Visualisasi tentang bagaimana erosi legitimasi dapat menyebabkan keretakan struktural dalam institusi.
Mendelegitimasi, sebagai sebuah proses sosial dan politik, merujuk pada upaya terstruktur dan sistematis untuk merusak atau menghilangkan pengakuan, kepercayaan, dan kewenangan moral yang dimiliki oleh suatu institusi, sistem, atau individu. Proses ini jauh lebih kompleks daripada sekadar ketidakpuasan atau kritik biasa; ia adalah operasi strategis yang bertujuan untuk merombak fondasi penerimaan publik terhadap tatanan yang ada. Ketika suatu entitas kehilangan legitimasinya, ia kehilangan hak moralnya untuk memerintah atau bertindak, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan kepatuhan, peningkatan resistensi, dan pada akhirnya, potensi kolaps struktural.
Legitimasi adalah aset politik yang paling berharga dan sekaligus yang paling rapuh. Ia adalah kesediaan warga negara untuk menerima bahwa kekuasaan dijalankan secara sah, adil, dan sesuai dengan norma-norma yang disepakati bersama. Oleh karena itu, tindakan untuk mendelegitimasi adalah serangan fundamental terhadap kohesi sosial dan stabilitas politik. Dalam konteks modern yang ditandai oleh hiper-konektivitas dan percepatan informasi, upaya mendelegitimasi kini dapat menyebar dengan kecepatan eksponensial, memanfaatkan kerentanan psikologis dan polarisasi yang ada dalam masyarakat.
Tulisan ini akan menelaah secara mendalam berbagai dimensi dari fenomena mendelegitimasi, mulai dari motivasi para pelakunya, metode yang digunakan—terutama dalam era digital—hingga konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang muncul ketika legitimasi kekuasaan atau institusi telah terkikis hingga titik kritis. Pemahaman tentang dinamika ini sangat penting, sebab upaya mendelegitimasi bukan hanya gejala dari konflik, melainkan sering kali merupakan sebab utama dari krisis tatanan.
Upaya mendelegitimasi biasanya menargetkan tiga pilar utama legitimasi, dan serangan terhadap salah satu pilar ini sudah cukup untuk menggoyahkan sistem secara keseluruhan. Pilar-pilar tersebut mencakup legitimasi prosedural, legitimasi kinerja, dan legitimasi normatif atau ideologis. Serangan yang paling efektif adalah serangan yang berhasil menghubungkan ketiga dimensi ini menjadi satu narasi tunggal yang kohesif tentang kegagalan total dari pihak yang berkuasa.
Proses mendelegitimasi jarang terjadi secara spontan; ia adalah hasil dari serangkaian taktik yang dikembangkan dan dilaksanakan dengan hati-hati oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan untuk melihat penurunan kekuasaan dari target mereka. Aktor-aktor ini bisa berupa oposisi politik, gerakan sosial radikal, kekuatan asing, atau bahkan faksi-faksi internal dalam sistem itu sendiri. Taktik yang digunakan sangat bervariasi, namun semuanya bermuara pada upaya merusak fondasi kepercayaan publik.
Disinformasi berfungsi sebagai instrumen utama dalam upaya terstruktur untuk mendelegitimasi. Upaya ini bukan sekadar penyebaran kebohongan acak, melainkan sebuah kampanye terkoordinasi yang bertujuan merusak fondasi epistemologis masyarakat. Ketika warga negara tidak lagi dapat membedakan mana yang faktual dan mana yang fiktif, maka kerangka rujukan kolektif—yang merupakan prasyarat mutlak bagi legitimasi kelembagaan—akan runtuh. Proses ini mencakup fabrikasi narasi tandingan yang sedemikian kohesif sehingga mampu menawarkan realitas alternatif yang meyakinkan bagi segmen populasi tertentu, sehingga memutus ikatan psikologis dan sosial mereka terhadap struktur kekuasaan yang sah. Mendelegitimasi melalui disinformasi adalah seni menguasai persepsi, di mana kebenaran objektif digantikan oleh kebenaran yang dirasakan, sebuah operasi yang secara perlahan namun pasti mengikis validitas setiap pernyataan yang dikeluarkan oleh otoritas yang ditargetkan.
Target utama dari disinformasi adalah kredibilitas sumber informasi resmi. Dengan mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, para pelaku delegitimasi memaksa publik untuk meragukan semua yang berasal dari institusi, mulai dari data ekonomi, hasil ilmiah, hingga laporan kebijakan. Keraguan ini kemudian berkembang menjadi sinisme yang meluas, memupuk keyakinan bahwa semua institusi, tanpa kecuali, bersifat korup, tidak kompeten, atau beroperasi dalam konspirasi tersembunyi. Pengulangan yang tak henti-hentinya dari narasi delegitimasi ini, terutama melalui platform media sosial yang terisolasi (echo chambers), memastikan bahwa pesan tersebut tertanam kuat dalam kesadaran kolektif, terlepas dari bukti empiris yang mungkin membantahnya. Keberhasilan upaya mendelegitimasi sangat bergantung pada kemampuan untuk menciptakan 'kebisingan' kognitif yang melumpuhkan kemampuan nalar kritis publik.
Delegitimasi yang paling merusak adalah yang menargetkan institusi yang seharusnya berfungsi sebagai pilar netralitas dan objektivitas. Sasaran utama biasanya adalah peradilan, komisi pemilihan umum, lembaga pengawas keuangan, dan media massa independen. Strategi ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika institusi yang seharusnya menjaga keadilan dan transparansi dapat ditunjukkan—atau dipersepsikan—telah gagal, maka keseluruhan sistem secara otomatis kehilangan legitimasi moralnya. Contoh klasik adalah serangan retoris yang intens terhadap integritas hakim, yang sering kali dituduh bias politik, sehingga memutus kepercayaan masyarakat pada supremasi hukum. Dalam lingkungan yang terpolarisasi, upaya mendelegitimasi sistem peradilan menjadi kunci, karena tanpa peradilan yang kredibel, tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang diakui secara universal.
Selain peradilan, serangan terhadap institusi demokrasi seperti komisi pemilihan umum adalah taktik delegitimasi yang sangat efektif dan berbahaya. Dengan menanamkan keraguan tentang proses penghitungan suara atau validitas daftar pemilih, para pelaku mendelegitimasi berupaya membuat hasil pemilihan—fondasi dari kekuasaan demokratis—terlihat sebagai hasil manipulasi belaka. Jika pemilu dianggap tidak sah, maka setiap pejabat yang terpilih melalui proses tersebut akan kehilangan legitimasi sejak hari pertama mereka menjabat. Serangan semacam ini menciptakan 'krisis legitimasi inheren' yang dapat memicu protes massal, penolakan hasil, dan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Keberlangsungan negara demokratis sangat bergantung pada kepercayaan mutlak terhadap integritas proses elektoral; serangan terhadap integritas ini adalah upaya mendelegitimasi yang paling destruktif terhadap tatanan. Upaya ini sering kali dilakukan dengan data yang sengaja diputarbalikkan atau interpretasi statistik yang menyesatkan untuk menumbuhkan kesan adanya konspirasi tersembunyi yang beroperasi melawan kehendak rakyat.
Mendelegitimasi sering kali melibatkan penggunaan retorika yang sangat bermuatan emosional dan moral. Target delegitimasi tidak hanya digambarkan sebagai salah atau tidak kompeten, tetapi sebagai entitas yang secara moral tercela, jahat, atau bahkan musuh negara. Taktik dehumanisasi sangat penting dalam konteks ini, di mana lawan politik atau institusi yang berwenang digambarkan sebagai 'elit korup', 'pengkhianat', atau 'boneka asing'. Retorika ini bertujuan untuk memutus rasa empati publik terhadap target dan membenarkan tindakan-tindakan ekstrem terhadap mereka. Ketika suatu kelompok berhasil didelegitimasi secara moral, resistensi terhadap kekuasaan mereka menjadi tidak hanya diperbolehkan, tetapi dianggap sebagai kewajiban moral.
Politisasi moral juga memanfaatkan isu-isu identitas yang mendalam, seperti agama, etnis, atau kelas sosial, untuk menciptakan garis pemisah yang tidak dapat dijembatani antara 'kita' dan 'mereka'. Dengan menempatkan institusi atau pemimpin dalam kategori 'mereka', para pelaku delegitimasi berhasil mengisolasi target dari basis dukungan tradisional mereka dan mendorong pengikut mereka sendiri untuk melihat tatanan yang ada sebagai ancaman eksistensial. Upaya ini semakin diperkuat oleh manipulasi sejarah dan narasi kolektif. Dengan merombak interpretasi masa lalu, para delegitimator berupaya menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada saat ini adalah kelanjutan dari penindasan historis atau kejahatan lama. Dengan demikian, tugas untuk mendelegitimasi berubah dari kritik kebijakan menjadi perang suci untuk penebusan historis, yang memberikan dorongan moral yang sangat kuat bagi gerakan oposisi. Kompleksitas narasi ini adalah alasan mengapa perlawanan terhadap delegitimasi memerlukan lebih dari sekadar penyajian fakta; ia memerlukan perbaikan narasi dan pembangunan kembali ikatan moral yang telah rusak.
Selain serangan retoris, upaya mendelegitimasi juga dapat mengambil bentuk sabotase struktural dari dalam. Ini terjadi ketika individu atau faksi di dalam sistem administrasi atau pemerintahan secara pasif atau aktif menghambat fungsi normal institusi. Ini bisa berupa penundaan birokrasi, kebocoran informasi yang dipilih secara selektif untuk mempermalukan, atau penolakan untuk melaksanakan kebijakan tertentu. Tujuannya adalah untuk menciptakan inefisiensi yang meluas, yang kemudian dapat disajikan kepada publik sebagai bukti kegagalan bawaan atau ketidakmampuan institusi yang berkuasa. Ketika layanan publik gagal, atau ketika pemerintahan terlihat terfragmentasi dan lumpuh, narasi yang dibangun untuk mendelegitimasi—bahwa sistem tersebut tidak berfungsi—akan terasa sangat meyakinkan bagi warga negara yang merasakan dampak langsung dari kegagalan tersebut.
Ketidaktaatan sipil terkoordinasi juga merupakan alat yang kuat. Meskipun protes damai adalah hak demokratis, ketika aksi protes tersebut diarahkan secara strategis untuk secara eksplisit menolak otoritas kepemimpinan dan bukan hanya menolak kebijakannya, hal itu berfungsi untuk mendelegitimasi. Aksi-aksi yang melibatkan penutupan paksa fasilitas publik, blokade strategis, atau pembangkangan massal yang diorganisir secara sistematis bertujuan untuk menciptakan kondisi anarki parsial, yang memaksa pemerintah bertindak keras. Tindakan keras pemerintah, meskipun bertujuan memulihkan ketertiban, kemudian diputarbalikkan oleh narasi delegitimasi sebagai bukti tirani dan pelanggaran hak asasi manusia. Siklus ini secara efektif menggunakan respons sistem terhadap kekacauan sebagai bukti bahwa sistem tersebut memang tidak sah dan harus digulingkan. Dalam konteks ini, setiap reaksi dari pihak yang berkuasa menjadi bumerang, menguatkan klaim bahwa mereka telah kehilangan legitimasi untuk menggunakan kekuatan. Fenomena ini dikenal sebagai 'strategi eskalasi balik', di mana kekerasan yang diinduksi digunakan untuk mendelegitimasi kekuasaan resmi.
Meskipun kekuasaan eksekutif sering menjadi target yang paling terlihat, upaya mendelegitimasi selalu menargetkan berbagai lapisan masyarakat dan infrastruktur sosial. Dalam konteks modern, serangan ini diarahkan pada entitas yang fungsinya adalah menjamin objektivitas, netralitas, dan kebenaran kolektif. Kerusakan pada entitas-entitas ini memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar perubahan politik sesaat.
Dalam masyarakat yang semakin kompleks, legitimasi sering kali diturunkan dari otoritas pengetahuan dan kepakaran. Oleh karena itu, serangan untuk mendelegitimasi sering diarahkan pada komunitas ilmiah, ahli kesehatan publik, dan akademisi. Strategi ini sangat penting karena jika publik tidak lagi mempercayai data ilmiah mengenai perubahan iklim, vaksin, atau data ekonomi, maka kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) menjadi mustahil. Para pelaku delegitimasi berupaya merusak otoritas sains dengan menyebarkan klaim bahwa para ilmuwan memiliki kepentingan tersembunyi, dibayar oleh kelompok tertentu, atau bahwa konsensus ilmiah hanyalah sebuah konspirasi. Dampak dari upaya mendelegitimasi ini sangat serius, karena dapat menghambat respons kolektif terhadap krisis, seperti yang terlihat jelas selama pandemi global, di mana legitimasi otoritas kesehatan publik dihancurkan melalui kampanye disinformasi yang intens dan terstruktur.
Serangan ini juga menargetkan proses peer-review dan institusi akademik, mencoba untuk menggambarkan lembaga-lembaga ini sebagai menara gading yang terputus dari realitas atau, yang lebih berbahaya, sebagai penjaga ideologi politik tertentu. Dengan berhasil mendelegitimasi suara-suara pakar, pelaku delegitimasi menciptakan ruang hampa informasi yang kemudian diisi oleh 'alternatif fakta' atau 'kebenaran versi sendiri' yang mendukung narasi politik mereka. Kerusakan pada otoritas epistemik ini adalah salah satu konsekuensi paling serius dari polarisasi modern, karena ia menghancurkan bahasa bersama yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan rasional. Ketika keahlian dianggap sama validnya dengan opini acak, maka fondasi masyarakat rasional terancam, memungkinkan upaya mendelegitimasi politik berkembang tanpa hambatan logis.
Media massa independen memiliki peran krusial dalam menyediakan informasi yang diperlukan bagi warga negara untuk menahan kekuasaan akuntabel—prasyarat mutlak bagi legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, salah satu taktik utama untuk mendelegitimasi sistem adalah dengan secara konsisten menargetkan media massa. Pelaku delegitimasi menggunakan istilah seperti 'media musuh rakyat', 'berita palsu', atau 'propagandis elit' untuk merusak kepercayaan publik pada jurnalisme profesional. Tujuannya adalah memastikan bahwa ketika media mengungkap kesalahan atau korupsi yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa, informasi tersebut dapat langsung dikesampingkan oleh para pengikut mereka sebagai rekayasa atau bias politik.
Upaya untuk mendelegitimasi media massa ini bersifat dua arah: pertama, serangan retoris langsung terhadap individu jurnalis dan organisasi berita; kedua, menciptakan ekosistem media tandingan (sering kali melalui platform digital yang tidak teregulasi) yang secara eksklusif menyajikan narasi yang mendukung upaya delegitimasi dan mengisolasi audiens dari informasi yang bertentangan. Keberhasilan dalam mendelegitimasi media menciptakan lingkungan di mana tidak ada lagi pengawas yang dapat dipercaya. Dalam situasi ini, kekuasaan dapat dijalankan tanpa rasa takut akan pengungkapan publik yang kredibel. Jika tidak ada yang dapat dipercaya, maka semua klaim, termasuk klaim dari pihak yang berkuasa, berada pada tingkat yang sama, namun klaim dari pihak yang mendelegitimasi seringkali lebih menarik secara emosional dan lebih mudah menyebar dalam kondisi sinisme yang meluas.
Legitimasi sebuah negara atau sistem politik sering kali berakar pada narasi pendiriannya dan sejarah kolektifnya. Upaya mendelegitimasi yang mendalam sering kali melibatkan revisi atau penyerangan terhadap narasi sejarah resmi. Ini bukan hanya tentang interpretasi ulang akademis, melainkan upaya strategis untuk menunjukkan bahwa fondasi negara didirikan di atas ketidakadilan, korupsi, atau klaim palsu. Dengan merusak mitos pendirian (founding myths) atau menyoroti dosa-dosa historis secara eksklusif, para pelaku delegitimasi berupaya menunjukkan bahwa tatanan yang ada saat ini tidak memiliki hak historis atau moral untuk eksis.
Taktik ini sangat kuat karena menyentuh inti dari identitas kolektif. Ketika warga negara mulai meragukan apakah negara mereka didirikan dengan niat baik atau dengan proses yang sah, loyalitas mereka terhadap institusi kontemporer pun ikut runtuh. Proses mendelegitimasi identitas nasional ini sering berjalan seiring dengan promosi identitas sub-nasional (etnis, regional, agama) yang lebih sempit, yang kemudian diposisikan sebagai "korban sejati" dari tatanan yang didelegitimasi. Konsekuensinya adalah fragmentasi sosial yang serius, di mana loyalitas beralih dari negara dan institusinya ke kelompok identitas yang lebih kecil. Ini tidak hanya mendelegitimasi kekuasaan pusat tetapi juga mengancam integritas teritorial dan kohesi sosial jangka panjang, membuat proses pembangunan kembali kepercayaan menjadi tugas yang hampir mustahil.
Dalam ranah internasional, upaya mendelegitimasi sering menargetkan organisasi multi-lateral seperti PBB, WTO, atau lembaga regional. Para pemimpin nasionalis atau populis sering berupaya mendelegitimasi lembaga-lembaga ini dengan mengklaim bahwa mereka menggerogoti kedaulatan nasional, didominasi oleh kekuatan asing, atau bertindak tidak efisien dan korup. Tujuannya adalah untuk membenarkan penarikan diri dari komitmen internasional atau penolakan terhadap norma-norma global yang telah disepakati.
Proses mendelegitimasi sistem global ini didorong oleh narasi bahwa kerjasama internasional hanya menguntungkan elit global, sementara merugikan warga negara biasa. Dengan berhasil mendelegitimasi kerangka kerja multi-lateral, negara-negara dapat mengejar kebijakan yang lebih unilateralis dan proteksionis tanpa menghadapi kritik internal yang signifikan. Dampak dari delegitimasi global ini adalah destabilisasi tatanan internasional, peningkatan konflik perdagangan, dan melemahnya kemampuan kolektif untuk menangani tantangan transnasional seperti perubahan iklim atau pandemi. Upaya ini menunjukkan bahwa mendelegitimasi bukanlah hanya fenomena domestik, melainkan strategi yang dapat digunakan untuk merombak arsitektur kekuasaan global secara fundamental, kembali ke sistem persaingan kekuatan tanpa aturan main yang disepakati secara luas.
Ketika upaya mendelegitimasi mencapai keberhasilan kritis, dampaknya merambat melampaui perubahan politik sesaat. Konsekuensi yang paling parah adalah erosi permanen terhadap modal sosial dan kemampuan kolektif masyarakat untuk bertindak bersama demi kebaikan umum. Proses ini menghancurkan fondasi yang diperlukan untuk kehidupan sipil yang stabil dan produktif.
Konsekuensi paling mendasar dari delegitimasi yang meluas adalah kehancuran modal sosial, yaitu jaringan norma dan kepercayaan timbal balik yang memungkinkan masyarakat berfungsi secara efisien. Ketika institusi utama—seperti pemerintah, polisi, peradilan, dan media—secara kolektif telah didelegitimasi, masyarakat memasuki keadaan sinisme total. Dalam keadaan ini, kepercayaan tidak lagi diberikan kepada institusi resmi melainkan ditarik kembali ke dalam kelompok-kelompok kecil, etnis, atau keluarga. Hal ini sangat merugikan karena transaksi sosial dan ekonomi yang kompleks—yang membutuhkan kepercayaan pada kontrak, hukum, dan regulasi—menjadi sangat mahal dan sulit dilakukan. Investor menarik diri, kontrak tidak dihargai, dan kerjasama publik untuk proyek-proyek bersama terhenti. Masyarakat yang didelegitimasi menjadi masyarakat yang teratomisasi, di mana setiap kelompok bertindak demi kepentingan diri sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan kolektif yang lebih besar.
Sinisme yang dihasilkan oleh upaya mendelegitimasi juga memiliki dampak psikologis yang mendalam. Warga negara yang terus-menerus disuguhi narasi korupsi dan inkompetensi pada akhirnya merasa tidak berdaya, percaya bahwa tidak ada tindakan politik yang dapat membawa perubahan positif. Rasa ketidakberdayaan ini seringkali bermanifestasi dalam penarikan diri dari proses politik atau, sebaliknya, dalam dukungan terhadap solusi-solusi radikal dan anti-sistem. Ini menciptakan siklus umpan balik negatif di mana sinisme memicu delegitimasi lebih lanjut, dan setiap upaya oleh institusi untuk mereformasi atau memulihkan kepercayaan dianggap sebagai sandiwara politik belaka, sehingga menguatkan keyakinan bahwa seluruh sistem telah rusak tak terperbaiki. Situasi ini adalah tanah subur bagi kebangkitan otoritarianisme atau populisme ekstrem yang menjanjikan pembersihan total dari sistem yang didelegitimasi.
Upaya mendelegitimasi hampir selalu mengintensifkan polarisasi. Dengan memposisikan pihak yang berkuasa sebagai 'musuh' yang tidak sah, para pelaku delegitimasi mengubah persaingan politik menjadi konflik eksistensial. Polarisasi yang dihasilkan bukanlah sekadar perbedaan pendapat, tetapi perpecahan identitas yang mendalam, di mana keberhasilan pihak lawan dianggap sebagai ancaman langsung terhadap keberadaan kelompok sendiri. Dalam lingkungan yang didelegitimasi, kompromi politik dianggap sebagai pengkhianatan, dan kerjasama bipartisan menjadi mustahil. Ini melumpuhkan kemampuan sistem politik untuk merespons tantangan-tantangan besar yang memerlukan konsensus, seperti reformasi ekonomi atau kebijakan luar negeri.
Konsekuensi lebih lanjut dari polarisasi yang dipicu oleh upaya mendelegitimasi adalah erosi norma-norma demokrasi. Ketika satu pihak menganggap pihak lain tidak sah, mereka cenderung bersedia melanggar aturan-aturan demokratis untuk mencegah pihak lawan berkuasa. Ini mencakup penggunaan taktik obstruksi parlementer yang ekstrem, penolakan untuk menerima hasil pemilu, atau bahkan upaya untuk menggunakan instrumen negara untuk menargetkan oposisi. Proses ini, yang disebut sebagai 'pembusukan demokrasi', menunjukkan bahwa legitimasi bukan hanya masalah persepsi publik, tetapi juga dipelihara oleh kepatuhan elit terhadap norma-norma permainan politik. Ketika elit memutuskan untuk mendelegitimasi lawan mereka, mereka secara efektif mendeklarasikan perang terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Konsekuensi terburuk adalah kekerasan politik, karena ketika kanal-kanal politik yang sah dianggap tidak lagi berfungsi atau tidak adil, kelompok-kelompok yang merasa terampas haknya mungkin beralih ke cara-cara yang bersifat non-demokratis untuk mencapai tujuan mereka.
Ironisnya, keberhasilan upaya mendelegitimasi seringkali tidak menghasilkan tatanan yang lebih baik, melainkan membuka pintu bagi bentuk kekuasaan yang lebih represif. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi demokratis yang lemah dan terfragmentasi, mereka menjadi rentan terhadap daya tarik pemimpin kuat (strongman) yang menjanjikan pemulihan ketertiban dan pemberantasan korupsi secara cepat. Pemimpin otoriter ini sering kali mencapai kekuasaan dengan memanfaatkan secara efektif narasi delegitimasi yang telah ada—bahwa sistem lama telah rusak dan membutuhkan penggantian total, bukan perbaikan. Mereka berjanji untuk 'membersihkan' sistem yang didelegitimasi, dan legitimasi mereka didasarkan bukan pada prosedur atau hukum, melainkan pada karisma pribadi dan janji efisiensi yang radikal.
Setelah berkuasa, pemimpin otoriter ini kemudian menggunakan kekuasaan mereka untuk mendelegitimasi semua sumber kritik dan oposisi yang tersisa, termasuk media independen, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan faksi-faksi di dalam birokrasi negara yang mungkin menentang mereka. Mereka mengganti legitimasi institusional dengan loyalitas personal, mengkonsolidasikan kekuasaan tanpa akuntabilitas. Dengan demikian, upaya yang awalnya dimaksudkan untuk mendelegitimasi sistem yang korup sering kali berakhir dengan pembentukan rezim yang jauh lebih buruk dan tak terlegitimasi secara moral, namun berkuasa karena berhasil memadamkan semua wacana tandingan. Keadaan ini menunjukkan bahwa mendelegitimasi adalah pedang bermata dua; ia dapat menjatuhkan tirani, tetapi juga dapat memicu lahirnya tirani baru yang jauh lebih sulit untuk dilawan.
Dalam ranah ekonomi, delegitimasi institusi memiliki dampak langsung pada kepastian regulasi dan iklim investasi. Ketika peradilan dan badan pengawas keuangan didelegitimasi, kepastian hukum (rule of law) melemah. Investor, baik domestik maupun asing, ragu untuk menanamkan modal di lingkungan di mana kontrak dapat dibatalkan melalui keputusan politik yang tidak terduga, atau di mana pengadilan dianggap tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan sengketa secara adil. Akibatnya, terjadi pelarian modal, penurunan investasi jangka panjang, dan stagnasi ekonomi.
Lebih lanjut, upaya mendelegitimasi yang menargetkan data statistik resmi—seperti inflasi, pengangguran, atau angka PDB—merusak kemampuan pasar untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat. Jika data pemerintah dianggap sebagai manipulasi politik, maka pelaku pasar harus beroperasi dalam kegelapan, yang meningkatkan risiko dan biaya operasional. Lingkungan ekonomi yang didelegitimasi ditandai oleh ketidakpastian tinggi, korupsi endemik yang tidak dapat ditindak secara efektif (karena institusi anti-korupsi juga didelegitimasi), dan kecenderungan menuju ekonomi rent-seeking (pencarian rente) yang didorong oleh kedekatan politik, bukan efisiensi pasar. Dengan demikian, upaya mendelegitimasi politik secara efektif mendelegitimasi struktur ekonomi rasional, menjebak negara dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakstabilan.
Mencegah atau membalikkan proses delegitimasi membutuhkan strategi yang jauh lebih proaktif dan komprehensif daripada sekadar menanggapi setiap tuduhan secara terpisah. Ini memerlukan pembangunan kembali kepercayaan di tingkat fundamental, perbaikan integritas kelembagaan, dan pemberdayaan masyarakat sipil untuk menjadi konsumen informasi yang lebih kritis. Respons yang efektif harus bersifat struktural dan naratif.
Cara yang paling efektif untuk melawan narasi delegitimasi adalah dengan secara konsisten menunjukkan kinerja yang kompeten dan transparan. Institusi harus berusaha keras untuk mengatasi akar keluhan publik yang sah—seperti korupsi, inefisiensi, atau ketidakadilan sosial—yang sering dimanfaatkan oleh para pelaku delegitimasi. Re-legitimasi kinerja berarti tidak hanya mencapai hasil, tetapi melakukannya melalui prosedur yang jelas dan dapat diaudit. Ini memerlukan reformasi radikal dalam birokrasi untuk mengurangi titik-titik rawan korupsi, meningkatkan kualitas layanan publik, dan memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dapat dilihat oleh publik sebagai adil dan berdasarkan kepentingan umum. Ketika warga negara merasakan peningkatan nyata dalam kehidupan mereka yang didorong oleh tindakan pemerintah yang transparan, narasi delegitimasi akan kehilangan daya tariknya.
Elemen kunci dari re-legitimasi ini adalah akuntabilitas. Para pejabat yang terbukti melakukan kesalahan atau korupsi harus ditindak tegas, terlepas dari afiliasi politik mereka. Kegagalan untuk menindak korupsi internal memberikan amunisi terbesar bagi upaya mendelegitimasi. Institusi harus bersedia menginvestigasi dan memperbaiki diri sendiri secara terbuka. Misalnya, lembaga pemilu harus secara proaktif melibatkan pemantau independen dan memastikan bahwa semua tahapan proses pemilihan dapat diverifikasi oleh pihak eksternal, sehingga mengurangi ruang untuk narasi kecurangan. Akuntabilitas yang ketat dan transparan adalah benteng utama melawan upaya yang bertujuan untuk mendelegitimasi integritas kelembagaan.
Mengingat peran sentral disinformasi dalam upaya mendelegitimasi, pertahanan jangka panjang harus berfokus pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk menyaring dan menganalisis informasi secara kritis. Program literasi media tidak boleh hanya berfokus pada identifikasi berita palsu (fake news) tetapi harus membekali warga negara dengan alat kognitif untuk memahami bagaimana narasi politik dibentuk, bagaimana bias bekerja, dan bagaimana algoritma media sosial dapat memperkuat pandangan ekstremis. Pendidikan kritis ini harus dimulai sejak usia dini dan terus menjadi bagian dari diskursus publik.
Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus bekerjasama dalam mempromosikan skeptisisme yang sehat dan metodologis, bukan sinisme total. Tujuannya adalah untuk mendorong warga negara agar mencari sumber informasi yang beragam, memeriksa klaim melalui fakta yang diverifikasi, dan memahami bahwa institusi yang sah mungkin membuat kesalahan tanpa harus secara inheren korup atau jahat. Memperkuat literasi kritis ini membantu masyarakat membangun kekebalan terhadap upaya mendelegitimasi yang bergantung pada manipulasi emosional, bias konfirmasi, dan keengganan untuk menerima kompleksitas realitas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam mempertahankan fondasi epistemik masyarakat yang stabil, yang sangat penting untuk memastikan bahwa warga negara memiliki dasar bersama dalam kebenaran faktual.
Merespons delegitimasi yang didorong oleh polarisasi memerlukan pembentukan koalisi yang melintasi garis ideologi untuk mempertahankan norma-norma demokrasi dasar. Para pemimpin politik, terlepas dari perbedaan kebijakan mereka, harus sepakat untuk tidak mendelegitimasi hasil pemilihan umum, tidak menyerang independensi peradilan, dan tidak menggunakan kekerasan sebagai alat politik. Kesepakatan di antara elit ini berfungsi sebagai 'norma penjaga' yang membatasi tindakan delegitimasi ekstremis.
Ketika semua aktor politik utama setuju bahwa sistem—meskipun mungkin tidak sempurna—adalah satu-satunya kendaraan yang sah untuk perubahan, upaya mendelegitimasi yang berasal dari pinggiran akan kesulitan mendapatkan daya tarik. Koalisi ini juga harus secara aktif mempromosikan bahasa sipil dalam debat publik, menolak retorika dehumanisasi, dan menekankan nilai-nilai bersama yang mempersatukan bangsa. Upaya ini harus dilakukan secara publik dan konsisten, menunjukkan kepada masyarakat bahwa meskipun ada perbedaan yang sah mengenai kebijakan, terdapat komitmen mendasar terhadap aturan main demokratis. Keberhasilan dalam mendelegitimasi lawan harus dianggap sebagai tindakan yang mengancam diri sendiri dan tatanan yang mereka harapkan untuk memerintah di masa depan, sehingga menciptakan insentif bagi elit untuk menjaga integritas institusi.
Proses mendelegitimasi telah menjadi senjata politik yang semakin ampuh di era digital, di mana kecepatan penyebaran informasi dan kemampuan untuk menargetkan segmen populasi tertentu dengan narasi yang disesuaikan telah mengubah dinamika kekuasaan secara fundamental. Upaya ini bukan hanya mengancam pemerintah tertentu, tetapi secara fundamental mengancam legitimasi dari konsep tatanan, kebenaran, dan otoritas itu sendiri. Keberhasilan dalam mendelegitimasi mengarah pada sinisme yang melumpuhkan, polarisasi yang tak terpulihkan, dan peningkatan risiko otoritarianisme atau kekacauan sosial.
Pertahanan terhadap upaya mendelegitimasi harus diakui sebagai tugas yang berkelanjutan dan multidimensi. Ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan respons media yang cepat, melainkan memerlukan komitmen jangka panjang untuk memperkuat integritas kelembagaan, meningkatkan transparansi, dan secara aktif membangun kembali kepercayaan publik yang hilang. Re-legitimasi adalah proses yang lambat dan melelahkan, yang harus didasarkan pada kinerja yang solid dan kepatuhan yang teguh terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan keadilan. Kegagalan untuk menanggapi tantangan untuk mendelegitimasi ini bukan hanya berisiko kehilangan pemilihan umum, tetapi berisiko kehilangan fondasi kohesi sipil dan demokratis yang telah dibangun selama beberapa generasi.
Masa depan stabilitas sosial akan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat untuk menumbuhkan kekebalan kolektif terhadap serangan yang bertujuan untuk mendelegitimasi. Hal ini memerlukan para pemimpin yang berani menolak penggunaan taktik delegitimasi bahkan ketika hal itu secara politis menguntungkan, institusi yang mampu mereformasi diri sendiri, dan masyarakat yang memiliki cukup literasi kritis untuk membedakan antara kritik yang sah dan kampanye terstruktur yang bertujuan untuk merusak tatanan demi kepentingan sempit. Hanya dengan pengakuan atas nilai fundamental dari legitimasi dan perjuangan yang konsisten untuk memeliharanya, masyarakat dapat berharap untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh upaya mendelegitimasi di abad ke-21.