Dualitas tindakan menertawakan: antara kegembiraan kolektif dan kritik tajam yang menusuk.
Tawa adalah salah satu respons manusia yang paling fundamental, sebuah ekspresi universal yang melintasi batas budaya dan bahasa. Namun, ketika tawa diarahkan, berubah menjadi tindakan spesifik yang kita sebut menertawakan, ia segera menjelma menjadi alat sosial, psikologis, dan bahkan filosofis yang memiliki kekuatan luar biasa.
Tindakan menertawakan bukanlah sekadar luapan kegembiraan. Seringkali, ia adalah pernyataan superioritas, instrumen kontrol sosial, atau bahkan cara untuk membongkar otoritas yang beku. Dalam artikel yang mendalam ini, kita akan menjelajahi kompleksitas semantik dan etika di balik aksi menertawakan. Kita akan mengupas teori-teori filosofis yang mencoba menjelaskan mengapa kita memilih untuk menertawakan, batasan moral dari ejekan, dan bagaimana kekuatan tawa mampu meruntuhkan serta membangun kembali struktur masyarakat.
Istilah "menertawakan" memiliki gradien makna yang sangat luas dalam konteks interaksi manusia. Di satu sisi spektrum, terdapat tawa ramah yang berfungsi sebagai perekat sosial—tawa bersama untuk sesuatu yang konyol atau mengejutkan. Di sisi lain, terdapat ejekan yang merendahkan, sindiran tajam, dan satira politis yang berfungsi untuk menghukum atau mengkritik melalui humor.
Ketika sekelompok orang menertawakan lelucon yang sama, itu adalah tawa afirmatif. Ini menegaskan bahwa mereka berbagi perspektif, nilai, dan pemahaman yang sama. Tawa ini memperkuat ikatan kelompok (in-group) dan secara implisit menyingkirkan mereka yang tidak ‘mendapatkan’ lelucon tersebut (out-group). Dalam konteks ini, menertawakan adalah sebuah perayaan atas kesamaan dan koneksi, sebuah ritual penerimaan yang bersifat ringan.
Fungsi afirmatif ini sangat penting dalam dinamika kantor, pertemuan keluarga, atau komunitas daring. Ini adalah mekanisme otomatis untuk menyatakan, "Kita aman, kita sependapat, dan dunia ini setidaknya memiliki satu hal lucu yang kita pahami bersama." Namun, bahkan tawa afirmatif pun bisa disalahgunakan, menjadi tawa eksklusif, yang meskipun menyenangkan bagi yang menertawakan, dapat terasa mengintimidasi bagi pengamat.
Konsep menertawakan yang paling sering dibahas dalam filsafat adalah tawa superioritas, yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes. Dalam karyanya, Leviathan, Hobbes berpendapat bahwa tawa adalah "kejayaan yang tiba-tiba, timbul dari konsepsi kemuliaan kita sendiri dengan perbandingan beberapa kelemahan orang lain, atau dengan kelemahan kita sendiri sebelumnya."
Dalam pandangan ini, tindakan menertawakan seseorang adalah pada dasarnya sebuah pernyataan hierarki. Kita menertawakan kegagalan orang lain (seorang politisi yang jatuh, seorang teman yang salah bicara) karena pada saat itu, kita merasakan peningkatan mendadak dalam status atau kecerdasan kita sendiri. Ini adalah tawa yang berakar pada perbandingan, dan oleh karena itu, ia mengandung potensi kezaliman yang besar. Tindakan menertawakan dalam kerangka superioritas ini selalu menempatkan objek tawa pada posisi yang lebih rendah.
Sangat penting untuk memahami bahwa tawa superioritas tidak selalu disadari. Seringkali, refleks untuk menertawakan kesalahan orang lain adalah mekanisme ego yang sangat cepat, sebuah penguatan diri yang instan dan seringkali tidak disengaja. Namun, dari etika sudut pandang etika, tawa ini membutuhkan pemeriksaan paling ketat, sebab ia dapat merusak martabat objek yang ditertawakan. Kekuatan menertawakan menjadi pedang yang diarahkan ke bawah.
Ketika tawa diubah menjadi alat yang disengaja untuk kritik sosial, kita memasuki ranah ejekan (mockery) dan satira. Ejekan adalah bentuk menertawakan yang paling langsung dan seringkali paling kejam, bertujuan untuk merendahkan dan mempermalukan individu secara terbuka. Ejekan jarang memiliki tujuan konstruktif; tujuannya murni untuk mendominasi atau menghukum secara emosional.
Sebaliknya, satira menggunakan tindakan menertawakan dengan tujuan yang lebih tinggi—untuk membongkar hipokrisi, kebodohan, atau kejahatan sosial. Satira menertawakan melalui distorsi yang hiperbolik, menggunakan humor bukan untuk merendahkan individu, tetapi untuk mengkritik sistem atau ide. Satira politik adalah contoh utama bagaimana menertawakan bisa menjadi kekuatan subversif, sebuah senjata yang dipakai oleh yang lemah untuk menyerang yang kuat.
Filosofi satira sangat berkaitan dengan konsep keganjilan mekanis, yang akan kita bahas lebih lanjut dalam teori Henri Bergson. Menertawakan dalam satira terjadi ketika kita melihat sesuatu yang seharusnya fleksibel dan manusiawi malah bertindak kaku, otomatis, dan bodoh—seolah-olah orang tersebut telah berubah menjadi mesin yang canggung.
Sejak zaman kuno, para filsuf telah berjuang untuk memahami mengapa tawa ada, dan mengapa kita begitu sering menggunakannya untuk menertawakan orang lain. Tiga teori utama—Superioritas, Inkongruensi, dan Pelepasan—memberikan kerangka kerja untuk memahami fenomena ini.
Teori Inkongruensi, yang berakar pada pemikiran Immanuel Kant dan Arthur Schopenhauer, menyatakan bahwa kita menertawakan ketika ada pergeseran tiba-tiba antara ekspektasi dan realitas. Humor terjadi saat dua hal yang tampaknya tidak berhubungan disatukan, atau ketika suatu pola tiba-tiba terputus.
Schopenhauer mendefinisikannya sebagai "pengakuan mendadak atas inkongruensi antara konsep dan objek nyata." Dalam konteks menertawakan, ini berarti kita menertawakan seseorang atau situasi ketika perilaku mereka menyimpang secara drastis dari norma yang diharapkan. Seseorang yang melakukan kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan—seorang profesor yang mengikat tali sepatu di kepalanya—memprovokasi tawa karena ketidakcocokan antara status dan tindakan. Tawa ini sering kali lebih ramah daripada tawa superioritas, namun tetap berfungsi sebagai penanda anomali. Ketika kita menertawakan, kita menandai bahwa ada sesuatu yang "keluar jalur" dari peta sosial atau logika yang kita yakini.
Pentingnya inkongruensi dalam tindakan menertawakan terletak pada perannya sebagai validator sosial. Dengan menertawakan inkongruensi, kelompok menegaskan kembali batas-batas normalitas. Orang yang ditertawakan diingatkan—melalui cara yang seringkali tidak menyakitkan, tetapi pasti—tentang perlunya mematuhi pola yang diakui secara sosial. Tawa menjadi koreksi sosial yang lembut, atau terkadang, sangat keras.
Salah satu analisis paling komprehensif tentang tindakan menertawakan berasal dari filsuf Prancis Henri Bergson dalam esainya, Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic. Bergson berpendapat bahwa tawa memiliki fungsi sosial yang spesifik: untuk memperbaiki perilaku manusia yang kaku, otomatis, atau tidak fleksibel.
Bergson menyatakan, "Yang Komik melekat pada manusia yang telah berubah menjadi hal." Kita menertawakan ketika melihat mekanisme yang ditanamkan ke dalam kehidupan. Contoh klasik adalah seseorang yang berjalan di atas trotoar dan secara otomatis terus berjalan lurus hingga menabrak tiang. Orang itu bertindak seperti mesin yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang dinamis. Tawa kita adalah respons sosial yang mengingatkan individu tersebut untuk kembali fleksibel dan manusiawi.
Menertawakan, menurut Bergson, selalu membutuhkan kelompok sosial. Tidak ada yang lucu tentang seorang pria yang jatuh sendirian di hutan; dia hanya akan terluka. Tetapi ketika dia jatuh di depan umum, tawa berfungsi sebagai teguran publik. Oleh karena itu, tindakan menertawakan adalah semacam hukuman ringan yang diberikan masyarakat kepada anggotanya yang menunjukkan kurangnya perhatian, adaptasi, atau kepekaan. Keinginan untuk menertawakan lahir dari kebutuhan mendasar komunitas untuk menjaga kelenturan dan vitalitas sosial.
Dalam konteks modern, ketika kita menertawakan birokrasi yang kaku, peraturan yang tidak masuk akal, atau seseorang yang terlalu terobsesi dengan rutinitas, kita sebenarnya sedang melakukan panggilan Bergsonian: "Berhentilah menjadi robot!" Tawa ini adalah penolakan terhadap mati rasa dan kebekuan sistemik.
Dipromosikan oleh Sigmund Freud, Teori Pelepasan melihat tawa, dan dengan demikian tindakan menertawakan, sebagai pelepasan energi psikis yang tertahan. Freud berfokus pada lelucon (jokes) sebagai cara untuk melanggar tabu sosial secara aman.
Ketika kita mendengarkan lelucon yang melanggar norma sosial (seksual atau agresif), energi yang seharusnya kita gunakan untuk menekan pikiran terlarang tersebut dilepaskan dalam bentuk tawa. Menertawakan dalam konteks ini adalah katup pengaman. Kita menertawakan hal-hal yang tidak berani kita bicarakan secara langsung. Energi yang dilepaskan ini memberikan kepuasan, dan oleh karena itu, tindakan menertawakan suatu subjek tertentu bisa menjadi cara yang sehat untuk menghadapi kecemasan atau frustrasi kolektif.
Namun, jika energi yang dilepaskan bersifat agresif dan ditujukan pada korban yang nyata (seperti dalam ejekan yang merendahkan), maka tindakan menertawakan itu menjadi pelepasan yang mahal, dibayar dengan martabat orang lain. Memahami tawa sebagai pelepasan membantu kita melihat mengapa humor politik sering kali begitu tajam; ia melepaskan energi kemarahan atau frustrasi yang terakumulasi terhadap kekuasaan.
Karena tindakan menertawakan memiliki kekuatan untuk meninggikan (melalui satira) atau menghancurkan (melalui ejekan), ia menimbulkan pertanyaan etika yang serius. Kapan tawa menjadi kejam? Dan kapan kewajiban kita untuk menjadi manusiawi mengalahkan kebutuhan kita untuk merasa lucu atau superior?
Batasan etika yang paling jelas terjadi ketika tindakan menertawakan menargetkan sesuatu yang tidak dapat diubah oleh individu, atau sesuatu yang sudah menjadi sumber penderitaan. Menertawakan kecacatan fisik, penyakit, latar belakang ras, atau orientasi seksual adalah tindakan yang secara universal dianggap melanggar batas, karena tawa tersebut menembus ke inti identitas dan penderitaan yang sudah ada.
Tawa, dalam konteks ini, berhenti menjadi koreksi sosial dan menjadi penindasan verbal. Ia beroperasi murni dalam kerangka Hobbesian (superioritas) tanpa pengampunan. Tawa ini memisahkan komunitas, membangun dinding, dan berfungsi sebagai alat diskriminasi. Seseorang yang menggunakan tawa untuk menindas sedang memanfaatkan aspek primitif dari respons sosial ini—menggunakan tawa kelompok untuk mengisolasi dan melukai korban.
Meskipun menertawakan dapat bersifat destruktif, ia juga merupakan alat koreksi yang tak ternilai. Dalam masyarakat bebas, kemampuan untuk menertawakan para penguasa, untuk menyindir kebijakan yang bodoh, atau untuk mengejek norma yang sudah usang adalah tanda kesehatan sipil. Tawa yang etis adalah tawa yang menargetkan kekuasaan yang menyalahgunakan atau kebodohan yang disengaja.
Filsuf politik sering melihat tawa sebagai senjata demokrasi yang vital. Jika suatu rezim atau ideologi tidak dapat ditertawakan, berarti ia telah memperoleh kekakuan dan keabsolutan yang berbahaya. Tindakan menertawakan berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa tidak ada otoritas yang kebal terhadap kritisisme, dan bahwa setiap klaim kekuasaan absolut selalu memiliki sisi yang konyol jika dilihat dari sudut pandang yang tepat.
Namun, kunci etika di sini adalah arah. Menertawakan harus mengalir ke atas—dari rakyat ke penguasa, dari yang rentan ke yang dominan. Ketika menertawakan mengalir ke bawah, ia menjadi kekejaman; ketika mengalir ke atas, ia menjadi revolusi kecil yang sehat.
Salah satu bentuk menertawakan yang paling etis dan terapeutik adalah menertawakan diri sendiri. Tindakan ini secara efektif menetralkan Teori Superioritas. Dengan menertawakan kelemahan, kekurangan, atau kesalahan kita sendiri, kita mengambil kembali kekuasaan atas kelemahan tersebut.
Menertawakan diri sendiri adalah sebuah pengakuan kerendahan hati: "Ya, saya tidak sempurna." Ini juga merupakan strategi koping yang luar biasa, membiarkan energi negatif yang terkait dengan kegagalan dilepaskan melalui tawa. Bagi lingkungan sosial, seseorang yang mampu menertawakan dirinya sendiri tampak otentik dan mudah didekati. Itu adalah tindakan menertawakan yang berfungsi untuk menciptakan kesetaraan, bukan superioritas.
Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri menunjukkan fleksibilitas mental yang tinggi—sebuah ketidakkakuan yang dipuji oleh Bergson. Individu yang kaku, yang merasa dirinya tidak pernah salah, adalah orang yang paling takut ditertawakan dan, ironisnya, yang paling mudah diprovokasi menjadi sasaran tawa orang lain.
Menertawakan bukan hanya fenomena sosial; ia memiliki akar yang kuat dalam kimia otak kita. Memahami bagaimana otak memproses humor dan ejekan membantu kita mengelola impuls kita untuk menertawakan atau diremehkan oleh tawa orang lain.
Tawa memicu sistem penghargaan di otak, melepaskan dopamin yang terkait dengan kesenangan dan motivasi. Ketika kita menertawakan sesuatu yang kita anggap lucu, kita mendapatkan hadiah kimiawi instan. Inilah sebabnya mengapa kita mencari pengalaman komedi dan mengapa tawa, terutama tawa superioritas, bisa menjadi sangat adiktif.
Namun, dalam konteks menertawakan yang kejam (ejekan), dopamin yang dilepaskan oleh pelaku memperkuat perilaku tersebut, membuatnya lebih mungkin mengulangi ejekan itu. Otak menafsirkan keberhasilan dalam merendahkan orang lain sebagai "kemenangan sosial," meskipun kemenangan itu merugikan orang lain secara emosional. Ini menunjukkan betapa cepat tawa dapat berfungsi sebagai mekanisme penguatan untuk agresi pasif.
Secara psikologis, tindakan menertawakan bisa menjadi mekanisme pertahanan. Dalam situasi yang sangat menegangkan atau traumatis, humor hitam atau sarkasme sering muncul. Ini adalah manifestasi dari Teori Pelepasan, di mana energi kecemasan diubah menjadi tawa.
Ketika kita menertawakan situasi yang menakutkan, kita mengambil kendali atasnya. Kita mengejek ancaman, dan dalam melakukannya, kita mengurangi kekuatannya. Pasien di rumah sakit, tentara di medan perang, atau orang yang menghadapi kemalangan sering menggunakan tawa sebagai perisai mental. Ini adalah bentuk menertawakan kesulitan yang, meskipun mungkin terdengar tidak sensitif bagi orang luar, sangat penting bagi kelangsungan hidup emosional individu.
Psikolog melihat tawa dalam menghadapi kesulitan sebagai bentuk menertawakan yang paling berani. Ia menolak untuk memberikan kemenangan kepada tragedi. Ini bukan tawa superioritas terhadap orang lain, melainkan tawa superioritas terhadap nasib buruk, sebuah deklarasi bahwa semangat manusia tidak akan sepenuhnya dihancurkan oleh keadaan.
Sepanjang sejarah, tindakan menertawakan telah digunakan sebagai alat politik dan budaya yang kuat, berfungsi untuk mengatur batasan, menumbangkan kekuasaan, dan memurnikan masyarakat.
Sejarawan sastra Mikhail Bakhtin menganalisis fungsi tawa dalam budaya abad pertengahan, terutama dalam tradisi Karnaval. Bakhtin berpendapat bahwa Karnaval adalah waktu di mana dunia secara ritual dibalikkan: yang rendah menjadi tinggi, dan yang suci ditertawakan.
Selama Karnaval, tindakan menertawakan menjadi subversif dan pembebasan. Tawa yang kejam diarahkan pada raja, pendeta, dan dogma, memungkinkan orang biasa untuk secara sementara mengambil kembali martabat mereka dengan mengejek otoritas yang menindas mereka. Tawa ini adalah katarsis kolektif yang esensial. Dengan menertawakan secara terbuka, masyarakat melepaskan ketegangan sosial tanpa harus melakukan revolusi fisik.
Model Bakhtin mengajarkan kita bahwa tawa yang sehat memerlukan ruang untuk menjadi kotor, tidak sopan, dan tidak hormat. Jika kita tidak diizinkan menertawakan hal-hal yang paling serius—kekuasaan—maka kekuasaan itu pasti akan membusuk dalam kebekuan absolutismenya.
Di era digital, tindakan menertawakan telah dipercepat dan diperluas melalui meme, komentar, dan konten viral. Sifat anonimitas internet telah menghilangkan banyak hambatan sosial yang sebelumnya menahan ejekan, mengubah menertawakan menjadi sebuah epidemi digital yang cepat dan brutal.
Di satu sisi, internet telah memungkinkan satira politik menyebar dengan kecepatan kilat, memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya tidak memiliki platform untuk menertawakan kelemahan para pemimpin mereka. Di sisi lain, menertawakan telah bermutasi menjadi cyberbullying—ejekan tanpa batas, tanpa empati, dan seringkali tanpa konsekuensi langsung bagi pelakunya. Ketika kita menertawakan di balik layar anonim, kita sering lupa bahwa tawa kita masih memiliki target yang memiliki perasaan nyata. Ini adalah tantangan etika terbesar dari menertawakan di abad ke-21: mengendalikan kekuatan tawa yang tidak terkekang oleh kontak mata manusiawi.
Fenomena 'shaming' atau mempermalukan publik secara daring adalah bentuk menertawakan yang paling merusak. Ia memanfaatkan naluri superioritas kolektif dan menyampaikannya secara massal, mengubah kesalahan kecil menjadi aib global. Ini adalah tawa yang digunakan sebagai pemusnah karakter, seringkali didorong oleh moralitas palsu dan kebutuhan untuk merasa benar sendiri.
Mengingat kompleksitas dan bahaya etika dari tindakan menertawakan, bagaimana kita dapat mengarahkannya menjadi kekuatan yang lebih konstruktif dalam kehidupan pribadi dan sosial kita?
Langkah pertama adalah mengembangkan literasi tawa. Kita perlu bertanya: Apa yang sedang kita tertawakan? Apakah kita menertawakan ide atau orang? Apakah kita menertawakan sistem atau seseorang yang sudah lemah? Jika tawa kita mengharuskan seseorang merasa kecil agar kita bisa merasa besar, maka tawa itu adalah penghinaan, bukan humor.
Humor yang baik, bahkan yang satir, memiliki elemen belas kasihan atau empati yang tersembunyi. Humor mengundang, meskipun kritis. Penghinaan mengusir. Kemampuan untuk menertawakan tanpa merusak martabat adalah tanda kecerdasan sosial dan etika yang tinggi. Ini adalah seni yang jarang dipraktikkan, tetapi vital bagi kohesi masyarakat.
Menertawakan dogma adalah salah satu fungsi paling mulia dari tawa. Dogma, baik dalam politik, agama, atau budaya, cenderung menuntut keseriusan dan ketaatan yang mutlak. Ketika tawa dilarang, dogma itu mengeras menjadi kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan. Oleh karena itu, tugas intelektual kita adalah mencari celah konyol dalam setiap kebenaran yang diklaim absolut.
Mampu menertawakan doktrin yang paling serius sekalipun bukan berarti kita menolak kebenaran, melainkan kita menolak penyajian kebenaran yang kaku dan tidak manusiawi. Ini adalah tawa Bergsonian yang diarahkan pada institusi yang telah kehilangan kelenturannya dan mulai memperlakukan manusia sebagai angka atau mekanisme belaka.
Menertawakan fanatisme adalah menertawakan ketidaktoleran itu sendiri. Karena fanatisme selalu serius, selalu mutlak, dan tidak pernah dapat melihat ironi atau keganjilan dalam posisinya sendiri. Tawa adalah anti-fanatisme yang paling efektif.
Dalam budaya yang sering menghukum kegagalan, tindakan menertawakan dapat menjadi alat yang kuat untuk normalisasi. Jika kita bisa menertawakan kegagalan kita sendiri dan kegagalan orang lain (secara empati), kita mengurangi rasa malu yang melekat pada ketidaksempurnaan. Tawa menjadi jembatan menuju penerimaan, bukan hukuman.
Seorang pemimpin yang dapat menertawakan kesalahan strategisnya tanpa meremehkan konsekuensinya menunjukkan kepemimpinan yang rentan dan jujur. Tindakan menertawakan ini memberdayakan orang lain untuk mengambil risiko tanpa takut dihakimi secara permanen. Jika tawa menghilangkan rasa takut, maka ia telah melakukan fungsi sosial yang sangat positif.
Untuk memahami sepenuhnya beratnya tindakan menertawakan, kita harus kembali dan memperluas pembahasan kita pada bagaimana tawa ini terulang dan termanifestasi dalam setiap lapisan interaksi sosial, dari yang paling intim hingga yang paling publik.
Tindakan menertawakan jarang terjadi dalam isolasi verbal. Ia disertai oleh perubahan mendasar dalam bahasa tubuh—senyum sinis, mata yang menyipit, atau postur tubuh yang menegaskan dominasi. Ketika tawa menjadi ejekan, tubuh kita mengirimkan sinyal yang jauh lebih kuno dan agresif daripada kata-kata yang diucapkan.
Menertawakan dengan mata, yang disebut schadenfreude visual (kesenangan atas kesialan orang lain), adalah salah satu manifestasi paling murni dari Teori Superioritas. Kita mungkin menyembunyikan kata-kata kita, tetapi ekspresi wajah yang kejam saat menertawakan kemalangan orang lain membongkar klaim etika kita. Pengamat yang bijaksana harus selalu memeriksa apakah tawa yang ia saksikan adalah tawa mulut yang ramah atau tawa mata yang menghakimi.
Dalam dunia kerja atau akademis, menertawakan sering digunakan sebagai senjata halus untuk merusak kredibilitas saingan. Ini mungkin berupa tawa sinis atas ide yang dianggap bodoh, atau tawa pasif-agresif terhadap kesalahan presentasi. Tawa dalam konteks ini berfungsi sebagai filter hierarkis. Ia menandai, tanpa harus menggunakan argumen logis, bahwa 'ide ini tidak layak diperhitungkan'.
Bagi korbannya, ditertawakan di depan umum oleh rekan kerja jauh lebih menyakitkan daripada kritik langsung. Kritik menyerang ide; tawa menyerang keberanian dan martabat orang tersebut. Tawa yang kejam menginduksi rasa malu, yang merupakan salah satu emosi manusia yang paling melumpuhkan. Oleh karena itu, penggunaan tindakan menertawakan di tempat kerja membutuhkan kewaspadaan etika yang ekstrem, karena potensi kerusakan karier dan psikologisnya sangat besar.
Di sisi yang lebih terang, setelah mengalami konflik atau ketegangan yang hebat, seringkali tawa yang memecah keheningan yang tegang. Tawa bersama dalam situasi ini berfungsi sebagai sinyal rekonsiliasi. Ia mengatakan, "Terlepas dari perbedaan serius kita, kita masih berbagi kemanusiaan." Tawa ini adalah penegasan kembali ikatan sosial yang sempat putus. Ini adalah tindakan menertawakan situasi yang membuat kita tegang, bukan menertawakan satu sama lain.
Kemampuan untuk mencapai tawa pemulihan ini membutuhkan kesediaan dari kedua belah pihak untuk melepaskan superioritas dan menerima inkongruensi situasi. Tawa ini adalah obat, menandakan akhir dari perang kecil dan dimulainya gencatan senjata emosional. Ini menunjukkan bahwa kekuatan tawa, yang mampu menghancurkan, juga merupakan arsitek utama dalam proses perbaikan hubungan.
Orang yang berani adalah orang yang tidak takut ditertawakan, dan orang yang paling kuat adalah yang mampu menertawakan orang yang menertawakannya. Ada kekuatan besar dalam mengabaikan tawa yang berniat jahat. Jika tawa superioritas bergantung pada reaksi korban (rasa malu), maka penolakan untuk merasa malu adalah pukulan balik yang paling efektif.
Keberanian untuk terus maju meskipun ditertawakan adalah bentuk perlawanan terhadap kontrol sosial. Ketika Galileo bersikeras bahwa Bumi berputar, ide itu awalnya ditertawakan oleh banyak orang. Namun, tawa mereka tidak membuat ide itu salah. Ini mengajarkan kita bahwa tawa kolektif, meskipun kuat, tidak sama dengan kebenaran. Orang yang ditertawakan kadang-kadang adalah satu-satunya orang yang melihat kenyataan dengan jelas.
Dalam beberapa budaya, tindakan menertawakan di depan umum sangat dilarang karena berisiko menyebabkan 'kehilangan muka' (loss of face) yang parah. Ini menunjukkan bahwa etika tawa bukanlah nilai universal, tetapi dipengaruhi oleh norma-norma kolektif tentang kehormatan dan hierarki. Di lingkungan yang menghargai harmoni di atas kejujuran, bahkan tawa yang dimaksudkan baik dapat disalahartikan sebagai serangan.
Namun, di budaya lain yang sangat menghargai kebebasan berekspresi, tawa yang keras, bahkan yang mengandung elemen ejekan, diterima sebagai bagian dari debat publik yang sehat. Ini memaksa kita untuk menyadari bahwa saat kita menertawakan, kita tidak hanya berinteraksi dengan individu, tetapi juga dengan seluruh spektrum norma budaya yang mendefinisikan apa yang pantas dan apa yang tabu.
Memahami perbedaan budaya ini sangat penting di dunia yang terhubung. Apa yang lucu dalam satu konteks digital dapat menjadi penghinaan yang tak termaafkan di konteks yang lain. Menertawakan, oleh karena itu, membutuhkan kecerdasan budaya yang mendalam, bukan hanya respons naluriah terhadap inkongruensi atau rasa superioritas pribadi.
Pada akhirnya, tindakan menertawakan dapat diarahkan untuk menjadi alat inklusif. Tawa yang paling abadi dan paling menyentuh adalah tawa yang merayakan keanehan dan ketidaksempurnaan manusia secara kolektif. Ketika kita menertawakan kebodohan manusia (bukan orang tertentu), kita mengakui bahwa kita semua berbagi dalam kekonyolan. Tawa ini adalah pengakuan bersama atas kelemahan dan kerentanan universal.
Tawa inklusif menolak konsep superioritas. Sebaliknya, ia beroperasi pada premis kesamaan fundamental: kita semua melakukan hal-hal bodoh, kita semua memiliki kebiasaan aneh, dan kita semua rentan terhadap kegagalan Bergsonian (kekakuan mekanis). Menertawakan dalam konteks ini adalah pelukan kolektif, sebuah cara untuk mengatakan: "Ya, kita semua sedikit aneh, dan itu tidak masalah." Ini adalah bentuk menertawakan yang paling lembut, paling manusiawi, dan paling dibutuhkan dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Kemampuan untuk menertawakan absurditas hidup, untuk menertawakan proses yang tidak masuk akal, atau untuk menertawakan kegagalan yang kita bagi bersama, adalah kekuatan yang jauh lebih besar daripada kemampuan untuk menertawakan kesalahan individu. Ini adalah tindakan menertawakan eksistensi, sebuah pengakuan bahwa hidup itu konyol, dan respons terbaik kita adalah menghadapi kekonyolan itu dengan senyum.
Kita kembali pada inti dari Bergson: tawa berfungsi untuk mengoreksi yang kaku. Ketika kita menertawakan, kita menuntut kelenturan dan kemanusiaan. Ketika kita menertawakan kemanusiaan kita sendiri, kita membebaskan diri kita dari tuntutan kekakuan yang mustahil.
Menertawakan adalah tindakan yang penuh risiko, tetapi juga penuh potensi. Ini adalah ekspresi kejayaan yang tiba-tiba, pelepasan energi yang terpendam, dan pengakuan mendadak atas inkongruensi. Namun, di balik semua mekanisme ini, terletak pilihan moral: apakah kita akan menggunakan kekuatan tawa untuk meninggikan diri kita di atas orang lain, atau menggunakannya untuk menertawakan kebodohan universal dan menyatukan kita semua dalam keanehan yang indah.
Dalam refleksi akhir, kita harus mengakui bahwa tindakan menertawakan adalah salah satu kekuatan paling ambigu yang dimiliki manusia. Ia dapat menjadi pisau bedah sosial yang membersihkan nanah kebodohan publik, atau dapat menjadi kapak yang meretakkan hati seseorang. Seluruh spektrum emosi manusia, dari empati terdalam hingga agresi tersembunyi, dapat ditemukan dalam satu letusan tawa.
Filsafat telah lama berupaya mengkotak-kotakkan tawa menjadi teori superioritas yang dingin atau inkongruensi yang logis, tetapi kenyataannya, tindakan menertawakan adalah perpaduan yang kacau dari semuanya. Kita menertawakan sebagian karena kita merasa lebih baik, sebagian karena kita terkejut, dan sebagian karena kita perlu melepaskan tekanan.
Tantangan bagi setiap individu, setiap komunitas, dan setiap zaman adalah untuk menyaring tawa yang bermanfaat dari tawa yang merusak. Jika tawa kita berfungsi untuk mengundang orang lain, untuk membuat mereka merasa lebih baik tentang perjuangan bersama, maka kita telah menggunakan kekuatan tawa dengan bijak. Jika tawa kita bertujuan untuk mengecualikan, mempermalukan, atau merendahkan seseorang atas sesuatu yang tidak dapat mereka ubah, maka kita telah gagal dalam ujian etika paling mendasar.
Menertawakan adalah seni yang kompleks. Ia membutuhkan ketepatan seorang ahli bedah dan kepekaan seorang penyair. Kita harus terus menertawakan yang kaku, menertawakan yang dogmatis, dan yang terpenting, secara teratur menertawakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak pernah menjadi objek kekakuan yang layak ditertawakan oleh generasi mendatang.
Menertawakan adalah cermin sosial yang jujur; cerminan yang ditunjukkannya adalah tanggung jawab kita.