Surah Luqman dalam Al-Qur'an menyajikan sebuah dialog abadi, sebuah warisan kebijaksanaan yang diturunkan dari seorang ayah kepada putranya. Dialog ini bukan sekadar petunjuk moral, melainkan cetak biru komprehensif untuk membangun karakter seorang mukmin yang teguh, dimulai dari hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta, hingga hubungan horizontalnya dengan manusia terdekat: orang tua.
Inti dari nasihat Luqman yang paling mendasar terangkum dalam dua ayat yang padat namun penuh makna, yaitu ayat 13 dan 14. Kedua ayat ini membentuk poros ajaran Islam, menegaskan bahwa tidak ada kebaikan dalam amalan apa pun kecuali ia dibangun di atas pondasi tauhid yang murni, dan bahwa kewajiban utama setelah tauhid adalah berbakti (ihsan) kepada kedua orang tua.
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus merenungkan susunan kata-kata Ilahi dan nasihat Luqman yang terabadikan:
Nasihat Luqman dibuka dengan panggilan penuh kasih sayang: "Ya Bunayya" (Wahai anakku yang kecil/sayang). Panggilan ini menunjukkan kehangatan dan keinginan tulus seorang ayah agar nasihatnya benar-benar meresap ke dalam jiwa sang anak. Ini mengajarkan metodologi pendidikan: nasihat harus disampaikan dengan cinta, bukan paksaan yang kering.
Pelajaran pertama yang diberikan Luqman bukanlah tentang tata krama, shalat, atau puasa, melainkan tentang fondasi akidah: "لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ" (Janganlah engkau mempersekutukan Allah). Ini adalah prioritas mutlak dalam Islam. Semua amalan saleh tidak akan diterima jika dicampuri oleh syirik. Tauhid adalah syarat sahnya ibadah, dan syirik adalah pembatalnya.
Syirik adalah menyamakan makhluk dengan Khaliq (Pencipta) dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Allah SWT, seperti uluhiyyah (ibadah), rububiyyah (penciptaan, pengaturan), dan asma wa sifat (nama dan sifat-Nya). Nasihat ini menargetkan syirik dalam segala bentuknya, baik syirik akbar (besar) maupun syirik ashghar (kecil).
Luqman, dengan kebijaksanaannya, memastikan bahwa garis pertahanan spiritual putranya dimulai dari titik terkuat: pemurnian ketaatan total hanya kepada Allah semata. Keselamatan dunia dan akhirat bergantung pada kemurnian tauhid ini.
Luqman menjelaskan mengapa syirik harus dihindari: "إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ" (Sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar). Kata kunci di sini adalah ظُلْمٌ عَظِيمٌ (Dzulmun Azhim).
Dalam bahasa Arab, *dzulm* berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya yang seharusnya (*وضع الشيء في غير محله*). Kezaliman memiliki tingkatan, tetapi syirik berada pada puncak piramida kezaliman, sebab ia merupakan penyimpangan terbesar dari keadilan kosmis dan spiritual.
1. Kezaliman terhadap Allah: Hak terbesar Allah adalah disembah tanpa sekutu. Ketika seseorang melakukan syirik, ia telah merampas hak Allah dan memberikannya kepada makhluk yang lemah. Ini adalah kejahatan moral dan spiritual yang tidak terampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan syirik.
2. Kezaliman terhadap Diri Sendiri: Syirik adalah kezaliman terbesar yang dilakukan seseorang terhadap jiwanya sendiri. Dengan syirik, ia menghancurkan peluang keselamatannya di akhirat dan menempatkan jiwanya dalam risiko azab abadi. Ia telah mengotori fitrah (kesucian asal) yang diberikan Allah.
3. Kezaliman terhadap Keadilan: Jika keadilan adalah menempatkan segala sesuatu sesuai timbangannya, maka meyakini bahwa patung batu atau orang mati memiliki kekuatan yang sama dengan Pencipta langit dan bumi adalah puncak ketidakadilan intelektual dan spiritual.
Inilah mengapa nasihat Luqman dimulai dengan Tauhid. Tanpa Tauhid, seluruh bangunan etika dan ibadah manusia akan runtuh. Pemahaman ini harus tertanam kuat: Syirik bukanlah sekadar kesalahan; ia adalah kejahatan fundamental yang menghancurkan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Gambar 1: Representasi visual Tauhid sebagai Jalan Lurus yang bercahaya.
Setelah menetapkan hak Allah (Tauhid), ayat 14 segera melanjutkan dengan menetapkan hak makhluk yang paling mulia dan paling berjasa: orang tua. Ayat ini merupakan firman Allah, bukan perkataan Luqman, yang menunjukkan betapa pentingnya perintah ini sehingga Allah sendiri yang menegaskannya, menghubungkannya langsung dengan nasihat Luqman.
"وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ" (Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya). Kata *washsha* (Kami perintahkan/wasiatkan) menunjukkan perintah yang sangat ditekankan, hampir setara dengan wasiat terakhir yang harus dilaksanakan. Perintah ini berlaku universal bagi seluruh manusia.
*Ihsan* dalam konteks ini lebih tinggi daripada sekadar berbuat baik. Ia berarti melakukan kebaikan dengan cara terbaik, tulus, dan penuh kesempurnaan. Ini mencakup:
Ayat ini kemudian secara spesifik menyoroti beban ibu untuk memberikan pembenaran yang emosional dan logis mengapa berbakti begitu penting:
"حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ" (Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah).
Frasa وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ (Wahnan ‘Ala Wahni) adalah penggambaran linguistik yang luar biasa tentang penderitaan ibu. *Wahn* berarti kelemahan, kemunduran, atau rasa sakit. Pengulangan frasa ini (kelemahan di atas kelemahan) menggambarkan beban progresif yang dialami ibu selama sembilan bulan:
Penyebutan ibu dalam konteks ini berfungsi ganda: sebagai pengingat akan pengorbanan yang tak terhitung, dan sebagai dasar keutamaan hak ibu di atas ayah, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW.
Ayat ini melanjutkan pengorbanan ibu hingga masa penyapihan: "وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ" (dan menyapihnya dalam usia dua tahun). Penyebutan periode dua tahun ini bukan hanya informasi, tetapi juga penekanan pada hak anak untuk mendapatkan gizi dan kasih sayang terbaik selama periode kritis ini, sekaligus menegaskan waktu yang dihabiskan ibu dalam keadaan pengorbanan terus-menerus.
Puncak dari ayat ini adalah penggabungan dua hak terbesar dalam satu perintah: "أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ" (Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu). Allah memerintahkan manusia untuk berterima kasih kepada-Nya (Sang Pencipta kehidupan) dan berterima kasih kepada orang tua (perantara kehidupan).
Para mufasir menekankan bahwa syirik merusak rasa syukur kepada Allah, sementara durhaka (ughuq) merusak rasa syukur kepada orang tua. Keduanya adalah kejahatan moral yang harus dihindari.
Ayat ini ditutup dengan pengingat final: "إِلَيَّ الْمَصِيرُ" (Hanya kepada-Ku lah kembalimu). Pengingat ini mengikat semua perintah dengan konsekuensi Akhirat. Ketaatan dan syukur akan dibalas, sementara kedurhakaan dan syirik akan dipertanggungjawabkan di hadapan Mahkamah Ilahi.
Gambar 2: Perlindungan dan kasih sayang orang tua, simbol Birrul Walidain.
Kedua ayat ini, meskipun singkat, memuat kerangka dasar pendidikan Islam. Untuk mencapai kedalaman makna yang dibutuhkan, kita perlu mengupas tuntas implikasi teologis, linguistik, dan sosiologis dari setiap frasa kunci.
Mengapa Allah dan Luqman begitu keras terhadap syirik? Karena syirik adalah akar dari semua kejahatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Syirik mematikan akal budi dan merusak logika. Jika seseorang bisa menyembah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau bahaya, maka ia telah merusak nalar logisnya, dan ia akan mudah melakukan kezaliman-kezaliman lain.
Penekanan pada *Dzulmun Azhim* (Kezaliman yang Besar) harus dipahami dalam konteks absolut. Kezaliman lain—seperti mencuri, membunuh, atau menipu—adalah kezaliman horizontal terhadap sesama manusia. Kezaliman-kezaliman ini, betapapun beratnya, masih mungkin diampuni oleh Allah melalui taubat. Namun, syirik adalah kezaliman vertikal terhadap Allah, yang menutup pintu ampunan jika seseorang mati tanpa bertaubat darinya.
Ibn Taimiyyah, ketika menjelaskan ayat ini, menekankan bahwa syirik merupakan kontradiksi paling mendasar terhadap tujuan penciptaan manusia. Manusia diciptakan untuk ibadah (Tauhid); ketika ia menyimpang, ia tidak hanya gagal dalam tugasnya tetapi juga secara aktif merendahkan martabat Ilahi. Ini adalah pengkhianatan tertinggi.
Mari kita telusuri implikasi dari *Dzulmun Azhim* dalam kehidupan sehari-hari. Syirik tidak selalu berupa sujud di depan patung. Syirik modern bisa berupa:
Luqman ingin memastikan putranya memahami bahwa menjaga tauhid adalah pertahanan sejati melawan kehancuran spiritual. Jika fondasi ini rapuh, seluruh bangunan etika dan moral akan runtuh dengan mudah, menjadikannya seorang zalim yang menghancurkan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Penting untuk mengulang dan memperluas pembahasan tentang frasa "Wahnan ‘Ala Wahni" karena ini adalah jantung argumentasi kewajiban berbakti kepada ibu. Kelemahan ini harus dilihat bukan hanya sebagai kelemahan fisik, tetapi juga psikologis, emosional, dan ekonomis.
Setiap trimester membawa kelemahan baru. Di trimester pertama, tubuh berjuang menyesuaikan diri, menyebabkan mual hebat (morning sickness), yang sering kali merupakan kelemahan dalam kemampuan mencerna dan menerima nutrisi. Di trimester kedua, berat badan bertambah, menyebabkan kelemahan pada sendi dan tulang belakang. Di trimester ketiga, kelemahan ini mencapai puncaknya—tekanan pada paru-paru, kesulitan tidur, dan pengurasan kalsium tubuh yang membuat ibu rentan terhadap osteoporosis di masa depan. Ini adalah utang biologis yang tak terbayar.
Di samping fisik, ibu mengalami wahnan dalam bentuk kekhawatiran yang terus-menerus. Ketakutan akan keguguran, kecemasan menjelang persalinan, dan stres merawat bayi yang baru lahir, di mana tidur terganggu dan kebutuhan diri sendiri sering diabaikan. Kelemahan ini berlanjut selama dua tahun penuh masa menyusui, di mana ibu harus selalu siaga, menguras energi emosionalnya demi pertumbuhan anak.
Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syaikh Mutawalli Sha'rawi, menekankan bahwa penyebutan mendetail ini adalah agar sang anak tidak pernah melupakan betapa besar harga yang dibayar oleh ibunya. Nilai pengorbanan ini tidak dapat diukur dengan materi, melainkan hanya dapat dibalas dengan ketaatan yang tulus (ihsan).
Penempatan ayat 13 dan 14 secara berurutan, dan penggabungan syukur dalam satu kalimat (syukur kepada Allah dan syukur kepada orang tua), menunjukkan bahwa ada korelasi yang sangat erat antara hubungan vertikal dan horizontal.
Syukur (shukr) kepada Allah adalah manifestasi tauhid yang paling praktis. Allah adalah Pemberi nikmat (Al-Mun'im) sejati. Orang tua adalah perantara nikmat kehidupan, kasih sayang, dan pengasuhan. Seseorang yang gagal menghargai perantara (orang tua) tidak mungkin tulus dalam menghargai Sumber nikmat (Allah).
Oleh karena itu, Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua) berfungsi sebagai ujian nyata dan praktis terhadap kualitas tauhid seseorang. Jika ia mengklaim mencintai Allah tetapi tidak mampu bersabar dan melayani orang tuanya yang tua dan lemah, maka klaim tauhidnya patut dipertanyakan.
Pesan Luqman mengajarkan bahwa keimanan sejati harus menghasilkan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid yang benar tidak membuat seseorang menjadi kaku atau arogan; sebaliknya, ia menghasilkan kerendahan hati dan empati, yang diterapkan paling utama pada mereka yang telah berjasa besar dalam hidupnya.
Ayat 14 ditutup dengan: "إِلَيَّ الْمَصِيرُ" (Hanya kepada-Ku lah kembalimu). Pengingat ini berfungsi sebagai penutup yang menegaskan bahwa semua perintah ini, baik Tauhid maupun Birrul Walidain, adalah bagian dari ujian kehidupan yang hasilnya akan dibuka di Hari Penghisaban.
Setiap tindakan kebaikan kepada orang tua akan dicatat secara rinci, sebagaimana setiap desahan durhaka pun tidak akan luput dari pengawasan Ilahi. Pengingat akan Hari Kembali ini merupakan motivasi yang kuat bagi seorang mukmin untuk terus-menerus meningkatkan standar kebaikannya, terutama dalam hal menjaga dua hak agung ini.
Nasihat Luqman kepada putranya adalah kurikulum pendidikan karakter yang lengkap. Luqman mengajarkan bahwa pendidikan moral harus dimulai dari kebenaran absolut, bukan dari relatifitas budaya. Kepatuhan kepada Allah harus mendahului kepatuhan kepada siapa pun.
Penggunaan "Ya Bunayya" berulang kali bukan sekadar gaya bahasa, melainkan sebuah metode pedagogis. Ia menciptakan ikatan emosional dan menghilangkan jarak. Anak akan lebih reseptif terhadap nasihat keras (seperti larangan syirik) jika disampaikan dalam bingkai kasih sayang dan kelembutan.
Luqman tidak hanya melarang, ia juga menjelaskan alasan pelarangan (Kezaliman yang Besar) dan memberikan dasar pembenaran untuk perintah (Penderitaan Ibu yang Bertambah-tambah). Ini mengajarkan bahwa pendidikan yang efektif harus melibatkan logika dan hati.
Meskipun ayat ini menyoroti penderitaan ibu secara spesifik, ini juga merupakan pengingat bagi sang ayah (Luqman) untuk menghormati peran ibu. Luqman, sebagai kepala keluarga, mengajarkan putranya untuk menghargai pengorbanan pasangannya. Ini menetapkan keseimbangan hak dan kewajiban dalam keluarga Islami.
Para ayah memiliki kewajiban ganda: mendidik anak tentang tauhid (seperti yang dilakukan Luqman) dan mendidik anak untuk menghormati sang ibu yang telah menanggung beban wahnan ‘ala wahni. Kegagalan ayah dalam kedua peran ini akan menyebabkan keruntuhan spiritual dan moral dalam rumah tangga.
Meskipun kewajiban berbakti kepada orang tua sangat tinggi, Islam dengan tegas menetapkan batasnya, yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya (Luqman ayat 15), namun konteksnya harus dibahas di sini untuk melengkapi pemahaman Ayat 14:
Jika orang tua memerintahkan anak untuk melakukan syirik (mempersekutukan Allah), ketaatan kepada orang tua harus dihentikan seketika. Allah berfirman: *“...dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik...”* (QS. Luqman: 15).
Ini menunjukkan bahwa meskipun syirik adalah kezaliman terbesar dan harus ditolak, penolakan itu harus tetap dilakukan dengan cara yang baik (*ma’rufan*). Anak harus menolak perintah maksiat dengan hormat, tanpa menghardik atau memutuskan hubungan. Inilah keindahan syariat Islam yang menetapkan hierarki kewajiban: Hak Allah di atas segalanya, diikuti oleh hak orang tua, yang harus diperlakukan dengan ihsan dalam segala keadaan.
Perintah "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu" adalah salah satu perintah Al-Qur'an yang paling inklusif, menghubungkan ibadah murni dengan tanggung jawab sosial dan kekeluargaan.
Syukur kepada Allah memiliki tiga pilar:
Kezaliman syirik, sebagaimana dibahas di Ayat 13, adalah lawan mutlak dari syukur. Seseorang yang melakukan syirik telah mengingkari nikmat terbesar—nikmat keberadaan dan petunjuk—dan menempatkan makhluk sebagai tandingan Allah.
Syukur kepada orang tua juga merupakan amal nyata. Itu bukan sekadar ucapan terima kasih. Syukur kepada orang tua diwujudkan melalui:
Ayat 14 menjamin bahwa Birrul Walidain adalah pintu besar menuju ridha Ilahi. Rasulullah SAW bersabda, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orang tua." Hadis ini menegaskan urgensi Syukr Lil Walidain sebagai jalan untuk mencapai Syukr Lillahi.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dari Luqman 13-14, kita perlu terus meninjau mengapa dua tema ini—Tauhid dan Orang Tua—selalu disandingkan dalam Al-Qur'an (seperti juga dalam QS. Al-Baqarah: 83 dan QS. An-Nisa: 36).
Kezaliman syirik bukan hanya dosa terbesar, tetapi juga dosa yang membakar habis kebaikan. Seseorang yang memiliki amal sebesar gunung, jika bercampur dengan syirik akbar, seluruh amalnya akan sia-sia (QS. Az-Zumar: 65). Luqman menekankan hal ini karena ia tahu bahwa tanpa tauhid, seluruh nasihat moral dan etika (yang akan ia berikan di ayat-ayat berikutnya) akan menjadi bangunan tanpa fondasi.
Syirik menciptakan kekacauan spiritual. Ketika seseorang memiliki tuhan yang banyak atau meyakini kekuatan di luar Allah, ia akan selalu bingung, mencari perlindungan ke berbagai arah, dan hidupnya penuh dengan superstisi yang merusak. Tauhid, sebaliknya, memberikan ketenangan dan fokus ibadah pada satu arah, membebaskan jiwa dari perbudakan makhluk.
Jika syirik adalah kezaliman vertikal, maka durhaka kepada orang tua adalah kezaliman horizontal yang paling mendalam. Mengingkari jasa orang tua adalah pengingkaran terhadap kebenaran yang paling nyata. Siapa yang tidak bersyukur kepada orang tuanya, ia adalah seorang pengingkar nikmat sejati.
Dalam tafsir klasik, durhaka (ughuq) dianggap sebagai salah satu dosa besar yang dosanya dipercepat di dunia sebelum di Akhirat. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang hak kedua orang tua, yang pengorbanannya dibuktikan secara biologis dan emosional dalam frasa Wahnan ‘Ala Wahni.
Penyebutan detail mengenai kehamilan dan penyapihan berfungsi untuk mematikan setiap alasan yang mungkin digunakan anak untuk membenarkan kedurhakaannya. Anak mungkin merasa orang tua otoriter atau menyebalkan di masa tua mereka, tetapi Al-Qur'an mengingatkan: tidak peduli seberapa besar rasa frustrasimu, itu tidak sebanding dengan sembilan bulan beban yang mereka tanggung dan dua tahun menyusui penuh tantangan.
Bahkan, jika kedua orang tua adalah musuh Islam—sebagaimana dikontekstualisasikan oleh Ayat 15—kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka dalam urusan duniawi tetap berlaku. Islam tidak membolehkan kebencian teologis merusak kewajiban kemanusiaan dan etika terhadap orang tua.
Kisah Luqman ini mengajarkan bahwa tanggung jawab pendidikan akidah dan etika tidak boleh didelegasikan sepenuhnya. Itu adalah tugas utama orang tua, khususnya ayah, untuk duduk bersama anak, menggunakan kata-kata yang penuh kasih, dan menjelaskan prinsip-prinsip kehidupan. Nasihat Ya Bunayya adalah model interaksi yang harus ditiru oleh setiap keluarga muslim.
Pendidikan Tauhid adalah investasi terpenting untuk masa depan anak. Pendidikan Birrul Walidain adalah jaminan keberkahan dan ketenangan bagi orang tua di masa tua. Keseimbangan antara ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada orang tua inilah yang membentuk masyarakat yang adil dan beradab.
Nasihat Luqman tidak hanya relevan untuk individu, tetapi juga bagi struktur sosial umat. Komunitas yang gagal menerapkan dua prinsip utama ini—Tauhid murni dan Ihsan kepada orang tua—akan menghadapi konsekuensi jangka panjang.
Ketika syirik merajalela, masyarakat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan yang batil. Energi mereka habis dalam ritual yang tidak produktif dan bergantung pada mitos daripada realitas. Kekuatan masyarakat terpecah, dan mereka menjadi mangsa mudah bagi penjajahan ideologis atau spiritual.
Di tingkat individu, syirik menghasilkan kecemasan dan keputusasaan, karena manusia bergantung pada kekuatan yang fana dan tidak pasti. Hanya Tauhid yang memberikan kebebasan jiwa total, karena ia menyadari bahwa hanya ada satu pengatur di alam semesta ini.
Masyarakat modern sering kali terjebak dalam individualisme yang ekstrem, memandang orang tua sebagai beban atau penghalang kemajuan. Kehilangan Birrul Walidain (durhaka) menyebabkan keruntuhan institusi keluarga.
Oleh karena itu, ketika Allah menyandingkan Tauhid dan Birrul Walidain, Allah mengajarkan bahwa ketertiban surgawi dan ketertiban duniawi adalah dua sisi mata uang yang sama. Kebaikan harus dimulai dari Rumah Allah (memurnikan ibadah) dan Rumah Sendiri (menghormati sumber kehidupan).
Nasihat Luqman adalah panggilan untuk kembali kepada fitrah: fitrah tauhid yang murni dan fitrah kasih sayang yang tak terbatas kepada orang tua yang telah berjuang dalam keadaan wahnan ‘ala wahni. Ini adalah pesan yang tidak lekang oleh zaman, berlaku bagi setiap anak dan setiap orang tua di mana pun mereka berada, hingga hari ketika semua akan kembali kepada Sang Khalik: إِلَيَّ الْمَصِيرُ.
Kita telah menyelami kedalaman Surah Luqman ayat 13 dan 14, memahami bahwa keduanya adalah tiang penyangga utama kehidupan seorang mukmin. Luqman mengajarkan anaknya dan, melalui Al-Qur'an, mengajarkan seluruh umat manusia, bahwa fondasi segala kemuliaan adalah pengakuan tulus atas keesaan Allah, dan puncak akhlak adalah pelayanan tulus kepada orang tua.
Nasihat ini merupakan sebuah janji sekaligus peringatan. Janji bahwa siapa pun yang teguh memegang Tauhid dan mengamalkan Ihsan kepada orang tua akan menemukan kesuksesan abadi. Peringatan bahwa Syirik adalah kezaliman mutlak yang menghancurkan semua amalan, dan kedurhakaan adalah kezaliman sosial yang memutus rahmat di dunia.
Mari kita pastikan bahwa setiap langkah kehidupan kita mencerminkan kedua prinsip agung ini. Jaga kemurnian Tauhid kita dari segala bentuk syirik, dan tingkatkan Birrul Walidain kita melebihi apa pun, mengingat penderitaan ibu yang melahirkan kita dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan, serta mengingat bahwa pada akhirnya, kembalinya kita hanya kepada Allah SWT. Inilah warisan abadi Luqman Al-Hakim.