Visualisasi Kemukjizatan Al-Qur'an sebagai Cahaya dan Bukti
Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Israil, adalah surah Makkiyah yang diturunkan pada fase kritis dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Ayat-ayat dalam surah ini sarat dengan penekanan pada tauhid, peringatan terhadap kesombongan, dan penegasan bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi adalah kebenaran mutlak dari sisi Allah SWT. Di antara ayat-ayat yang memiliki daya pukau dan kekuatan argumen teologis paling tinggi, terletaklah Ayat ke-88. Ayat ini bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah tantangan, sebuah deklarasi abadi yang menjadi salah satu fondasi utama konsep kemukjizatan atau I’jaz Al-Qur’an.
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
"Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’" (QS Al-Isra [17]: 88)
Ayat ini memancarkan keyakinan ilahi yang tak tergoyahkan. Ia menantang seluruh entitas berakal – manusia (al-Ins) dan jin (al-Jinn) – untuk meniru sebuah kitab yang diturunkan kepada seorang yang buta huruf (Ummi). Tantangan ini tidak terbatas pada era Nabi; ia adalah tantangan yang bersifat universal dan temporal, berlaku sejak diucapkan hingga hari kiamat.
Periode penurunan Surah Al-Isra adalah masa ketika kaum musyrikin Makkah sedang gencar-gencarnya mencari celah untuk mendiskreditkan kenabian Muhammad SAW dan menolak Al-Qur'an. Mereka melabeli Al-Qur'an sebagai syair, sihir, atau dongeng orang-orang terdahulu. Dalam suasana permusuhan intelektual dan retorika yang sengit inilah, Allah menurunkan ayat 88 sebagai jawaban definitif. Ini adalah pernyataan bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah karya manusia biasa, melainkan firman yang memiliki kualitas transendental yang tidak mungkin ditiru oleh makhluk manapun, bahkan jika semua kekuatan intelektual dan spiritual digabungkan.
Konsep *Tahaddi* atau tantangan adalah elemen sentral dalam membuktikan kenabian dalam tradisi Islam. Mukjizat nabi-nabi terdahulu bersifat fisik dan temporal (tongkat Musa, penyembuhan Isa). Namun, mukjizat Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’an, bersifat intelektual, linguistik, dan abadi. Ayat 88 adalah puncak dari tantangan ini. Allah tidak hanya menantang ahli retorika dari kalangan Quraisy yang terkenal sebagai pujangga ulung, tetapi meluaskan tantangan tersebut hingga mencakup dimensi yang tidak terlihat:
Penyebutan kedua makhluk berakal ini—manusia dan jin—menegaskan bahwa tantangan ini adalah tantangan total. Bahkan jika mereka saling membantu, menempatkan semua sumber daya, ilmu, dan daya cipta mereka, hasilnya akan tetap nihil. Mereka tidak akan mampu menghasilkan karya yang menyamai Al-Qur’an, baik dalam hal keindahan bahasanya, kedalaman maknanya, kesempurnaan hukumnya, maupun konsistensi ilmiahnya.
Ketidakmampuan manusia dan jin untuk meniru Al-Qur’an bersumber pada berbagai aspek kemukjizatan yang terkandung di dalamnya. Para ulama tafsir dan balaghah (retorika) telah mengklasifikasikannya menjadi beberapa dimensi utama. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi ini menjelaskan mengapa tantangan dalam Al-Isra 88 bersifat mustahil untuk dipenuhi.
Ini adalah dimensi yang paling jelas dan langsung dirasakan oleh audiens awal di Arab. Al-Qur’an diturunkan di tengah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi bahasa dan puisi. Namun, bahasa Al-Qur’an melampaui segala bentuk puisi, prosa, atau sajak yang pernah dikenal. Kemukjizatan linguistik mencakup beberapa sub-aspek:
Nazm Al-Qur’an adalah unik. Ia bukan puisi (karena tidak terikat pada pola metrik puisi Arab klasik), dan ia bukan prosa biasa (karena memiliki ritme, rima, dan harmoni yang khas). Susunannya begitu sempurna sehingga menghilangkan satu kata atau mengubah urutan kalimat akan merusak makna dan keindahannya. Syaikh Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H) membahas mendalam mengenai teori nazm, menegaskan bahwa keunikan Al-Qur’an terletak pada pemilihan kata yang tepat (diksi) dan penyusunan struktur yang memberikan kekuatan makna yang luar biasa.
Penggunaan huruf, bunyi, dan jeda (fasl) dalam Al-Qur'an menciptakan resonansi yang tidak mungkin ditiru. Perhatikan bagaimana Al-Qur'an dapat beralih antara nada ancaman yang keras dan nada kasih sayang yang lembut dalam satu surah, namun tetap mempertahankan kohesi dan keutuhan gaya bahasa. Ini adalah keajaiban yang tidak dapat dicapai oleh kolaborasi sastrawan terbaik sekalipun.
Satu ayat Al-Qur’an seringkali mengandung lapisan makna yang berbeda, yang dapat dipahami oleh orang awam maupun oleh ulama yang mendalami ilmu-ilmu syariah. Al-Qur’an menggunakan gaya bahasa yang ringkas (ijaz) namun sangat padat makna. Contohnya adalah penggunaan metafora, simile, dan perumpamaan yang begitu kuat sehingga mampu menyentuh hati dan pikiran secara simultan. Tidak ada karya sastra lain yang mencapai tingkat keindahan dan efektivitas komunikasi seperti Al-Qur’an, yang mampu menantang para ahli bahasa untuk menirunya.
Para penantang di masa lalu, seperti Musailamah al-Kazzab, mencoba meniru gaya Al-Qur'an tetapi hasilnya selalu terdengar canggung, lucu, dan dangkal. Ini membuktikan bahwa keindahan retorika Al-Qur'an berasal dari sumber yang lebih tinggi dari kecerdasan manusiawi.
Aspek kemukjizatan ini terletak pada kesempurnaan dan keseimbangan hukum (syariah) yang dibawa oleh Al-Qur’an. Hukum-hukum Al-Qur’an—mengenai ibadah, muamalah, pidana, dan keluarga—bersifat adil, realistis, dan universal. Mereka berlaku untuk semua waktu dan tempat, dan mampu menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang muncul sepanjang sejarah.
Bagaimana mungkin seorang manusia di padang pasir pada abad ketujuh dapat merumuskan sebuah sistem hukum yang begitu komprehensif, fleksibel, dan tetap relevan bagi peradaban modern? Hukum-hukum yang mengatur warisan, misalnya, sangat detail dan adil, menjamin hak setiap ahli waris tanpa diskriminasi, sebuah sistem yang diakui kecanggihannya oleh para ahli hukum modern.
Al-Qur’an memberikan kerangka moral yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungan. Kesempurnaan sistem ini, yang terbebas dari bias budaya atau keterbatasan pengetahuan manusia, menegaskan bahwa sumbernya adalah Ilahi. Upaya manusia untuk membuat undang-undang seringkali memerlukan revisi dan amandemen seiring perubahan zaman, namun syariah Al-Qur’an tetap utuh dan adaptif.
Meskipun Al-Qur’an bukanlah buku sains, ia memuat berbagai isyarat dan informasi mengenai alam semesta, penciptaan, embriologi, dan fenomena alam lainnya yang baru dikonfirmasi oleh ilmu pengetahuan modern berabad-abad kemudian. Ini bukan berarti Al-Qur’an perlu dibuktikan oleh sains, melainkan bahwa konsistensinya dengan kebenaran-kebenaran kosmik membuktikan asal-usulnya yang non-manusia.
Beberapa contoh yang sering diangkat adalah:
Fakta bahwa Muhammad SAW, yang hidup di lingkungan yang minim pengetahuan ilmiah formal, dapat menyampaikan fakta-fakta yang baru terungkap pada abad ke-20 dan ke-21, adalah bukti kuat bahwa pengetahuan tersebut berasal dari Zat Yang Maha Mengetahui, yang melampaui batas waktu dan ruang. Ini menambah bobot tantangan dalam Al-Isra 88: bukan hanya meniru gaya bahasa, tetapi juga meniru pengetahuan universal yang terkandung di dalamnya.
Al-Qur’an mengandung informasi mengenai peristiwa masa lalu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad SAW, serta prediksi mengenai masa depan yang kemudian terbukti benar. Pengetahuan tentang umat-umat terdahulu (seperti kisah Firaun, Ashabul Kahfi, dan lain-lain) disampaikan dengan detail yang akurat, jauh melampaui mitos atau dongeng yang beredar di kalangan Arab.
Lebih jauh lagi, Al-Qur'an memuat ramalan-ramalan. Salah satu yang paling terkenal adalah prediksi kemenangan bangsa Romawi atas Persia (QS Ar-Rum [30]: 2-4) setelah Romawi mengalami kekalahan telak. Pada saat ayat itu turun, kemenangan Romawi terasa mustahil, tetapi beberapa tahun kemudian, prediksi tersebut menjadi kenyataan. Kemampuan untuk meramalkan kejadian masa depan secara spesifik dan akurat merupakan domain yang mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT, dan penjelasannya dalam Al-Qur’an adalah bukti kuat otentisitasnya.
Kemukjizatan ini juga mencakup janji perlindungan Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana difirmankan dalam QS Al-Hijr [15]: 9, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Janji ini telah terwujud: Al-Qur’an tetap murni dan tidak mengalami perubahan sedikit pun selama lebih dari empat belas abad, sebuah fenomena yang tidak dimiliki oleh kitab suci atau karya literatur manapun di dunia.
Ayat 88 Surah Al-Isra berfungsi sebagai landasan teologis yang menegaskan kebenaran risalah Islam. Ini bukan hanya masalah retorika, tetapi masalah keimanan dan kepastian sumber. Ayat ini membawa beberapa implikasi filosofis yang mendalam.
Tantangan yang mustahil ini menarik garis pemisah yang tajam antara sifat ilahi (kalamullah) dan sifat insani (kalamul basyar). Manusia, dengan segala kecerdasan dan kreativitasnya, adalah makhluk yang terbatas, dibatasi oleh ruang, waktu, dan pengetahuan yang didapatkannya. Sebaliknya, Al-Qur’an berasal dari Zat yang tidak terbatas (*Al-’Alim*, Yang Maha Mengetahui). Oleh karena itu, upaya untuk meniru Al-Qur’an adalah upaya untuk meniru sifat ketuhanan, yang secara inheren tidak mungkin dilakukan oleh ciptaan.
Para filosof Islam berpendapat bahwa jika saja Al-Qur’an bisa ditiru, maka legitimasi kenabian Muhammad SAW akan runtuh, dan klaim bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terakhir akan gugur. Namun, kegagalan total para penantang sepanjang sejarah—dari para penyair musyrik Makkah hingga para orientalis modern—telah memperkuat klaim ketidakmungkinan ini, mengubah tantangan tersebut menjadi bukti yang semakin kokoh.
Penggabungan manusia dan jin dalam tantangan ini menyoroti batas kemampuan ciptaan. Manusia mungkin unggul dalam penalaran dan ilmu material, sementara jin mungkin unggul dalam kecepatan dan akses ke informasi tertentu, namun keduanya tetaplah makhluk. Ayat ini mengajarkan kerendahan hati: sehebat apapun potensi kolaboratif dari dua entitas berakal yang paling kuat, mereka tetap tidak dapat menciptakan sesuatu yang sebanding dengan Firman Sang Pencipta.
Ini adalah pengingat bahwa bahkan jika ada kekuatan gaib yang membantu manusia (yang diindikasikan dengan penyebutan jin), produk akhirnya akan tetap memiliki cacat insani, karena jin juga adalah makhluk yang terbatas. Kemukjizatan Al-Qur’an adalah bukti kemahakuasaan Allah dan keterbatasan total makhluk-Nya.
Untuk menghayati kekuatan ayat 88, perlu dilakukan analisis terhadap struktur dan pemilihan kata-kata dalam Bahasa Arab:
Penggunaan kata *Ijtama’at* (berkumpul/bersatu) menekankan bahwa tantangan ini membutuhkan upaya kolektif, bahkan sebuah konsorsium raksasa dari kekuatan intelektual dan spiritual. Ini menghilangkan alasan apa pun bahwa kegagalan hanya disebabkan oleh kurangnya sumber daya atau kerjasama. Mereka harus menyatukan semua kemampuan dan pengetahuan mereka.
Kata *Bi Mitsli* (yang serupa) tidak menuntut mereka untuk menciptakan Al-Qur’an kedua, tetapi hanya untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki kualitas kesempurnaan dan otoritas yang setara. Tantangannya adalah meniru standar keagungan Al-Qur’an dalam bahasa, hukum, dan pengetahuan. Mereka tidak diminta meniru isinya, melainkan menandingi sifatnya sebagai Firman Tuhan.
Para ulama seperti Al-Jahiz (w. 255 H) berpendapat bahwa tantangan tersebut tidak terbatas pada meniru satu surah terpanjang, melainkan keseluruhan Al-Qur’an yang mencakup semua aspek kemukjizatannya. Namun, tantangan ini kemudian diperingan oleh Allah menjadi sepuluh surah (QS Hud [11]: 13) dan bahkan satu surah saja (QS Yunus [10]: 38), tetapi tetap tidak ada yang mampu memenuhinya.
Ini adalah penolakan mutlak dan pasti (menggunakan huruf *la* yang bersifat penafian total). Penegasan ini tidak hanya menyatakan bahwa mereka belum berhasil, tetapi bahwa mereka *tidak akan* pernah berhasil, menegaskan kepastian ilahi atas hasil akhir dari tantangan tersebut. Pernyataan ini adalah ramalan masa depan yang telah terbukti kebenarannya secara historis.
Kata *Zhahir* (ظَهِيرًا) memiliki makna pendukung, penolong, atau punggung (sandaran). Klausa ini berfungsi sebagai penutup yang menghilangkan semua keraguan. Bahkan dengan dukungan penuh, tanpa batas waktu, dan kolaborasi sempurna antara kekuatan manusia dan spiritual, upaya itu tetap sia-sia. Bagian ini memperkuat sifat totalitas kegagalan tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa mustahil ada alasan logis yang dapat digunakan untuk membantah kegagalan tersebut selain karena Al-Qur'an benar-benar berasal dari Allah SWT.
Sejak Al-Qur’an diturunkan, tantangan Al-Isra 88 telah berdiri tegak, memanggil para penantang. Respon sejarah terhadap tantangan ini sangat penting dalam membuktikan validitas ayat tersebut.
Kaum Quraisy, yang notabene adalah master bahasa Arab, tahu betul bahwa mereka tidak mampu menandingi Al-Qur’an. Meskipun mereka mencari-cari celaan, mereka tidak pernah berhasil membuat tandingan yang kredibel. Mereka beralih dari tantangan intelektual-linguistik menjadi tantangan fisik dan ancaman, yang merupakan pengakuan tersirat atas kekalahan retorika mereka. Mereka lebih memilih label 'penyihir' atau 'orang gila' daripada mengakui bahwa Muhammad adalah seorang jenius sastra yang melebihi mereka semua, karena itu berarti mereka harus mengakui Al-Qur’an adalah produk manusia.
Musailamah al-Kazzab (Si Pendusta) adalah contoh utama yang mencoba meniru Al-Qur'an dengan 'surah-surah' buatannya, namun hasil karyanya begitu konyol dan merosot dalam kualitas bahasa sehingga bahkan pengikutnya sendiri meragukannya. Usahanya untuk meniru ritme Al-Qur'an dengan kata-kata yang tidak masuk akal menunjukkan betapa tingginya standar yang ditetapkan oleh ayat 88.
Cendekiawan Muslim sepanjang zaman telah mendedikasikan diri untuk membela dan menjelaskan kemukjizatan Al-Qur’an. Karya-karya klasik dalam ilmu *I’jaz al-Qur’an* berfungsi sebagai respon berkelanjutan terhadap tantangan ayat 88. Mereka menganalisis setiap aspek bahasa, retorika, dan kandungan ilmiah untuk menunjukkan keunggulan yang tidak tertandingi.
Karya-karya seperti *Dala’il al-I’jaz* oleh Al-Jurjani dan pembahasan oleh Al-Baqillani dalam *I'jaz al-Qur'an* memberikan metodologi ilmiah dan linguistik yang ketat untuk menganalisis mengapa Al-Qur’an begitu unik. Mereka menunjukkan bahwa keajaiban itu bukan hanya terletak pada kata-kata indah, melainkan pada struktur hubungan antara kata-kata, tata bahasa, dan maksud yang dimaksudkan. Ini adalah keajaiban sistemik yang tidak dapat diuraikan dan ditiru.
Di era modern, tantangan Al-Isra 88 berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Para kritikus modern mungkin tidak mencoba membuat tandingan linguistik secara harfiah, tetapi mereka mencoba mencari kontradiksi atau kesalahan ilmiah dalam Al-Qur’an. Namun, setiap upaya tersebut selalu berujung pada kegagalan. Ketika sains berkembang, banyak ayat-ayat yang sebelumnya dianggap ambigu justru mendapatkan konfirmasi ilmiah yang mengejutkan.
Kini, tantangan ayat 88 tidak hanya ditujukan kepada para penyair, tetapi juga kepada para ilmuwan, ahli hukum, dan ahli etika. Para cendekiawan di bidang hukum perbandingan terkesima dengan kedalaman hukum Islam. Para ahli bahasa mengakui keindahan struktur Al-Qur'an yang konsisten meskipun diturunkan secara bertahap selama 23 tahun.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan komputasi, beberapa peneliti mencoba menganalisis pola matematis atau struktur kode dalam Al-Qur'an, yang meskipun menimbulkan perdebatan, tetapi secara umum semakin menegaskan kompleksitas yang mustahil diciptakan oleh nalar manusia biasa pada abad ketujuh Masehi.
Ayat 88 Surah Al-Isra memiliki fungsi yang sangat vital bagi penguatan akidah umat Muslim. Ayat ini adalah *Hujjah* (bukti) yang tidak dapat dibantah.
Dalam menghadapi keraguan atau propaganda anti-Islam, ayat ini memberikan dasar keyakinan yang kokoh. Umat Muslim dapat dengan percaya diri merujuk pada ayat ini dan sejarah kegagalan para penantang sebagai bukti empiris bahwa sumber pedoman mereka adalah murni Ilahi. Ayat ini berfungsi sebagai benteng yang melindungi hati orang beriman dari keraguan, meyakinkan mereka bahwa jalan yang mereka ikuti adalah jalan kebenaran hakiki.
Jika Al-Qur’an begitu agung hingga tidak dapat ditiru oleh seluruh manusia dan jin, maka ini menjadi motivasi terbesar bagi umat Islam untuk mendedikasikan waktu mereka untuk mempelajarinya, memahami maknanya, dan mengamalkan hukum-hukumnya. Keajaiban yang terkandung di dalamnya menuntut penghormatan dan pengkajian yang mendalam.
Setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, mereka diingatkan bahwa ini adalah perkataan yang melampaui kemampuan tertinggi yang dapat dicapai oleh makhluk. Ini meningkatkan kekhusyu'an dan kesadaran akan kebesaran Allah SWT.
Ayat 88 dari Surah Al-Isra tetap menjadi batu uji kebenaran Islam. Ia adalah bukti yang selalu hidup, tidak membutuhkan penemuan ilmiah baru atau mukjizat fisik yang temporal untuk memvalidasinya. Keajaiban Al-Qur’an tertanam dalam esensinya—dalam setiap kata, setiap struktur, dan setiap hukum yang dikandungnya.
Tantangan yang dikeluarkan oleh Allah SWT ini bukan ditujukan untuk mempermalukan, tetapi untuk memberikan peluang maksimal bagi skeptis untuk membuktikan klaim kenabian itu salah. Karena kegagalan total yang konsisten selama lebih dari empat belas abad, mustahil untuk menyimpulkan hal lain selain bahwa Al-Qur’an adalah Firman Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya yang benar. Sifat abadi dari tantangan ini memastikan bahwa di setiap zaman, bukti kebenaran Al-Qur'an akan selalu tersedia bagi mereka yang menggunakan akal dan hati nurani.
Bahkan ketika peradaban manusia mencapai puncak teknologi dan kecanggihan linguistik, Al-Isra 88 akan tetap menjadi tantangan yang belum terselesaikan, sebuah mercusuar yang memancarkan keagungan Ilahi, menegaskan bahwa tidak ada duanya bagi Kitabullah. Penggabungan kekuatan Ins dan Jin, bagaimanapun juga, hanya akan menghasilkan karya makhluk yang fana, sementara Al-Qur'an berdiri sendiri sebagai manifestasi Kalamullah yang abadi dan tak tertandingi.
***
Selain struktur kalimat yang megah, keajaiban Al-Isra 88 juga terletak pada pemilihan kata keterangan dan partikel penghubung yang memberikan kekuatan penekanan. Frasa seperti *Lain* (لَّئِنِ) yang merupakan gabungan dari *Laam al-Qasam* (sumpah/penekanan) dan *in* (jika) memberikan nada kepastian bahwa meskipun hipotesis (berkumpulnya manusia dan jin) sangat ekstrem, hasilnya tetap pasti. Ini adalah sumpah tegas dari Tuhan bahwa upaya tersebut akan gagal, bahkan sebelum upaya itu dimulai.
Penggunaan kata kerja dalam bentuk sempurna yang diikuti dengan penolakan total menunjukkan bahwa hasil akhir adalah mutlak. Ini bukan hanya masalah kemampuan atau potensi, melainkan takdir ilahi bahwa tandingan itu tidak akan pernah muncul. Al-Qur'an menempatkan tantangan di tingkat yang melampaui kapasitas kreatifitas alam semesta material dan non-material yang dikenal oleh manusia.
Keunikan retorika Al-Qur'an seringkali terletak pada kemampuannya untuk mencakup makna yang universal dalam kata-kata yang sederhana dan terstruktur. Tidak ada redundansi, tidak ada kata yang sia-sia, dan setiap partikel berfungsi untuk memperkuat keseluruhan pesan. Jika seorang sastrawan mencoba menyempurnakan suatu teks, mereka biasanya akan menggunakan kosakata yang lebih rumit atau metafora yang berlebihan; Al-Qur'an mencapai keagungan melalui kesederhanaan dan ketepatan absolut.
Para ulama Balaghah telah menghabiskan ribuan halaman menganalisis ayat-ayat tunggal Al-Qur'an hanya untuk mengungkap lapisan-lapisan makna tersembunyi. Mereka menemukan bahwa setiap kata ditempatkan dengan tujuan tertentu, menghasilkan harmoni fonetik dan semantik yang tak tertandingi. Keharmonisan ini, ketika diterapkan pada keseluruhan teks, menciptakan suatu kesatuan organik yang mustahil diproduksi oleh kolaborasi makhluk yang terbatas dan berbeda-beda.
Kemukjizatan Al-Qur'an tidak hanya terletak pada hal-hal yang dapat diukur secara linguistik atau ilmiah, tetapi juga pada dampaknya yang mendalam terhadap jiwa dan moral manusia. Aspek ini sering disebut sebagai I’jaz Rûhi (spiritual) atau I’jaz Tâ’tsiri (pengaruh).
Al-Qur'an memiliki kemampuan unik untuk mentransformasi individu dan masyarakat. Ia mengubah suku-suku Arab yang terpecah-belah, jahil, dan saling berperang menjadi sebuah umat yang bersatu, beradab, dan menjadi pelopor peradaban dunia. Kekuatan transformatif ini adalah bukti bahwa Al-Qur'an bukan sekadar buku moral, tetapi sebuah manual kehidupan yang diilhami secara ilahi.
Dampak psikologisnya terlihat ketika ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan. Banyak kisah tentang orang-orang yang, setelah mendengarkan pembacaan Al-Qur’an, langsung merasa terdorong untuk memeluk Islam, meskipun mereka tidak memahami bahasa Arab secara mendalam. Keindahan dan keagungan yang meresap ke dalam hati ini melampaui sekadar pemahaman logis; ini adalah pengaruh spiritual yang berasal dari kemurnian Firman Allah.
Selain itu, Al-Qur'an menetapkan standar moral yang sempurna, yang menyeimbangkan antara kebutuhan fisik dan spiritual manusia. Ia tidak menuntut asketisme yang berlebihan, juga tidak membiarkan hedonisme yang merusak. Keseimbangan dalam ajaran ini—yang mencakup aspek-aspek paling pribadi dari kehidupan manusia—adalah tanda kejeniusan yang melampaui kecerdasan manusia yang cenderung bias atau ekstrem.
Salah satu aspek terberat dari tantangan Al-Isra 88 adalah meniru kesatuan dan koherensi internal Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama dua puluh tiga tahun, menanggapi berbagai peristiwa, pertanyaan, dan kebutuhan yang berbeda. Jika itu adalah karya manusia, ia pasti akan menunjukkan diskontinuitas, kontradiksi, atau perubahan gaya bahasa seiring berjalannya waktu atau perubahan kondisi psikologis penulisnya.
Namun, Al-Qur’an tetap utuh dan konsisten. Pesan intinya—tauhid—selalu dijaga, dan tidak ada kontradiksi internal dalam ajarannya. Transisi antara topik-topik (dari hukum ke kisah nabi, dari sejarah ke sains, dari ancaman ke janji surga) dilakukan dengan kelancaran yang luar biasa, sehingga seluruh teks terasa seperti satu kesatuan yang terencana sejak awal.
Para ahli sastra modern mengakui betapa sulitnya menciptakan sebuah buku yang koheren, bahkan jika ditulis dalam satu waktu dan oleh satu orang. Menciptakan sebuah teks yang begitu panjang dan beragam dalam konteks penurunan bertahap selama dua dekade, yang mencakup ratusan topik, namun tetap mempertahankan kesempurnaan linguistik dan konsistensi makna, adalah bukti paling kuat dari campur tangan Ilahi.
Jika kita membayangkan kolaborasi antara manusia dan jin seperti yang disebutkan dalam Ayat 88, tantangan terbesar mereka bukanlah menghasilkan beberapa kalimat yang indah, melainkan menghasilkan *keseluruhan* kitab yang memiliki kesatuan struktural dan tematik yang sempurna seperti Al-Qur’an. Upaya ini akan runtuh karena adanya perbedaan pandangan, gaya, dan pengetahuan yang terbatas dari setiap kolaborator.
Perlu diperhatikan juga pemilihan istilah yang digunakan dalam ayat tersebut: *Haadzal Qur’an* (Al-Qur’an ini). Kata ‘Al-Qur’an’ sendiri berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Penamaan ini menunjukkan tujuan utamanya, yaitu untuk dibacakan dan didengarkan, sebagai sebuah mukjizat yang diulang-ulang. Keajaibannya tidak terletak pada bentuk visualnya (tulisan), melainkan pada bentuk oralnya (bacaan/resitasi), di mana ritme dan nadanya mampu menembus jiwa.
Ayat 88 secara implisit menantang para penantang untuk membuat ‘bacaan’ yang memiliki resonansi, otoritas, dan dampak yang sama. Ini menegaskan bahwa sifat kemukjizatan itu bukan hanya pada teks yang statis, tetapi pada firman yang hidup dan memiliki kekuatan spiritual yang terus menerus. Upaya meniru akan selalu gagal karena faktor spiritual ini, yang tidak dapat dihasilkan oleh makhluk biasa.
Tantangan ini telah disikapi oleh berbagai sarjana non-Muslim yang secara jujur mengakui bahwa meskipun mereka berusaha mengkritik kontennya, mereka harus mengakui bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mahakarya linguistik yang berdiri sendiri. Mereka mengakui bahwa tidak ada teks lain yang mendekati keindahan dan keunikan ritmenya dalam tradisi Arab, bahkan dari para penyair Arab pra-Islam yang paling ulung.
Oleh karena itu, Surah Al-Isra Ayat 88 berfungsi sebagai pengingat abadi akan keagungan kalam Ilahi. Ayat ini adalah perisai bagi keimanan dan fondasi bagi studi Islam. Ia memanggil setiap manusia untuk merenungkan: jika seluruh kecerdasan di alam semesta yang terlihat dan tidak terlihat bersatu dan gagal, maka dari mana lagi sumber kitab ini selain dari Allah, Tuhan semesta alam?
***
Lebih dari sekadar struktur bahasa, tantangan meniru Al-Qur’an juga gagal karena mustahilnya menandingi keseimbangan yang terkandung dalam ajarannya. Hukum-hukum yang diuraikan oleh Al-Qur’an selalu berada di tengah (*al-wasatiyyah*), menjauhi ekstremitas yang menjadi ciri khas karya-karya manusia. Jika manusia merancang sistem, sistem itu seringkali cenderung ke arah materialisme ekstrem, atau spiritualitas yang mengabaikan kebutuhan dunia. Al-Qur’an, sebaliknya, mengajarkan ketaatan kepada Tuhan tanpa mengabaikan bagian dari dunia ini. Manusia dituntut untuk mencari kebahagiaan akhirat tanpa melupakan perannya sebagai khalifah di bumi.
Keseimbangan ini terlihat dalam bagaimana Al-Qur'an membahas aspek-aspek kehidupan yang berbeda. Dalam aspek ekonomi, ia mempromosikan perdagangan dan kepemilikan pribadi namun dengan mekanisme sosial seperti zakat dan larangan riba untuk memastikan keadilan distributif. Dalam aspek sosial, ia menghormati peran individu dan keluarga, memberikan hak yang jelas kepada wanita, anak yatim, dan yang lemah, sebuah revolusi moral di zamannya. Menciptakan sistem yang adil dan seimbang seperti ini, yang berhasil memuaskan kebutuhan spiritual dan material di berbagai peradaban dan waktu, adalah kemukjizatan tasyri'i yang mustahil diciptakan oleh konsensus manusia dan jin yang terikat oleh bias dan kepentingan mereka sendiri.
Jika jin dan manusia berkumpul, mereka mungkin bisa menciptakan sebuah karya dengan keindahan puitis yang luar biasa, atau sebuah kode hukum yang sangat rumit, tetapi mereka tidak akan pernah bisa menciptakan kedua hal tersebut secara simultan dalam satu teks yang sama, yang di dalamnya juga mengandung kebenaran ilmiah dan janji-janji spiritual. Kualitas menyeluruh ini—totalitas kesempurnaan—adalah yang membuat Al-Qur’an tak tertandingi.
Dalam sastra manusia, pengulangan sering dianggap sebagai kelemahan atau kebosanan. Namun, dalam Al-Qur’an, pengulangan tema, kisah, atau bahkan frasa tertentu berfungsi sebagai penguat makna, penekanan spiritual, dan sarana untuk menyatukan pesan. Kisah Nabi Musa, misalnya, diceritakan di banyak surah dengan fokus yang berbeda-beda, masing-masing konteks menambah kedalaman baru pada pelajaran yang diambil.
Para penantang yang mencoba meniru Al-Qur’an seringkali gagal dalam meniru penggunaan pengulangan yang efektif ini. Ketika mereka mencoba mengulang, hasilnya terasa repetitif dan kehilangan daya tarik. Sebaliknya, pengulangan dalam Al-Qur’an tidak pernah terasa membosankan; ia selalu menyajikan keindahan baru dan mendorong perenungan yang lebih dalam pada setiap pembacaan. Ini adalah ciri khas yang hanya dapat berasal dari Yang Maha Sempurna, yang kata-kata-Nya memiliki kekuatan unik untuk menembus hati meskipun diulang-ulang.
Dalam kerangka ilmu Ushuluddin, Ayat 88 adalah bukti esensial (Dalil Qath'i) untuk dua poin fundamental:
Dengan demikian, ayat ini tidak hanya penting bagi ahli bahasa, tetapi juga bagi setiap Muslim yang ingin membangun keimanan mereka di atas argumen yang rasional dan tak terbantahkan. Tantangan yang tertuang dalam Al-Isra 88 memastikan bahwa kebenaran Islam tidak hanya berdasarkan iman buta, melainkan didukung oleh bukti intelektual yang paling kuat yang pernah dihadirkan di hadapan umat manusia dan jin.
Kegagalan total dari semua kolaborasi makhluk di alam semesta ini untuk menandingi Al-Qur'an adalah penegasan tertinggi terhadap kemahakuasaan Sang Pencipta. Mereka mungkin bisa membuat sesuatu yang indah, atau sesuatu yang informatif, tetapi mereka tidak akan pernah bisa menciptakan *Al-Qur'an*.
Pesan dari QS Al-Isra 88 ini adalah panggilan terbuka bagi semua yang mencari kebenaran. Pintu tantangan selalu terbuka, tetapi hasilnya sudah diumumkan oleh Sang Pencipta: mustahil. Dan dalam kemustahilan itulah, letak kemukjizatan abadi Al-Qur'an.