Proses menatah memerlukan ketelitian tinggi dan kombinasi alat pahat khusus (penatah) dan pemukul tradisional.
Menatah adalah sebuah istilah yang merujuk pada teknik memahat, mengukir, atau menggores material keras—umumnya logam atau kayu—untuk menciptakan motif relief, ukiran cekung, atau pola hias yang halus dan presisi. Dalam konteks budaya Nusantara, menatah bukanlah sekadar kerajinan tangan biasa; ia adalah manifestasi spiritual, keterampilan teknis tingkat tinggi, dan medium pewarisan filosofi kosmos. Seni ini sangat erat kaitannya dengan benda-benda pusaka, utamanya keris, perhiasan kerajaan, dan instrumen upacara.
Kata ‘tatah’ sendiri menyiratkan tindakan memukul atau menekan alat pahat (disebut juga ‘penatah’) untuk membentuk permukaan material. Keterampilan ini membutuhkan koordinasi tangan dan mata yang sempurna, serta pemahaman mendalam tentang sifat material yang dikerjakan, entah itu emas yang lunak, perak, tembaga, atau bahkan besi baja yang keras seperti pada bilah keris. Kedalaman ukiran, alur yang dihasilkan, dan bagaimana cahaya dipantulkan oleh permukaan yang telah ditatah menjadi kunci utama dalam menilai kualitas seni ini.
Di berbagai daerah, menatah dapat memiliki nomenklatur yang sedikit berbeda. Di Bali dan Jawa, istilah ini sering digunakan secara spesifik untuk pekerjaan logam halus, terutama pada pembuatan *deder* (pegangan keris), *pendok* (sarung logam keris), atau ornamen perak dan emas pada mahkota. Meskipun tekniknya mirip dengan mengukir kayu, menatah logam membutuhkan alat yang lebih keras dan teknik pemukulan yang lebih terkontrol untuk menghindari kerusakan atau keretakan pada material yang lebih padat.
Filosofi yang terkandung dalam seni menatah seringkali berkisar pada konsep keseimbangan (harmonisan) dan keberlanjutan (kontinuitas). Setiap motif, seperti sulur-suluran flora (disebut juga *patra*) atau bentuk geometris, tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, melainkan sebagai penanda identitas, status sosial, bahkan jimat perlindungan. Ketika seorang seniman menatah, ia diyakini tidak hanya memindahkan bentuk visual dari pikiran ke material, tetapi juga menyalurkan energi atau doa ke dalam karya tersebut.
Seni menatah telah ada sejak masa pra-sejarah di Nusantara, terbukti dari penemuan artefak-artefak logam pada masa kebudayaan Dong Son. Namun, puncaknya terjadi pada masa kerajaan Hindu-Buddha, terutama di era Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan Mataram kuno. Pada masa inilah menatah diangkat menjadi seni istana yang diampu oleh para empu (master artisan) yang memiliki kedudukan terhormat.
Salah satu bidang aplikasi menatah yang paling sakral adalah pada bilah dan perlengkapan keris. Menatah pada keris terbagi menjadi beberapa kategori:
Di era Sriwijaya dan kemudian Bali, teknik menatah juga berkembang pesat dalam pembuatan perhiasan (anting, gelang, mahkota) dan peralatan ritual keagamaan. Karya tatahan perak di Bali, khususnya, dikenal dengan kerumitan motif *ceplokan* (geometris) dan kemampuan seniman untuk menciptakan tekstur permukaan yang bervariasi menggunakan penitik (alat tatah kecil runcing).
Seiring berjalannya waktu, seni menatah juga menyerap pengaruh dari budaya luar. Dari India, masuklah motif-motif flora yang lebih berliku dan figur dewa-dewi. Dari Tiongkok, terutama pada perhiasan dan kotak pusaka, kita melihat integrasi motif naga dan burung phoenix yang ditatah dengan gaya *repoussé* (menatah dari sisi belakang untuk menciptakan relief timbul) yang sangat detail.
Transisi teknologi juga memengaruhi menatah. Meskipun alat tradisional tetap dipertahankan karena nilai ritualnya, pengenalan baja perkakas modern memungkinkan para penatah menciptakan detail yang lebih tajam dan bekerja pada material yang jauh lebih keras dibandingkan generasi sebelumnya.
Proses menatah memerlukan tahapan yang sistematis dan kesabaran luar biasa. Untuk mencapai kualitas seni yang tinggi, seorang penatah harus menguasai tiga sub-teknik utama: penandaan (marking), pengukiran (chiseling), dan penanaman (inlay/filling).
Langkah pertama adalah menyiapkan permukaan. Logam harus bersih, dipoles rata, dan, jika materialnya adalah besi pusaka (misalnya bilah keris), harus dalam kondisi yang stabil. Desain motif digambar langsung ke permukaan logam menggunakan tinta khusus atau, pada material keras, menggunakan teknik goresan jarum halus (scriber). Keakuratan penandaan sangat krusial karena kesalahan sekecil apa pun akan diperkuat oleh tatahan.
Teknik ini digunakan untuk membuat alur dan cekungan yang dalam, yang kemudian mungkin diisi dengan material lain (kinatah) atau dibiarkan kosong untuk menciptakan kontras bayangan. Alat utamanya adalah:
Pengukiran dilakukan dengan menempatkan mata penatah di garis pola, kemudian memukul ujung penatah secara perlahan dan berulang-ulang, sambil memutar benda kerja atau mengubah sudut penatah untuk menghasilkan kurva yang mulus. Teknik pemotongan ini harus memastikan bahwa tidak ada serpihan logam kasar yang tersisa di dasar alur, karena ini akan mengganggu proses kinatah selanjutnya.
Kinatah adalah seni menanamkan logam mulia (seringkali emas atau perak) ke dalam cekungan yang dibuat pada logam dasar (biasanya besi atau perunggu). Emas yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian sangat tinggi agar lunak dan mudah dibentuk.
Proses kinatah pada bilah keris, khususnya pada area *sor-soran* (pangkal bilah), bisa memakan waktu berbulan-bulan karena detailnya yang sangat rumit, seringkali menggambarkan figur wayang atau simbol alam semesta yang membutuhkan presisi mikroskopis.
Repoussé (ukir timbul dari belakang) dan chasing (penyempurnaan ukir timbul dari depan) adalah teknik yang lazim digunakan pada wadah logam, mahkota, atau *pendok* keris. Dalam teknik ini, lembaran logam yang relatif tipis (perak atau tembaga) diletakkan di atas landasan yang lembut (seperti pitch atau lilin keras).
Kombinasi Repoussé dan Chasing menghasilkan kedalaman visual yang luar biasa, sering terlihat pada wadah perak peninggalan Pura di Bali atau hiasan kuningan di Sumatera.
Setiap motif yang ditatah memiliki narasi dan fungsi filosofis yang jauh melampaui estetika semata. Motif-motif ini adalah bahasa visual yang menghubungkan pemilik dengan alam, spiritualitas, dan leluhur.
Motif yang paling sering ditatah pada benda pusaka adalah representasi dari alam semesta (kosmos) dan konsep dualisme:
Motif tumbuhan (flora) adalah yang paling universal dalam menatah. Mereka melambangkan kehidupan, pertumbuhan, dan kesuburan abadi.
Patra Panggul: Sulur-suluran yang meliuk-liuk, sering dikombinasikan dengan bunga teratai. Pada tatahan logam, sulur ini digambarkan dalam berbagai kedalaman untuk menciptakan ilusi daun yang tumpang tindih. Kehidupan sulur melambangkan sifat manusia yang harus selalu berusaha merambat ke atas (mencari kebaikan).
Kawung: Motif geometris yang menyerupai irisan buah kolang-kaling. Ini adalah simbol keagungan, keadilan, dan kemurnian. Kawung sering ditatah dengan pola repetitif yang menunjukkan ketertiban kosmis.
Seni menatah adalah dialog antara kerasnya materi dan lunaknya niat. Setiap pukulan pada pahat adalah meditasi, memastikan bahwa filosofi yang diukir akan bertahan selamanya, terukir dalam logam yang tak lekang oleh waktu.
Meskipun inti teknik menatah sama di seluruh Nusantara, gaya artistik dan fokus material sangat bervariasi tergantung pada warisan budaya kerajaan setempat. Perbedaan ini menciptakan kekayaan tekstur dan bentuk yang tak tertandingi.
Gaya Jawa sangat fokus pada presisi dan kehalusan. Tatahan Keraton (Yogyakarta dan Surakarta) cenderung lebih terstruktur, menggunakan motif-motif yang terinspirasi dari wayang dan lambang kerajaan. Pada kinatah keris, emas ditanamkan dengan sangat rapat, hampir tanpa celah, mencerminkan ketelitian dan hirarki yang ketat. Warna yang dominan adalah emas (untuk kinatah) dan besi hitam yang pekat (untuk bilah), menciptakan kontras yang dramatis.
Pekerjaan tatahan pada perak dan tembaga biasanya diaplikasikan pada kotak sirih, tempat perhiasan, dan perlengkapan upacara, dengan penekanan pada motif geometris dan kaligrafi Jawa kuno.
Bali dikenal dengan keahliannya dalam menatah perak dan emas yang digunakan untuk upacara adat dan perhiasan. Gaya Bali cenderung lebih eksplosif dan padat. Motif flora dan fauna (terutama burung, naga, dan makhluk mitologi seperti *gajamina*) memenuhi seluruh permukaan benda, menyisakan sedikit ruang kosong.
Teknik Repoussé sangat dominan di Bali. Para seniman perak (tukang perak) di Celuk, misalnya, mampu menciptakan relief perak setipis kertas, namun dengan kedalaman dan detail tiga dimensi yang luar biasa. Selain itu, teknik *granulasi* (menatah dengan menambahkan butiran-butiran logam kecil) sering dikombinasikan untuk menambah tekstur berpasir yang unik.
Di Sumatera, menatah logam (emas dan perak) sangat kental dengan pengaruh Islam dan Melayu. Pada perhiasan Minangkabau, kita menemukan penggunaan teknik filigri (untaian kawat halus) yang dikombinasikan dengan tatahan geometris dan sulur yang lebih abstrak. Motif yang ditatah seringkali menghindari penggambaran makhluk hidup secara utuh, sesuai dengan kaidah Islam, dan berfokus pada stilasi bunga, pucuk rebung, atau awan.
Di Aceh, seni menatah terlihat pada *rencong* dan perhiasan, di mana emas diolah menjadi bentuk kerawang (lubang-lubang dekoratif) yang ditatah untuk menciptakan efek cahaya dan bayangan. Keindahan tatahan Aceh terletak pada integrasi antara kekokohan senjata dan kehalusan dekorasi kaligrafi yang menawan.
Alat adalah perpanjangan tangan dan spiritualitas seorang penatah. Alat-alat ini sering diwariskan turun-temurun dan diperlakukan dengan hormat. Lingkungan kerja (bengkel) juga merupakan aspek penting yang mendukung kekhusyukan dalam menatah.
Dalam tradisi Jawa dan Bali, proses menatah pusaka seringkali didahului oleh ritual. Penatah (atau empu) harus dalam kondisi fisik dan spiritual yang prima. Puasa, meditasi, atau pembacaan doa tertentu dilakukan sebelum memulai pekerjaan besar. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa kualitas spiritual seniman akan disalurkan ke dalam benda yang ditatah.
Bengkel atau sanggar tatah sering ditempatkan di lokasi yang dianggap baik (*waktu baik*) dan dijaga kebersihannya. Kebisingan dihindari agar konsentrasi penuh dapat dicapai. Keterikatan antara seniman dan alatnya sangat mendalam; alat dianggap sebagai pusaka kecil yang membantu menciptakan keindahan.
Seni menatah, meskipun memiliki nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai, menghadapi tantangan besar di era modern. Globalisasi, perubahan permintaan pasar, dan hilangnya transfer pengetahuan tradisional mengancam kelangsungan hidupnya.
Munculnya mesin ukir laser dan CNC (Computer Numerical Control) menawarkan kecepatan dan keseragaman yang jauh melampaui kemampuan tangan manusia. Meskipun mesin dapat meniru motif geometris, mereka gagal menangkap kedalaman emosi, ketidakteraturan halus (yang dianggap unik), dan jejak spiritual yang ditanamkan oleh tangan seorang penatah.
Tantangan terbesar adalah membedakan antara produk massal mekanis dan karya seni tatahan murni. Pengetahuan publik tentang perbedaan kualitas tatahan halus sering menurun, membuat konsumen sulit mengidentifikasi nilai sejati dari karya tradisional yang dibuat dengan ketelitian tinggi.
Profesi penatah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai keahlian master. Generasi muda sering enggan memilih jalur ini karena membutuhkan kesabaran, modal awal yang besar untuk alat, dan prospek finansial yang tidak selalu stabil dibandingkan pekerjaan modern lainnya. Regenerasi seniman adalah isu kritis. Di banyak daerah, hanya segelintir master tua yang tersisa, dan mereka kesulitan menemukan murid yang berkomitmen penuh.
Beberapa lembaga dan komunitas telah berupaya melestarikan menatah melalui:
Pelestarian menatah bukan hanya tentang menjaga tekniknya, tetapi juga menjaga filosofi di baliknya. Jika seorang penatah hanya meniru bentuk tanpa memahami arti dari motif yang diukir (misalnya, melupakan bahwa motif *patra* melambangkan kesuburan dan bukan sekadar sulur hiasan), maka jiwa dari karya seni tersebut akan hilang.
Menatah menawarkan pelajaran estetika yang unik, terutama dalam hal bagaimana mata dan tangan seniman berinteraksi dengan permukaan material. Estetika tatahan dapat dilihat dari tiga dimensi utama: tekstur, kontras, dan kedinamisan.
Tidak seperti ukiran kayu yang seringkali memiliki tekstur permukaan yang lebih kasar, tatahan logam bertujuan pada kesempurnaan halus, bahkan ketika motifnya berupa tekstur sisik naga atau bulu burung. Kualitas sentuhan pada tatahan yang baik sangatlah halus, tetapi mata dapat menangkap ribuan variasi goresan penatah yang ditumpuk secara sengaja untuk menciptakan kedalaman visual.
Ketika mata penatah menyentuh logam, ia tidak hanya memindahkan material, tetapi juga memadatkan permukaannya. Pemadatan ini (disebut *burnishing* alami saat tatah) meningkatkan kemampuan logam untuk memantulkan cahaya, memberikan dimensi kilau yang berbeda antara bagian yang ditatah dan bagian yang polos.
Kontras adalah elemen vital, terutama pada kinatah keris. Besi bilah keris yang dihitamkan secara alami melalui proses kimia atau pemuasan (nyepuh) menjadi latar belakang hitam kelam. Emas murni yang ditanam di dalamnya bersinar terang. Kontras antara kegelapan (bumi, besi) dan cahaya (emas, spiritualitas) menciptakan efek dramatis, membuat ukiran seolah-olah mengambang di permukaan.
Pemilihan sudut tatahan juga memengaruhi iluminasi. Relief yang ditatah dengan sudut miring akan menangkap cahaya berbeda pada waktu berbeda sepanjang hari, memberikan kesan bahwa objek tersebut hidup dan terus berubah.
Motif sulur-suluran (patra) atau figur mitologi yang ditatah seringkali dirancang untuk memberikan kesan gerak dan dinamika. Tatahan yang sukses akan memimpin mata pengamat mengikuti alur motif, dari satu ujung ke ujung lainnya, seolah-olah motif tersebut memiliki aliran energi yang tidak terputus. Hal ini dicapai melalui penggunaan garis-garis lengkung yang konsisten dan variasi kedalaman yang disengaja.
Dinamika ini terhubung erat dengan konsep spiritual Jawa tentang *sangkan paraning dumadi* (asal dan tujuan kehidupan), di mana setiap unsur dalam kosmos saling terkait dan berada dalam aliran yang konstan. Seni menatah berusaha membekukan aliran abadi ini dalam material yang abadi.
Meskipun menatah sering diasosiasikan dengan logam, istilah ini juga diterapkan pada teknik ukir kayu yang sangat halus, terutama pada pembuatan *deder* (pegangan keris), arca kecil, atau ornamen rumah adat. Menatah kayu, meskipun menggunakan material yang lebih lunak, menuntut keahlian yang berbeda.
Kayu yang dipilih untuk tatahan halus haruslah kayu keras, stabil, dan memiliki serat yang rapat, seperti Kayu Jati, Kayu Kemuning, atau Kayu Timoho. Serat yang rapat memungkinkan penatah untuk menciptakan detail ukiran yang sangat kecil tanpa menyebabkan keretakan atau serpihan yang tidak diinginkan.
Teknik pada kayu lebih mengandalkan dorongan manual daripada pukulan palu. Pahat kayu yang digunakan (disebut juga ‘tatah’ atau ‘pahat coret’) memiliki ujung yang lebih besar dan biasanya didorong oleh tenaga tangan atau ditekan dengan bahu, bukan dipukul keras. Fokusnya adalah pada:
Dalam menatah kayu, seniman harus sangat peka terhadap arah serat kayu. Bekerja melawan serat dapat merusak seluruh permukaan, sehingga setiap tarikan pahat harus mengikuti alur alami material. Hal ini menumbuhkan rasa hormat mendalam terhadap alam, di mana seniman tidak memaksakan bentuk, melainkan bekerja sama dengan sifat dasar kayu.
Seni menatah adalah salah satu pilar keunggulan teknis dan kekayaan filosofis peradaban Nusantara. Ia adalah seni yang mendefinisikan hubungan kompleks antara material (besi, emas, kayu), alat (penatah, palu), dan spiritualitas (empu, motif kosmos).
Dari detail mikroskopis pada bilah keris yang mencerminkan keberanian dan status, hingga hiasan perak pada perhiasan upacara yang menceritakan mitologi kuno, menatah merekam sejarah tanpa menggunakan kata-kata. Keterampilan ini, yang diwariskan melalui garis keturunan empu, mewakili komitmen pada kesempurnaan dan meditasi mendalam di balik setiap pukulan palu.
Meskipun tantangan modernitas terus membayangi, semangat menatah—ketelitian, kesabaran, dan dedikasi untuk menciptakan keindahan abadi—harus terus dirawat. Menjaga seni menatah adalah menjaga salah satu narasi budaya paling halus dan mendalam yang dimiliki Indonesia, memastikan bahwa jejak spiritual leluhur tetap bersinar dari permukaan logam yang telah ditatah dengan penuh jiwa.