Ilustrasi: Keseimbangan antara penegakan aturan (Penertiban) dan pemenuhan pelayanan publik.
Proses menertibkan merupakan inti dari pembangunan berkelanjutan dan tata kelola yang baik (Good Governance). Menertibkan bukan sekadar melakukan penataan fisik atau penindakan sporadis, melainkan sebuah filosofi administrasi yang mencakup penetapan standar yang jelas, penegakan hukum yang konsisten, dan pembersihan praktik-praktik diskresioner yang menggerogoti integritas institusi publik. Tanpa penertiban yang sistematis dan menyeluruh, negara akan terjebak dalam lingkaran inefisiensi, biaya transaksi yang tinggi, dan hilangnya kepercayaan masyarakat.
Tata kelola publik yang tertib adalah prasyarat mutlak bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan keadilan sosial. Ketika aturan main tidak jelas, tumpang tindih, atau diterapkan secara tebang pilih, maka yang berkembang adalah ekonomi rente (rent-seeking economy) dan anarki administratif. Oleh karena itu, agenda menertibkan harus menjadi prioritas utama yang melingkupi spektrum luas, mulai dari penataan regulasi yang rumit (debirokratisasi) hingga penertiban sumber daya manusia aparatur negara (meritokrasi dan integritas).
Penertiban memiliki tiga dimensi utama yang saling terkait. Secara hukum, penertiban adalah konsistensi dalam penegakan norma. Secara sosial, penertiban menciptakan rasa keadilan dan prediktabilitas. Secara ekonomi, penertiban mengurangi ketidakpastian, memangkas biaya korupsi, dan mendorong investasi produktif.
Salah satu hambatan terbesar dalam efisiensi pelayanan publik adalah obesitas regulasi. Indonesia sering menghadapi situasi di mana suatu masalah diatur oleh puluhan peraturan di berbagai tingkatan (pusat, daerah, teknis), yang sering kali saling bertentangan atau menciptakan peluang bagi penyelewengan. Menertibkan regulasi berarti melakukan reformasi besar-besaran untuk menciptakan kepastian hukum yang tunggal dan mudah dipahami.
Penertiban regulasi dimulai dari proses sinkronisasi. Sinkronisasi vertikal memastikan bahwa peraturan di tingkat daerah tidak bertentangan dengan undang-undang di tingkat pusat. Sinkronisasi horizontal memastikan bahwa peraturan antar sektor (misalnya, perizinan lingkungan, pertanahan, dan investasi) berjalan selaras tanpa menciptakan hambatan birokrasi yang berlebihan. Tanpa upaya konsisten untuk menertibkan hierarki dan konten regulasi, upaya penertiban di lapangan akan selalu terganjal oleh kontradiksi normatif.
Proses penertiban regulasi harus melibatkan audit menyeluruh terhadap semua peraturan yang berlaku, dengan kriteria eliminasi yang ketat. Kriteria ini meliputi:
Penggunaan pendekatan komprehensif seperti Omnibus Law dapat menjadi mekanisme ampuh untuk menertibkan regulasi secara masif. Ini memungkinkan pencabutan dan pengubahan ratusan pasal yang tersebar dalam berbagai undang-undang dalam satu waktu, mempercepat proses reformasi dan memberikan sinyal yang jelas kepada pelaku usaha dan masyarakat mengenai arah kebijakan negara. Penertiban semacam ini berorientasi pada hasil (outcome-based regulation) daripada sekadar kepatuhan prosedur.
Integritas keuangan adalah barometer utama dari tata kelola yang tertib. Banyaknya kebocoran anggaran, proyek mangkrak, dan praktik mark-up menunjukkan bahwa penertiban di sektor keuangan harus diperketat. Penertiban di bidang ini berfokus pada tiga aspek: perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban.
Perencanaan anggaran yang tertib harus bebas dari praktik 'anggaran siluman' atau alokasi yang tidak didasarkan pada kebutuhan riil dan prioritas nasional. Hal ini membutuhkan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) yang menuntut setiap rupiah yang dialokasikan harus terikat pada indikator kinerja yang terukur. Penertiban di sini berarti menghilangkan politisasi anggaran yang merusak alokasi sumber daya. Setiap program harus melalui proses validasi kebutuhan yang ketat dan transparan.
Proses penertiban juga mencakup digitalisasi total siklus perencanaan. Dengan sistem elektronik yang terintegrasi, setiap usulan anggaran dapat dilacak asal-usulnya, meminimalkan intervensi manual yang rentan terhadap penyesuaian non-prosedural. Ini adalah langkah fundamental untuk mencegah penyalahgunaan dana sejak tahap inisiasi.
Area pengadaan barang dan jasa publik (PBJ) sering menjadi titik rawan korupsi. Menertibkan PBJ berarti memastikan persaingan yang sehat, transparansi harga, dan kualitas barang/jasa yang sesuai spesifikasi. Penggunaan sistem e-katalog dan e-procurement yang wajib dan menyeluruh menjadi kunci penertiban. Ketika seluruh proses lelang terdokumentasi secara digital dan terbuka, celah bagi intervensi pihak ketiga dapat diminimalisir secara signifikan.
Lebih lanjut, penertiban PBJ juga harus melibatkan sertifikasi profesional yang ketat bagi para pejabat pengadaan, memastikan bahwa mereka memiliki kompetensi dan integritas untuk mengelola proses yang bernilai triliunan rupiah. Tanpa SDM yang tertib, sistem seautomatik apapun akan tetap dapat dibobol.
Aspek penting dari penertiban PBJ adalah penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan kolusi atau kecurangan. Daftar hitam (black list) perusahaan harus diumumkan secara terbuka dan berlaku di seluruh yurisdiksi, mencegah kontraktor bermasalah berpindah-pindah lokasi untuk menghindari konsekuensi perbuatan mereka.
Sistem pemerintahan, sekuat apapun regulasinya, akan runtuh jika dioperasikan oleh sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompeten atau tidak berintegritas. Penertiban birokrasi publik harus berakar pada penertiban moral dan profesionalisme pegawainya.
Meritokrasi adalah sistem penempatan dan promosi berdasarkan kemampuan, kinerja, dan prestasi, bukan berdasarkan kedekatan atau koneksi politik. Menertibkan SDM berarti memastikan bahwa setiap posisi diisi oleh orang yang paling mampu. Ini membutuhkan evaluasi kinerja yang objektif dan transparan, serta penghentian praktik jual-beli jabatan atau penempatan non-prosedural.
Untuk menertibkan sistem karir, diperlukan:
Kegagalan dalam menertibkan meritokrasi akan menghasilkan "silent corruption" – korupsi berupa inefisiensi kolektif yang disebabkan oleh penempatan pejabat yang salah, sehingga menghambat proses pembangunan secara keseluruhan.
Integritas tidak bisa ditawar. Penertiban perilaku aparatur negara memerlukan penegakan kode etik yang keras dan konsisten. Setiap pelanggaran, sekecil apapun, harus ditindaklanjuti. Budaya toleransi terhadap pelanggaran kecil (seperti terlambat, pelayanan yang lambat, atau permintaan biaya tidak resmi) adalah pintu gerbang menuju pelanggaran besar (korupsi masif).
Penertiban disiplin harus didukung oleh:
Proses penertiban terasa paling nyata dampaknya di sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan ekonomi. Penerapan prinsip-prinsip penertiban harus disesuaikan dengan karakteristik unik setiap sektor.
Kekacauan tata ruang, pembangunan ilegal, dan penyerobotan lahan publik merupakan bentuk ketidaktertiban yang paling merusak lingkungan dan sosial. Menertibkan tata ruang memerlukan penegasan batas-batas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan konsistensi penegakan terhadap pelanggar, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Ketika izin mendirikan bangunan (IMB) dikeluarkan tanpa mengindahkan RTRW, itu adalah bentuk ketidaktertiban administratif yang berujung pada bencana lingkungan atau kemacetan kronis.
Penertiban PKL adalah isu sosial-ekonomi yang kompleks. Penertiban di sini tidak semata-mata penggusuran, melainkan penataan ruang dagang yang layak dan manusiawi. Solusi yang tertib adalah relokasi ke lokasi yang telah ditetapkan, dibarengi dengan fasilitas yang memadai, sehingga aktivitas ekonomi tetap berjalan tanpa mengganggu ketertiban umum dan akses publik. Pendekatan yang tertib adalah kolaboratif, bukan represif. Ini melibatkan dialog dengan komunitas PKL untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.
Untuk menertibkan izin, sistem perizinan harus terintegrasi dalam platform tunggal (misalnya, OSS/Online Single Submission). Integrasi ini mencegah pemohon izin melompati satu tahap perizinan dengan berpindah ke instansi lain, serta memastikan bahwa semua persyaratan teknis (lingkungan, tata ruang) telah terpenuhi sebelum izin operasional diterbitkan. Ini mengurangi celah suap untuk mempercepat proses di pintu-pintu birokrasi yang berbeda.
Transportasi yang tertib adalah urat nadi perekonomian modern. Menertibkan sektor ini mencakup penataan jaringan, standarisasi layanan, dan penegakan hukum lalu lintas yang imparsial. Penertiban di jalan raya, misalnya, harus dilakukan secara tegas terhadap pelanggaran, baik oleh kendaraan pribadi maupun umum, untuk memastikan keselamatan dan kelancaran arus barang dan manusia.
Digitalisasi juga memainkan peran kunci. Penggunaan sistem tiket elektronik, pengawasan berbasis kamera (ETLE), dan aplikasi berbasis data untuk memantau jadwal dan rute adalah langkah nyata untuk menertibkan operasional transportasi dari intervensi manual yang rentan terhadap inefisiensi dan pungutan liar.
Layanan publik dasar seperti administrasi kependudukan (KTP, Akta, dll.) sering menjadi titik kontak pertama masyarakat dengan birokrasi, dan sering kali menjadi sumber keluhan tentang ketidaktertiban. Menertibkan layanan ini berarti menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dan dipublikasikan, memangkas alur yang tidak perlu, dan memastikan waktu penyelesaian sesuai janji.
Reformasi yang paling efektif adalah 'Zero Tatap Muka' untuk layanan yang bersifat non-teknis. Dengan pengajuan dan verifikasi dokumen secara daring, interaksi fisik antara pemohon dan petugas dapat dihindari, menghilangkan kesempatan bagi terjadinya transaksi suap atau gratifikasi untuk mempercepat proses. Penertiban di sini adalah otomatisasi total proses.
Teknologi informasi adalah alat paling revolusioner dalam upaya menertibkan tata kelola publik. Digitalisasi memaksakan keteraturan karena kode program bersifat biner: ya atau tidak, diterima atau ditolak, tanpa ruang abu-abu untuk interpretasi subjektif pejabat.
Diskresi adalah musuh utama ketertiban. Ketika pejabat memiliki kewenangan luas untuk memutuskan, risiko penyalahgunaan wewenang meningkat. Dalam sistem digital yang tertib, keputusan harus dibuat berdasarkan algoritma yang telah ditetapkan oleh regulasi. Misalnya, dalam sistem perizinan, jika semua syarat terunggah dan diverifikasi secara otomatis, izin harus terbit secara instan tanpa perlu persetujuan manual dari pejabat di tingkat atas. Ini adalah penertiban prosedural.
Konsekuensi dari penerapan sistem nir-diskresi:
Keputusan kebijakan yang tidak tertib seringkali didasarkan pada asumsi atau kepentingan kelompok, bukan data faktual. Penertiban dalam pengambilan kebijakan memerlukan integrasi data yang masif antar kementerian dan lembaga. Dengan Big Data yang akurat dan terintegrasi, pemerintah dapat mengidentifikasi masalah secara tepat (misalnya, lokasi kemiskinan ekstrem, tingkat kepatuhan pajak, atau zona rawan bencana) dan merancang intervensi yang sangat terarah (targeted intervention).
Integrasi data juga berfungsi menertibkan penerima manfaat bantuan sosial. Dengan mencocokkan data kependudukan, data aset, dan data pajak, pemerintah dapat memastikan bahwa bantuan hanya diterima oleh mereka yang berhak, mengurangi kebocoran dan penyaluran yang salah sasaran yang selama ini menjadi sumber ketidaktertiban sosial.
Meskipun secara teknis penertiban terlihat sederhana, implementasinya menghadapi tantangan besar yang bersifat kultural dan politis. Proses penertiban selalu mengganggu status quo dan menghilangkan keuntungan yang selama ini dinikmati oleh kelompok tertentu.
Birokrasi yang telah lama terbiasa dengan prosedur yang bertele-tele dan kewenangan diskresioner sering kali resisten terhadap perubahan. Mentalitas "kuasa di tangan pejabat" harus digantikan oleh mentalitas "pelayan publik". Resistensi ini termanifestasi dalam bentuk:
Menertibkan mentalitas membutuhkan program internalisasi nilai integritas yang berkelanjutan, dimulai dari level kepemimpinan tertinggi hingga staf pelaksana di lini depan. Keteladanan pimpinan dalam mematuhi aturan adalah kunci utama dalam penertiban kultural.
Penertiban yang ideal adalah penegakan hukum yang buta warna, berlaku sama bagi semua pihak. Namun, dalam konteks politik, upaya menertibkan seringkali terbentur oleh konflik kepentingan. Pejabat yang ditugaskan untuk menertibkan mungkin memiliki ikatan dengan pihak yang melanggar, atau penindakan yang dilakukan dapat mengganggu basis dukungan politik tertentu.
Untuk menertibkan penegakan, perlu ada penguatan pada lembaga-lembaga pengawas dan penegak hukum agar mereka benar-benar independen dan bebas dari intervensi politik. Penegak hukum harus diberikan jaminan keamanan dan karir yang kuat sehingga mereka dapat bertindak tanpa rasa takut terhadap pembalasan dari pihak-pihak berkepentingan.
Proses menertibkan, terutama yang melibatkan transformasi digital dan reformasi regulasi, membutuhkan investasi awal yang besar, baik dalam infrastruktur teknologi maupun pelatihan SDM. Daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang terbatas sering kesulitan mengikuti standar penertiban yang ditetapkan di tingkat pusat. Ini menciptakan kesenjangan ketertiban, di mana pelayanan publik di ibu kota dan di daerah pelosok memiliki kualitas dan integritas yang berbeda jauh.
Pemerintah pusat harus menertibkan standar pelayanan di seluruh wilayah melalui dukungan teknis, transfer dana khusus, dan pembangunan platform digital yang dapat digunakan bersama (shared services) oleh semua pemerintah daerah, memastikan bahwa tidak ada wilayah yang tertinggal dalam agenda penertiban nasional.
Penertiban bukanlah proyek yang selesai dalam satu periode, melainkan sebuah proses tanpa akhir yang harus dipertahankan secara berkelanjutan. Setelah sistem diperbaiki, fokus harus beralih ke pengawasan (monitoring) dan adaptasi (adaptability).
Untuk menjaga ketertiban yang telah dibangun, diperlukan sistem pengawasan yang kuat. Pengawasan internal harus bersifat proaktif dan berbasis risiko, mengidentifikasi potensi kebocoran atau pelanggaran sebelum terjadi. Sementara itu, pengawasan eksternal oleh masyarakat sipil, media, dan badan independen harus difasilitasi.
Implementasi teknologi pengawasan seperti Government Resource Planning (GRP) memungkinkan pejabat pusat melihat secara real-time status pelaksanaan program di unit-unit pelaksana. Keterbukaan data (Open Government Data) juga menertibkan karena memaksa pemerintah untuk transparan, sehingga publik dapat bertindak sebagai mata dan telinga pengawas.
Ketertiban harus diinokulasi sejak dini, baik dalam sistem pendidikan formal maupun pelatihan aparatur negara. Pendidikan antikorupsi dan nilai-nilai integritas harus menjadi kurikulum wajib. Menanamkan pemahaman bahwa ketertiban adalah bagian dari etos profesionalisme, dan bukan sekadar kepatuhan pada peraturan, akan menciptakan generasi birokrat yang secara intrinsik menolak praktik-praktik yang tidak tertib.
Pendidikan ini juga harus menyasar masyarakat. Kampanye publik mengenai hak dan kewajiban warga negara, serta pentingnya menolak suap dan pungutan liar, merupakan bagian integral dari penertiban sosial. Masyarakat yang sadar akan haknya adalah pengawas yang paling efektif terhadap ketidaktertiban birokrasi.
Fenomena obesitas regulasi dapat terjadi lagi jika tidak ada mekanisme pembersihan rutin. Diperlukan konsep "guilotine regulasi" atau pemangkasan regulasi secara periodik (misalnya, setiap lima tahun), di mana setiap peraturan harus melalui proses peninjauan ulang yang ketat. Peraturan yang tidak lagi relevan, tidak efektif, atau menghambat inovasi harus dicabut tanpa kompromi. Mekanisme ini menertibkan sistem hukum dari penumpukan norma yang tidak perlu.
Peninjauan regulasi harus berfokus pada dampak (impact assessment) terhadap masyarakat, bukan sekadar kepatuhan administratif. Jika suatu regulasi, meski niatnya baik, menciptakan hambatan ekonomi yang tidak proporsional, maka regulasi tersebut adalah bentuk ketidaktertiban yang harus segera diperbaiki.
Agenda menertibkan tata kelola publik adalah perjalanan panjang yang menuntut komitmen politik yang teguh, inovasi teknologi yang berkelanjutan, dan perubahan fundamental dalam budaya kerja aparatur negara. Ini adalah upaya kolektif untuk membangun fondasi yang kokoh, di mana hukum ditegakkan secara imparsial, anggaran digunakan secara efisien, dan pelayanan publik disampaikan dengan integritas.
Ketertiban bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar: peningkatan kesejahteraan umum, keadilan sosial, dan kedaulatan bangsa. Dengan sistem yang tertib, energi nasional yang selama ini terserap oleh inefisiensi dan korupsi dapat dialihkan sepenuhnya untuk pembangunan yang produktif dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Penertiban hari ini adalah investasi bagi masa depan yang lebih adil dan efisien.
Kesinambungan upaya menertibkan ini sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat sebagai penerima layanan dan pengawas utama. Hanya melalui sinergi antara pemerintah yang berintegritas dan masyarakat yang kritis, tata kelola yang tertib dapat terwujud dan dipertahankan. Tugas menertibkan adalah tugas kita bersama.
***
Menertibkan tata kelola membutuhkan pendekatan holistik yang menyadari bahwa masalah di satu sektor akan selalu mempengaruhi sektor lainnya. Sinergi penertiban harus dilihat sebagai rantai nilai, di mana kegagalan di satu titik akan merusak seluruh sistem. Contohnya, ketidaktertiban di sektor perizinan tanah (BPN) akan langsung memicu ketidaktertiban di sektor perpajakan (Pajak Bumi dan Bangunan) dan juga di sektor lingkungan (AMDAL).
Otonomi daerah, meskipun bertujuan baik, seringkali memunculkan "raja-raja kecil" di daerah yang membuat regulasi lokal yang berbenturan dengan kepentingan nasional atau merugikan investasi. Menertibkan hubungan pusat-daerah berarti menetapkan batas yang jelas antara kewenangan dan tanggung jawab, serta memperkuat mekanisme supervisi pusat terhadap produk hukum daerah.
Penertiban di sini memerlukan pembentukan standar pelayanan minimum (SPM) yang wajib dipatuhi daerah, serta sistem reward dan punishment yang transparan. Daerah yang gagal menertibkan administrasinya atau menunjukkan praktik korupsi tinggi harus menghadapi sanksi, seperti pemotongan dana transfer, sementara daerah yang berprestasi harus mendapatkan insentif, seperti alokasi dana khusus untuk pembangunan infrastruktur.
Pelaporan keuangan yang tidak tertib sering menjadi celah kebocoran dana. Diperlukan penertiban format dan substansi pelaporan keuangan daerah agar mudah dibandingkan, diaudit, dan diintegrasikan ke dalam sistem keuangan nasional. Penggunaan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) yang wajib dan terintegrasi adalah langkah fundamental untuk memastikan ketertiban dan akuntabilitas anggaran daerah.
Ketertiban dalam pelaporan ini juga mencakup konsistensi penggunaan nomenklatur dan klasifikasi belanja. Jika setiap daerah menggunakan istilah yang berbeda untuk pos anggaran yang sama, audit dan pengawasan menjadi mustahil. Penertiban ini adalah upaya unifikasi bahasa administrasi keuangan.
Tata kelola yang tertib tidak hanya berlaku bagi pemerintah, tetapi juga bagi sektor swasta. Menertibkan dunia usaha berarti menjamin iklim persaingan yang adil dan sehat. Praktik kartel, monopoli, dan persaingan tidak sehat adalah bentuk ketidaktertiban ekonomi yang merugikan konsumen dan menghambat inovasi.
Lembaga pengawas persaingan usaha harus diperkuat independensinya untuk menindak tegas pelanggar, tanpa pandang bulu terhadap konglomerasi besar maupun kecil. Penertiban di sektor ini juga mencakup penegakan ketat terhadap standar anti-pencucian uang (AML) dan pendanaan terorisme (CFT), memastikan bahwa sistem keuangan tidak digunakan sebagai alat untuk melegitimasi hasil kejahatan atau korupsi.
Banyak perusahaan menggunakan CSR sebagai alat kosmetik atau, lebih buruk, sebagai cara untuk menyuap pemerintah daerah. Penertiban CSR menuntut transparansi dalam alokasi dana dan kemitraan dengan pemerintah yang bersih. Dana CSR harus diarahkan pada program pembangunan yang terukur dan memiliki dampak nyata, bukan sekadar proyek sporadis yang digunakan untuk tujuan pencitraan politik.
Di luar hukum formal tertulis (undang-undang dan peraturan pemerintah), seringkali terdapat 'hukum non-formal' berupa kebiasaan, praktik diskresioner, atau 'biaya adat' yang mengakar dalam birokrasi. Bentuk ketidaktertiban inilah yang paling sulit diatasi karena tidak ada dasar hukumnya. Contohnya adalah tradisi 'uang pelicin' untuk mempercepat proses di loket pelayanan publik.
Menertibkan infrastruktur non-formal memerlukan intervensi budaya melalui:
Aset negara, termasuk tanah, gedung, dan barang bergerak, sering dikelola secara tidak tertib, yang berujung pada hilangnya potensi penerimaan negara atau penyalahgunaan. Menertibkan aset berarti melakukan inventarisasi secara lengkap dan validasi kepemilikan. Banyak kasus korupsi dan kerugian negara berawal dari ketidaktertiban administrasi aset.
Sistem pengelolaan aset yang tertib harus mencakup:
Ketidaktertiban dalam pengelolaan aset menciptakan kerugian ganda: hilangnya nilai aset itu sendiri, dan hilangnya peluang ekonomi dari pemanfaatan aset tersebut.
Ketertiban administratif diuji paling keras saat terjadi krisis atau bencana. Respons yang tidak tertib dapat mengakibatkan kekacauan, penyaluran bantuan yang tidak merata, dan pemanfaatan dana darurat yang tidak akuntabel. Menertibkan manajemen krisis adalah memastikan bahwa rantai komando, alokasi logistik, dan transparansi dana darurat berjalan sesuai protokol yang telah ditetapkan.
Setiap lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana harus memiliki SOP yang jelas dan teruji, meminimalkan ruang untuk inisiatif pribadi yang justru menghambat koordinasi. Protokol yang tertib harus mencakup penetapan satu pintu informasi dan satu pintu komando operasional untuk menghindari kontradiksi dan kebingungan di lapangan. Pelatihan dan simulasi berkala adalah mekanisme penertiban agar SOP tersebut mendarah daging.
Dana dan logistik bantuan bencana harus dicatat dan dilaporkan secara terbuka. Penggunaan sistem pelacakan bantuan berbasis blockchain atau teknologi digital lainnya dapat menertibkan proses distribusi, memastikan bahwa bantuan sampai ke tangan yang berhak tanpa adanya penggelapan di tengah jalan. Masyarakat berhak tahu setiap donasi yang masuk dan bagaimana donasi tersebut digunakan.
Penertiban ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga etis, karena memanfaatkan penderitaan masyarakat di tengah bencana untuk kepentingan pribadi adalah bentuk ketidaktertiban moral yang paling parah.
Upaya menertibkan harus dinamis dan mampu beradaptasi dengan laju perubahan teknologi dan sosial yang cepat. Regulasi yang tertib adalah regulasi yang fleksibel, bukan kaku. Paradigma penertiban harus bergeser dari sekadar kontrol ke arah fasilitasi.
Ketika inovasi teknologi (seperti fintech atau AI) bergerak cepat, regulasi seringkali tertinggal. Untuk menertibkan sektor ini tanpa menghambat kreativitas, diperlukan pendekatan Regulatory Sandbox. Ini adalah ruang uji coba terbatas yang memungkinkan perusahaan berinovasi di bawah pengawasan ketat, tanpa langsung dibebani semua regulasi konvensional. Pendekatan ini menertibkan inovasi dengan menjamin keamanan publik sementara memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam era digital, ketertiban juga mencakup keamanan data pribadi dan infrastruktur siber negara. Kegagalan dalam melindungi data adalah bentuk ketidaktertiban yang dapat berujung pada krisis kepercayaan massal. Menertibkan keamanan siber membutuhkan investasi dalam teknologi enkripsi, pembentukan regulasi perlindungan data yang ketat, dan penegakan hukum yang kuat terhadap kejahatan siber.
Setiap institusi publik harus menertibkan diri dengan menerapkan standar keamanan siber tertinggi, menganggap data sebagai aset nasional yang harus dijaga dengan disiplin maksimal.
Upaya menertibkan tata kelola publik, dari hulu ke hilir, dari pusat hingga ke daerah, dari regulasi hingga perilaku individual, adalah manifestasi dari kedaulatan yang efektif. Ini adalah pekerjaan abadi yang membutuhkan komitmen lintas generasi, demi mewujudkan pelayanan publik yang prima dan birokrasi yang berintegritas penuh.
Dalam konteks global, negara yang tertib adalah negara yang menarik investasi, dihormati oleh komunitas internasional, dan mampu memberikan kesejahteraan optimal bagi rakyatnya. Oleh karena itu, penertiban adalah investasi strategis untuk masa depan yang lebih baik.
-- SELESAI --