskan bahwa Azan memiliki kekuatan spiritual yang spesifik untuk menghadapi gangguan dari dimensi gaib.
Setan, atau Iblis, adalah makhluk yang ingkar dan menolak tunduk pada perintah Allah SWT. Azan, sebaliknya, adalah deklarasi kepatuhan tertinggi kepada Allah (*Allahu Akbar*) dan pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad SAW (*Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*).
Ketika setan mendengar kalimat yang berlawanan dengan eksistensi keingkarannya, ia merasa terancam. Hadits menyebutkan bahwa setan melarikan diri sambil mengeluarkan kentut saking takutnya, agar tidak mendengar kesaksian Tauhid. Tindakan ini merupakan respons spontan terhadap kekuatan kalimat suci.
Dalam tradisi Islam, setan diyakini memiliki ketertarikan khusus pada manusia yang baru lahir. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa setiap bayi yang lahir akan disentuh oleh setan, yang menyebabkan tangisan pertamanya. Azan berfungsi sebagai perisai spiritual yang membatalkan sentuhan tersebut, atau setidaknya meminimalisir dampak buruknya.
Oleh karena itu, mengazankan bayi adalah langkah proaktif dari orang tua untuk memohon perlindungan Ilahi, sebuah praktik yang selaras dengan doa-doa perlindungan yang sering dibaca oleh Nabi SAW untuk cucu-cucunya.
Kajian mendalam mengenai praktik mengazankan bayi ini menunjukkan kekayaan metodologi fiqih dalam Islam, di mana bahkan dalam ritual yang tampaknya sederhana, terkandung lapisan-lapisan pemahaman hukum, Hadits, dan filosofi spiritual yang mendalam. Meskipun status hukumnya bervariasi dari Sunnah Mu'akkadah hingga Mustahabbah atau hanya tradisi baik (*Urf Hasan*) tergantung pada mazhab yang diikuti, intisari dari praktik ini tetap universal: mengutamakan pengenalan Tauhid.
Praktik mengazankan adalah simbol keimanan, sebuah deklarasi bahwa sejak langkah pertama di dunia, seorang manusia telah didedikasikan untuk jalan Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang Muslim, ini adalah hak anak atas orang tuanya, sebuah warisan spiritual yang tak ternilai harganya.
Bagi keluarga yang hendak melaksanakan ritual ini, nasihat terbaik dari para ulama adalah melaksanakannya dengan penuh kekhusyukan, niat tulus mencari keridhaan Allah, dan tanpa berlebihan atau meyakininya sebagai rukun agama. Biarkan Azan menjadi sambutan terindah, nada pertama dari orkestra kehidupan yang diisi dengan ketaatan.
Keberlanjutan tradisi ini selama berabad-abad membuktikan bahwa keinginan untuk menanamkan kalimat Tauhid sebagai pondasi hidup adalah naluri keagamaan yang tak terpisahkan dari identitas seorang Muslim.
Dalam rangka memperkuat pemahaman mengenai pentingnya penetapan hukum dalam Islam, kita harus kembali pada konsep Qiyas (analogi) yang digunakan oleh para Fuqaha Syafi'iyyah untuk membenarkan Iqamah. Mereka beranalogi dengan anjuran mengazankan ketika seseorang pertama kali memasuki rumah baru atau desa baru untuk mengusir setan. Jika Azan dianjurkan untuk tempat, maka Azan bagi jiwa yang baru memasuki dunia ini tentu lebih utama. Argumentasi ini, meskipun bersifat logis, memberikan bobot tambahan pada aspek spiritual yang melampaui kelemahan teknis sanad Hadits. Ini adalah demonstrasi bahwa Fiqih terkadang mengutamakan Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum yang tidak secara eksplisit diatur) dalam konteks yang mendukung tujuan syariat (Maqasid Syari'ah).
Lebih jauh, praktik ini juga terkait erat dengan konsep Istiqbal Al-Qiblah (menghadap kiblat). Meskipun tidak wajib, disunnahkan bagi yang mengazankan untuk menghadap kiblat saat melakukannya. Menghadap kiblat dalam setiap ritual penting, termasuk Azan bagi bayi, berfungsi sebagai penanda arah spiritual dan sentralitas Ka'bah dalam kehidupan seorang Muslim. Praktik ini secara implisit mengajarkan bahwa setiap tindakan penting dalam hidup harus diorientasikan menuju pusat ibadah umat Islam.
Analisis mendalam terhadap sumber Hadits juga menunjukkan upaya para Muhadditsin untuk tidak sepenuhnya membuang Hadits-hadits *dha'if* yang berkaitan dengan amal saleh. Mereka menyadari bahwa jika semua Hadits *dha'if* diabaikan, maka banyak anjuran ibadah tambahan dan keutamaan amal yang menjadi hilang dari warisan umat. Oleh karena itu, batasan yang ditetapkan adalah: Hadits *dha'if* tidak boleh digunakan untuk menetapkan hukum wajib atau haram, tetapi dapat digunakan untuk menganjurkan amal kebaikan (*fadhail al-a'mal*).
Dalam kasus *mengazankan*, penerimaannya yang luas di seluruh dunia Islam, melintasi batas-batas mazhab dan budaya, menunjukkan adanya konsensus informal (*ijma' urfi*) di kalangan umat. Fenomena ini memberikan nilai tambah sosial yang sulit diabaikan oleh para ulama. Praktik yang dilakukan secara turun-temurun dan diterima secara luas seringkali memiliki dasar yang lebih kuat dalam pemeliharaan tradisi keagamaan, meskipun dasar riwayatnya mungkin diperdebatkan di kalangan akademisi Hadits.
Perlu ditekankan kembali mengenai pentingnya kesadaran akan perbedaan tafsir. Seseorang yang mengikuti Mazhab Maliki, yang mungkin tidak menganjurkan Azan bayi, tidaklah salah. Demikian pula, seseorang yang mengikuti Syafi'i dan melaksanakannya dengan penuh keyakinan sunnah, juga berada di atas landasan yang diakui. Keberagaman ini adalah rahmat yang memungkinkan umat Islam menjalankan ibadahnya sesuai dengan tingkat keyakinan dan referensi fiqih yang mereka pegang teguh. Tidak ada pemaksaan dalam urusan anjuran amal yang diperdebatkan, yang terpenting adalah kejernihan niat dan kepatuhan pada prinsip-prinsip Tauhid.
Lebih jauh lagi, pertimbangan logis mengapa Azan dan Iqamah menjadi pilihan, bukan doa-doa lain, adalah karena Azan adalah satu-satunya kalimat yang memproklamasikan keesaan Allah dan pengakuan kenabian Muhammad secara formal dan berulang, yang dirancang untuk didengar dan mengundang perhatian. Doa-doa lain lebih bersifat personal, sementara Azan adalah seruan publik, meskipun diucapkan secara lembut kepada bayi, ia tetap mempertahankan karakteristik seruan yang tegas dan agung.
Akhirnya, ritual mengazankan bayi adalah manifestasi indah dari harapan orang tua Muslim: harapan agar anak mereka tumbuh menjadi hamba Allah yang taat, yang kehidupannya dimulai dan diakhiri dengan kalimat-kalimat suci. Ini adalah investasi spiritual jangka panjang yang dimulai dari bisikan pertama di telinga sang buah hati, mengikatnya pada janji Ilahi sejak awal perjalanannya di dunia fana ini.