Dalam labirin interaksi sosial dan pergulatan batin manusia, ada satu respons yang seringkali muncul secara otomatis, nyaris seperti refleks yang tak terhindarkan ketika menghadapi kegagalan, rasa sakit, atau ketidaknyamanan: kecenderungan untuk mempersalahkan. Tindakan menuding, baik secara internal maupun eksternal, menawarkan kelegaan sesaat yang memabukkan—seolah-olah dengan menempatkan kesalahan di luar diri, kita berhasil menjaga integritas ego kita dari goresan luka atau penerimaan tanggung jawab yang terasa berat. Namun, kelegaan ini palsu, layaknya obat bius yang hanya menunda rasa sakit tanpa pernah menyembuhkan lukanya.
Mempersalahkan adalah bahasa universal dari pertahanan diri yang belum matang. Itu adalah penolakan halus terhadap kenyataan bahwa hidup, dan bahkan kegagalan, adalah hasil dari kombinasi faktor kompleks, yang sebagian besarnya berada dalam kendali kita, dan sebagian lain berada di luar jangkauan kita. Ketika kita bersikeras mempersalahkan, kita secara efektif melepaskan kekuasaan kita untuk berubah. Kita membekukan narasi pada saat kegagalan, menolak untuk bergerak maju, dan memilih untuk menjadi korban yang selamanya terbelenggu oleh tindakan orang lain atau keadaan yang tak adil.
Artikel ini bukan sekadar kajian dangkal tentang kritik. Ini adalah eksplorasi mendalam, menggali ke akar psikologis, filosofis, dan sosiologis dari kebutuhan mendesak untuk menunjuk jari. Kita akan membedah mengapa otak kita begitu terprogram untuk mencari kambing hitam, bagaimana kebiasaan ini merusak hubungan kita, dan yang terpenting, bagaimana kita dapat mengganti lensa persalahan yang merusak dengan cermin tanggung jawab yang membebaskan.
Ilustrasi 1: Siklus saling menuding (Blame Cycle) yang menunjukkan stagnasi konflik.
Kecenderungan untuk mempersalahkan bukanlah tanda kejahatan, melainkan seringkali merupakan manifestasi dari mekanisme pertahanan psikologis yang dalam. Dalam menghadapi peristiwa negatif, pikiran manusia bekerja keras untuk melindungi inti ego dan mempertahankan citra diri yang stabil dan kompeten.
Ketika suatu kesalahan atau kegagalan terjadi, ada disonansi kognitif yang timbul. Kita ingin percaya bahwa kita adalah individu yang cerdas, mampu, dan memiliki kendali atas hidup kita. Kegagalan menantang narasi inti ini. Untuk mengatasi disonansi tersebut, otak secara naluriah mencari solusi tercepat: pemindahan kesalahan.
Salah satu mekanisme pertahanan yang paling kuat adalah proyeksi. Dalam konteks mempersalahkan, proyeksi berarti mengambil kualitas, kesalahan, atau perasaan negatif yang tidak ingin kita akui dalam diri kita sendiri dan menempatkannya pada orang lain. Jika seseorang merasa tidak kompeten, daripada mengakui kelemahan itu, mereka mungkin akan mempersalahkan kolega mereka sebagai ‘bodoh’ atau ‘tidak terorganisir’ atas proyek yang gagal. Ini adalah cara tak sadar untuk mengatakan, "Saya tidak mungkin memiliki kesalahan ini; itu pasti milik Anda." Psikiater Carl Jung sangat menyoroti konsep 'Bayangan' (Shadow), bagian dari diri yang tertekan dan ditolak. Ketika kita mempersalahkan orang lain secara berlebihan, seringkali kita hanya melihat bayangan kita sendiri diproyeksikan pada kanvas dunia luar.
Konsep lokus kendali (Locus of Control) sangat relevan. Orang dengan lokus kendali internal percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas hasil yang mereka capai (baik sukses maupun gagal). Sebaliknya, orang dengan lokus kendali eksternal percaya bahwa hasil kehidupan mereka ditentukan oleh kekuatan luar—nasib, keberuntungan, sistem, atau yang paling sering, orang lain. Ketika seseorang secara konsisten mempersalahkan pihak luar, mereka memperkuat lokus kendali eksternal ini. Mereka merasa lebih aman karena mereka tidak perlu menghadapi tuntutan internal untuk memperbaiki diri, tetapi konsekuensinya adalah perasaan tidak berdaya yang kronis. Jika Anda tidak bertanggung jawab atas masalah Anda, Anda juga tidak dapat bertanggung jawab atas solusinya.
Dalam psikologi sosial, terdapat fenomena yang dikenal sebagai Kesalahan Atribusi Fundamental. Ini adalah kecenderungan kita untuk menjelaskan perilaku orang lain dengan mengaitkannya pada sifat atau disposisi internal mereka (misalnya, "Dia terlambat karena dia malas"), sambil meremehkan dampak faktor situasional eksternal ("Dia mungkin terlambat karena ada kecelakaan di jalan"). Sebaliknya, ketika kita menilai perilaku kita sendiri, kita melakukan yang sebaliknya: kita membenarkan kegagalan kita dengan faktor situasional ("Saya gagal dalam tes karena pertanyaan itu tidak adil").
Mekanisme ini adalah fondasi mengapa begitu mudah bagi kita untuk mempersalahkan: ia menyediakan justifikasi kognitif yang cepat dan efisien. Kita melihat perilaku yang tidak optimal dari orang lain dan langsung menempelkan label moral atau karakter yang negatif, tanpa pernah meluangkan waktu untuk mempertimbangkan tekanan, konteks, atau keadaan yang mungkin mereka hadapi. Persalahan menjadi kesimpulan instan, bukan hasil dari analisis yang bijaksana.
Manusia memiliki kebutuhan mendalam akan prediktabilitas. Dunia yang kacau, tidak teratur, dan tidak dapat diprediksi terasa menakutkan. Ketika tragedi atau kegagalan tak terduga terjadi, seperti kecelakaan atau bencana, pikiran kita berjuang untuk menemukan penyebab yang logis dan terkandung—sesuatu yang dapat kita capai dan katakan, "Ini dia, ini sumber masalahnya." Menemukan seseorang untuk mempersalahkan menciptakan ilusi kendali; jika kita bisa mengisolasi penyebab, kita percaya kita bisa mencegahnya terjadi lagi. Ironisnya, hidup seringkali berantakan dan tak terduga, dan penerimaan terhadap ketidakpastian adalah antidot sejati, bukan kebutuhan kompulsif untuk menuding.
Seringkali, mempersalahkan orang lain adalah cara tersembunyi untuk menghindari rasa malu yang mendalam yang kita rasakan terhadap diri kita sendiri. Rasa malu—perasaan bahwa "Saya adalah orang yang buruk"—lebih merusak dan lebih sulit ditanggung daripada rasa bersalah ("Saya melakukan hal yang buruk"). Ketika seseorang merasa malu atas kekurangan mereka, menuding orang lain menjadi tindakan penyelamatan diri. Dengan mengalihkan perhatian dan energi ke kesalahan orang lain, kita untuk sementara waktu berhasil menekan suara kritis internal yang berteriak tentang kegagalan pribadi kita. Ini adalah lingkaran setan di mana persalahan eksternal terus-menerus memberi makan rasa malu internal, menciptakan individu yang secara defensif reaktif terhadap kritik apa pun.
Tidak ada tempat di mana kebiasaan mempersalahkan lebih menghancurkan selain dalam hubungan interpersonal—perkawinan, persahabatan, atau lingkungan kerja. Persalahan mengubah mitra menjadi musuh dan komunikasi menjadi interogasi.
Ketika konflik muncul, pasangan atau rekan yang secara otomatis mempersalahkan memulai siklus yang diprediksi oleh penelitian John Gottman tentang kehancuran perkawinan. Siklus ini biasanya dimulai dengan kritik, yang segera diikuti oleh pertahanan diri (counter-blaming), kemudian penghinaan, dan akhirnya, penghindaran (stonewalling).
Dalam pertukaran semacam ini, tidak ada yang mendengar inti permasalahan yang sebenarnya. Tujuannya bukan lagi menyelesaikan konflik, melainkan memenangkan pertarungan atribusi—siapa yang paling tidak bersalah. Ketika fokus beralih dari masalah itu sendiri ke karakter orang yang terlibat, solusi menjadi mustahil. Hubungan itu stagnan karena persalahan menghilangkan semua empati dan kemauan untuk melihat perspektif lain.
Kebiasaan kronis mempersalahkan menciptakan dan memperkuat ‘korban mentalitas’ (victim mentality). Seseorang yang hidup dalam mentalitas ini percaya bahwa mereka adalah korban pasif dari kekuatan yang kejam dan tak terhindarkan. Segala sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, bukan karena, atau melibatkan, mereka. Korban mentalitas, meskipun menawarkan kelegaan sesaat dari tuntutan tanggung jawab, adalah penjara yang efektif.
Penjara ini menghilangkan agensi pribadi. Jika kita percaya bahwa semua masalah kita disebabkan oleh pasangan kita, atasan kita, atau ekonomi, maka kita tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan keterampilan baru, menghadapi ketakutan kita, atau mengambil langkah untuk keluar dari situasi yang buruk. Rasa sakit dari persalahan (blaming) menjadi lebih nyaman daripada ketidakpastian mengambil risiko dan menerima bahwa kita mungkin memiliki peran dalam kesulitan kita.
Ilustrasi 2: Persalahan sebagai perisai pelindung ego yang rapuh.
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain. Mempersalahkan adalah musuh utama empati. Ketika kita berada dalam mode menuding, kita secara fundamental menolak kemungkinan bahwa orang lain mungkin bertindak dari rasa sakit, ketidakmampuan, atau karena mereka sendiri adalah korban dari keadaan yang kompleks. Kita melihat orang lain hanya sebagai agen yang menyebabkan kerugian pada kita. Proses dehumanisasi kecil ini membuat kita tidak perlu lagi merasakan belas kasihan atau pemahaman. Jika orang lain adalah 'orang jahat' atau 'pelaku', maka penderitaan mereka tidak relevan, dan kita dibenarkan dalam kemarahan kita.
Hubungan yang sehat memerlukan negosiasi dan kompromi, yang tidak mungkin terjadi tanpa empati. Jika setiap pertengkaran diakhiri dengan pencarian siapa yang harus dipersalahkan, luka akan menumpuk, dan jarak emosional akan tumbuh hingga hubungan itu menjadi tidak dapat diperbaiki. Komunikasi yang efektif selalu berfokus pada apa yang terjadi dan bagaimana perasaan kedua belah pihak, bukan hanya siapa yang salah.
Di beberapa budaya, persalahan memiliki fungsi sosial yang sangat spesifik, seringkali terkait dengan kehormatan dan wajah (saving face). Dalam konteks ini, mempersalahkan pihak luar menjadi cara untuk mempertahankan status sosial kelompok atau individu. Konsep "kambing hitam" (scapegoating) adalah contoh ekstrem di mana individu atau kelompok minoritas dipilih untuk menanggung dosa atau kesalahan komunitas yang lebih besar, memungkinkan kelompok mayoritas untuk membersihkan diri dari tanggung jawab tanpa perlu melakukan introspeksi.
Kambing hitam ini adalah strategi psikologis massa yang sangat efektif. Ia menciptakan kohesi internal ('kita' yang baik) dengan menciptakan musuh eksternal ('mereka' yang harus dipersalahkan). Meskipun memberikan stabilitas sosial yang artifisial, ia melanggengkan ketidakadilan dan mencegah masyarakat untuk mengatasi akar masalah struktural mereka yang sebenarnya.
Pertanyaan tentang persalahan tidak hanya berkutat pada psikologi, tetapi juga menyentuh isu-isu filosofis mendasar mengenai kehendak bebas, determinisme, dan etika tanggung jawab. Kapan kita benar-benar harus mempersalahkan seseorang? Dan apa perbedaan antara atribusi kausal (mengidentifikasi penyebab) dan persalahan moral (menetapkan hukuman)?
Filsafat Stoa menawarkan kerangka kerja yang sangat berguna dalam menanggapi kebutuhan untuk mempersalahkan. Para Stoa, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, menekankan pentingnya membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita (penilaian, reaksi, tindakan kita) dan hal-hal yang berada di luar kendali kita (tindakan orang lain, hasil akhir, masa lalu). Ketika kita mempersalahkan orang lain, kita membuang energi pada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Ini adalah sumber utama penderitaan dan frustrasi.
Jika kita menerima bahwa kita hanya dapat mengendalikan respons kita, maka kebutuhan untuk mempersalahkan secara otomatis berkurang. Apapun yang dilakukan orang lain, itu adalah tanggung jawab mereka. Fokus kita harus selalu pada bagaimana kita memilih untuk bereaksi dan bagaimana kita dapat bertindak lebih baik di masa depan. Persalahan adalah pelepasan tanggung jawab; tanggung jawab adalah penerimaan kendali internal.
Filosof Jerman Friedrich Nietzsche sangat kritis terhadap moralitas yang berbasis pada persalahan dan penghukuman. Menurut Nietzsche, penentuan 'salah' atau 'benar' seringkali merupakan alat kekuasaan, bukan kebenaran universal. Konsep 'dosa' atau 'kesalahan' yang absolut memungkinkan kita untuk memandang diri kita sebagai yang 'baik' dan korban, sementara kita melabeli orang lain sebagai yang 'jahat' dan pelaku. Dalam pandangan Nietzsche, moralitas persalahan melemahkan dorongan hidup dan kreativitas, mendorong kita untuk mencari keadilan di masa lalu (melalui penghukuman) daripada menciptakan nilai dan makna di masa depan.
Meninggalkan kebiasaan mempersalahkan berarti meninggalkan sistem moral yang nyaman yang membagi dunia menjadi pahlawan dan penjahat, dan sebagai gantinya, menerima ambiguitas moral yang rumit dari eksistensi manusia.
Filosofi eksistensialisme, khususnya Sartre, mengajarkan bahwa kebebasan manusia adalah mutlak, dan dengan kebebasan itu datanglah tanggung jawab yang luar biasa. Jika kita bebas untuk memilih, maka kita sepenuhnya bertanggung jawab atas pilihan kita dan bagaimana kita merespons keadaan. Ketika kita mempersalahkan orang lain atau lingkungan, kita melakukan 'itikat buruk' (bad faith)—kita berpura-pura bahwa kita tidak bebas, bahwa kita adalah boneka nasib.
Mempersalahkan adalah pelarian dari kecemasan eksistensial yang ditimbulkan oleh kebebasan. Lebih mudah mengatakan "Pasangan saya membuat saya tidak bahagia" daripada menerima "Saya memilih untuk tetap dalam situasi ini, dan saya bertanggung jawab atas kebahagiaan saya sendiri." Penerimaan penuh atas kebebasan ini menuntut keberanian untuk menanggung beban tanggung jawab tanpa mencari kambing hitam.
Langkah nyata menuju pertumbuhan dan kedewasaan emosional terletak pada kemampuan untuk menghentikan siklus mempersalahkan dan menggantinya dengan budaya tanggung jawab (Responsibility).
Penting untuk membedakan antara mengidentifikasi peran kausal seseorang dalam suatu peristiwa dan mempersalahkan mereka secara moralistik atau emosional. Kausalitas adalah fakta: "Tindakan A menyebabkan hasil B." Persalahan adalah penilaian: "Orang C adalah orang jahat karena ia menyebabkan hasil B."
Ketika suatu masalah muncul, alih-alih bertanya, "Siapa yang salah?" (a blame question), kita harus bertanya, "Apa yang terjadi, dan bagaimana kita bisa memastikan itu tidak terjadi lagi?" (a causality and solution question). Pergeseran fokus ini memindahkan energi dari penghukuman ke pemecahan masalah. Tanggung jawab berfokus pada masa depan; persalahan terperangkap di masa lalu.
Tanggung jawab radikal menuntut kita untuk mengambil kepemilikan atas segala sesuatu dalam hidup kita—bukan dalam arti bahwa kita menyebabkan setiap tragedi, tetapi dalam arti bahwa kita adalah pengelola respons kita terhadap setiap tragedi. Jika Anda dipecat, mungkin atasan Anda memang kejam. Tetapi tanggung jawab radikal menanyakan: Apa peran saya dalam situasi ini? Apakah saya mengabaikan peringatan? Apa yang bisa saya pelajari? Tanggung jawab adalah proses melihat ke dalam dan mengklaim kembali kekuasaan Anda, bukan menyerahkannya kepada orang yang Anda persalahkan.
Mengubah kebiasaan mempersalahkan yang sudah mendarah daging membutuhkan praktik kesadaran yang konsisten.
Langkah pertama adalah menangkap diri sendiri saat Anda mulai mempersalahkan. Ketika perasaan tidak nyaman, kemarahan, atau frustrasi muncul, perhatikan dorongan mental untuk mencari kambing hitam. Hentikan pemikiran itu sejenak. Tanyakan: "Apakah saya sedang mencari solusi atau sedang mencari hukuman?"
Bahasa yang kita gunakan menentukan realitas kita. Ganti pernyataan persalahan dengan pernyataan tanggung jawab.
Ketika Anda merasa ingin mempersalahkan, coba lakukan latihan empati: bayangkan tiga alasan non-jahat mengapa orang lain mungkin bertindak seperti yang mereka lakukan. Mungkin mereka takut, lelah, sakit, atau menghadapi krisis pribadi. Empati tidak berarti memaafkan perilaku buruk, tetapi itu berarti memahami bahwa perilaku buruk jarang berasal dari keinginan murni untuk menyakiti, melainkan dari penderitaan atau ketidakmampuan mereka sendiri.
Kegagalan adalah data, bukan hukuman moral. Setiap kali Anda merasa ingin mempersalahkan, alihkan energi itu menjadi pertanyaan yang berorientasi pada pertumbuhan: "Apa yang dapat saya pelajari dari kesalahan ini? Bagaimana saya dapat mempersiapkan diri lebih baik di masa depan?" Ketika kita melihat kesalahan sebagai pelajaran yang mahal, dan bukan sebagai bukti cacat karakter, kita menghilangkan kekuatan merusak dari persalahan.
Menghentikan kebiasaan mempersalahkan adalah tindakan radikal yang membutuhkan keberanian. Itu adalah proses yang menuntut kita untuk melihat secara jujur pada kekurangan kita sendiri. Namun, imbalannya adalah kebebasan: kebebasan dari amarah yang konstan, kebebasan dari peran korban yang membatasi, dan kebebasan untuk benar-benar membangun masa depan yang lebih baik, karena kita telah mengambil alih kendali atas respons dan tindakan kita.
Dalam lingkungan profesional, budaya yang secara konsisten berfokus pada mencari siapa yang harus dipersalahkan akan membunuh inovasi dan pengambilan risiko. Kreativitas menuntut eksperimen, dan eksperimen menghasilkan kegagalan. Jika setiap kegagalan disambut dengan interogasi yang berfokus pada penghukuman, karyawan atau anggota tim akan secara naluriah menghindari mengambil risiko dan hanya akan melakukan hal-hal yang 'aman'. Mereka akan menutupi kesalahan, bukan melaporkannya, sehingga mencegah pembelajaran kolektif.
Organisasi yang sehat menumbuhkan 'psikologi aman' (psychological safety), di mana kegagalan diperlakukan sebagai sumber data yang berharga, bukan sebagai alasan untuk memecat seseorang. Pemimpin yang matang tidak pernah bertanya, "Siapa yang salah?" tetapi selalu bertanya, "Apa yang kita pelajari dari insiden ini?" dan "Bagaimana kita memperbaiki sistemnya?" Perubahan budaya ini dimulai dari tingkat individu: kesiapan untuk mengakui kesalahan kita sendiri tanpa rasa takut akan penghakiman eksternal.
Kecenderungan untuk mempersalahkan seringkali berakar lebih dalam daripada sekadar mekanisme pertahanan ego sesaat; ia bisa menjadi respons yang dipelajari dari pengalaman traumatis masa lalu.
Salah satu manifestasi persalahan yang paling merusak adalah persalahan pada korban (victim blaming). Ketika seseorang yang mengalami penderitaan (misalnya, kekerasan atau kerugian finansial) malah dipersalahkan atas nasib mereka ("Dia pasti memprovokasi", "Dia harusnya lebih berhati-hati"), ini adalah upaya kolektif untuk memulihkan ilusi kendali dunia.
Masyarakat melakukan victim blaming karena, secara psikologis, jauh lebih menenangkan untuk percaya bahwa kejadian buruk hanya menimpa orang-orang yang 'memintanya' atau 'bertindak bodoh'. Kepercayaan pada Dunia yang Adil (Just World Hypothesis) adalah keinginan untuk percaya bahwa alam semesta ini adil dan orang mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika kita mempersalahkan korban, kita mempertahankan ilusi bahwa jika kita berbuat 'benar', kita akan aman. Ironisnya, victim blaming menimbulkan trauma ganda: trauma asli dari peristiwa tersebut dan trauma sekunder dari penghakiman sosial yang kejam.
Banyak orang membawa kecenderungan untuk mempersalahkan, atau rasa takut yang mendalam terhadap persalahan, dari pola asuh mereka. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan di mana orang tua secara konsisten menolak tanggung jawab mereka dan malah menuding anak atas masalah keluarga (misalnya, "Kamu membuat ibu/ayah stres") menginternalisasi persalahan. Mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang tidak aman di mana kesalahan selalu harus diletakkan pada seseorang, dan seringkali, itu adalah mereka sendiri.
Internalisasi ini menghasilkan 'toxic shame' (rasa malu yang beracun) dan kecenderungan untuk selalu meminta maaf atau sebaliknya, menjadi sangat defensif dan kompulsif mempersalahkan orang lain untuk menghindari sensasi rasa malu internal yang tidak tertahankan. Penyembuhan dari pola ini membutuhkan identifikasi yang jelas bahwa persalahan yang diterima di masa kecil itu tidak adil dan bahwa tanggung jawab sejati harus dimulai dengan penerimaan diri yang tanpa syarat.
Untuk menanggalkan kebiasaan mempersalahkan, kita memerlukan alat praktis untuk mengintervensi refleks penudingan saat itu terjadi.
Ketika situasi sulit muncul, jalankan diri Anda melalui tiga filter kognitif ini:
Proses ini secara efektif menonaktifkan sirkuit persalahan di otak dan mengaktifkan sirkuit pemecahan masalah. Ia membawa Anda dari reaktivitas emosional ke respons yang disengaja dan strategis.
Tuliskan momen-momen di mana Anda merasa marah atau frustrasi dan secara otomatis mempersalahkan orang lain. Jangan menilai; hanya catat. Setelah Anda mencatat persalahan awal Anda, paksa diri Anda untuk menuliskan respons tanggung jawab.
Misalnya:
Persalahan Awal: "Lalu lintas ini membuat saya terlambat dan merusak seluruh hari saya."
Refleksi Tanggung Jawab: "Saya merasa marah karena saya terlambat. Saya bertanggung jawab atas emosi saya. Saya bisa mengatur waktu keberangkatan saya lebih awal, atau saya bisa menggunakan waktu terjebak ini untuk mendengarkan podcast yang berharga. Lain kali, saya akan berangkat sepuluh menit lebih awal."
Latihan ini melatih otak Anda untuk mencari pola dan untuk menemukan peluang untuk bertindak alih-alih hanya bereaksi.
Pada intinya, kecenderungan untuk mempersalahkan adalah ketakutan akan ketidaksempurnaan. Kita takut bahwa jika kita mengakui kesalahan, kita akan dihancurkan. Namun, paradoks pertumbuhan adalah bahwa penerimaan ketidaksempurnaan kita sendiri—bahwa kita membuat kesalahan, bahwa kita kurang berpengetahuan, bahwa kita kadang-kadang gagal—justru yang membuat kita kebal terhadap kebutuhan untuk menuding.
Ketika Anda telah membuat perjanjian damai dengan kelemahan Anda sendiri, kesalahan orang lain tidak lagi mengancam Anda secara fundamental. Anda bisa melihat kegagalan mereka dengan belas kasihan karena Anda memahami perjuangan manusia, termasuk perjuangan Anda sendiri.
Ilustrasi 3: Menggenggam tanggung jawab memupuk pertumbuhan pribadi.
Siklus mempersalahkan adalah siklus tanpa akhir yang menguras energi, menghancurkan hubungan, dan mencegah evolusi pribadi. Meskipun naluri untuk menunjuk jari adalah respons manusia yang sangat mendasar—sebuah warisan evolusioner yang dirancang untuk melindungi ego—naluri ini harus diatasi untuk mencapai kedewasaan psikologis sejati.
Untuk berhenti mempersalahkan berarti kita harus berani menghadapi kecemasan, rasa malu, dan kerapuhan kita sendiri. Ini menuntut kita untuk menerima bahwa dunia ini tidak selalu adil, dan bahwa kita, terlepas dari niat terbaik kita, akan berulang kali berkontribusi pada kesulitan kita sendiri dan kesulitan orang lain.
Kekuatan sejati terletak bukan pada kemampuan untuk menghindari kesalahan, tetapi pada kerelaan untuk mengatakan, "Saya ikut ambil bagian dalam hal ini, dan saya akan memperbaikinya." Ketika kita mengambil kepemilikan penuh atas pengalaman kita, baik suka maupun duka, kita mengklaim kembali kekuasaan pribadi yang telah kita berikan kepada orang yang kita persalahkan. Ini adalah penemuan kembali kebebasan. Kebebasan dari amarah yang membakar, kebebasan dari mentalitas korban, dan kebebasan untuk mulai merancang masa depan yang proaktif, berlandaskan pada pembelajaran, empati, dan integritas diri yang otentik. Mengurai beban kebiasaan mempersalahkan adalah tugas seumur hidup, tetapi itu adalah tugas yang memberikan pembebasan terbesar.
Jalan menuju kedewasaan emosional tidak berujung pada pencarian siapa yang salah, melainkan pada pemahaman mendalam tentang mengapa kita bertindak seperti itu, dan bagaimana kita memilih untuk bergerak maju. Mengakhiri persalahan adalah langkah pertama menuju kehidupan yang benar-benar mandiri dan berdaya.