I. Pendefinisian Batas: Mengada-ada Sebagai Konstruksi Kognitif
Konsep ‘mengada-ada’ dalam bahasa Indonesia memiliki resonansi yang unik dan kompleks. Ia bergerak di antara dua kutub makna yang seringkali bertabrakan: di satu sisi, ia merujuk pada tindakan fabrikasi, pembentukan ide, atau penciptaan hal yang sebelumnya tidak eksis; di sisi lain, ia berkonotasi negatif, menyiratkan kebohongan, ketidakjujuran, atau penciptaan narasi yang sama sekali tidak berdasar pada realitas empiris. Eksplorasi ini akan mencoba membedah dikotomi tersebut, menelisik mengapa manusia, sebagai makhluk yang sadar akan keterbatasan realitas, memiliki dorongan yang tak terpuaskan untuk terus-menerus melampaui batas yang terlihat.
Jauh melampaui sekadar fantasi anak-anak atau kebohongan sepele, 'mengada-ada' adalah fondasi peradaban. Tanpa kemampuan kognitif untuk mengkonstruksi hal-hal yang tidak ada di hadapan kita—seperti hukum, uang, negara, atau dewa—struktur sosial yang kompleks tidak mungkin terbentuk. Fabrikasi, dalam esensi murninya, adalah alat untuk mengorganisir yang tak terorganisir, sebuah upaya kolektif untuk memberi makna pada kekosongan yang membingungkan. Ini adalah lompatan fundamental dari dunia fisik ke dunia simbolik, sebuah proses yang mendefinisikan kemanusiaan itu sendiri. Namun, kekuatan penciptaan ini datang dengan risiko yang melekat, yaitu potensi distorsi dan manipulasi terhadap kebenaran yang obyektif. Inilah lanskap filosofis yang akan kita jelajahi.
1.1. Terminologi dan Spektrum Fabrikasi
Untuk memahami kedalaman ‘mengada-ada’, kita harus menempatkannya pada sebuah spektrum. Di ujung positif terdapat Invensi Kreatif—penciptaan alat, seni, atau teori yang memperluas pemahaman kita tentang alam semesta. Ini adalah fabrikasi yang bertujuan konstruktif. Di ujung negatif terdapat Konfabulasi Destruktif—kebohongan patologis, narasi palsu, atau mitos yang diciptakan untuk tujuan dominasi atau penipuan. Keduanya berasal dari sumber daya mental yang sama: kemampuan untuk menyusun hubungan yang tidak nyata, tetapi niat dan dampaknya sangat berbeda.
Perbedaan antara fiksi (yang disepakati sebagai tidak nyata) dan kebohongan (yang diklaim sebagai nyata) seringkali menjadi penentu etis. Ketika seorang novelis 'mengada-ada' sebuah dunia, pembaca berpartisipasi dalam kesepakatan bahwa itu adalah fabrikasi yang ditujukan untuk hiburan atau refleksi. Ketika seorang politisi 'mengada-ada' sebuah fakta, kesepakatan tersebut dilanggar, menghasilkan konsekuensi nyata terhadap persepsi dan tindakan masyarakat. Oleh karena itu, studi tentang mengada-ada adalah studi tentang tanggung jawab kognitif—seberapa jauh kita diizinkan untuk mengubah peta demi kenyamanan, dan kapan peta tersebut mulai merusak wilayah aslinya.
II. Filsafat Ketiadaan dan Penciptaan Eksistensi Non-Fisik
Dalam ranah filsafat, pertanyaan tentang bagaimana sesuatu yang tidak ada bisa menjadi ada adalah inti dari metafisika. Ketika kita mengada-ada, kita secara fundamental menantang prinsip non-kontradiksi, setidaknya di dalam ruang mental kita. Kita menciptakan entitas non-fisik yang kemudian memiliki kekuatan kausal di dunia fisik.
2.1. Dari Kosong ke Bentuk: Perspektif Metafisika
Filsafat Timur dan Barat telah lama bergulat dengan konsep Nihil (Ketiadaan). Bagaimana mungkin ide tentang "Mengada-ada" dapat eksis jika realitas secara ketat hanya terdiri dari yang empiris? Para idealis berpendapat bahwa yang "diada-adakan" di ranah pikiran (dunia Noumenal Kantian) sama nyatanya, atau bahkan lebih fundamental, daripada dunia yang kita rasakan (dunia Fenomenal). Ketika seseorang mengada-ada tentang sebuah pesawat terbang yang belum pernah dibuat, cetak biru mental itu adalah bentuk eksistensi awal yang mutlak diperlukan sebelum pesawat itu dapat dibentuk dari baja dan aluminium.
Proses mengada-ada ini adalah manifestasi dari kehendak bebas manusia untuk memberi bentuk pada kekosongan. Sebuah kata yang diucapkan, sebuah janji yang dibuat, sebuah mata uang yang disepakati nilainya—semua ini adalah entitas yang diada-adakan. Mereka tidak memiliki massa, tetapi mereka mengatur transaksi, perang, dan kedamaian. Ini menunjukkan bahwa kekuatan kolektif dari fabrikasi mental jauh melampaui batas-batas materialitas. Kekuatan kolektif untuk mempercayai sesuatu yang diada-adakan adalah yang sesungguhnya membentuk realitas sosial. Jika masyarakat berhenti mempercayai nilai uang, uang tersebut seketika kembali menjadi kertas atau logam tanpa makna. Eksistensinya bersifat kontingen (tergantung pada kesepakatan).
2.2. Mengada-ada dan Konstruksi Sosial
Sosiolog dan antropolog, terutama melalui lensa konstruktivisme sosial, melihat ‘mengada-ada’ sebagai proses pembentukan institusi. Konsep seperti kedaulatan, keadilan, atau ras bukanlah entitas alamiah; mereka diada-adakan, disepakati, dan diperkuat melalui ritual dan narasi. Fabrikasi ini menciptakan tatanan yang stabil, yang memungkinkan jutaan orang bekerja sama menuju tujuan yang diimajinasikan bersama.
- Mitos Fondasional: Setiap negara mengada-ada narasi sejarah heroik yang menopang identitas nasional. Narasi ini mungkin dilebih-lebihkan, disederhanakan, atau bahkan didistorsi, tetapi fungsinya adalah mengikat masyarakat.
- Sistem Hukum: Hukum adalah konstruksi verbal yang diada-adakan. Pelanggaran terhadap hukum tidak melanggar hukum fisika, melainkan melanggar sistem kesepakatan yang diimajinasikan. Kepercayaan kolektif terhadap fiksi hukum inilah yang memberikan kekuatan pada polisi dan pengadilan.
- Etika: Nilai moral seperti 'baik' atau 'buruk' tidak terukir di batu; mereka adalah hasil dari fabrikasi filosofis dan religius yang panjang, membentuk pedoman perilaku yang diyakini bersama.
Keberhasilan mengada-ada dalam konteks sosial diukur dari tingkat kepatuhan dan universalitas kepercayaan yang dibangun. Semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam fiksi tersebut, semakin kuat realitas yang diada-adakan itu menjadi nyata di ranah pengalaman sehari-hari. Konflik sosial seringkali terjadi ketika dua kelompok atau lebih mengada-ada realitas yang saling eksklusif.
III. Psikologi Fabrikasi: Mengapa Kita Harus Berfantasi?
Jika realitas empiris sudah cukup, mengapa pikiran manusia begitu terdorong untuk terus-menerus mengada-ada? Psikologi menawarkan beberapa jawaban, mulai dari kebutuhan untuk mengatasi trauma hingga mekanisme fundamental yang mendorong pembelajaran dan prediksi masa depan.
3.1. Konfabulasi sebagai Mekanisme Koping
Dalam psikologi klinis, istilah 'konfabulasi' merujuk pada penciptaan ingatan palsu untuk mengisi celah dalam memori, terutama pada pasien dengan kerusakan neurologis. Ini adalah bentuk 'mengada-ada' yang tidak disengaja, namun menunjukkan sifat dasar otak yang anti-kekosongan. Otak membenci ambiguitas dan akan secara otomatis menciptakan narasi, betapapun tidak akuratnya, untuk menjaga konsistensi diri (self-consistency).
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, fabrikasi juga berfungsi sebagai mekanisme koping. Berfantasi tentang masa depan yang lebih baik, mengada-ada skenario di mana kita berhasil mengatasi kegagalan, atau bahkan menciptakan alasan yang logis (walaupun palsu) untuk perilaku yang memalukan—semua ini membantu individu mempertahankan integritas psikologis. Imajinasi adalah laboratorium mental di mana kita dapat melakukan simulasi tanpa konsekuensi nyata, memungkinkan kita menghadapi kompleksitas dunia secara tidak langsung.
Freud menekankan pentingnya fantasi sebagai pelarian dari prinsip realitas yang keras, sementara psikolog kognitif modern melihat fabrikasi sebagai kunci untuk Theory of Mind—kemampuan untuk mengada-ada dan memahami keadaan mental orang lain, yang sangat penting untuk empati dan interaksi sosial yang berhasil.
3.2. Sifat Adaptif dari Imajinasi
Dari sudut pandang evolusioner, kemampuan untuk 'mengada-ada' skenario yang belum terjadi adalah keunggulan adaptif yang luar biasa. Manusia purba yang mampu mengada-ada strategi perburuan yang kompleks, memprediksi gerakan predator, atau membayangkan alat baru yang belum ada, memiliki peluang bertahan hidup yang lebih tinggi. Ini bukanlah fiksi belaka; ini adalah kemampuan untuk beroperasi dalam dimensi temporal yang tidak terikat pada masa kini.
Ketika kita merencanakan, kita mengada-ada. Ketika kita berinovasi, kita mengada-ada. Kualitas terbaik dari pikiran manusia adalah kemampuannya untuk beroperasi di luar yang aktual menuju yang potensial. Semua kemajuan teknologi, dari roda hingga kecerdasan buatan, dimulai sebagai sesuatu yang diada-adakan di benak seseorang yang berani melanggar batas realitas yang ada. Oleh karena itu, kemampuan untuk mengada-ada secara efektif adalah indikator kecerdasan dan adaptabilitas yang tinggi.
IV. Mengada-ada dalam Narasi Kebudayaan dan Sejarah
Kebudayaan adalah kumpulan fiksi kolektif yang disepakati. Sejak zaman prasejarah, manusia telah menggunakan narasi yang diada-adakan—mitos, legenda, dan cerita rakyat—untuk menjelaskan yang tidak dapat dijelaskan, mengorganisir yang tidak terorganisir, dan memberikan panduan moral.
4.1. Mitos sebagai Kebenaran yang Diada-adakan
Mitos penciptaan (kosmogoni) di seluruh dunia adalah contoh paling kuat dari tindakan 'mengada-ada' secara massal. Mereka menceritakan kisah tentang bagaimana ketiadaan menjadi keberadaan. Meskipun secara ilmiah tidak akurat, mitos-mitos ini mengandung kebenaran mendalam tentang psikologi dan nilai-nilai masyarakat yang menciptakannya. Mereka bukanlah kebohongan; mereka adalah realitas simbolis.
Sebagai contoh, cerita-cerita tentang pahlawan (seperti Gilgamesh atau Rama) diada-adakan bukan hanya untuk menghibur, tetapi untuk memberikan model perilaku. Pahlawan ini seringkali melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa, menciptakan standar moral dan etika yang diidealkan yang sulit dicapai, tetapi mendorong perbaikan diri. Mitos adalah peta mental untuk perjalanan spiritual dan etis. Tanpa mitos yang diada-adakan ini, masyarakat kehilangan jangkar komunalnya.
4.2. Urban Legend dan Fabrikasi Kontemporer
Di era modern, mitos telah bertransformasi menjadi urban legend dan, yang lebih meresahkan, teori konspirasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa dorongan untuk mengada-ada tidak hilang, hanya saja medianya yang berubah. Urban legend, seringkali didorong oleh kecemasan kontemporer (misalnya, takut akan teknologi atau asing), berfungsi seperti mitos purba: mereka menyederhanakan kompleksitas dan mengidentifikasi musuh atau bahaya. Ini adalah fabrikasi yang diakibatkan oleh kebutuhan psikologis akan kontrol dan pemahaman.
Dalam kasus teori konspirasi, yang diada-adakan adalah motif tersembunyi. Ketika dihadapkan pada peristiwa yang kacau atau menyakitkan (bencana alam, politik yang tidak dapat diprediksi), pikiran mengada-ada agen rahasia atau rencana jahat sebagai pengganti penjelasan yang sederhana: bahwa terkadang, hal-hal buruk terjadi tanpa ada kendali atau makna yang lebih dalam. Mengada-ada struktur tersembunyi memberikan kenyamanan psikologis bahwa setidaknya, ada yang bertanggung jawab, meskipun 'tanggung jawab' tersebut sepenuhnya fiktif.
Transmisi cerita-cerita yang diada-adakan ini melalui media sosial telah mempercepat proses fabrikasi. Sebuah narasi palsu yang dulunya membutuhkan waktu berabad-abad untuk menjadi legenda, kini dapat mencapai status kebenaran kolektif dalam hitungan jam. Ini menyoroti betapa rentannya batasan antara yang nyata dan yang diada-adakan ketika disalurkan melalui saluran komunikasi yang hiper-cepat.
V. Arsitektur Imajinatif: Mengada-ada Sebagai Mesin Kreativitas
Di bidang seni dan sastra, ‘mengada-ada’ adalah kata kerja yang paling mulia. Seorang seniman adalah seseorang yang secara sadar dan sengaja menciptakan realitas yang tidak ada. Kekuatan fabrikasi ini bukan hanya hobi, melainkan motor penggerak inovasi budaya dan refleksi filosofis.
5.1. Sastra dan Penciptaan Dunia (Worldbuilding)
Penulis fiksi ilmiah (sci-fi) dan fantasi adalah arsitek dari yang diada-adakan. Mereka harus menciptakan tidak hanya karakter dan plot, tetapi juga seluruh sistem fisika, sejarah, bahasa, dan politik yang koheren. Keberhasilan karya seperti The Lord of the Rings atau Dune terletak pada sejauh mana dunia yang diada-adakan terasa nyata—sehingga pembaca secara sukarela menangguhkan ketidakpercayaan mereka (suspension of disbelief).
Tindakan mengada-ada dalam sastra memungkinkan eksplorasi moral dan etika yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata. Penulis dapat menciptakan skenario ekstrem, seperti masyarakat distopia atau utopia, untuk menguji batas-batas sifat manusia tanpa harus membayar konsekuensi nyata. Fiksi, meskipun diada-adakan, berfungsi sebagai cermin paling tajam untuk meninjau realitas kita sendiri. Ia memungkinkan kita melihat diri kita dari jarak yang aman, terbungkus dalam selubung fiksi.
5.1.1. Invensi Bahasa dan Logika Internal
Dalam fiksi yang diada-adakan secara mendalam, diperlukan konsistensi internal. Jika di dunia yang diciptakan, gravitasi bekerja dua kali lipat, maka setiap elemen cerita, mulai dari arsitektur bangunan hingga cara berjalan karakter, harus mematuhi hukum yang diada-adakan tersebut. Proses ini menunjukkan bahwa mengada-ada yang efektif membutuhkan disiplin dan logika yang ketat, bukan sekadar khayalan acak. Logika internal yang diada-adakan ini seringkali menjadi lebih nyata bagi pembaca daripada banyak berita di dunia nyata.
Tolkien, misalnya, mengada-ada tidak hanya Middle-earth, tetapi juga bahasa-bahasa (Quenya, Sindarin) yang memiliki tata bahasa dan sejarah evolusi sendiri. Ini adalah tingkat fabrikasi yang menunjukkan bahwa proses kreatif adalah salah satu penciptaan yang terstruktur, bukan kekacauan. Dunia yang diada-adakan harus lebih sempurna, dalam hal konsistensi, daripada dunia nyata, karena dunia nyata seringkali tidak logis.
5.2. Seni Rupa dan Batas Realitas Visual
Pelukis surealis seperti Salvador Dalí secara harfiah ‘mengada-ada’ lanskap yang melanggar hukum fisika dan logika. Surealisme, dan bentuk seni abstrak lainnya, adalah upaya untuk merealisasikan yang tidak nyata, untuk memberi bentuk pada alam bawah sadar yang fiktif. Ini adalah penegasan bahwa yang diada-adakan di dalam pikiran memiliki hak untuk eksis di kanvas, menantang dominasi representasi empiris.
Seni mengada-ada memiliki fungsi pembebasan. Ia membebaskan pikiran dari tirani yang harus ada, memungkinkan kita untuk merenungkan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam arsitektur, mengada-ada memungkinkan pembangunan gedung-gedung yang mustahil (sebelum teknologi memungkinkan), mendorong batas rekayasa. Dalam musik, mengada-ada memungkinkan penciptaan harmoni dan disonansi yang sebelumnya tidak pernah terdengar, memperluas palet emosional manusia.
VI. Etika Fabrikasi: Batasan Moral dalam Mengada-ada
Meskipun mengada-ada adalah kunci kreativitas dan tatanan sosial, ia membawa risiko etis yang serius. Kapan fabrikasi melintasi batas dari alat konstruktif menjadi senjata manipulasi? Pertanyaan ini menjadi semakin mendesak di era di mana teknologi memungkinkan produksi fabrikasi yang sangat meyakinkan (misalnya, deepfakes).
6.1. Kebohongan dan Kerusakan Kepercayaan
Ketika seseorang mengada-ada fakta dengan tujuan menipu, fondasi komunikasi manusia—kepercayaan pada niat baik dan akurasi informasi dari lawan bicara—terkikis. Kebohongan adalah bentuk fabrikasi yang paling merusak. Filsuf etika Immanuel Kant sangat menentang kebohongan, berpendapat bahwa kebohongan merusak dasar rasionalitas, yaitu kemampuan untuk saling percaya pada kebenaran proposisional.
Konsekuensi dari ‘mengada-ada’ yang bersifat destruktif melampaui individu. Dalam skala masyarakat, penyebaran informasi yang diada-adakan (disinformasi) dapat melumpuhkan diskursus publik, membuat warga negara tidak mungkin mencapai konsensus tentang realitas dasar. Jika tidak ada fakta yang disepakati, semua tindakan menjadi tidak berdasar, dan masyarakat memasuki keadaan anarki kognitif di mana setiap orang menciptakan realitasnya sendiri. Ini adalah bahaya terbesar dari kemampuan kita untuk mengada-ada.
6.2. Mengada-ada sebagai Manipulasi Politik dan Ekonomi
Di bidang politik, ‘mengada-ada’ sering digunakan untuk menciptakan musuh fiktif atau ancaman yang dibesar-besarkan guna membenarkan tindakan otoriter atau perang. Penggunaan retorika yang diada-adakan ini bertujuan untuk memobilisasi emosi, bukan rasionalitas. Dalam ekonomi, fabrikasi seperti gelembung spekulatif didasarkan pada mengada-ada nilai properti atau aset yang jauh melampaui nilai intrinsiknya. Gelembung ini adalah fiksi kolektif yang, ketika kepercayaan kolektif runtuh, menghasilkan konsekuensi material yang sangat nyata dan merusak.
Oleh karena itu, etika mengada-ada menuntut kejujuran terhadap niat. Fabrikasi harus diakui sebagai fiksi sejak awal, atau harus ditujukan untuk memajukan pemahaman dan bukan untuk menundukkan kehendak. Garis etis ditarik berdasarkan pengakuan: Apakah yang diada-adakan ini ditawarkan sebagai potensi, atau diklaim sebagai kepastian?
VII. Masa Depan Fabrikasi: Mengada-ada di Era Digital
Teknologi modern tidak hanya memfasilitasi kemampuan kita untuk mengada-ada, tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk baru dari realitas yang diada-adakan yang kini kita sebut virtual. Ruang digital telah menjadi wadah fabrikasi yang paling subur, mengubah cara kita berinteraksi dengan yang nyata.
7.1. Realitas Virtual dan Pergeseran Ontologis
Realitas virtual (VR) dan metaverse adalah manifestasi teknologi dari dorongan kuno untuk mengada-ada. Di ruang-ruang ini, identitas, lingkungan, dan bahkan hukum fisika dapat sepenuhnya diubah atau diabaikan. Ini memunculkan pertanyaan ontologis yang mendalam: Apakah yang diada-adakan di VR kurang nyata daripada pengalaman kita di dunia fisik?
Bagi generasi yang tumbuh di lingkungan digital, batas antara yang diada-adakan dan yang nyata menjadi semakin kabur. Mereka dapat memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan nyata di dunia yang sepenuhnya diada-adakan (game online), atau menjalin hubungan emosional yang intens dengan avatar yang direkayasa. Di sini, yang diada-adakan mulai memiliki bobot psikologis, ekonomi, dan sosial yang setara, atau bahkan lebih besar, daripada yang empiris. Ini adalah puncak dari evolusi 'mengada-ada', di mana pikiran manusia telah berhasil menciptakan alam semesta alternatif yang koheren dan fungsional.
7.2. Kecerdasan Buatan dan Fabrikasi Otonom
Dengan munculnya Kecerdasan Buatan Generatif (AI), kita kini menyaksikan mesin yang mampu 'mengada-ada' teks, gambar, dan musik yang hampir tidak dapat dibedakan dari karya manusia. AI tidak sekadar meniru; ia mampu menciptakan ide yang belum pernah ada, menyusun narasi yang kompleks, dan mengisi kekosongan informasi dengan detail yang meyakinkan. Ini adalah fabrikasi yang dilakukan oleh entitas non-biologis.
Ini menimbulkan tantangan baru terhadap identitas kreatif dan kebenaran. Jika sebuah narasi yang diada-adakan oleh mesin dianggap setara dengan narasi yang diada-adakan oleh manusia, apa yang terjadi pada nilai orisinalitas? Lebih jauh lagi, jika AI dapat mengada-ada informasi palsu dengan kecepatan dan volume yang tak tertandingi, bagaimana kita dapat mempertahankan validitas realitas yang disepakati bersama? Masa depan mengharuskan kita untuk belajar hidup dalam dunia di mana fabrikasi adalah produk yang melimpah dan murah, dan kebenaran menjadi komoditas langka yang harus diverifikasi dengan susah payah.
VIII. Analisis Mendalam tentang Kreativitas Struktural dan Chaos yang Diada-adakan
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang "mengada-ada," kita perlu menyelami bagaimana struktur mental bekerja ketika menciptakan hal yang tidak ada. Ini bukan hanya masalah imajinasi, tetapi juga rekayasa kognitif yang melibatkan pengambilan potongan-potongan realitas dan merakitnya kembali dalam konfigurasi yang melanggar hukum yang berlaku, namun tetap mempertahankan koherensi internal.
8.1. Prinsip Dekonstruksi dan Rekombinasi
Tindakan mengada-ada jarang sekali merupakan penciptaan dari ketiadaan mutlak. Sebaliknya, ia adalah proses dekonstruksi realitas yang ada diikuti oleh rekombinasi elemen-elemennya. Misalnya, dalam menciptakan seekor naga, pikiran mengambil sayap (dari burung), reptil (dari kadal), dan kemampuan untuk mengeluarkan api (fenomena alam yang diamati) dan menggabungkannya menjadi satu entitas baru. Meskipun entitas ini tidak nyata secara empiris, setiap komponennya berasal dari realitas. Fabrikasi yang paling efektif adalah yang menggunakan elemen-elemen yang dikenal untuk menciptakan yang tidak dikenal.
Proses rekombinasi ini, ketika diulang berkali-kali dalam berbagai tingkat abstraksi, menghasilkan inovasi. Para ilmuwan mengada-ada model teoritis (seperti fisika kuantum atau lubang hitam) yang menguji batas-batas pemahaman kita. Model-model ini awalnya hanyalah fabrikasi matematis yang terpisah dari observasi, namun kemudian terbukti memiliki kekuatan prediktif yang luar biasa. Dengan demikian, "mengada-ada" berfungsi sebagai hipotesis yang berani, sebuah jembatan yang dilemparkan ke dalam kegelapan yang memungkinkan eksplorasi teritorial pengetahuan yang belum terpetakan.
8.2. Logika yang Diada-adakan dalam Sains Fiksi
Fiksi ilmiah (Sci-Fi) secara khusus unggul dalam mengada-ada sistem yang logis namun non-existent. Dalam Sci-Fi, penulis harus menciptakan "aturan" baru untuk alam semesta mereka (misalnya, perjalanan warp, manipulasi waktu), dan kemudian secara ketat mengikuti aturan-aturan itu. Jika sebuah penulis mengada-ada bahwa mesin waktu hanya dapat bergerak maju, maka narasi tidak boleh tiba-tiba memungkinkan perjalanan mundur. Disiplin internal ini adalah kunci. Kegagalan dalam mematuhi aturan fiktif yang telah ditetapkan akan merusak suspensi ketidakpercayaan, mengubah fabrikasi yang cerdas menjadi sekadar kekacauan.
Koherensi struktural ini menunjukkan bahwa 'mengada-ada' yang berkualitas tinggi memerlukan pemahaman yang mendalam tentang logika, bahkan ketika logika yang digunakan adalah logika yang diada-adakan itu sendiri. Hal ini memerlukan arsitektur naratif yang kokoh, di mana setiap elemen fiktif harus menopang elemen fiktif lainnya, menciptakan sebuah kerangka yang, meskipun tidak berbasis di bumi, memiliki fondasi yang kuat di alam pikiran.
IX. Dimensi Kolektif: Menjaga dan Mempertanyakan Fiksi Bersama
Fabrikasi menjadi kekuatan pendorong peradaban hanya ketika ia diterima dan dipertahankan secara kolektif. Proses ini, di mana fiksi individu diangkat menjadi realitas sosial, adalah inti dari pembentukan budaya dan institusi.
9.1. Ritual dan Penguatan Fabrikasi
Bagaimana sebuah ide yang diada-adakan, seperti ‘pernikahan’ atau ‘kewarganegaraan’, dipertahankan selama berabad-abad? Jawabannya terletak pada ritual. Ritual (upacara, perayaan, sumpah) adalah tindakan fisik yang dirancang untuk memperkuat dan mematerialkan fiksi kolektif. Ketika seseorang mengucapkan sumpah di pengadilan, mereka tidak hanya berbicara; mereka berpartisipasi dalam sebuah ritual yang menegaskan kekuatan fiksi hukum.
Ritual menghilangkan keraguan. Mereka menciptakan lingkungan di mana yang diada-adakan diterima sebagai kebenaran tak terbantahkan. Tanpa ritual yang terus-menerus, fiksi kolektif akan melemah dan menghilang, seperti kepercayaan pada dewa-dewa yang ditinggalkan. Oleh karena itu, masyarakat terus-menerus 'mengada-ada' ulang realitas mereka melalui pengulangan tindakan simbolis.
9.2. Kritik dan Pembongkaran Fiksi
Dorongan untuk ‘mengada-ada’ diimbangi oleh dorongan kritis untuk membongkar yang diada-adakan. Peran kritikus, filsuf, dan jurnalis investigasi adalah untuk mempertanyakan, "Apakah ini benar-benar ada, ataukah ini hanyalah fabrikasi yang dipertahankan oleh kekuasaan?" Fabrikasi yang paling berbahaya adalah yang menyamar sebagai kebenaran alamiah yang tak terhindarkan (misalnya, ideologi totaliter).
Filsafat, khususnya, sering berfungsi sebagai alat untuk mengungkap bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai realitas keras hanyalah hasil dari 'mengada-ada' yang sukses. Nietzsche, misalnya, menantang fiksi-fiksi moral dan agama. Foucault membongkar fiksi kekuasaan dan pengetahuan. Tindakan pembongkaran ini, meskipun sering dianggap destruktif, sebenarnya sangat konstruktif; ia membuka jalan bagi fabrikasi baru yang mungkin lebih adil, inklusif, atau akurat.
Siklus mengada-ada dan membongkar adalah mesin sejarah. Peradaban bergerak maju tidak hanya dengan menciptakan fiksi-fiksi baru (teknologi, hukum), tetapi juga dengan memiliki keberanian untuk mengakui fiksi lama (perbudakan, diskriminasi) sebagai fabrikasi yang tidak etis dan perlu dihentikan.
X. Sinergi antara Kekosongan dan Pengisian: Mengada-ada sebagai Keniscayaan Eksistensial
Pada akhirnya, kemampuan untuk ‘mengada-ada’ mungkin bukanlah sebuah pilihan, melainkan keniscayaan eksistensial. Dihadapkan pada alam semesta yang luas dan tampaknya acak, manusia tidak dapat mentoleransi kekosongan makna. Kita dipaksa untuk mengisi ruang hampa tersebut dengan realitas yang diada-adakan.
10.1. Mengada-ada dan Pencarian Makna
Albert Camus dan eksistensialis lainnya berpendapat bahwa alam semesta bersifat absurd; ia tidak menawarkan makna yang melekat. Makna, oleh karena itu, harus diada-adakan oleh individu. Pekerjaan, cinta, seni, dan bahkan pengorbanan adalah nilai-nilai yang kita fabrisikan untuk memberikan tujuan pada keberadaan kita yang terbatas. Tanpa kemampuan untuk menciptakan fiksi personal ini, kita akan lumpuh oleh kesadaran akan ketiadaan yang tak terhindarkan.
Dalam konteks ini, 'mengada-ada' menjadi tindakan perlawanan. Itu adalah penolakan untuk menerima kekosongan dan afirmasi akan kemampuan diri untuk memberi bentuk. Seni yang diada-adakan, misalnya, adalah cara untuk mengabadikan momen fana, sebuah upaya untuk menipu waktu dengan menciptakan artefak yang akan bertahan lebih lama daripada penciptanya.
10.2. Keseimbangan Dinamis antara Fakta dan Fiksi
Hidup yang sehat dan produktif membutuhkan keseimbangan yang rumit antara menghormati realitas objektif (fakta yang tidak dapat diubah) dan menggunakan kemampuan untuk mengada-ada (fiksi yang diperlukan). Seseorang yang sepenuhnya menolak realitas objektif dan hanya hidup dalam fabrikasinya sendiri adalah delusi. Seseorang yang sepenuhnya menolak kemampuan untuk mengada-ada adalah individu yang kaku, tidak kreatif, dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan.
Mengada-ada adalah kemampuan untuk membayangkan bahwa keadaan saat ini bukanlah satu-satunya keadaan yang mungkin. Ini adalah benih dari harapan dan perubahan. Untuk menjadi inovator, kita harus berani mengada-ada solusi yang tampaknya tidak mungkin. Untuk menjadi warga negara yang etis, kita harus mampu mengada-ada konsekuensi dari tindakan kita yang belum terjadi.
XI. Perluasan Domain Fabrikasi: Ekonomi, Perang, dan Kecintaan pada Ketidakbenaran
Eksplorasi 'mengada-ada' tidak lengkap tanpa mempertimbangkan bagaimana ia diinstitusionalisasi dan digunakan dalam domain kekuasaan yang paling keras, yaitu ekonomi dan perang. Di sini, fabrikasi tidak hanya membentuk ide, tetapi secara langsung menentukan hasil kehidupan dan kematian.
11.1. Fabrikasi Kepercayaan di Pasar Global
Ekonomi modern adalah sistem kepercayaan yang sangat canggih yang diada-adakan. Mata uang kripto, derivatif keuangan, dan saham perusahaan yang nilainya jauh melampaui aset fisik mereka adalah manifestasi dari kemampuan kolektif untuk mengada-ada nilai. Kepercayaan ini adalah fiksi kolektif yang disepakati oleh jutaan orang. Kapan pun kepercayaan itu goyah, seluruh sistem yang diada-adakan itu terancam runtuh. Fabrikasi nilai ini adalah sumber kekayaan, tetapi juga sumber volatilitas dan krisis.
Seorang investor yang sukses adalah seseorang yang mahir dalam mengada-ada narasi masa depan yang meyakinkan tentang potensi pertumbuhan. Mereka menjual fiksi tentang apa yang mungkin terjadi, dan investor lain membeli fiksi itu dengan harapan fiksi tersebut akan menjadi nyata. Di Wall Street, yang diperdagangkan seringkali bukanlah aset fisik, melainkan cerita yang diada-adakan mengenai aset tersebut.
11.2. Fabrikasi dalam Konflik Militer
Perang modern sangat bergantung pada mengada-ada. Sebelum konflik fisik dimulai, selalu ada perang narasi. Pihak-pihak yang bertikai mengada-ada pembenaran moral, membesar-besarkan ancaman, dan menciptakan dehumanisasi musuh. Fabrikasi ini bertujuan untuk memobilisasi dukungan domestik dan mematahkan moral lawan. Propaganda adalah bentuk terorganisir dari ‘mengada-ada’ yang bertujuan untuk mengontrol persepsi massa.
Bahkan dalam teknologi militer, kita melihat fabrikasi dalam bentuk kamuflase dan umpan (decoy). Ini adalah upaya untuk mengada-ada realitas palsu di mata musuh, menciptakan ilusi kekuatan atau posisi yang berbeda dari yang sebenarnya. Dalam konteks ini, mengada-ada adalah strategi bertahan hidup dan agresi, menunjukkan bahwa kemampuan fabrikasi kognitif kita memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah konflik.
XII. Mengada-ada dan Kedalaman Linguistik
Bahasa adalah instrumen utama kita untuk mengada-ada. Tanpa kapasitas untuk menyusun simbol dalam cara-cara yang belum pernah ada, pemikiran abstrak dan fabrikasi menjadi tidak mungkin. Struktur bahasa itu sendiri mendorong kita untuk melampaui yang konkret.
12.1. Metafora dan Perluasan Makna
Ketika kita menggunakan metafora, kita secara harfiah ‘mengada-ada’ sebuah hubungan yang tidak nyata. Mengatakan "Waktu adalah uang" menciptakan fiksi bahwa waktu dan uang dapat dipertukarkan. Fiksi ini kemudian mengubah cara kita bertindak. Metafora memungkinkan kita untuk memahami konsep abstrak (seperti cinta, waktu, atau keadilan) melalui analogi dengan hal-hal konkret yang diada-adakan.
Bahasa membebaskan kita dari masa kini dan di sini. Dengan bahasa, kita dapat mengada-ada masa lalu yang hilang (sejarah) atau masa depan yang belum terwujud (perencanaan). Kapasitas linguistik ini adalah yang memungkinkan manusia untuk menciptakan narasi yang panjang, di mana setiap kalimat adalah sebuah fabrikasi yang didasarkan pada fabrikasi sebelumnya, membentuk rantai koherensi yang dapat berlangsung ribuan halaman.
12.2. Keterbatasan dan Kebebasan Bahasa
Namun, bahasa juga membatasi apa yang dapat kita 'ada-adakan'. Kita hanya dapat berfantasi tentang apa yang dapat kita beri nama. Konsep-konsep yang benar-benar di luar kerangka linguistik kita tetap tidak dapat diakses. Filsafat Wittgensteinian menunjukkan bahwa batas bahasa kita adalah batas dunia kita. Oleh karena itu, inovasi linguistik (menciptakan kata-kata baru atau konsep baru) adalah tindakan ‘mengada-ada’ yang paling mendasar, membuka pintu bagi realitas mental yang sebelumnya tertutup.
Dengan demikian, penulis, penyair, dan filsuf yang berjuang untuk mengekspresikan yang tak terkatakan sebenarnya sedang dalam misi untuk mengada-ada ruang linguistik baru, memaksa bahasa untuk melayani visi mereka yang fiktif. Mereka berjuang melawan tirani kata-kata yang sudah ada demi menciptakan realitas yang lebih kaya, meskipun sepenuhnya diada-adakan.
XIII. Kesimpulan: Merayakan dan Mengawasi Fabrikasi
‘Mengada-ada’ adalah manifestasi dari kebebasan kognitif yang tak terbatas. Ia adalah daya cipta yang memungkinkan kita untuk bertransformasi dari kumpulan makhluk yang terikat pada lingkungan fisik menjadi peradaban yang mampu membangun alam semesta simbolik di atas fondasi realitas material. Dari mitos penciptaan hingga algoritma kompleks, kita adalah makhluk yang terlahir untuk menciptakan yang tidak ada.
Keindahan dari kemampuan ini adalah bahwa ia tidak pernah berakhir. Selalu ada ruang kosong yang harus diisi, selalu ada kemungkinan baru yang harus dipertimbangkan. Namun, sebagai pengguna kemampuan ini, kita memiliki tanggung jawab moral yang besar: untuk memastikan bahwa fiksi yang kita ciptakan, baik itu undang-undang, seni, atau narasi pribadi, bertujuan untuk memperluas pemahaman dan meningkatkan kebaikan, bukan untuk memanipulasi atau mendistorsi. Mengada-ada adalah kekuatan yang mengubah realitas; penggunaannya harus dilakukan dengan kebijaksanaan dan kesadaran penuh akan konsekuensinya.
Pada akhirnya, realitas kita sehari-hari adalah tenunan rumit dari fakta yang keras dan fiksi yang diperlukan. Mengakui bahwa banyak dari apa yang kita anggap pasti adalah hasil dari 'mengada-ada' yang sukses bukanlah sinisme; itu adalah wawasan mendalam tentang sifat fleksibel dan plastis dari keberadaan manusia.
Ini adalah pengakuan bahwa kita adalah pembuat dunia. Dan tugas kita terus-menerus adalah memastikan bahwa dunia yang kita ada-adakan layak untuk ditinggali, tidak hanya oleh kita, tetapi oleh semua yang berbagi realitas kolektif ini. Kemampuan kita untuk berfantasi dan menciptakan merupakan hadiah yang paling berharga, dan juga tanggung jawab yang paling berat. Mari kita terus mengada-ada dengan penuh pertimbangan. Kemampuan ini adalah definisi dari imajinasi kolektif, sebuah dorongan yang terus-menerus mendefinisikan batas-batas kemanusiaan, dari yang terliar hingga yang paling suci.