Sebuah Penelusuran Mendalam tentang Akar Ketahanan Pangan Indonesia
Mengarit, sebuah kata kerja sederhana dalam bahasa Indonesia yang secara leksikal merujuk pada aktivitas memotong batang tanaman, biasanya padi atau rumput, menggunakan alat tajam melengkung yang dikenal sebagai arit atau sabit. Namun, jika ditelaah lebih dalam pada konteks kebudayaan agraris Nusantara, kata ‘mengarit’ jauh melampaui sekadar definisi mekanis. Ia adalah inti dari sebuah ritual, simbol dari siklus kehidupan dan kematian, serta penentu utama bagi ketahanan pangan sebuah komunitas. Mengarit adalah puncak dari penantian panjang sejak benih pertama kali disemai, menjadi momen sakral yang menghubungkan manusia dengan alam dan leluhur.
Aktivitas mengarit ini bukan hanya sekadar tugas memanen hasil, melainkan juga sebuah seni yang menuntut keahlian, ketepatan, dan pemahaman mendalam terhadap kondisi lahan dan tanaman. Di wilayah yang kaya akan tradisi seperti Jawa, Bali, dan berbagai daerah di Sumatera, panen padi secara manual—yang dalam bahasa sehari-hari sering disamaratakan dengan mengarit—memiliki kompleksitas sosial yang luar biasa. Ia melibatkan sistem kerja sama atau *gotong royong*, pembagian hasil yang adil, serta ritual-ritual tertentu yang bertujuan untuk menghormati Dewi Sri atau semangat padi. Tanpa pemahaman terhadap konteks ini, kita hanya akan melihat mengarit sebagai sebuah praktik kuno yang kalah cepat dari mesin kombain modern, padahal ia menyimpan filosofi kemandirian pangan yang kini semakin relevan.
Dalam era modernisasi pertanian yang masif, di mana efisiensi dan kecepatan menjadi mata uang utama, praktik mengarit tradisional seringkali dipandang sebelah mata. Padahal, praktik inilah yang memungkinkan pelestarian varietas padi lokal (*plasma nutfah*) yang rentan terhadap metode panen mekanis. Metode mengarit secara manual juga memungkinkan petani untuk melakukan seleksi benih unggul secara langsung di lahan, sebuah proses yang hampir mustahil dilakukan oleh mesin. Oleh karena itu, penelusuran terhadap praktik mengarit adalah upaya untuk menapak tilas akar identitas bangsa agraris dan mencari keseimbangan antara tradisi yang kaya makna dengan tuntutan produktivitas masa kini. Artikel ini akan membedah secara holistik mulai dari sejarah alat, teknik fisik, dimensi spiritual, hingga tantangan ekonomi yang dihadapi oleh para pengarit di tengah guncangan globalisasi.
Sejarah alat yang digunakan untuk memotong atau mengarit mencerminkan evolusi peradaban manusia dari masa nomaden ke masa menetap dan bercocok tanam. Alat panen adalah salah satu penemuan paling fundamental setelah penemuan api. Jauh sebelum ditemukannya logam, masyarakat pra-agraris menggunakan alat sederhana yang terbuat dari batu diasah atau tulang, berfungsi untuk memisahkan bulir dari batang—meskipun fungsinya belum seefisien sabit yang kita kenal sekarang. Peralihan ke Zaman Logam, khususnya besi dan baja, menjadi titik balik yang memungkinkan terciptanya arit atau sabit dengan bilah melengkung yang tajam dan tahan lama.
Di Indonesia, alat yang paling identik dengan aktivitas memotong adalah Arit atau Sabit. Arit memiliki bilah melengkung yang didesain untuk memotong batang keras atau mengumpulkan rumput dalam jumlah besar. Penggunaan arit umumnya dijumpai pada panen padi yang ditujukan untuk konsumsi pasar, di mana kecepatan dan efisiensi memotong batangnya menjadi prioritas. Bentuk melengkung arit yang khas memungkinkan momentum ayunan yang optimal, mengurangi beban pada pergelangan tangan penggunanya, dan efektif memotong pada pangkal batang. Kualitas arit sangat bergantung pada material baja dan keahlian pandai besi lokal.
Kontrasnya, terdapat Ani-ani atau *ketam*, alat potong kecil yang dipegang di telapak tangan. Ani-ani hanya digunakan untuk memotong satu per satu tangkai padi di bagian atas bulir. Penggunaan ani-ani sangat erat kaitannya dengan filosofi penghormatan terhadap Dewi Sri (Dewi Padi). Dipercaya bahwa memotong batang padi secara kasar dengan arit akan melukai semangat padi. Oleh karena itu, ani-ani digunakan untuk memotong dengan perlahan dan tersembunyi, seolah-olah padi dipisahkan dari batangnya tanpa menyadari bahwa ia telah dipanen. Penggunaan ani-ani sering dijumpai pada panen padi lokal yang batangnya tinggi dan membutuhkan perlakuan halus, khususnya untuk bibit unggul atau ritual.
Perbedaan mendasar antara arit dan ani-ani memberikan dampak signifikan terhadap proses pascapanen. Ketika padi dipanen dengan arit, seluruh batang ikut terpotong. Ini memudahkan proses perontokan (membanting padi di *gebotan*) namun menghasilkan jerami yang pendek, yang dapat dikembalikan ke lahan sebagai pupuk hijau atau pakan ternak. Sebaliknya, panen menggunakan ani-ani menghasilkan tangkai padi yang sangat panjang. Padi yang dipanen dengan ani-ani biasanya diikat dalam ukuran kecil, yang dalam bahasa Jawa disebut *gedengan*, dan disimpan di lumbung tradisional. Penyimpanan dengan tangkai panjang ini dipercaya meningkatkan daya tahan padi terhadap hama dan kelembaban, serta menjaga kualitas rasa dan aroma beras.
Sementara kedua alat tradisional ini masih eksis, tantangan terbesar datang dari mesin panen modern, seperti traktor tangan dan kombain. Mesin kombain menawarkan kecepatan yang tak tertandingi; dalam hitungan jam, hektaran sawah bisa dirampungkan. Namun, mesin ini seringkali meninggalkan residu minyak dan menghancurkan struktur tanah lapisan atas, serta tidak selektif dalam memilah bulir padi. Ini memicu perdebatan sengit di kalangan pegiat pertanian berkelanjutan mengenai harga yang harus dibayar demi efisiensi, yaitu hilangnya kearifan ekologis dalam proses mengarit.
Mengarit bukan sekadar menebas, melainkan sebuah koreografi yang dikuasai melalui pengalaman bertahun-tahun. Teknik mengarit yang baik bertujuan untuk mencapai tiga hal utama: efisiensi energi (agar pekerja tidak cepat lelah), minimisasi kerontokan bulir, dan keseragaman hasil potongan. Ketiga aspek ini membedakan seorang pengarit amatir dengan seorang ahli yang dihormati di desa.
Dalam mengarit padi atau rumput dengan arit, postur tubuh memegang peran krusial. Petani biasanya akan membungkuk dalam posisi jongkok yang stabil atau berdiri sedikit membungkuk (khusus untuk padi varietas pendek). Gerakan utama harus berasal dari pinggul dan lengan atas, bukan hanya pergelangan tangan. Ayunan arit harus dilakukan dengan gerakan menyapu yang halus, tidak menghentak. Menghentak akan menyebabkan bulir padi rontok sebelum waktunya, mengakibatkan kerugian panen.
Ritme kerja juga sangat penting. Mengarit sering dilakukan beramai-ramai. Keseragaman ritme ayunan arit membantu menjaga motivasi dan mencegah kelelahan. Di banyak komunitas, irama mengarit ini sering diiringi dengan nyanyian kerja atau teriakan penyemangat. Pengarit biasanya akan membuat ikatan kecil dari batang padi yang sudah dipotong, yang kemudian diletakkan di pinggir sawah, siap untuk diangkut ke tempat perontokan. Kecepatan seorang pengarit profesional bisa mencapai ratusan meter persegi per hari, bergantung pada kerapatan dan tinggi padi.
Panen dengan ani-ani menuntut teknik yang sangat berbeda. Ini adalah proses yang sangat lambat dan medititatif. Pengarit bergerak perlahan di antara barisan padi, memilih tangkai yang sudah benar-benar matang. Karena pisau ani-ani sangat kecil dan harus disembunyikan di telapak tangan, gerakan memotong dilakukan dengan gerakan pergelangan tangan yang minim. Padi dipegang di antara jari, dan potongan dilakukan di bawah bulir, menghasilkan tangkai yang panjang.
Filosofi dibalik penggunaan ani-ani adalah kehati-hatian. Padi yang dipanen dengan ani-ani harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Proses ini memastikan bahwa hanya bulir terbaik yang diambil, sementara bulir yang belum matang dibiarkan. Hal ini mendukung kematangan yang tidak seragam, yang sering terjadi pada varietas padi lokal. Hasil panen ani-ani ini kemudian diikat menjadi bundel-bundel kecil dan biasanya dipikul menuju lumbung. Metode ini, meskipun tidak efisien secara waktu, menjamin kualitas tertinggi untuk beras yang disimpan sebagai benih atau untuk kebutuhan ritual.
Kapan waktu yang tepat untuk mengarit adalah pengetahuan yang diturunkan secara lisan. Petani ahli mengetahui bahwa waktu mengarit sangat dipengaruhi oleh tingkat kekeringan bulir padi dan posisi matahari. Mengarit biasanya dimulai pagi hari setelah embun menguap dan dihentikan ketika matahari mencapai puncaknya (sekitar pukul 11 siang) atau dilanjutkan sore hari. Panen pada saat yang terlalu berembun dapat menyebabkan padi menjadi terlalu basah, meningkatkan risiko jamur saat penyimpanan. Panen saat terlalu terik meningkatkan risiko bulir rontok secara prematur akibat kering dan rapuh. Penentuan waktu ini adalah bagian integral dari kearifan lokal dalam mengelola sawah.
Di beberapa daerah, panen besar tidak boleh dilakukan pada hari-hari tertentu sesuai perhitungan kalender Jawa atau Bali (seperti *Dina Ayu* atau *Dina Ala*), menunjukkan bahwa aktivitas mengarit selalu terintegrasi dengan sistem kosmologi dan astrologi lokal. Mengabaikan penanggalan ini dipercaya akan membawa kesialan atau hasil panen yang tidak memuaskan.
Dalam diskursus pertanian modern yang semakin fokus pada monokultur dan penggunaan bahan kimia, praktik mengarit tradisional menawarkan sebuah model alternatif yang lebih selaras dengan prinsip-prinsip ekologi dan keberlanjutan. Keputusan untuk mengarit secara manual, alih-alih menggunakan mesin besar, memiliki konsekuensi lingkungan yang positif dan mendalam.
Mesin panen berat, seperti kombain, seringkali menyebabkan pemadatan tanah (soil compaction). Pemadatan ini menghambat aerasi (masuknya udara ke dalam tanah), mengganggu drainase, dan merusak struktur pori-pori tanah, yang sangat penting bagi pertumbuhan akar dan kehidupan mikrobioma tanah. Sebaliknya, proses mengarit manual oleh manusia menyebabkan tekanan minimal pada lahan. Petani berjalan di pematang atau menggunakan papan (*klinthung*) untuk mengurangi jejak kaki, menjaga integritas fisik tanah.
Selain itu, sistem mengarit manual memungkinkan manajemen residu yang lebih baik. Jerami hasil panen dapat diatur penempatannya, baik untuk pakan ternak maupun untuk segera dikembalikan ke lahan sebagai pupuk hijau. Jerami yang dikembalikan ke sawah akan membusuk dan meningkatkan kandungan materi organik, memperbaiki kesuburan alami, dan mengurangi kebutuhan akan pupuk kimia sintetis. Ini adalah siklus tertutup yang mendukung pertanian regeneratif, di mana lahan tidak hanya dieksploitasi, tetapi juga diremajakan melalui setiap siklus panen.
Salah satu kontribusi terbesar dari praktik mengarit manual adalah perlindungan terhadap plasma nutfah (keanekaragaman genetik) padi lokal. Varietas padi modern (hibrida) seringkali dirancang untuk matang secara seragam, memudahkan panen mesin. Namun, padi lokal (seperti Padi Gogo, Cempo Merah, atau varietas lokal Jawa Barat) seringkali memiliki tinggi batang yang bervariasi dan waktu kematangan yang berbeda-beda.
Mesin kombain akan memanen semua pada waktu yang sama, seringkali merusak bulir yang belum matang sempurna atau menghilangkan varietas unik. Ani-ani, di sisi lain, memungkinkan seleksi individu. Petani secara hati-hati memilih dan memanen hanya bulir yang paling sempurna untuk dijadikan benih musim tanam berikutnya. Proses seleksi lapangan yang ketat ini telah menjaga kemurnian genetik dan ketahanan varietas lokal terhadap penyakit dan perubahan iklim selama berabad-abad. Mengarit, dengan demikian, berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir bagi keanekaragaman hayati padi di Indonesia, mencegah homogenitas yang rentan.
Pertanian modern sangat bergantung pada bahan bakar fosil, mulai dari produksi pupuk hingga operasional mesin berat. Mengarit manual, sebagai metode panen bertenaga manusia, memiliki jejak karbon yang hampir nol. Energi yang dikeluarkan adalah energi metabolik, bukan energi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar. Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, praktik yang intensif tenaga kerja namun minim polusi seperti mengarit menawarkan solusi nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. Hal ini menempatkan mengarit bukan sebagai praktik masa lalu yang ketinggalan zaman, tetapi sebagai model pertanian masa depan yang bertanggung jawab secara ekologis.
Diskusi mengenai ketahanan pangan harus selalu mencakup bagaimana makanan diproduksi. Jika kita hanya mengejar kuantitas dengan mengorbankan kualitas tanah dan keragaman genetik, ketahanan pangan jangka panjang akan terancam. Mengarit manual menjamin bahwa produksi pangan tidak merusak modal alami (tanah) dan tetap mempertahankan aset genetik yang vital bagi adaptasi pertanian di masa depan.
Aktivitas mengarit di Nusantara bukanlah kegiatan individualistis, melainkan peristiwa sosial yang sarat makna. Ia berfungsi sebagai perekat komunitas, mengatur struktur sosial pedesaan, dan menjadi manifestasi ketaatan pada kepercayaan animistik dan Hindu-Buddha yang telah berakar.
Di banyak desa, panen padi adalah momen di mana sistem kerja sama tradisional, atau gotong royong, mencapai puncaknya. Ada berbagai bentuk sistem kerja yang mengatur proses mengarit:
1. Sistem Bawon: Ini adalah sistem yang paling terkenal, terutama di Jawa. Bawon adalah pembagian hasil panen di mana pekerja (pengarit) dibayar dengan sebagian kecil dari padi yang mereka panen. Rasionya bervariasi (misalnya, 1:6 atau 1:10), di mana satu bagian untuk pengarit dan sisanya untuk pemilik sawah. Sistem bawon memastikan bahwa setiap orang dalam komunitas, bahkan mereka yang tidak memiliki sawah, memiliki akses terhadap pangan. Selain itu, sistem ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama terhadap keberhasilan panen. Bawon juga sering melibatkan tradisi *derep* (mengarit) dan *numbuk* (menumbuk padi) yang merupakan kontrak sosial yang unik.
2. Sistem Sambatan atau Ngangsuh: Ini adalah bentuk gotong royong tanpa upah dalam arti uang atau padi, di mana orang membantu tetangga dengan harapan bantuan serupa akan diberikan saat mereka panen. Sistem ini lebih didorong oleh ikatan kekeluargaan dan solidaritas sosial.
Sistem-sistem ini memastikan bahwa pekerjaan mengarit yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam waktu singkat dapat diselesaikan dengan efisien. Lebih dari itu, sistem ini adalah jaring pengaman sosial, menjamin bahwa kemakmuran panen dinikmati bersama dan mencegah adanya monopoli hasil bumi.
Pembagian kerja dalam mengarit seringkali terstruktur berdasarkan gender, meskipun batasan ini semakin kabur seiring modernisasi.
Perempuan: Secara tradisional, perempuan seringkali memegang peran utama dalam panen menggunakan ani-ani. Ini dikaitkan dengan kedekatan perempuan dengan kesuburan dan peran mereka sebagai pelestari benih. Mereka dianggap memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap ‘semangat padi’ (*Wos Ndaru*). Selain itu, perempuan sering bertanggung jawab dalam proses pascapanen, seperti membersihkan padi, menjemur, dan menyimpan di lumbung (*lumbung* atau *leuit*). Keahlian mereka dalam memilah dan menimbang adalah penentu kualitas beras yang akan dikonsumsi atau dijual.
Laki-laki: Laki-laki cenderung fokus pada penggunaan arit, yang membutuhkan kekuatan fisik lebih besar untuk ayunan konstan atau untuk memotong rumput pakan ternak. Mereka juga bertanggung jawab untuk pekerjaan persiapan lahan, pengangkutan hasil panen, dan perontokan padi yang telah diarit.
Mengarit adalah pintu gerbang menuju serangkaian ritual yang berakar kuat dalam kepercayaan agraria. Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, adalah figur sentral yang harus dihormati agar panen berhasil.
1. Upacara Memulai Panen: Sebelum arit pertama ditebaskan, seringkali dilakukan selamatan atau sesaji. Di Jawa, ada tradisi *wiwitan* atau *metik*, di mana petani mempersembahkan makanan kepada Dewi Sri di tengah sawah. Tujuannya adalah meminta izin untuk mengambil hasil bumi dan memastikan bahwa proses panen berjalan lancar tanpa gangguan roh jahat atau hama.
2. Padi Temanten (Padi Pengantin): Di beberapa komunitas, sepasang bulir padi yang dianggap paling sempurna akan dipilih dan diikat bersama, dihias layaknya pengantin. Padi Temanten ini diperlakukan dengan sangat hati-hati, diarak dari sawah ke rumah, dan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sakral (seperti di kamar tidur pemilik rumah) sebelum dimasukkan ke dalam lumbung. Padi ini dipercaya membawa semangat keberuntungan dan akan menjadi inti dari benih musim berikutnya, memastikan keberlanjutan siklus hidup.
Kegiatan mengarit, yang dihiasi dengan ritual ini, mengukuhkan pemahaman bahwa makanan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan anugerah spiritual yang harus dihargai. Pelanggaran terhadap ritual-ritual ini, misalnya dengan panen yang terlalu serakah atau tanpa rasa hormat, dipercaya akan mendatangkan kegagalan panen di masa depan.
Meskipun kaya akan filosofi dan ekologi, praktik mengarit tradisional kini menghadapi tekanan yang luar biasa dari tiga faktor utama: modernisasi teknologi, perubahan demografi petani, dan desakan ekonomi pasar global.
Kedatangan mesin panen, terutama kombain berukuran kecil dan menengah, telah mengubah lanskap pertanian secara drastis dalam dua dekade terakhir. Kecepatan kombain, yang mampu menyelesaikan panen hektaran sawah hanya dalam waktu beberapa jam, menjadi godaan besar di tengah kelangkaan tenaga kerja. Bagi petani yang mengejar laba cepat, biaya sewa mesin seringkali dianggap lebih ekonomis daripada membayar puluhan tenaga pengarit melalui sistem bawon.
Dampak paling nyata dari mekanisasi adalah erosi keterampilan. Generasi muda petani, yang tumbuh di lingkungan di mana mesin sudah tersedia, jarang mau atau sempat mempelajari teknik mengarit yang tepat. Keterampilan memilih waktu panen, menentukan ketajaman arit, dan melakukan pemilahan benih secara manual mulai hilang. Praktisi *ani-ani* kini semakin langka, dan sebagian besar dari mereka adalah lansia. Jika tren ini berlanjut, kearifan lokal yang terkandung dalam mengarit akan punah dalam satu generasi.
Pertanian, termasuk mengarit, sering dipandang sebagai pekerjaan berat dengan imbalan finansial yang tidak menarik, terutama jika dibandingkan dengan pekerjaan di sektor industri atau jasa di perkotaan. Migrasi pemuda desa ke kota (*urbanisasi*) telah menciptakan krisis tenaga kerja pertanian di musim panen. Sawah-sawah yang dulunya melibatkan puluhan pengarit kini harus bergantung pada segelintir pekerja upahan atau terpaksa menyewa mesin.
Sistem bawon, yang secara tradisional adil, kini menghadapi tekanan inflasi. Padi sebagai upah harus bersaing dengan kebutuhan tunai yang meningkat untuk pendidikan dan kesehatan. Meskipun bawon tetap menjadi simbol solidaritas, banyak pengarit kini menuntut upah tunai per hari, yang terkadang memberatkan pemilik sawah kecil. Hal ini memicu dilema: mempertahankan tradisi yang adil secara sosial, atau beralih ke praktik ekonomi yang lebih efisien (mesin) namun merusak tatanan sosial komunitas.
Meskipun tantangan modernisasi besar, mengarit tidak sepenuhnya ditakdirkan untuk punah. Justru, muncul model pertanian ‘hibrida’ yang menggabungkan efisiensi modern dengan kearifan tradisional.
1. Penggunaan Selektif: Banyak petani mulai menggunakan mesin untuk panen padi konsumsi umum, tetapi tetap menggunakan ani-ani atau arit manual untuk panen padi organik, padi varietas unggul, atau padi yang ditujukan untuk benih. Ini memastikan bahwa kualitas genetik tetap terjaga, sementara produksi massal tetap efisien.
2. Ekowisata dan Pendidikan: Beberapa komunitas telah mengubah mengarit menjadi atraksi ekowisata dan pusat edukasi. Pengalaman mengarit (walaupun hanya dalam skala kecil) ditawarkan kepada wisatawan atau pelajar kota, yang bertujuan untuk menanamkan pemahaman tentang nilai kerja keras dan asal-usul makanan. Program-program ini tidak hanya melestarikan keterampilan tetapi juga memberikan sumber pendapatan alternatif bagi petani lokal.
3. Sertifikasi Pangan Lokal: Permintaan pasar terhadap beras organik atau beras lokal premium yang dipanen secara tradisional (tanpa mesin kombain yang menghancurkan struktur bulir) semakin meningkat. Sertifikasi ini memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi, membenarkan biaya tenaga kerja manual yang lebih mahal, dan mendorong petani untuk kembali menguasai keterampilan mengarit yang halus.
Dengan adanya upaya adaptasi ini, mengarit memiliki peluang untuk bertahan, bukan sebagai praktik wajib untuk semua jenis padi, melainkan sebagai sebuah spesialisasi yang bernilai tinggi, menjaga tautan spiritual dan ekologis antara manusia dan sawah.
Perjalanan menelusuri praktik mengarit membawa kita pada sebuah kesimpulan penting: aktivitas ini jauh lebih dari sekadar tugas akhir musim tanam. Mengarit adalah manifestasi utuh dari peradaban agraris Nusantara, sebuah sistem yang terintegrasi secara sempurna antara teknik, ekologi, sosial, dan spiritual. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kesabaran, ritme alam, dan penghargaan terhadap setiap bulir padi.
Di tengah gejolak pasar global dan tantangan perubahan iklim, kemampuan untuk mengarit secara tradisional—lengkap dengan kearifan lokal seperti *bawon*, *ani-ani*, dan ritual *wiwitan*—adalah aset nasional yang tak ternilai harganya. Ia merupakan bank data hidup yang menyimpan pengetahuan tentang cara berinteraksi dengan lahan tanpa merusaknya, dan cara membangun komunitas yang saling menopang melalui pangan.
Upaya melestarikan mengarit bukanlah upaya menolak kemajuan, melainkan upaya untuk memilih kemajuan yang cerdas. Kemajuan yang menyadari bahwa kecepatan tidak selalu berarti kualitas, dan efisiensi mekanis tidak boleh mengorbankan ketahanan ekologis dan sosial. Dengan menghargai dan meregenerasi keterampilan mengarit, Indonesia tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga mengamankan fondasi ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang, memastikan bahwa setiap suap nasi yang dikonsumsi membawa serta cerita panjang tentang kerja keras, gotong royong, dan penghormatan mendalam terhadap bumi.
Mengarit sangat dipengaruhi oleh sistem iklim tropis Indonesia, khususnya sistem angin muson. Para petani tradisional memiliki sistem penanggalan tanam dan panen yang sangat detail, sering disebut sebagai *pranata mangsa* di Jawa. Sistem ini mengklasifikasikan 12 musim atau periode yang masing-masing menentukan kapan waktu yang tepat untuk mempersiapkan lahan, menanam, hingga mengarit. Keterlambatan atau percepatan mengarit akibat anomali cuaca (misalnya El Niño yang menyebabkan kekeringan panjang) dapat menyebabkan kerugian besar. Oleh karena itu, keterampilan mengarit juga mencakup kemampuan membaca tanda-tanda alam: bau tanah, warna daun, perilaku serangga, dan kelembaban udara. Penentuan hari yang tepat untuk memulai mengarit bukan hanya berdasarkan perkiraan kalender, tetapi berdasarkan observasi empiris yang presisi. Panen yang ideal terjadi saat bulir padi mencapai fase *masak fisiologis* sempurna, yang ditandai dengan penurunan kadar air hingga 20-25%.
Jika mengarit dilakukan terlalu dini, hasilnya adalah beras yang banyak patah saat digiling (beras menir), yang menurunkan nilai jual. Jika terlambat, bulir akan rontok di sawah, menjadi makanan burung dan hama. Keseimbangan dalam mengarit adalah bukti nyata dari ilmu pengetahuan tradisional yang diterapkan secara turun temurun. Lebih jauh, pada daerah yang rawan banjir, teknik mengarit harus dilakukan dengan cepat dan serempak sebelum air pasang datang. Di sinilah peran *leadership* ketua kelompok tani menjadi vital, mengkoordinir ratusan orang untuk bergerak serentak.
Arit bukan sekadar alat, melainkan perpanjangan tangan petani. Etika penggunaan dan perawatan arit mencerminkan rasa hormat petani terhadap alat yang menopang kehidupan mereka. Arit harus selalu dijaga ketajamannya. Proses mengasah arit (*ngasah*) adalah ritual tersendiri yang sering dilakukan pada malam hari sebelum panen. Batu asah yang baik dan teknik mengasah yang benar memastikan bahwa potongan yang dihasilkan bersih dan cepat, mengurangi energi yang terbuang saat mengarit. Arit yang tumpul dapat merusak batang padi, menyebabkan serpihan yang sulit diproses.
Selain ketajaman, penanganan arit juga diatur oleh pantangan lokal. Misalnya, arit tidak boleh diletakkan sembarangan, terutama saat tidak digunakan, karena dianggap dapat mengundang bahaya. Arit yang digunakan untuk panen sering kali disimpan di tempat khusus di rumah setelah dibersihkan dari sisa-sisa jerami. Bagi pandai besi, membuat arit adalah seni warisan yang melibatkan pemilihan material baja berkualitas tinggi, penempaan yang tepat, dan proses pendinginan yang menghasilkan bilah yang lentur namun kuat. Arit terbaik diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Cara mengarit memiliki efek langsung pada ekonomi pascapanen. Padi yang dipanen dengan ani-ani, yang masih memiliki tangkai panjang, memerlukan proses perontokan yang berbeda—biasanya dilakukan dengan menumbuk atau menginjak. Padi ini seringkali memiliki bulir utuh yang lebih sedikit retak dibandingkan padi yang dipanen menggunakan arit dan dibanting di *gebotan* (papan perontok). Bulir yang utuh (*whole grain*) ini menghasilkan beras dengan kualitas giling yang lebih tinggi, lebih bernilai jual, dan daya simpan yang lebih lama.
Di sisi lain, panen dengan arit sangat cocok untuk sistem pertanian yang mengandalkan mesin penggiling modern, di mana padi harus segera dirontokkan dan dikeringkan. Padi yang sudah dipisahkan dari batang dengan cepat (setelah diarit) harus segera melalui proses pengeringan untuk menghindari fermentasi dan pertumbuhan jamur. Keputusan memilih antara arit atau ani-ani, oleh karena itu, adalah keputusan strategis yang mempengaruhi rantai nilai pangan dari sawah hingga piring. Jika petani menargetkan pasar beras premium dan organik, mengarit secara manual adalah keharusan, terlepas dari tingkat kesulitan fisiknya.
Meskipun istilah ‘mengarit’ umum, praktik ini sangat bervariasi di berbagai pulau.
1. Subak Bali: Di sistem irigasi Subak Bali, mengarit sangat terikat pada ritual *Tri Hita Karana* (hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan). Panen seringkali masih menggunakan ani-ani (disebut juga *kareng*) untuk menghormati Dewi Sri. Struktur sosial Subak memastikan bahwa air dan jadwal mengarit diatur secara komunal, menghindari konflik dan menjamin keberhasilan panen serentak. Keseragaman panen ini adalah bagian dari upaya menjaga keharmonisan ekosistem sawah yang kompleks.
2. Leuit di Sunda (Jawa Barat): Komunitas Sunda di Jawa Barat, khususnya yang masih mempraktikkan Padi Gogo (padi lahan kering), memiliki tradisi mengarit yang hasilnya disimpan di *Leuit* (lumbung). Padi yang diarit dengan ani-ani disimpan bersama tangkainya. *Leuit* tidak hanya berfungsi sebagai gudang, tetapi sebagai penanda status sosial dan bank pangan. Jumlah *Leuit* yang dimiliki keluarga menunjukkan tingkat ketahanan pangan mereka. Mengarit bagi mereka adalah langkah awal menuju pengisian *Leuit*, yang merupakan simbol kemakmuran abadi.
3. Sistem Panen di Sulawesi: Di Sulawesi, beberapa suku memiliki tradisi panen yang melibatkan seluruh keluarga besar, dengan fokus pada kecepatan dan kekuatan kolektif. Alat yang digunakan bervariasi antara sabit (arit) dan parang kecil. Panen di sana sering diakhiri dengan perayaan besar (*syukuran*) sebagai wujud syukur atas keberhasilan mengarit, memperkuat ikatan kekerabatan dan persatuan desa.
Perbedaan regional ini menegaskan bahwa mengarit adalah budaya yang dinamis dan adaptif. Keberagaman teknik ini adalah kekayaan genetik dan kultural yang harus dilestarikan sebagai bagian integral dari identitas agraris Indonesia.
Saat ini, tantangan terbesar adalah bagaimana cara mentransmisikan keterampilan mengarit kepada generasi muda. Transmisi tidak bisa hanya melalui buku teks; ia harus dilakukan secara praktik dan pengalaman langsung. Di banyak desa, tradisi magang informal masih berlangsung: anak-anak sejak usia sekolah dasar diajak ke sawah saat panen untuk membantu tugas-tugas ringan, seperti mengumpulkan ikatan padi. Secara bertahap, mereka diperkenalkan pada penggunaan ani-ani, yang dianggap lebih aman, sebelum beralih ke arit.
Lembaga pendidikan pertanian formal perlu memasukkan pelatihan teknik panen tradisional dan ekologis sebagai mata kuliah wajib. Bukan hanya sebagai pelajaran sejarah, melainkan sebagai praktik pertanian berkelanjutan yang menawarkan solusi terhadap masalah lingkungan. Mengarit harus diposisikan sebagai keterampilan teknis tingkat tinggi, bukan sekadar pekerjaan kasar, untuk meningkatkan citra dan daya tarik profesi petani di mata pemuda. Pelatihan yang menekankan ergonomi, ketepatan, dan filosofi spiritual mengarit dapat menjadi jembatan antara masa lalu yang bijaksana dan kebutuhan masa depan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, mengarit adalah sebuah warisan yang menuntut upaya sadar untuk dipertahankan. Konservasi budaya mengarit adalah investasi jangka panjang dalam keamanan pangan, keberagaman hayati, dan martabat bangsa agraris. Setiap ayunan arit dan setiap potongan ani-ani mengandung pelajaran berharga tentang bagaimana hidup selaras dengan alam.