Prinsip untuk mendasarkan ide, tindakan, atau keyakinan pada suatu fondasi yang kokoh adalah inti dari peradaban manusia. Tanpa landasan yang jelas dan teruji, pengetahuan kita hanyalah kumpulan asumsi yang rentan terhadap keruntuhan logis. Proses mendasarkan melibatkan jauh lebih dari sekadar memilih titik awal; ini adalah praktik epistemologis yang menuntut validitas, konsistensi, dan kemampuan untuk dipertanggungjawabkan. Dalam esai yang panjang dan mendalam ini, kita akan menjelajahi bagaimana konsep mendasarkan memainkan peran krusial dalam filosofi, metode ilmiah, pengambilan keputusan etis, dan struktur sosial, menunjukkan bahwa upaya untuk mencari landasan yang kuat adalah dorongan universal yang mendasarkan kemajuan kita.
Kita hidup dalam zaman informasi yang melimpah, di mana kebenaran sering kali terdistorsi oleh kecepatan penyebarannya. Oleh karena itu, kemampuan untuk secara kritis mendasarkan setiap klaim pada bukti yang kredibel menjadi keterampilan yang paling esensial. Baik dalam ranah ilmu fisika yang mendasarkan teorinya pada observasi empiris, maupun dalam sistem hukum yang mendasarkan keputusannya pada preseden dan undang-undang, kebutuhan akan fondasi yang tak tergoyahkan tetap menjadi tuntutan utama.
Alt Text: Diagram yang menunjukkan sebuah fondasi kokoh menopang pengetahuan, melambangkan perlunya mendasarkan segala sesuatu pada landasan yang kuat.
Dalam sejarah filsafat, pertanyaan mendasar mengenai bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu, atau epistemologi, selalu berpusat pada upaya untuk mendasarkan kebenaran. Di mana letak fondasi keyakinan kita? Apakah kebenaran didasarkan pada pengalaman indrawi, ataukah pada penalaran murni? Perdebatan ini telah melahirkan dua mazhab utama yang secara fundamental berbeda dalam cara mereka berusaha mendasarkan pengetahuan.
Mazhab Rasionalisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz, mendasarkan semua pengetahuan sejati pada akal budi (rasio). Bagi Descartes, misalnya, langkah awal dalam mencari landasan yang pasti adalah keraguan radikal. Ia berusaha meruntuhkan segala keyakinan yang mungkin goyah, hingga ia menemukan satu titik yang tidak mungkin diragukan: keberadaan diri yang berpikir (Cogito, ergo sum). Keberadaan diri yang berpikir inilah yang menjadi fondasi, atau landasan, yang dari sana semua pengetahuan lain dapat dibangun dan dijustifikasi. Mereka percaya bahwa prinsip-prinsip universal, seperti hukum matematika atau logika, bersifat bawaan (innate) dan tidak perlu diverifikasi melalui dunia luar yang seringkali menyesatkan. Rasionalis mendasarkan kebenaran pada koherensi logis internal. Jika suatu sistem pemikiran bebas dari kontradiksi dan diturunkan secara deduktif dari aksioma yang jelas, maka sistem itu dianggap benar, terlepas dari apakah ia cocok dengan pengalaman kita sehari-hari.
Implikasi dari pendekatan ini sangat besar. Upaya untuk mendasarkan etika pada prinsip rasional universal, seperti yang dilakukan oleh Immanuel Kant dengan konsep Imperatif Kategorisnya, adalah hasil langsung dari tradisi rasionalis. Kant berusaha mendasarkan tindakan moral bukan pada konsekuensi emosional atau situasional, melainkan pada prinsip yang dapat diuniversalkan oleh akal setiap manusia. Pendekatan ini memberikan landasan moral yang stabil, tidak terpengaruh oleh pasang surut opini atau keadaan. Mencari landasan rasional berarti mencari struktur kebenaran yang mandiri dan abadi, yang dapat digunakan sebagai batu uji untuk semua klaim yang diajukan.
Berlawanan dengan Rasionalisme, Empirisme, yang diwakili oleh Locke, Berkeley, dan Hume, berpendapat bahwa kita harus mendasarkan semua pengetahuan pada pengalaman indrawi (empiris). Bagi John Locke, pikiran pada dasarnya adalah tabula rasa, lembaran kosong yang diisi oleh pengalaman. Tidak ada ide bawaan; semua pengetahuan, bahkan konsep yang paling kompleks, harus mendasarkan akarnya pada sensasi atau refleksi internal terhadap sensasi tersebut.
David Hume membawa Empirisme ke ekstrem logisnya, yang pada gilirannya menantang kemampuan kita untuk mendasarkan keyakinan kita pada hal-hal selain kebiasaan. Hume menunjukkan bahwa bahkan prinsip sebab-akibat—yang merupakan landasan bagi ilmu pengetahuan—tidak dapat diamati secara langsung. Kita hanya mengamati suksesi peristiwa (A diikuti B), dan kemudian kebiasaan mental kita yang mendasarkan hubungan kausal di antara keduanya. Tantangan Hume ini memaksa para filsuf dan ilmuwan modern untuk bekerja lebih keras dalam mencari dasar yang kuat untuk inferensi ilmiah. Bagaimana kita bisa mendasarkan prediksi masa depan jika landasannya hanyalah kebiasaan masa lalu?
Sintesis antara kedua pandangan ini, yang sebagian besar dicapai oleh Immanuel Kant (meskipun ia memiliki basis rasionalis yang kuat), menunjukkan bahwa pengetahuan yang valid harus mendasarkan diri pada sintesis antara data indrawi (yang disediakan oleh Empirisme) yang diorganisir oleh kerangka konseptual bawaan (yang disediakan oleh Rasionalisme). Pengetahuan tidak bisa berdiri tanpa pengalaman, tetapi pengalaman itu sendiri tidak berarti tanpa struktur logis untuk mendasarkan dan menafsirkannya.
Dalam konteks modern, upaya untuk mendasarkan pengetahuan terbagi menjadi dua teori utama justifikasi: Fondasionalisme dan Koherentisme. Fondasionalisme berpendapat bahwa semua keyakinan harus mendasarkan diri pada sekelompok kecil keyakinan dasar (basic beliefs) yang tidak memerlukan justifikasi lebih lanjut—ini bisa berupa pengalaman indrawi yang tak terbantahkan atau kebenaran logis yang tampak jelas. Fondasionalisme berusaha mencegah regresi tak terbatas dalam justifikasi; ia menyediakan fondasi yang kuat, tempat piramida pengetahuan didirikan.
Sebaliknya, Koherentisme berpendapat bahwa tidak ada keyakinan dasar yang mutlak. Justifikasi keyakinan tidak datang dari satu fondasi, melainkan dari bagaimana keyakinan itu koheren dan konsisten dengan seluruh jaringan keyakinan kita yang lain. Koherentisme melihat pengetahuan bukan sebagai piramida yang mendasarkan diri pada satu titik, melainkan sebagai jaring laba-laba raksasa di mana setiap titik menopang dan ditopang oleh titik-titik di sekitarnya. Keyakinan kita dapat mendasarkan diri satu sama lain melalui hubungan timbal balik yang logis dan harmonis. Perdebatan ini terus berlanjut, tetapi intinya tetap sama: setiap sistem pemikiran membutuhkan mekanisme internal untuk mendasarkan klaim kebenaran agar keyakinan tersebut memiliki otoritas rasional.
Jika filsafat berjuang untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan fondasi, ilmu pengetahuan praktis menyediakan kerangka kerja yang paling ketat dan teruji untuk benar-benar mendasarkan klaim kita pada bukti empiris yang terstruktur. Metode ilmiah adalah sebuah proses terstandarisasi yang dirancang untuk meminimalkan bias, menghilangkan spekulasi yang tidak didukung, dan secara sistematis mendasarkan kesimpulan pada data yang dapat direplikasi dan diverifikasi. Ini adalah esensi dari objektivitas.
Inti dari metode ilmiah adalah siklus observasi yang diikuti oleh perumusan hipotesis. Hipotesis harus dapat diuji (testable) dan harus dapat mendasarkan penjelasannya pada data yang telah dikumpulkan. Ilmuwan tidak hanya membuat spekulasi; mereka harus mendasarkan setiap prediksi pada kerangka teori yang ada, dan kemudian merancang eksperimen yang secara ketat menguji prediksi tersebut.
Prinsip verifikasi, meskipun kontroversial di kalangan filsuf sains (terutama oleh Karl Popper, seperti yang akan kita bahas), secara tradisional digunakan untuk mendasarkan kebenaran ilmiah. Suatu proposisi ilmiah dianggap benar atau setidaknya memiliki probabilitas tinggi jika ia diverifikasi berulang kali melalui berbagai eksperimen independen. Namun, kesulitan muncul karena verifikasi penuh seringkali mustahil. Misalnya, kita tidak dapat memverifikasi bahwa hukum gravitasi akan berlaku di setiap titik di masa depan; kita hanya bisa mendasarkan keyakinan kita pada pengamatan masa lalu yang sangat luas dan konsisten.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan modern cenderung mendasarkan klaimnya pada "dukungan kuat" (strong support) atau probabilitas tinggi, bukan pada verifikasi absolut. Ini menunjukkan kesadaran diri dalam sains bahwa semua pengetahuan empiris pada akhirnya bersifat tentatif dan dapat direvisi. Bahkan landasan yang paling kuat pun harus selalu siap untuk diuji ulang.
Karl Popper menawarkan salah satu kritik paling berpengaruh terhadap verifikasi sebagai landasan ilmu pengetahuan. Popper berpendapat bahwa suatu teori harus mendasarkan validitasnya pada prinsip falsifiabilitas (kemampuan untuk disangkal). Artinya, sebuah klaim ilmiah yang benar harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan observasi atau eksperimen yang dapat membuktikan klaim itu salah.
Mengapa ini penting? Karena prinsip ini yang memisahkan ilmu sejati dari pseudosains. Pseudosains seringkali merumuskan klaim sedemikian rupa sehingga ia selalu dapat menjelaskan setiap hasil yang mungkin terjadi, sehingga tidak pernah dapat disangkal, dan karena itu tidak pernah dapat benar-benar mendasarkan dirinya pada bukti empiris. Sebaliknya, fisika modern, misalnya, mendasarkan Teori Relativitas pada prediksi yang sangat spesifik (seperti pembelokan cahaya bintang oleh gravitasi matahari) yang jika gagal diverifikasi, akan secara definitif meruntuhkan teori tersebut. Falsifiabilitas adalah fondasi metodologis yang mendasarkan integritas dan ketepatan ilmu pengetahuan.
Mendasarkan melalui Objektivitas: Metode ilmiah mengharuskan peneliti untuk mendasarkan kesimpulan mereka pada data mentah, bukan pada harapan pribadi. Ini membutuhkan transparansi penuh dalam metodologi, memungkinkan ilmuwan lain untuk mereplikasi percobaan dan memverifikasi, atau justru memfalsifikasi, hasil yang sama. Replikasi adalah pilar yang mendasarkan konsensus ilmiah.
Thomas Kuhn, dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions, memperkenalkan gagasan bahwa ilmu pengetahuan normal mendasarkan dirinya pada sebuah paradigma—yaitu, seperangkat asumsi fundamental, metode, dan masalah yang diterima oleh komunitas ilmiah pada waktu tertentu. Paradigma ini berfungsi sebagai landasan yang tak perlu dipertanyakan untuk periode waktu yang lama.
Namun, ketika anomali (temuan yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma yang ada) mulai menumpuk, landasan itu goyah. Hal ini memicu krisis, yang pada akhirnya dapat diselesaikan melalui revolusi ilmiah—pergeseran mendasar dalam cara komunitas ilmiah memandang realitas. Misalnya, pergeseran dari paradigma geosentris ke heliosentris memerlukan perubahan total dalam cara para astronom mendasarkan perhitungan dan pemahaman mereka tentang kosmos. Kuhn mengajarkan kita bahwa bahkan landasan pengetahuan yang paling solid pun bersifat historis dan dapat digantikan oleh landasan baru yang lebih kuat dan komprehensif. Upaya untuk mendasarkan pengetahuan adalah proses dinamis, bukan statis.
Di bawah semua upaya epistemologis dan ilmiah terletak Logika. Logika adalah alat formal yang kita gunakan untuk mendasarkan validitas argumen, memastikan bahwa kesimpulan yang kita tarik benar-benar mengikuti dari premis yang telah ditetapkan. Jika metode ilmiah mendasarkan diri pada dunia empiris, Logika mendasarkan diri pada prinsip-prinsip universal penalaran.
Penalaran deduktif adalah bentuk penalaran yang paling ketat dan pasti, karena ia mendasarkan kesimpulan pada kebenaran yang sudah melekat dalam premis. Jika premisnya benar, maka kesimpulannya pasti benar. Contoh klasik, silogisme: (Premis 1) Semua manusia fana. (Premis 2) Socrates adalah manusia. (Kesimpulan) Socrates fana.
Dalam penalaran deduktif, kita berusaha mendasarkan suatu kasus spesifik pada hukum atau prinsip universal. Ini adalah landasan matematika dan sebagian besar filsafat formal. Keuntungan utama dari deduksi adalah kepastiannya; selama kita dapat menjamin kebenaran premis awal, kita memiliki landasan yang sangat kuat untuk mendasarkan kesimpulan kita. Namun, deduksi tidak menghasilkan pengetahuan baru tentang dunia luar; ia hanya menjelaskan apa yang sudah tersirat dalam premis.
Sebaliknya, penalaran induktif mendasarkan generalisasi pada serangkaian observasi spesifik. Ini adalah jantung dari ilmu empiris. Setelah mengamati ribuan angsa berwarna putih, kita mendasarkan kesimpulan umum, "Semua angsa berwarna putih" (sampai kita melihat angsa hitam). Tidak seperti deduksi, induksi tidak menjamin kepastian 100%; kesimpulan induktif selalu probabilitas.
Masalah Induksi, yang disorot oleh Hume, menunjukkan kerentanan dalam upaya kita untuk mendasarkan prediksi masa depan. Kita mendasarkan keyakinan bahwa matahari akan terbit besok pada pengalaman bahwa matahari selalu terbit di masa lalu. Meskipun secara praktis tak terhindarkan, secara logis, tidak ada jaminan bahwa hukum alam akan tetap konstan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan selalu berhati-hati dan terus mencari data baru untuk memperkuat landasan induktifnya.
Alt Text: Diagram yang menunjukkan hubungan timbal balik antara teori dan observasi, mewakili cara logika deduktif dan induktif bekerja bersama untuk mendasarkan pengetahuan.
Upaya untuk mendasarkan argumen secara logis sering digagalkan oleh kekeliruan (fallacies). Kekeliruan adalah kesalahan dalam penalaran yang membuat argumen, meskipun mungkin tampak persuasif, sebenarnya tidak memiliki landasan logis. Mengenali kekeliruan sangat penting karena memungkinkan kita untuk menilai apakah suatu kesimpulan benar-benar mendasarkan dirinya pada premis yang sah.
Contohnya, argumen Ad Hominem, yang menyerang karakter pembicara alih-alih substansi argumen, gagal mendasarkan sanggahannya pada validitas logis. Demikian pula, kekeliruan Petitio Principii (mengemis pertanyaan) terjadi ketika seseorang mendasarkan kesimpulannya pada premis yang pada dasarnya sama dengan kesimpulannya, menciptakan lingkaran setan tanpa fondasi eksternal. Untuk mendasarkan rasionalitas secara efektif, kita harus secara ketat menghilangkan semua bentuk kekeliruan logika dari penalaran kita.
Konsep mendasarkan tidak terbatas pada ranah teori dan ilmu pengetahuan; ia memiliki implikasi praktis yang mendalam dalam cara kita mengatur masyarakat dan membuat pilihan individu. Keputusan yang baik adalah keputusan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang dapat dipertahankan, bukan pada perasaan sesaat atau kepentingan sempit.
Dalam etika, kebutuhan untuk mendasarkan moralitas adalah masalah yang sangat mendesak. Apakah moralitas didasarkan pada perintah ilahi (Deontologi), pada konsekuensi dari tindakan (Konsekuensialisme), atau pada karakter pelaku (Etika Kebajikan)?
Utilitarianisme, misalnya, mendasarkan moralitas tindakan pada prinsip 'kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar'. Landasan etis ini menuntut penghitungan konsekuensi secara cermat. Di sisi lain, Deontologi Kantian, seperti yang disebutkan sebelumnya, mendasarkan moralitas pada kewajiban universal yang ditetapkan oleh akal—tanpa memandang konsekuensi. Landasan ini sangat kuat karena menawarkan stabilitas: kebenaran moral tidak berubah-ubah sesuai situasi. Apapun mazhab etika yang dipilih, tujuannya tetap sama: untuk mendasarkan norma perilaku pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar preferensi pribadi.
Dalam bioetika modern, misalnya, semua diskusi mengenai izin, otonomi pasien, dan keadilan dalam alokasi sumber daya harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip etika yang diakui secara luas. Kegagalan untuk mendasarkan etika pada fondasi yang kuat akan menyebabkan chaos moral dan ketidakpercayaan dalam sistem.
Sistem hukum adalah institusi yang secara eksplisit dirancang untuk mendasarkan otoritas dan putusannya. Dalam sistem hukum common law, putusan pengadilan harus mendasarkan diri pada preseden (kasus-kasus sebelumnya). Doktrin stare decisis (berpegang pada apa yang diputuskan) memastikan konsistensi dan prediktabilitas. Ini berarti bahwa keputusan hari ini tidak dibuat berdasarkan kehendak hakim, tetapi mendasarkan diri pada sejarah hukum yang panjang.
Dalam hukum sipil, hakim mendasarkan putusannya secara primer pada undang-undang dan kode tertulis. Konstitusi, sebagai hukum tertinggi, adalah landasan fundamental yang mendasarkan semua hukum dan kebijakan yang lebih rendah. Upaya untuk mendasarkan hukum pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan secara arbitrer, melainkan terikat pada landasan normatif yang disepakati oleh masyarakat.
Dalam dunia bisnis dan pemerintahan modern, pengambilan keputusan yang bertanggung jawab harus mendasarkan diri pada analisis data yang akurat, bukan pada intuisi atau gosip belaka. Keputusan berbasis data adalah praktik praktis untuk menerapkan Empirisme pada masalah organisasi.
Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk meluncurkan produk baru, mereka harus mendasarkan keputusan investasi besar tersebut pada studi pasar, analisis tren konsumen, dan metrik kinerja internal yang valid. Jika mereka gagal mendasarkan strategi mereka pada data yang kuat, risikonya adalah kegagalan finansial. Proses ini memerlukan alat statistik yang kompleks untuk memastikan bahwa data yang digunakan sebagai landasan valid, representatif, dan bebas dari bias yang signifikan. Dalam konteks ini, 'mendasarkan' berarti menyediakan justifikasi kuantitatif yang transparan dan dapat diaudit.
Namun, tantangan muncul ketika data yang digunakan sebagai landasan tidak lengkap atau diinterpretasikan secara salah. Banyak organisasi jatuh ke dalam perangkap korelasi yang dianggap sebagai kausalitas. Untuk benar-benar mendasarkan keputusan secara ilmiah, kita harus memastikan bahwa data tidak hanya menunjukkan hubungan, tetapi memberikan dasar kausalitas yang kuat.
Di era kecerdasan buatan, konsep mendasarkan mengambil dimensi baru. Bagaimana sebuah sistem AI, terutama sistem pembelajaran mesin (machine learning), mendasarkan keputusannya? Sistem ini mendasarkan inferensinya pada miliaran titik data yang diumpankan selama pelatihan. Masalah utama yang dihadapi oleh etika AI adalah 'kotak hitam' (black box problem). Seringkali, sulit untuk melacak kembali dan memahami landasan spesifik yang digunakan oleh algoritma untuk mencapai kesimpulan tertentu.
Kebutuhan akan 'AI yang dapat dijelaskan' (Explainable AI - XAI) muncul dari tuntutan untuk mendasarkan output AI pada serangkaian aturan logis atau data pelatihan yang dapat dipertanggungjawabkan manusia. Jika AI membuat keputusan penting (misalnya, menentukan risiko pinjaman atau diagnosis medis), kita harus dapat mendasarkan keputusan tersebut pada alasan yang transparan. Jika AI gagal mendasarkan keputusannya, kepercayaan publik dan regulasi akan runtuh. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam teknologi paling mutakhir, prinsip kuno untuk mencari landasan justifikasi tetaplah fundamental.
Upaya untuk mendasarkan diri pada kebenaran objektif menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam masyarakat digital saat ini. Kita tidak hanya melawan kekeliruan logika, tetapi juga sistem yang dirancang untuk memperkuat bias dan mengaburkan landasan fakta.
Media sosial dan algoritma personalisasi menciptakan apa yang disebut filter bubble atau echo chamber. Individu semakin mendasarkan pandangan dunia mereka hanya pada informasi yang mengkonfirmasi keyakinan mereka yang sudah ada (konfirmasi bias). Ketika orang-orang berhenti berinteraksi dengan fakta atau perspektif yang berbeda, landasan bersama (common ground) untuk berdiskusi rasional mulai menghilang.
Krisis ini adalah krisis epistemologis. Ketika masyarakat tidak lagi sepakat mengenai landasan faktual dasar (misalnya, data iklim, hasil pemilu, atau efektivitas vaksin), menjadi mustahil untuk mendasarkan solusi kebijakan yang efektif. Penguatan landasan rasionalitas menuntut kita untuk secara aktif mencari informasi yang berpotensi menantang keyakinan kita, memaksa kita untuk menguji ulang apakah fondasi yang kita gunakan masih kokoh.
Jurnalisme yang baik secara etis wajib untuk mendasarkan semua klaimnya pada sumber yang kredibel, diverifikasi silang, dan transparan. Prinsip ini berfungsi sebagai fondasi kepercayaan publik. Ketika jurnalis gagal mendasarkan berita pada fakta yang teruji, mereka berkontribusi pada penyebaran disinformasi.
Dalam konteks publik, ketika pemimpin atau media massa membuat klaim, masyarakat berhak menuntut: "Apa landasan dari klaim ini? Bukti apa yang Anda gunakan untuk mendasarkan kesimpulan Anda?" Pertanyaan ini adalah benteng terakhir melawan manipulasi. Kualitas demokrasi dan kesehatan wacana publik secara langsung bergantung pada sejauh mana para partisipan berkomitmen untuk mendasarkan argumen mereka pada realitas bersama.
Sistem pendidikan berfungsi untuk membekali generasi mendatang dengan kemampuan untuk mendasarkan pemikiran mereka secara mandiri. Ini bukan hanya tentang mengajarkan fakta, tetapi tentang mengajarkan metodologi. Pendidikan yang efektif harus mendasarkan pembelajaran pada keterampilan berpikir kritis, penalaran logis, dan analisis sumber. Ini berarti siswa harus didorong untuk bertanya: "Mengapa saya harus percaya ini? Apa yang mendasarkan kebenaran dalam buku teks ini?"
Kegagalan dalam mengajarkan cara mendasarkan pengetahuan akan menghasilkan populasi yang rentan terhadap retorika kosong dan manipulasi emosional. Sebaliknya, masyarakat yang anggota-anggotanya tahu cara menguji landasan klaim akan lebih resilien dan mampu membuat keputusan kolektif yang lebih baik.
Dalam mencari landasan yang paling fundamental, ilmu fisika sering kali dianggap sebagai disiplin yang paling dekat dengan upaya untuk mendasarkan realitas pada prinsip-prinsip dasar yang tak tereduksi. Fisika partikel dan kosmologi berjuang untuk menemukan 'Teori Segala Sesuatu' (Theory of Everything) yang akan mendasarkan semua fenomena alam pada satu set persamaan tunggal. Upaya ini mencerminkan dorongan filosofis untuk mencapai Fondasionalisme murni.
Namun, upaya untuk mendasarkan realitas pada tingkat fundamental menemui tantangan besar, terutama pada batas kuantum. Prinsip Ketidakpastian Heisenberg menunjukkan bahwa pada tingkat subatomik, kita tidak dapat secara bersamaan mendasarkan posisi dan momentum suatu partikel. Ini bukan kegagalan alat, melainkan batasan fundamental pada apa yang dapat kita ketahui. Landasan realitas pada tingkat ini menjadi probabilistik, bukan deterministik.
Ini memunculkan pertanyaan: Jika realitas itu sendiri pada dasarnya tidak deterministik, seberapa kuat kita bisa mendasarkan pengetahuan kita? Para ilmuwan telah merangkul realitas ini dengan mendasarkan teori mereka pada kerangka probabilitas yang canggih, mengakui bahwa landasan kita mungkin berupa jaring hubungan statistik, bukan balok batu yang solid. Filsafat sains yang modern telah belajar untuk mendasarkan keyakinan pada model yang paling bermanfaat dan prediktif, bahkan jika model itu tidak menawarkan kepastian absolut yang dicari oleh Rasionalisme kuno.
Konsep mendasarkan juga berlaku pada ranah psikologi dan eksistensial. Setiap individu harus berjuang untuk mendasarkan identitas dan makna hidup mereka. Krisis eksistensial sering kali muncul ketika seseorang merasa bahwa kehidupannya tidak mendasarkan diri pada nilai atau tujuan yang bermakna.
Dalam psikologi, stabilitas emosional seringkali mendasarkan diri pada fondasi konsep diri yang kuat dan koheren. Terapi kognitif-perilaku (CBT), misalnya, bekerja dengan membantu individu untuk mendasarkan keyakinan mereka tentang diri dan dunia pada realitas yang teruji, menantang dan menggantikan asumsi-asumsi negatif yang tidak berdasar. Kesehatan mental adalah tentang kemampuan untuk mendasarkan respons kita terhadap dunia pada penalaran yang tenang dan data yang akurat, daripada reaksi emosional yang tidak didukung.
Filosofi eksistensial, meskipun seringkali menantang fondasi tradisional, tetap menuntut tindakan untuk mendasarkan makna. Para eksistensialis berpendapat bahwa karena tidak ada makna bawaan yang diberikan dari luar, manusia harus memilih dan menciptakan sendiri fondasi nilai mereka. Untuk mendasarkan diri, seseorang harus mengambil tanggung jawab penuh atas pilihan dan konsekuensinya, membangun landasan makna melalui kebebasan bertindak.
Upaya untuk mendasarkan identitas juga terlihat dalam narasi pribadi. Kita mendasarkan pemahaman kita tentang siapa diri kita pada kisah-kisah yang kita ceritakan tentang masa lalu dan aspirasi kita untuk masa depan. Kualitas narasi ini, sejauh mana ia konsisten dan merefleksikan pengalaman otentik, menjadi landasan psikologis kita.
Bahkan komunikasi yang paling dasar pun memerlukan komitmen untuk mendasarkan makna pada kesepakatan bersama. Bahasa bekerja karena kita sepakat untuk mendasarkan bunyi atau simbol tertentu pada objek, konsep, atau tindakan tertentu. Ini adalah landasan semantik.
Ketika terjadi ketidaksepakatan dalam masyarakat, hal itu seringkali berakar pada kegagalan untuk mendasarkan istilah-istilah kunci secara jelas. Dalam perdebatan politik atau etis, definisi yang kabur seringkali menjadi alat untuk menghindari kejelasan. Untuk maju dalam dialog, para pihak harus terlebih dahulu mendasarkan terminologi mereka pada definisi yang disepakati bersama. Jika kita gagal mendasarkan makna kata-kata, seluruh struktur argumen kita akan dibangun di atas pasir, terlepas dari seberapa kuat logikanya.
Teori referensi, dalam filsafat bahasa, secara eksplisit menanyakan bagaimana kata-kata mendasarkan diri pada realitas. Apakah nama mendasarkan dirinya pada deskripsi yang kita miliki tentang objek tersebut, ataukah pada hubungan kausal historis antara penamaan awal dan objek itu sendiri? Pertanyaan ini fundamental karena ia menentukan bagaimana kita dapat yakin bahwa kita merujuk pada hal yang sama ketika kita berbicara. Upaya untuk mendasarkan bahasa adalah upaya untuk mendasarkan pemahaman antarmanusia.
Konsistensi sebagai Landasan: Kualitas utama dari landasan yang baik, baik itu landasan logis, etis, atau faktual, adalah konsistensi. Landasan yang kuat harus mampu menopang semua klaim yang terkait tanpa kontradiksi internal. Konsistensi memungkinkan kita untuk mendasarkan kepercayaan bahwa fondasi tersebut stabil dan dapat diandalkan dari waktu ke waktu.
Keputusan kebijakan publik memiliki konsekuensi luas, sehingga tuntutan untuk mendasarkan kebijakan pada bukti sangatlah tinggi. Gerakan 'Kebijakan Berbasis Bukti' (Evidence-Based Policy) menuntut agar intervensi sosial, ekonomi, dan kesehatan tidak didasarkan pada ideologi atau politik, melainkan pada studi yang dievaluasi secara ketat dan hasil empiris yang kuat.
Ketika pemerintah berencana untuk memperkenalkan program pendidikan baru, mereka harus mendasarkan desain program tersebut pada penelitian pedagogis yang menunjukkan efektivitasnya. Ketika mereka mengatur pasar keuangan, mereka harus mendasarkan aturan tersebut pada data ekonomi dan model yang memprediksi konsekuensi. Kegagalan untuk mendasarkan kebijakan pada bukti sering kali menghasilkan solusi yang mahal, tidak efektif, dan bahkan merugikan.
Namun, proses ini rumit. Bukti ilmiah sering kali ambigu, dan kepentingan politik dapat menyimpangkan interpretasi. Oleh karena itu, mendasarkan kebijakan publik bukan hanya masalah menemukan fakta, tetapi juga proses demokratis dalam menimbang, menafsirkan, dan berkomunikasi tentang landasan ilmiah tersebut kepada publik yang lebih luas. Ini adalah persimpangan di mana epistemologi bertemu dengan tata kelola.
Kebutuhan untuk mendasarkan kebijakan juga berarti mengakui batas-batas pengetahuan kita. Para pembuat kebijakan harus mendasarkan rencana mereka pada model yang mempertimbangkan skenario terburuk dan ketidakpastian yang melekat. Misalnya, kebijakan yang mendasarkan diri pada mitigasi risiko bencana harus mempertimbangkan ketidakpastian iklim dengan serius. Pengakuan akan ketidaksempurnaan landasan ini, alih-alih merusaknya, justru memperkuat kejujuran intelektual dari proses pengambilan keputusan.
Secara keseluruhan, upaya untuk mendasarkan segala sesuatu, mulai dari keyakinan pribadi kita hingga sistem hukum dan ilmiah yang kompleks, adalah esensi dari upaya manusia untuk mencari ketertiban dalam kekacauan. Ini adalah janji bahwa kita dapat membangun kehidupan yang bermakna dan masyarakat yang adil di atas fondasi yang kokoh, di mana rasionalitas dan bukti mengarahkan jalan kita.
Dari eksplorasi yang luas ini, menjadi jelas bahwa konsep mendasarkan adalah pilar yang menopang rasionalitas, objektivitas, dan keadilan. Dalam filsafat, kita mencari landasan akal atau pengalaman; dalam ilmu pengetahuan, kita mendasarkan klaim pada falsifiabilitas dan replikasi empiris; dalam etika dan hukum, kita mendasarkan perilaku pada prinsip universal dan preseden yang stabil.
Tugas untuk mendasarkan bukanlah tugas yang mudah. Ia menuntut kejujuran intelektual, kerendahan hati untuk mengakui ketika landasan kita telah goyah, dan keberanian untuk mengubah keyakinan kita ketika bukti baru menuntut fondasi yang lebih baik. Kegagalan untuk mendasarkan diri secara memadai akan menghasilkan masyarakat yang terpecah oleh ilusi dan keyakinan tanpa dasar.
Pada akhirnya, kekuatan terbesar dari upaya untuk mendasarkan pengetahuan dan tindakan kita terletak pada kemampuannya untuk dipertanggungjawabkan. Landasan yang kuat memungkinkan kita untuk tidak hanya percaya pada sesuatu, tetapi untuk menjelaskan mengapa kita percaya, bagaimana kita mencapai kesimpulan itu, dan apa bukti yang mendukungnya. Komitmen kolektif untuk mendasarkan kehidupan kita pada fondasi yang dapat diverifikasi dan diuji adalah warisan terpenting dari tradisi intelektual yang beradab. Inilah pondasi yang tak tergantikan bagi setiap kemajuan, baik individu maupun kolektif.