Mengupas Tuntas Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Ilustrasi Al-Quran sebagai sumber ilmu tajwid Sebuah gambar stilisasi Al-Quran yang terbuka di atas rehal, melambangkan pentingnya membaca kitab suci dengan benar.

Al-Quran adalah Kalamullah, firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat terbesar, pedoman hidup, dan sumber pahala yang tak terhingga. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk berinteraksi dengan Al-Quran, tidak hanya dengan membacanya, tetapi juga berusaha memahami, menghayati, dan mengamalkan isinya. Salah satu adab terpenting dalam berinteraksi dengan Al-Quran adalah membacanya dengan cara yang benar dan baik, sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan. Ilmu yang mengatur tata cara membaca Al-Quran ini dikenal sebagai Ilmu Tajwid.

Pertanyaan yang sering muncul di benak kaum Muslimin, terutama bagi mereka yang baru memulai perjalanan mendalami agamanya adalah, “Apa sebenarnya hukum mempelajari ilmu tajwid?” Apakah ia sekadar anjuran untuk memperindah bacaan, ataukah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah tunggal, melainkan memiliki rincian yang sangat penting untuk dipahami. Secara umum, para ulama membagi hukum yang berkaitan dengan tajwid menjadi dua bagian: hukum mempelajari ilmunya secara teoretis dan hukum mengamalkannya dalam praktik bacaan. Pemahaman yang komprehensif mengenai kedua aspek ini akan membuka wawasan kita tentang betapa luhurnya kedudukan ilmu tajwid dalam Islam.

Definisi dan Tujuan Mulia Ilmu Tajwid

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan hukum, sangat penting bagi kita untuk memahami apa itu ilmu tajwid. Secara etimologi (bahasa), kata tajwid (تجويد) berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata jawwada-yujawwidu-tajwiidan (جوّد - يجوّد - تجويدا), yang berarti membaguskan, memperindah, atau membuat sesuatu menjadi berkualitas baik. Dari sini, kita bisa menangkap esensi bahwa tujuan utama tajwid adalah untuk mencapai kualitas bacaan Al-Quran yang terbaik.

Secara terminologi (istilah), para ulama mendefinisikan ilmu tajwid sebagai ilmu yang mempelajari cara mengucapkan setiap huruf dari Al-Quran dengan benar, yaitu dengan mengeluarkannya dari tempat keluarnya (makhraj) yang tepat serta memberikan setiap hak dan mustahaknya. Hak huruf adalah sifat-sifat lazim yang melekat pada huruf dan tidak pernah terpisah darinya, seperti sifat jahr (jelas), syiddah (kuat), atau isti’la (terangkat). Sedangkan mustahak huruf adalah sifat-sifat 'aridhah (sifat yang muncul karena kondisi tertentu), seperti tafkhim (penebalan) pada huruf Ra' yang berharakat fathah, atau hukum-hukum seperti idgham, ikhfa', dan iqlab.

Dengan kata lain, tujuan utama dan paling fundamental dari ilmu tajwid adalah untuk menjaga lisan dari kesalahan (lahn) ketika membaca firman Allah SWT. Para ulama membagi kesalahan dalam membaca Al-Quran menjadi dua kategori utama:

1. Lahn Jali (Kesalahan yang Jelas dan Nyata)

Lahn Jali adalah kesalahan fatal yang terjadi pada lafaz dan struktur kata, yang dapat mengubah makna ayat atau merusak kaidah tata bahasa Arab. Kesalahan ini bisa berupa:

Contoh yang sangat sering dikutip adalah kesalahan dalam membaca harakat pada kata "an'amta" (أَنْعَمْتَ) dalam Surah Al-Fatihah. Jika dibaca "an'amtu" (أَنْعَمْتُ), maknanya berubah dari "(nikmat) yang telah Engkau berikan" menjadi "(nikmat) yang telah aku berikan". Ini adalah perubahan makna yang sangat fatal dan merusak esensi tauhid. Para ulama sepakat bahwa melakukan Lahn Jali dengan sengaja hukumnya adalah haram secara mutlak. Menghindari kesalahan jenis ini adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

2. Lahn Khafi (Kesalahan yang Tersembunyi)

Lahn Khafi adalah kesalahan yang tidak sampai mengubah makna atau merusak tata bahasa, tetapi mengurangi kesempurnaan bacaan karena tidak sesuai dengan kaidah tajwid yang lebih detail. Kesalahan ini berkaitan dengan kesempurnaan sifat huruf. Contohnya termasuk:

Meskipun tidak sefatal Lahn Jali, para ulama tetap memandang penting untuk menghindari Lahn Khafi. Sebagian ulama menghukuminya sebagai makruh, sementara ulama ahli qira'at yang lebih ketat menganggapnya tetap haram, karena hal itu berarti tidak membaca Al-Quran sebagaimana ia diturunkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dari sinilah urgensi mempelajari dan mengamalkan tajwid menjadi sangat jelas.

Dalil-Dalil Wajibnya Membaca Al-Quran dengan Tajwid

Kewajiban membaca Al-Quran dengan tartil dan tajwid bukanlah sekadar pendapat ulama belaka, melainkan bersumber dari dalil-dalil yang kokoh dari Al-Quran itu sendiri, Sunnah Rasulullah SAW, serta Ijma' (konsensus) para ulama dari generasi ke generasi.

1. Dalil dari Al-Quran

Dalil utama yang menjadi landasan kewajiban ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Muzzammil ayat 4:

...وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

"...dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan (tartil)."

Kata "tartil" dalam ayat ini memiliki makna yang sangat dalam. Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ketika ditanya mengenai makna tartil, beliau menjawab, "Tartil adalah mentajwidkan huruf-hurufnya dan mengetahui tempat-tempat berhentinya (waqaf)." (Tajwiidul huruuf wa ma’rifatul wuquuf). Definisi dari salah seorang sahabat terdekat Nabi ini secara eksplisit menghubungkan perintah tartil dengan praktik tajwid.

Para ahli tafsir seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna "tartil" adalah membaca dengan perlahan, tidak tergesa-gesa, karena hal itu akan membantu dalam memahami dan merenungkan makna Al-Quran. Membaca dengan perlahan secara otomatis menuntut pengucapan setiap huruf dengan jelas dari makhrajnya dan memberikan setiap sifatnya dengan sempurna. Mustahil seseorang bisa membaca secara tartil tanpa mengamalkan kaidah-kaidah dasar tajwid.

2. Dalil dari As-Sunnah

Praktik membaca Al-Quran oleh Rasulullah SAW adalah teladan utama bagi kita. Banyak hadits yang menggambarkan bagaimana cara beliau membaca Al-Quran, yang semuanya menunjukkan penerapan tajwid yang sempurna.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ketika beliau ditanya tentang bacaan Rasulullah SAW, beliau menjawab: "Bacaan beliau (jelas) terperinci huruf demi huruf." (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa setiap huruf diucapkan dengan sangat jelas dan tidak bercampur satu sama lain.

Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ketika ditanya tentang bacaan Nabi SAW, beliau berkata: "Bacaan beliau itu panjang (pada tempatnya)." Kemudian beliau mencontohkan dengan membaca "Bismillaahirrahmaanirrahiim", beliau memanjangkan "Bismillaah", memanjangkan "ar-Rahmaan", dan memanjangkan "ar-Rahiim". (HR. Bukhari). Ini adalah bukti nyata penerapan hukum mad (bacaan panjang) yang merupakan salah satu pilar penting dalam ilmu tajwid.

Rasulullah SAW juga memerintahkan umatnya untuk membaca Al-Quran sebagaimana ia diturunkan dan diajarkan, bukan dengan cara yang dibuat-buat. Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai Al-Quran itu dibaca sebagaimana ia diturunkan." (HR. Ibnu Khuzaimah). Cara Al-Quran diturunkan adalah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bacaan yang fasih dan bertajwid. Oleh karena itu, meniru cara bacaan tersebut adalah sebuah keharusan.

3. Dalil dari Ijma' (Konsensus Ulama)

Sejak zaman sahabat hingga hari ini, para ulama dari berbagai mazhab telah sepakat (ijma') bahwa membaca Al-Quran dengan tajwid hukumnya adalah wajib. Tidak ada seorang pun ulama mu'tabar (yang diakui keilmuannya) yang menyatakan bahwa membaca Al-Quran boleh dilakukan secara sembarangan tanpa memperhatikan kaidah tajwid.

Argumentasi paling kuat dari kalangan ulama datang dari seorang pakar qira'at dan tajwid terkemuka, Imam Muhammad Ibnul Jazari, dalam matan (syair) fenomenalnya yang dikenal sebagai Matan Al-Jazariyyah. Beliau berkata dalam syairnya:

وَالْأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لَازِمُ ... مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرْآنَ آثِمُ
لِأَنَّهُ بِهِ الْإِلَهُ أَنْزَلَا ... وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلَا

"Dan mengamalkan tajwid adalah sebuah keharusan yang pasti... Siapa saja yang tidak mentajwidkan Al-Quran maka ia berdosa.
Karena dengan tajwidlah, Tuhan (Allah) menurunkannya... Dan demikianlah (dengan bertajwid pula) ia sampai kepada kita."

Pernyataan Imam Ibnul Jazari ini sangat tegas dan tidak menyisakan ruang keraguan. Beliau menyatakan bahwa meninggalkan tajwid dalam membaca Al-Quran adalah sebuah dosa. Alasannya sangat kuat: karena Allah SWT menurunkannya dengan cara seperti itu, dan melalui sanad (rantai periwayatan) yang bersambung kepada Rasulullah SAW, Al-Quran sampai kepada kita dalam keadaan dibaca dengan tajwid. Maka, membaca dengan cara selain itu adalah sebuah penyimpangan dari cara Al-Quran itu diwahyukan dan diriwayatkan.

Perincian Hukum: Fardhu Kifayah vs Fardhu 'Ain

Setelah memahami dalil-dalil yang mendasari kewajiban tajwid, kini saatnya kita merinci hukum tersebut. Para ulama membuat sebuah distingsi yang sangat penting antara hukum mempelajari ilmu tajwid secara teoretis dan hukum mempraktikkannya. Di sinilah letak jawaban rinci atas pertanyaan "mempelajari ilmu tajwid hukumnya apa?".

1. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid (Teori): Fardhu Kifayah

Fardhu Kifayah adalah sebuah kewajiban kolektif. Artinya, jika sebagian orang dalam suatu komunitas atau wilayah telah melaksanakannya sehingga kebutuhan terpenuhi, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi individu lainnya di wilayah itu. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh anggota komunitas tersebut menanggung dosa.

Hukum mempelajari ilmu tajwid secara mendalam dan teoretis—seperti menghafal nama-nama hukum (misalnya, izhar halqi, idgham bighunnah, iqlab, ikhfa' haqiqi), mengetahui definisi setiap hukum, syarat-syaratnya, serta dalil-dalilnya—adalah Fardhu Kifayah.

Mengapa demikian? Karena tidak semua orang dituntut untuk menjadi seorang ahli atau guru tajwid. Umat Islam membutuhkan sekelompok orang yang mendedikasikan diri mereka untuk menjadi pakar dalam ilmu ini. Merekalah yang akan menjaga kemurnian ilmu tajwid, menuliskannya dalam kitab-kitab, mengajarkannya kepada generasi berikutnya, dan menjadi rujukan ketika terjadi keraguan atau perselisihan. Jika di setiap kampung atau kota sudah ada beberapa orang yang ahli dalam teori tajwid dan mampu mengajarkannya, maka kewajiban bagi warga lainnya telah terpenuhi. Namun, keberadaan para ahli ini mutlak diperlukan untuk kelestarian ilmu dan pengajaran Al-Quran yang benar.

2. Hukum Mengamalkan Tajwid (Praktik): Fardhu 'Ain

Fardhu 'Ain adalah kewajiban individual yang dibebankan kepada setiap Muslim mukallaf (yang sudah baligh dan berakal) dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Contoh Fardhu 'Ain adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan zakat bagi yang mampu.

Hukum mengamalkan atau mempraktikkan tajwid ketika membaca Al-Quran adalah Fardhu 'Ain. Ini adalah poin yang paling krusial. Setiap Muslim yang membaca Al-Quran, terutama dalam shalatnya, wajib berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dengan benar sesuai kaidah tajwid. Kewajiban ini melekat pada setiap individu.

Penting untuk dicatat, yang menjadi Fardhu 'Ain adalah praktiknya, bukan penguasaan teorinya. Seseorang mungkin tidak tahu apa nama hukum "ghunnah" atau "qalqalah", tetapi ia wajib mendengungkan bacaan nun bertasydid dan wajib memantulkan huruf ba' sukun ketika membacanya. Ia bisa jadi belajar melalui metode talaqqi (belajar langsung dari guru) dan musyafahah (dari mulut ke mulut) dengan cara meniru bacaan gurunya yang benar, tanpa pernah menghafal satu pun istilah tajwid.

Seseorang yang membaca Al-Quran tanpa tajwid, sehingga terjadi Lahn Jali (kesalahan fatal), maka ia berdosa. Adapun jika ia melakukan Lahn Khafi (kesalahan ringan) karena ketidaktahuan dan sedang dalam proses belajar, maka ia dimaafkan, bahkan mendapatkan pahala atas usahanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Orang yang mahir membaca Al-Quran, maka ia bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan terbata-bata dan ia kesulitan membacanya, maka baginya dua pahala." (HR. Muslim)

Hadits ini adalah kabar gembira dan motivasi, bukan alasan untuk berhenti belajar. "Dua pahala" yang dimaksud adalah pahala membaca Al-Quran itu sendiri dan pahala atas kesungguhannya dalam belajar dan mengatasi kesulitan. Kewajiban untuk terus belajar dan memperbaiki bacaan tetap ada.

Urgensi dan Manfaat Agung Mempelajari Tajwid

Mempelajari dan mengamalkan ilmu tajwid bukan sekadar tentang menghindari dosa, tetapi juga tentang meraih berbagai keutamaan dan manfaat yang sangat besar, baik dari sisi spiritual, linguistik, maupun sosial.

Langkah Praktis untuk Memulai Belajar Tajwid

Bagi siapa pun yang merasa bacaannya belum sempurna, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa ditempuh:

  1. Luruskan Niat: Mulailah dengan niat yang tulus, yaitu untuk mencari ridha Allah SWT, untuk bisa membaca firman-Nya dengan cara yang paling Dia cintai.
  2. Cari Guru yang Kompeten: Ini adalah langkah terpenting. Ilmu tajwid tidak bisa dipelajari secara otodidak hanya dari buku atau video. Anda harus belajar secara talaqqi kepada seorang guru yang memiliki sanad atau bacaan yang baik, agar ia bisa mengoreksi langsung kesalahan pengucapan Anda.
  3. Mulai dari Dasar: Jangan terburu-buru ingin mempelajari hukum yang rumit. Mulailah dari fondasi, yaitu Makharijul Huruf (tempat keluar huruf) dan Sifatul Huruf (sifat-sifat huruf). Jika kedua hal ini sudah dikuasai, maka sebagian besar masalah bacaan akan teratasi.
  4. Bersabar dan Konsisten: Belajar tajwid adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Lebih baik belajar sedikit demi sedikit tetapi rutin, daripada belajar banyak sekaligus tetapi jarang-jarang.
  5. Perbanyak Mendengar Bacaan Para Qari' Mu'tabar: Dengarkan murattal dari para qari' yang bacaannya diakui kebenarannya, seperti Syaikh Mahmud Khalil Al-Husary atau Syaikh Aiman Rusydi Suwaid. Cobalah untuk meniru cara mereka melafazkan huruf demi huruf.

Kesimpulan

Dari pemaparan yang panjang ini, dapat kita simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu tajwid memiliki dua dimensi. Mempelajari teorinya secara mendalam adalah Fardhu Kifayah, sebuah tugas mulia yang harus diemban oleh sebagian umat. Sementara itu, mengamalkan tajwid dalam bacaan Al-Quran adalah Fardhu 'Ain, sebuah kewajiban personal bagi setiap Muslim yang membaca Al-Quran.

Kewajiban ini bukanlah untuk memberatkan, melainkan sebuah bentuk pemuliaan terhadap Al-Quran dan manifestasi adab kita kepada Sang Pemilik Kalam, Allah SWT. Ini adalah perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui cara terbaik dalam melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Semoga Allah SWT memudahkan kita semua dalam mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkan ilmu tajwid, serta menjadikan kita sebagai ahli Al-Quran yang menjadi keluarga-Nya di dunia dan akhirat. Aamiin.

🏠 Kembali ke Homepage