Pentingnya Mengistilahkan sebagai Pilar Kognitif
Tindakan mengistilahkan, atau proses memberikan nama, sebutan, atau definisi yang tepat pada suatu konsep, fenomena, atau objek, adalah inti dari peradaban manusia dan fondasi dari akumulasi pengetahuan. Tanpa kemampuan untuk mengisolasi, membungkus, dan mengomunikasikan ide-ide kompleks melalui istilah yang disepakati, kemajuan intelektual akan terhenti pada tingkat yang paling mendasar. Istilah bukan hanya label; ia adalah kapsul semantik yang memuat sejarah pemikiran, batasan konseptual, dan jembatan pemahaman antara individu dan komunitas.
Dalam ranah ilmu pengetahuan, teknik, filsafat, dan bahkan seni, istilah berfungsi sebagai mata uang universal yang memungkinkan spesialisasi dan dialog. Seseorang yang berhasil mengistilahkan suatu fenomena baru – misalnya, 'gravitasi', 'relativitas', atau 'kecerdasan buatan' – tidak hanya menamai, tetapi secara efektif menciptakan kategori baru dalam peta mental kolektif. Proses ini memerlukan kecermatan linguistik yang tinggi, pemahaman mendalam tentang konteks subjek, dan seringkali, negosiasi sosial untuk memastikan penerimaan dan standardisasi.
Kegagalan dalam mengistilahkan secara tepat dapat mengakibatkan ambiguitas, kesalahan interpretasi yang fatal, atau bahkan stagnasi penelitian. Sebaliknya, pemilihan istilah yang brilian mampu memangkas deskripsi yang panjang menjadi satu kata yang padat makna, memberikan dorongan eksplosif bagi perkembangan disiplin ilmu terkait. Oleh karena itu, studi tentang terminologi dan proses mengistilahkan adalah studi tentang bagaimana kita menyusun dan memahami realitas itu sendiri.
Fungsi Primer dari Terminologi
Terminologi memiliki fungsi yang jauh melampaui kamus. Ia melayani beberapa peran vital dalam sistem pengetahuan kita:
- Presisi dan Spesialisasi: Istilah memungkinkan komunikasi yang sangat spesifik dalam bidang-bidang teknis, membedakan makna yang mungkin tercampur dalam bahasa sehari-hari. Contohnya, membedakan antara 'massa' dan 'berat' dalam fisika.
- Efisiensi Komunikasi: Istilah yang terstandar menghilangkan kebutuhan untuk mendefinisikan ulang konsep yang sama berulang kali. Ini mempercepat dialog di antara para ahli.
- Pengkategorian Kognitif: Tindakan mengistilahkan membantu otak manusia mengorganisir informasi. Setiap istilah adalah laci tempat konsep-konsep terkait disimpan, memungkinkan penarikan kembali dan aplikasi yang cepat.
- Pengawetan Pengetahuan: Terminologi yang stabil memastikan bahwa pengetahuan yang diwariskan dari generasi sebelumnya tetap utuh dan dapat dipahami di masa depan.
Artikel ini akan menelusuri bagaimana proses mengistilahkan telah membentuk berbagai disiplin ilmu, mekanisme yang digunakan bahasa Indonesia untuk mengadaptasi dan menciptakan istilah baru, serta tantangan-tantangan filosofis dan praktis yang dihadapi dalam upaya mendefinisikan dunia kita.
I. Dasar Filosofis Mengistilahkan: Bahasa Sebagai Pembentuk Realitas
Pada tingkat yang paling fundamental, upaya mengistilahkan selalu terkait erat dengan filsafat bahasa. Apakah istilah hanya merefleksikan realitas yang sudah ada, atau justru istilah itu yang membantu menciptakan dan membatasi persepsi kita tentang realitas? Pertanyaan ini telah menjadi pusat perhatian selama berabad-abad, mulai dari Plato hingga linguis modern.
Hipotesis Sapir-Whorf dan Kekuatan Label
Salah satu sudut pandang yang paling berpengaruh adalah Hipotesis Sapir-Whorf, yang dalam versi ekstremnya (determinisme linguistik), menyatakan bahwa bahasa yang kita gunakan menentukan cara kita berpikir dan memahami dunia. Meskipun versi ekstrem ini telah banyak dimoderasi, konsep intinya relevan: istilah yang kita miliki sangat memengaruhi seberapa mudah kita dapat memahami, memproses, dan mendiskusikan suatu konsep. Jika kita tidak memiliki istilah untuk mengistilahkan suatu emosi, misalnya, emosi tersebut mungkin tetap ada, tetapi sulit untuk diidentifikasi, dikomunikasikan, atau dianalisis.
Ambil contoh warna. Budaya yang memiliki istilah spesifik untuk membedakan antara nuansa biru dan hijau (seperti yang dilakukan dalam bahasa modern) memiliki kemampuan kognitif yang berbeda dalam mengidentifikasi batasan visual tersebut dibandingkan dengan budaya yang mengistilahkan keduanya dengan satu kata yang sama. Demikian pula, dalam filsafat, istilah 'eksistensialisme', 'fenomenologi', atau 'dekonstruksi' tidak hanya melabeli pemikiran; istilah-istilah itu memberikan kerangka kerja yang solid bagi para sarjana untuk bekerja dan berdebat.
Tanggung Jawab Penemu Istilah (The First Termer)
Ketika seorang ilmuwan atau pemikir pertama kali mengistilahkan suatu konsep, tanggung jawab etis dan epistemologis yang besar terletak pada pemilihan kata tersebut. Istilah yang dipilih akan membawa beban semantik, memengaruhi bagaimana generasi mendatang akan mendekati dan memahami konsep tersebut. Misalnya, ketika Isaac Newton mengistilahkan 'gaya' (force), istilah itu harus cukup inklusif untuk menjelaskan berbagai fenomena, namun cukup spesifik agar dapat diukur secara matematis.
Dalam konteks modern, kita melihat dilema ini dalam teknologi. Ketika para perintis AI mencoba mengistilahkan kemampuan mesin untuk meniru kecerdasan manusia, mereka memilih 'Artificial Intelligence' (Kecerdasan Buatan). Meskipun istilah ini berhasil, ia juga membawa konotasi filosofis yang kompleks, seringkali membingungkan publik tentang apakah 'kecerdasan' yang dimaksud sama dengan kecerdasan biologis. Keberhasilan istilah ini menunjukkan kekuatan nomenklatur yang tepat, tetapi juga peringatan tentang potensi bias yang dibawa oleh sebuah label.
Oleh karena itu, proses mengistilahkan bukanlah tugas mekanis penerjemahan; ia adalah tindakan kreatif yang membentuk realitas wacana. Keberhasilan suatu istilah seringkali bergantung pada resonansi intuitifnya, kemudahannya diadopsi, dan kemampuan istilah tersebut untuk tetap relevan meskipun konsepnya terus berkembang.
II. Standardisasi Terminologi dalam Sains dan Teknologi
Jika dalam filsafat istilah adalah alat eksplorasi, maka dalam sains dan teknologi, istilah adalah alat ukur dan standardisasi. Kebutuhan untuk mengistilahkan fenomena secara universal dan tidak ambigu adalah prasyarat mutlak bagi kolaborasi global, replikasi eksperimen, dan keselamatan publik.
Nomenklatur: Disiplin Ilmu Mengistilahkan
Banyak disiplin ilmu, terutama biologi dan kimia, tidak hanya puas dengan sekadar 'istilah', tetapi memerlukan 'nomenklatur'—sistem penamaan yang terstruktur dan terikat aturan. Nomenklatur memastikan bahwa setiap entitas (spesies, senyawa kimia) memiliki nama unik yang konsisten, terlepas dari bahasa lisan yang digunakan oleh ilmuwan.
Dalam biologi, sistem yang digunakan untuk mengistilahkan spesies—nomenklatur binomial (Genus spesies)—yang diperkenalkan oleh Carl Linnaeus, adalah contoh monumental dari standardisasi terminologi yang berhasil. Sistem ini mengatasi kekacauan penamaan lokal, di mana satu spesies mungkin memiliki puluhan nama berbeda. Tindakan Linnaeus mengistilahkan setiap makhluk hidup dengan dua kata Latin atau Latinisasi memberikan stabilitas yang diperlukan bagi ilmu taksonomi untuk berkembang pesat.
Demikian pula, dalam kimia, International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) adalah otoritas global yang bertanggung jawab mengistilahkan senyawa baru. Aturan IUPAC memastikan bahwa dari rumus kimia dapat diturunkan nama yang tepat, dan sebaliknya. Tanpa standardisasi global ini, komunikasi mengenai resep obat atau prosedur industri akan menjadi sangat berbahaya dan tidak mungkin.
Proses Pengindonesiaan dan Adaptasi Istilah Asing
Bagi bahasa yang terus berkembang seperti Bahasa Indonesia, proses mengistilahkan seringkali melibatkan adaptasi dan penyerapan dari bahasa asing, terutama Inggris, Belanda, dan Arab. Badan Bahasa, melalui PUEBI dan KBBI, memainkan peran kuratorial yang krusial dalam memilih atau menciptakan padanan yang paling tepat.
Ada beberapa strategi utama yang digunakan dalam mengistilahkan konsep asing ke dalam Bahasa Indonesia:
- Penyerapan Utuh (Adopsi): Mengambil istilah asing dan menyesuaikan ejaannya. Contoh: Standardization menjadi 'Standardisasi', Vacuum menjadi 'Vakum'.
- Penerjemahan Konsep (Kalki): Menerjemahkan istilah asing berdasarkan konsepnya. Contoh: Hardware menjadi 'Perangkat Keras', Software menjadi 'Perangkat Lunak'.
- Penciptaan Istilah Baru (Neologisme): Menciptakan kata baru dari akar kata Bahasa Indonesia atau Melayu untuk mengistilahkan konsep yang tidak memiliki padanan. Contoh: 'Gawai' (untuk gadget).
- Akronim dan Singkatan: Meskipun bukan istilah murni, ini sering digunakan untuk efisiensi. Contoh: 'IPTEK' (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Kesulitan muncul ketika istilah asing sangat tersemat dalam konteks budaya asalnya. Misalnya, bagaimana seharusnya kita mengistilahkan istilah teknis seperti 'big data', 'blockchain', atau 'deep learning'? Pilihan antara 'data raya' atau 'data besar', atau mempertahankan 'blockchain' karena terlalu teknis untuk diterjemahkan, adalah keputusan yang sangat strategis karena memengaruhi aksesibilitas pengetahuan bagi khalayak yang lebih luas.
Penggunaan istilah yang konsisten adalah tanda kematangan bahasa ilmu. Jika para akademisi dan praktisi sepakat untuk mengistilahkan satu konsep dengan satu kata, efektivitas komunikasi meningkat drastis. Perdebatan mengenai padanan kata, misalnya apakah harus menggunakan 'daring' atau 'online', atau 'luring' atau 'offline', adalah contoh nyata dari upaya masyarakat linguistik untuk mencapai konsensus dalam proses mengistilahkan dunia digital yang serba cepat.
III. Mengistilahkan Dunia Digital: Tantangan Terminologi Kontemporer
Revolusi teknologi informasi telah menciptakan ledakan istilah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecepatan inovasi jauh melampaui kecepatan konsensus linguistik, memaksa para praktisi untuk segera mengistilahkan penemuan mereka—seringkali menggunakan metafora yang ambigu—hanya agar mereka dapat mulai bekerja.
Metafora dan Istilah dalam Komputasi
Dalam komputasi, banyak istilah yang kita gunakan adalah metafora visual atau spasial. Kita mengistilahkan penyimpanan data jarak jauh sebagai 'awan' (cloud), meskipun data itu berada di server fisik di tanah. Kita menggunakan 'jendela' (window) dan 'folder' untuk meniru lingkungan kantor fisik. Metafora ini membantu pengguna awam memahami fungsi, tetapi di tingkat teknis, metafora ini dapat menyembunyikan kompleksitas operasional yang sesungguhnya.
Ketika teknologi baru muncul, terdapat persaingan untuk menjadi yang pertama mengistilahkannya. Istilah yang menang—seperti 'Metaverse', 'NFT', atau 'Web3'—kemudian menetapkan agenda pemasaran, investasi, dan regulasi. Bagi bahasa Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menyerap dan mengistilahkan istilah-istilah ini tanpa kehilangan makna teknisnya yang spesifik.
Studi Kasus: 'Kecerdasan Buatan' (AI)
Istilah 'Kecerdasan Buatan' adalah kalki (terjemahan konsep) yang sangat umum dan berhasil. Namun, seiring perkembangannya, muncul turunan yang perlu diistilahkan dengan presisi: Machine Learning (Pembelajaran Mesin), Deep Learning (Pembelajaran Dalam), dan Neural Network (Jaringan Saraf Tiruan). Para ahli Bahasa Indonesia harus berhati-hati dalam mengistilahkan 'Deep Learning' dengan 'Pembelajaran Dalam' (bukan 'Pembelajaran Mendalam'), untuk mencerminkan bahwa konsep ini mengacu pada jumlah lapisan jaringan, bukan tingkat kedalaman filosofis.
Kecepatan perubahan ini juga menyebabkan istilah yang sudah ada kehilangan relevansi atau mengalami pergeseran makna (semantic drift). Istilah 'internet' yang awalnya diistilahkan untuk jaringan penelitian militer kini merujuk pada jaringan komunikasi global yang jauh lebih luas. Para ahli terminologi harus terus memantau pergeseran ini untuk memastikan istilah tetap akurat, sehingga mereka tidak menyesatkan pengguna atau menghambat inovasi lebih lanjut.
IV. Kekuatan Mengistilahkan dalam Wacana Sosial dan Politik
Proses mengistilahkan tidak hanya terbatas pada laboratorium atau pusat data; ia adalah alat retorika yang kuat dalam pembentukan opini publik, identitas sosial, dan narasi politik. Di sini, istilah seringkali lebih sarat emosi dan konteks budaya daripada presisi ilmiah.
Eufemisme dan Disfemisme
Salah satu penggunaan paling jelas dari kekuatan mengistilahkan adalah melalui eufemisme—penggunaan istilah yang lebih halus atau tidak menyinggung untuk menggantikan istilah yang dianggap kasar, tabu, atau negatif. Misalnya, dalam politik, 'pajak' sering diistilahkan menjadi 'kontribusi wajib' atau 'iuran pembangunan'. Di militer, 'korban sipil' mungkin diistilahkan menjadi 'kerusakan kolateral'. Tujuannya adalah meredakan dampak psikologis dari realitas yang diwakilinya.
Sebaliknya, disfemisme adalah tindakan sengaja mengistilahkan sesuatu dengan kata-kata yang keras atau negatif untuk memicu reaksi emosional atau merendahkan pihak lawan. Dalam perdebatan politik, lawan mungkin diistilahkan sebagai 'oposisi destruktif' alih-alih 'oposisi konstruktif'. Tindakan memilih istilah ini adalah strategi komunikasi yang disengaja untuk membentuk framing yang diinginkan publik.
Keputusan untuk mengistilahkan suatu kelompok atau fenomena dengan cara tertentu sangat menentukan bagaimana kelompok atau fenomena itu diperlakukan. Jika masalah sosial diistilahkan sebagai 'krisis', hal itu menuntut tindakan segera, berbeda jika diistilahkan hanya sebagai 'situasi'.
Identitas dan Istilah Diri (Self-Terming)
Dalam konteks identitas, hak untuk mengistilahkan diri sendiri adalah isu politik yang mendasar. Kelompok minoritas seringkali menolak istilah yang diberikan oleh mayoritas (exonym) dan bersikeras menggunakan istilah pilihan mereka sendiri (endonym). Pergeseran istilah ini, misalnya dari istilah yang merendahkan menjadi istilah yang memberdayakan, mencerminkan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, otonomi, dan martabat.
Tindakan komunitas memilih istilah untuk dirinya sendiri adalah tindakan kedaulatan linguistik yang kuat. Ketika istilah tersebut diterima secara luas, hal itu menunjukkan adanya pergeseran sosial dalam pengakuan dan penghormatan. Para ahli bahasa sosial harus terus memantau dan mencatat pergeseran ini untuk memastikan kamus dan pedoman mereka mencerminkan penggunaan yang paling hormat dan akurat.
Proses mengistilahkan dalam ranah sosial ini adalah medan pertempuran yang dinamis di mana makna terus-menerus diperjuangkan. Istilah yang sah hari ini mungkin menjadi ofensif besok, menuntut fleksibilitas dan sensitivitas linguistik yang tinggi dari semua pihak yang terlibat dalam wacana publik.
V. Mekanisme Formal dan Kuratorial Mengistilahkan dalam Bahasa Indonesia
Di Indonesia, proses resmi mengistilahkan konsep baru, terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tidaklah terjadi secara acak. Terdapat mekanisme kelembagaan yang melibatkan ahli bahasa, pakar bidang terkait, dan regulator untuk memastikan konsistensi dan kualitas istilah yang dihasilkan. Peran utama dipegang oleh Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (Badan Bahasa) dan Komisi Istilah, yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI).
Peran Komisi Istilah dan PUPI
Komisi Istilah bertugas memverifikasi, menyusun, dan memublikasikan istilah baku. Proses mengistilahkan di tingkat formal ini melibatkan dialog yang ketat. Ketika sebuah istilah asing baru muncul, tim komisi akan meninjau beberapa opsi potensial:
- Opsi Prioritas 1: Mencari Padanan Bahasa Indonesia yang sudah ada dan maknanya sesuai. (Contoh: 'Tangkas' untuk Agile).
- Opsi Prioritas 2: Menggunakan Padanan dari Bahasa Serumpun (misalnya, Melayu, Jawa Kuno) jika lebih tepat secara konseptual.
- Opsi Prioritas 3: Menerjemahkan istilah asing melalui proses kalki atau terjemahan konsep.
- Opsi Prioritas 4: Menyerap istilah asing dengan penyesuaian ejaan dan lafal agar sesuai dengan sistem fonologi Bahasa Indonesia. (Ini adalah pilihan terakhir, digunakan jika istilah sudah terlalu dikenal secara internasional atau jika terjemahan konseptual menghasilkan istilah yang terlalu panjang/canggung).
Ketaatan pada PUPI ini bertujuan untuk menghindari istilah yang tumpang tindih, ambigu, atau yang berpotensi menyebabkan salah tafsir di antara para pengguna. Upaya mengistilahkan secara sistematis ini adalah jaminan bahwa Bahasa Indonesia mampu berfungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan modern.
Tantangan Globalisasi dan Kecepatan
Meskipun proses formal ini penting untuk standardisasi, ia sering kali berbenturan dengan kecepatan globalisasi dan adopsi istilah teknis oleh masyarakat umum. Seringkali, istilah asing sudah populer di media sosial, iklan, atau komunikasi sehari-hari jauh sebelum Komisi Istilah sempat menentukan padanan resminya. Misalnya, meskipun istilah 'salin tempel' ada, banyak pengguna digital yang tetap menggunakan 'copy-paste'.
Tantangan utama Badan Bahasa dalam mengistilahkan adalah menjaga keseimbangan antara purisme (keinginan untuk menggunakan kata-kata asli Indonesia) dan kepraktisan (mengadopsi istilah asing yang sudah mantap secara internasional). Istilah yang terlalu murni tetapi terasa canggung akan gagal diadopsi, sementara istilah asing yang diserap mentah-mentah dapat mengurangi kekayaan kosakata asli.
Kemampuan suatu bahasa untuk terus mengistilahkan dan mengadaptasi adalah ukuran kesehatan dan vitalitasnya. Bahasa Indonesia harus terus membuktikan bahwa ia mampu menamai setiap konsep baru, mulai dari fisika kuantum hingga manajemen bisnis, tanpa perlu sepenuhnya bergantung pada bahasa sumber.
VI. Kedalaman Semantik: Membedah Jenis-Jenis Istilah
Untuk memahami sepenuhnya proses mengistilahkan, kita perlu membedakan beberapa kategori istilah yang memiliki fungsi dan batasan penggunaan yang berbeda. Perbedaan antara istilah umum, istilah khusus, dan leksikon sangat menentukan konteks komunikatif.
Istilah Umum vs. Istilah Khusus (Terminologi Spesialis)
Istilah Umum: Istilah yang digunakan dan dipahami dalam konteks bahasa sehari-hari atau berbagai bidang, meskipun maknanya mungkin sedikit berbeda. Contoh: 'Waktu', 'Energi', 'Sistem'. Istilah ini relatif mudah dipahami tanpa perlu definisi yang panjang dalam komunikasi sehari-hari.
Istilah Khusus (Terminologi Spesialis): Istilah yang maknanya terikat secara eksklusif pada satu disiplin ilmu atau sub-bidang. Istilah ini seringkali tidak memiliki makna di luar konteks tersebut. Proses mengistilahkan dalam bidang ini memerlukan ketelitian tinggi. Contoh:
- Dalam Hukum: 'Yurisprudensi', 'Delik', 'Habeas Corpus'.
- Dalam Kedokteran: 'Patogenesis', 'Edema', 'Hiperglikemia'.
- Dalam Ekonomi: 'Inflasi Struktural', 'Obligasi Konversi'.
Tujuan utama dari terminologi spesialis adalah menghilangkan ambiguitas. Jika seorang dokter mengistilahkan suatu kondisi sebagai 'edema', ia merujuk pada akumulasi cairan spesifik, bukan sekadar 'pembengkakan' umum. Presisi ini menyelamatkan nyawa dan memastikan penelitian dapat direplikasi.
Leksikon dan Jargon
Leksikon adalah keseluruhan kosakata suatu bahasa atau subkelompok. Sementara istilah merujuk pada konsep spesifik, jargon merujuk pada leksikon yang digunakan oleh kelompok tertentu (seringkali secara informal) yang tidak selalu bertujuan untuk presisi formal, tetapi untuk efisiensi komunikasi internal.
Ketika suatu kelompok, misalnya komunitas pengembang perangkat lunak, mengistilahkan metode kerja mereka dengan 'scrum', 'sprint', atau 'agile', mereka menciptakan jargon. Jargon ini memungkinkan komunikasi cepat di antara mereka, tetapi istilah-istilah ini harus melalui proses formalisasi dan standardisasi sebelum dapat diterima sebagai istilah teknis yang baku. Tugas para ahli adalah membedakan antara istilah yang hanya bersifat sementara (jargon) dan istilah yang mewakili konsep fundamental (terminologi).
Proses mengistilahkan konsep baru seringkali dimulai dari jargon. Kata-kata baru muncul dari komunitas pengguna, dan jika kata-kata tersebut terbukti efektif dalam meringkas konsep, kata-kata tersebut perlahan-lahan diserap dan disahkan menjadi istilah formal oleh lembaga bahasa.
VII. Evolusi Istilah: Ketika Definisi Bergeser
Tidak ada istilah yang statis. Seiring perkembangan pengetahuan dan perubahan budaya, istilah yang telah lama ada dapat mengalami pergeseran makna, perluasan makna (generalization), penyempitan makna (specialization), atau bahkan menjadi usang (obsolescence). Ini menunjukkan bahwa proses mengistilahkan adalah upaya yang berkelanjutan, bukan pekerjaan yang sekali jadi.
Perluasan dan Penyempitan Makna
Istilah sering mengalami evolusi semantik. Perluasan Makna terjadi ketika sebuah istilah yang awalnya diistilahkan untuk sesuatu yang spesifik, kini mencakup kategori yang lebih luas. Contoh: Dalam bidang komunikasi, 'virus' dulunya hanya diistilahkan untuk patogen biologis, tetapi kini diperluas untuk mencakup program jahat (virus komputer).
Penyempitan Makna terjadi ketika istilah umum menjadi spesialis. Contoh klasik adalah kata 'sarjana' yang dalam bahasa aslinya (Sansekerta) berarti 'orang bijak' atau 'cendekiawan' secara umum. Kini, dalam Bahasa Indonesia, kata 'sarjana' secara spesifik diistilahkan untuk pemegang gelar akademik tertentu (S1).
Pergeseran ini membuktikan bahwa bahasa, dan istilah di dalamnya, bersifat organik. Istilah-istilah harus mampu beradaptasi dengan konteks baru agar tetap relevan. Tugas kuratorial adalah mencatat pergeseran ini dan, jika perlu, merevisi definisi dalam kamus baku agar istilah tetap presisi dalam penggunaan teknisnya.
Istilah Usang dan Kepunahan Konsep
Kadang-kadang, istilah menjadi usang karena konsep yang mereka wakili sudah tidak relevan lagi. Dalam ilmu pengetahuan, teori yang ditolak dapat membawa serta terminologi yang terkait dengannya ke dalam ketidakjelasan. Misalnya, banyak istilah dari teori 'etilen' yang kini sudah digantikan oleh istilah 'teori hormon tumbuhan' yang lebih komprehensif.
Dalam teknologi, istilah mati dengan cepat. Siapa hari ini yang secara rutin mengistilahkan komputer sebagai 'mesin hitung elektronik'? Atau mengistilahkan koneksi internet sebagai 'dial-up'? Istilah-istilah ini tetap ada dalam sejarah bahasa, tetapi fungsi komunikatif aktifnya telah berkurang. Kepunahan istilah adalah cerminan dari kepunahan konsep atau teknologi yang mereka wakili.
Kemampuan untuk meninggalkan istilah yang tidak lagi melayani presisi adalah bagian penting dari kemajuan ilmiah. Ilmuwan harus berani mengistilahkan kembali fenomena lama dengan cara yang lebih akurat jika model lama terbukti salah atau tidak memadai.
VIII. Mengistilahkan Lintas Budaya dan Isu Penerjemahan
Dalam dunia yang semakin terglobalisasi, tantangan terbesar dalam mengistilahkan adalah bagaimana menerjemahkan konsep yang sangat terikat budaya (culture-bound concepts) dari satu bahasa ke bahasa lain, atau bagaimana istilah yang sempurna dalam satu bahasa menjadi mustahil dipadankan dalam bahasa lain.
Non-Ekivalensi Konseptual
Non-ekivalensi konseptual terjadi ketika suatu budaya atau bahasa memiliki istilah untuk konsep yang tidak ada di budaya lain. Contohnya, banyak istilah hukum atau keagamaan yang sangat spesifik untuk satu sistem, sehingga penerjemah kesulitan mengistilahkan padanan yang ringkas dan akurat.
Misalnya, bagaimana kita mengistilahkan secara tepat konsep Schadenfreude (Jerman: kesenangan yang timbul dari kemalangan orang lain) atau Hyggelig (Denmark: suasana nyaman dan hangat)? Terkadang, solusi terbaik adalah mengadopsi istilah tersebut secara utuh (pinjaman leksikal) dan membiarkan penjelasannya menyertai, daripada mencoba memaksakan terjemahan yang gagal menangkap kedalaman semantiknya.
Istilah yang Berpotensi Salah Terjemah
Ada juga istilah yang terlihat memiliki padanan yang mudah, namun membawa bobot konotatif yang berbeda. Misalnya, menerjemahkan 'Democracy' ke dalam bahasa yang tidak memiliki sejarah panjang praktik demokrasi dapat menghasilkan istilah yang secara harfiah benar, tetapi gagal mewakili kerumitan sejarah dan filosofis di baliknya. Dalam hal ini, proses mengistilahkan harus didampingi oleh penjelasan kontekstual yang mendalam.
Dalam bidang penerjemahan teknis dan medis, kesalahan dalam mengistilahkan adalah masalah serius. Salah satu kesalahan historis terkenal adalah ketika sebuah instruksi medis yang diterjemahkan secara harfiah gagal menangkap perbedaan nuansa antara dosis 'segar' dan dosis 'reguler' dalam bahasa sumber, yang berpotensi menyebabkan keracunan. Ini menyoroti bahwa mengistilahkan dalam konteks teknis memerlukan bukan hanya keahlian linguistik, tetapi juga keahlian substantif dalam bidang yang diterjemahkan.
Oleh karena itu, dalam konteks penerjemahan antarbudaya, para ahli harus sering memilih antara memprioritaskan:
- Ketepatan Formal (Linguistik): Memastikan struktur bahasa dan tata bahasa istilah yang diterjemahkan benar.
- Ketepatan Konseptual (Bidang Ilmu): Memastikan bahwa makna teknis istilah dipertahankan, meskipun memerlukan konstruksi yang canggung dalam bahasa target.
Pilihan yang ideal adalah mencapai keduanya, tetapi dalam kasus terminologi yang kompleks, ketepatan konseptual harus selalu diutamakan.
IX. Mengistilahkan sebagai Warisan Intelektual dan Tanggung Jawab Kolektif
Proses mengistilahkan adalah jantung dari upaya manusia untuk memahami, mengorganisir, dan mengomunikasikan realitas. Dari penamaan bintang-bintang kuno hingga penamaan algoritma kecerdasan buatan, istilah adalah alat yang memungkinkan transmisi pengetahuan antar generasi dan antar disiplin ilmu. Kita telah melihat bahwa mengistilahkan adalah tindakan yang memiliki dimensi filosofis, ilmiah, sosial, dan kuratorial yang mendalam.
Dalam konteks Bahasa Indonesia, tanggung jawab untuk terus mengistilahkan dunia yang berubah dengan cepat berada di pundak lembaga formal maupun pengguna bahasa itu sendiri. Keberhasilan suatu istilah seringkali ditentukan oleh kemampuan istilah tersebut untuk diadopsi secara luas, resonansinya dalam budaya, dan presisi semantiknya di mata para ahli. Jika istilah yang dipilih terlalu asing, terlalu canggung, atau gagal menangkap inti konsep, ia akan ditolak oleh masyarakat pengguna, dan proses mengistilahkan harus dimulai kembali.
Kegiatan mengistilahkan bukanlah hanya soal menyusun daftar kata-kata. Ini adalah cerminan dari bagaimana suatu komunitas linguistik melihat dan memilah-milah alam semesta. Setiap istilah yang berhasil adalah kemenangan kecil dalam perjuangan melawan ambiguitas dan kebingungan. Dengan menghargai dan berpartisipasi aktif dalam penciptaan dan penggunaan terminologi yang tepat, kita memastikan bahwa Bahasa Indonesia tetap relevan, presisi, dan mampu menjadi wadah bagi seluruh spektrum pengetahuan manusia di era kontemporer dan masa depan.
Kekuatan mengistilahkan adalah kekuatan mendefinisikan. Dan mendefinisikan berarti menguasai dan memahami. Selama manusia terus bertanya, menemukan, dan berinovasi, proses tanpa akhir ini akan terus berlanjut, memperkaya leksikon kita dan memperluas batas-batas kognitif kolektif kita.
***
Pengembangan mendalam mengenai peran leksikologi dalam mendukung proses mengistilahkan menunjukkan betapa kritikalnya sumber daya kamus dan tesaurus. Leksikologi memberikan dasar historis dan etimologis bagi istilah-istilah yang hendak dibentuk, memastikan bahwa padanan baru memiliki akar yang kokoh dalam tradisi linguistik. Ketika para ahli berupaya mengistilahkan konsep seperti 'ekuitas' (equity) yang memiliki nuansa berbeda dari 'kesetaraan' (equality), mereka harus merujuk pada sejarah penggunaan kata-kata ini dalam konteks sosial dan hukum Bahasa Indonesia untuk memastikan istilah yang dipilih tidak hanya diterjemahkan dengan benar, tetapi juga relevan secara budaya dan hukum.
Analisis lebih lanjut terhadap fenomena mengistilahkan dalam bidang seni dan estetika menunjukkan bahwa istilah di sana seringkali lebih kabur dan subjektif dibandingkan dengan sains. Seniman atau kritikus yang mengistilahkan suatu gaya sebagai 'minimalisme' atau 'surealisme' tidak memberikan definisi operasional yang ketat, melainkan kerangka interpretasi. Kekuatan istilah-istilah ini terletak pada kemampuannya untuk mengelompokkan karya-karya dengan sensitivitas emosional yang serupa, bukan kesamaan empiris. Ini memperlihatkan fleksibilitas luar biasa dari proses mengistilahkan, yang harus beradaptasi dengan kebutuhan presisi yang berbeda-beda dari setiap disiplin ilmu.
Terkait dengan tantangan adaptasi istilah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, kita sering menemukan istilah yang merupakan hasil dari fusi dua kata (blend words) seperti 'brunch' atau 'smog'. Upaya mengistilahkan fusi ini dalam bahasa Indonesia memerlukan kreativitas neologisme yang tinggi. Apakah kita harus menciptakan fusi kata Indonesia, atau apakah kita harus menggunakan dua kata terpisah untuk mempertahankan kejelasan? Keputusan untuk mengistilahkan 'infotainment' sebagai 'informasi dan hiburan' (dua kata) menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, mempertahankan kejelasan konseptual lebih penting daripada efisiensi leksikal yang ditawarkan oleh kata fusi. Ini adalah contoh konkret bagaimana prinsip-prinsip PUPI memandu pilihan terminologi.
Dalam ranah hukum dan regulasi, presisi dalam mengistilahkan adalah segalanya. Setiap kata dalam undang-undang harus memiliki definisi yang sempit dan ketat, karena interpretasi yang berbeda dapat memiliki implikasi hukum dan finansial yang besar. Ketika pembuat undang-undang mengistilahkan 'aset digital', mereka harus memastikan bahwa definisi tersebut mencakup semua bentuk aset baru yang muncul (seperti NFT, cryptocurrency, dan token) tanpa secara tidak sengaja memasukkan kategori yang tidak dimaksudkan. Proses ini memerlukan kolaborasi erat antara ahli hukum, ahli teknologi, dan ahli bahasa, di mana setiap pihak harus saling mengandalkan untuk memastikan istilah yang dihasilkan tidak memiliki celah hukum atau kelemahan teknis.
Selanjutnya, penting untuk membahas proses 're-terming' atau mengistilahkan ulang. Ini terjadi ketika istilah lama mendapatkan konotasi negatif atau menjadi tidak akurat karena adanya penemuan baru. Dalam bidang psikologi dan kedokteran, misalnya, istilah diagnostik terus-menerus diperbarui untuk menghindari stigma atau untuk mencerminkan pemahaman yang lebih baik tentang etiologi penyakit. Tindakan mengistilahkan ulang ini adalah manifestasi dari komitmen terhadap keadilan sosial dan akurasi ilmiah. Proses ini seringkali dipimpin oleh komunitas yang terkena dampak, yang berjuang untuk menghilangkan istilah yang dianggap merendahkan, menunjukkan lagi bahwa proses penamaan tidak pernah steril dari dinamika kekuatan sosial.
Kemampuan suatu bahasa untuk menampung dan mengistilahkan konsep-konsep abstrak, seperti yang ditemukan dalam matematika murni, juga merupakan indikator kematangan linguistik. Istilah seperti 'kalkulus diferensial', 'manifold', atau 'topologi' harus diterjemahkan ke dalam padanan yang secara intuitif masuk akal bagi mahasiswa Indonesia tanpa mengurangi kekakuan matematisnya. Jika padanan yang dipilih terlalu jauh dari makna aslinya, hal itu dapat menghambat pembelajaran. Proses mengistilahkan matematika adalah ujian berat bagi kekayaan leksikal dan kemampuan bahasa untuk menciptakan konstruksi sintaksis yang efisien untuk ide-ide yang sangat abstrak.
Penyebaran istilah melalui media dan pendidikan menjadi fase berikutnya setelah istilah tersebut resmi diistilahkan. Keberhasilan adopsi istilah baru sangat bergantung pada seberapa efektif istilah tersebut diperkenalkan dalam kurikulum sekolah dan digunakan oleh jurnalis. Jika media massa secara konsisten memilih untuk menggunakan istilah asing alih-alih padanan Indonesia yang telah distandardisasi, upaya kelembagaan untuk mengistilahkan akan terhambat. Oleh karena itu, edukasi publik dan penekanan pada penggunaan bahasa baku di ruang publik adalah komponen penting dalam siklus kehidupan terminologi.
Melihat kembali pada tantangan terminologi digital, pertimbangkan bagaimana kita mengistilahkan 'Artificial General Intelligence' (AGI) versus 'Artificial Narrow Intelligence' (ANI). Jika kita hanya menggunakan 'Kecerdasan Buatan' untuk keduanya, kita kehilangan perbedaan kritis yang mendasari debat etika dan pengembangan teknologi. Para ahli harus mengistilahkan AGI sebagai 'Kecerdasan Buatan Umum' dan ANI sebagai 'Kecerdasan Buatan Terbatas' atau 'Spesifik' untuk memastikan bahwa perbedaan fundamental ini dipertahankan dalam wacana publik dan kebijakan. Kegagalan dalam mengistilahkan secara berbeda akan menyebabkan kebingungan serius tentang risiko dan potensi teknologi ini.
Dalam konteks pengembangan terminologi bahasa daerah, proses mengistilahkan memiliki peran dalam revitalisasi bahasa dan identitas lokal. Banyak konsep kearifan lokal, terutama dalam pertanian tradisional, pengobatan, atau arsitektur, yang memiliki istilah sangat spesifik dalam bahasa daerah. Upaya mendokumentasikan dan mengistilahkan konsep-konsep ini dalam konteks ilmiah (misalnya, mengistilahkan metode irigasi tradisional Sunda ke dalam terminologi pertanian modern) tidak hanya memperkaya Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tetapi juga melestarikan pengetahuan lokal yang berharga. Ini menunjukkan bahwa mengistilahkan adalah alat penting dalam pelestarian warisan budaya.
Akhirnya, marilah kita pertimbangkan kembali peran pengguna bahasa sehari-hari. Meskipun lembaga bahasa mengistilahkan kata-kata baru, bahasa itu sendiri adalah milik kolektif. Pengguna memiliki kekuatan untuk mengadopsi, menolak, atau bahkan menciptakan istilah alternatif (istilah vernakular). Interaksi antara istilah formal dan istilah informal menciptakan dinamika yang memastikan bahasa tetap hidup. Tantangan yang dihadapi oleh setiap individu yang peduli terhadap bahasa adalah bagaimana mengistilahkan dunia mereka secara jelas dan bertanggung jawab, mengakui bahwa setiap pilihan kata yang kita buat berkontribusi pada struktur pengetahuan kolektif.
Kita menutup eksplorasi ini dengan pemahaman bahwa mengistilahkan adalah tindakan yang penuh makna. Ini adalah tugas yang tidak pernah selesai, sebuah dialog abadi antara konsep, realitas, dan simbol. Setiap istilah yang kita terima atau kita ciptakan adalah warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, membentuk tidak hanya cara mereka berbicara, tetapi juga cara mereka berpikir tentang alam semesta di sekitar mereka. Konsistensi, presisi, dan relevansi adalah tuntutan konstan dari seni mengistilahkan ini.
***
Untuk memperkuat pembahasan, perlu diperluas lagi mengenai bagaimana industri kreatif dan pemasaran secara agresif mengistilahkan produk dan layanan baru. Di sini, tujuan mengistilahkan seringkali bukan presisi ilmiah, melainkan daya tarik dan diferensiasi merek. Istilah seperti 'phygital' (fusi fisik dan digital), 'snackable content', atau 'growth hacking' diciptakan untuk menciptakan kategori pasar baru atau membuat praktik yang sudah ada terdengar inovatif. Ketika istilah-istilah ini memasuki wacana publik, mereka mulai bersaing dengan istilah baku, memaksa para ahli bahasa untuk menentukan apakah istilah pemasaran ini hanya tren sesaat atau mewakili konsep fundamental yang perlu diistilahkan secara formal.
Proses mengistilahkan dalam konteks pemasaran menunjukkan adanya dualitas fungsi istilah: fungsi deskriptif (ilmiah) dan fungsi persuasif (retorika). Ketika istilah persuasif mulai mengaburkan deskripsi teknis, ini menjadi tantangan serius bagi komunikasi yang jujur. Contohnya, jika istilah 'alami' diistilahkan secara longgar pada produk makanan, regulator harus turun tangan dan mengistilahkan ulang batasan definisi 'alami' untuk melindungi konsumen dari klaim yang menyesatkan. Hal ini memperjelas bahwa proses mengistilahkan adalah juga domain regulasi dan perlindungan konsumen.
Dalam sejarah intelektual Indonesia sendiri, ada momen-momen krusial di mana keputusan untuk mengistilahkan membawa implikasi nasional yang besar. Keputusan untuk mengistilahkan wilayah dengan nama yang baru (misalnya, mengganti 'Irian Jaya' menjadi 'Papua') adalah tindakan politik yang didorong oleh kebutuhan untuk menghormati identitas lokal dan menghilangkan konotasi historis yang tidak diinginkan. Ini adalah contoh di mana proses mengistilahkan bergerak dari ranah linguistik murni ke ranah politik identitas dan rekonsiliasi sejarah.
Lebih lanjut, pertimbangan etis dalam mengistilahkan penyakit atau kondisi mental tidak bisa diabaikan. Istilah yang dipilih oleh komunitas medis memiliki kekuatan besar untuk menstigma individu. Oleh karena itu, ada dorongan global untuk mengistilahkan kondisi kesehatan mental dengan bahasa yang berfokus pada individu (person-first language) daripada label diagnostik. Misalnya, memilih mengistilahkan seseorang sebagai 'individu dengan skizofrenia' daripada 'penderita skizofrenia'. Perubahan halus dalam terminologi ini mencerminkan evolusi etika medis dan peran bahasa dalam menjaga martabat manusia.
Fenomena istilah yang 'populer' namun secara teknis salah juga merupakan hambatan dalam upaya mengistilahkan secara presisi. Contohnya, banyak orang awam yang mengistilahkan setiap program jahat sebagai 'virus', meskipun program tersebut mungkin secara teknis adalah 'trojan', 'worm', atau 'malware'. Meskipun para ahli antivirus telah mengistilahkan setiap kategori dengan sangat hati-hati, istilah 'virus' telah mengakar kuat dalam leksikon umum. Ini mengharuskan edukator untuk terus-menerus mengoreksi dan menekankan pentingnya menggunakan istilah yang lebih spesifik jika konteksnya adalah diskusi teknis. Kegagalan publik untuk menggunakan terminologi yang tepat menunjukkan bahwa presisi ilmiah sering kali kalah bersaing dengan kemudahan penggunaan istilah yang sederhana dan mudah diingat.
Akhir kata, perdebatan tentang bagaimana mengistilahkan konsep-konsep baru mencerminkan kondisi kesehatan intelektual suatu bangsa. Semangat untuk mencari padanan yang tepat, melakukan penelitian etimologis yang mendalam, dan mempromosikan istilah baku adalah tanda dari komitmen yang kuat terhadap pengetahuan dan komunikasi yang efektif. Tindakan sederhana mengistilahkan, yang seringkali dianggap remeh, sesungguhnya adalah pekerjaan terberat dalam membangun sebuah peradaban yang berlandaskan pada pemahaman bersama. Setiap istilah adalah sebuah keputusan, dan setiap keputusan membentuk realitas yang kita huni bersama.