Setiap lembar sejarah kenabian dipenuhi dengan bukti nyata atas kasih sayang yang tak terbatas. Namun, dalam keseluruhan diskursus teologis dan spiritual, terdapat satu ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit merangkum esensi perhatian, kelembutan, dan pengorbanan tertinggi yang dimiliki oleh seorang utusan agung. Ayat tersebut adalah penutup dari Surah At-Tawbah, sebuah penegasan ilahi yang dikenal luas dengan permulaannya: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ (Laqod jaakum Rasulun min anfusikum).
Terjemah bebas dari ayat ini adalah: "Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Ayat ini, yang diletakkan pada penghujung sebuah surah yang penuh dengan perintah jihad dan pemutusan hubungan dengan kaum munafik, berfungsi sebagai penutup yang menenangkan dan memberikan kepastian. Ia menggarisbawahi fondasi hubungan antara Nabi Muhammad SAW dan umatnya, yang sepenuhnya didasarkan pada empati dan kasih sayang yang mendalam. Tafsir para ulama membagi ayat ini menjadi beberapa bagian kunci yang harus dianalisis secara terperinci.
Frasa لَقَدْ (Laqod) adalah partikel penegas yang kuat dalam bahasa Arab. Ia menggabungkan huruf Lam (penegasan sumpah/qasam) dan Qod (penegasan masa lalu yang pasti). Ini bukan sekadar pemberitahuan kedatangan, melainkan sebuah sumpah ilahi bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah sebuah kepastian yang fundamental dan memiliki bobot yang luar biasa dalam skema ilahiah.
Penegasan ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai otentisitas kenabian dan misi yang diemban. Allah SWT sendiri bersumpah atas kebenaran kedatangan utusan ini, menunjukkan bahwa peristiwa ini adalah titik balik terbesar bagi kemanusiaan. Kedatangan beliau adalah janji yang telah terpenuhi, sebuah rahmat yang tak terhindarkan bagi seluruh alam.
Frasa رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ (Rasulun min anfusikum) memiliki dua makna utama yang sama-sama penting dalam tafsir. Secara harfiah, ini berarti "seorang Rasul dari jiwamu sendiri" atau "dari jenismu sendiri."
Pertama, Kesamaan Manusiawi (Nabi adalah Manusia): Ini menekankan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah malaikat atau makhluk supernatural. Beliau adalah manusia biasa, lahir, hidup, dan mengalami kesulitan seperti manusia lainnya. Hal ini mempermudah umat untuk meniru (itbaa') akhlak dan ajarannya, karena beliau menghadapi godaan dan tantangan yang sama seperti mereka. Jika beliau datang dari jenis makhluk lain, umat mungkin berdalih bahwa kesempurnaan hanya bisa dicapai oleh makhluk tersebut, bukan oleh manusia fana. Kehadiran beliau sebagai manusia adalah syarat mutlak bagi kesuksesan risalah, menjadikan teladan beliau realistis dan dapat dijangkau.
Kedua, Kemuliaan Nasab (Nabi dari Kalangan Terbaik): Banyak mufassir, termasuk Ibnu Abbas dan Qatadah, menafsirkan *min anfusikum* sebagai "dari yang terbaik di antara kamu" atau "dari nasab yang paling suci." Interpretasi ini menekankan kemuliaan nasab beliau yang bebas dari keburukan dan celaan sejak Adam hingga Abdul Muththalib. Ini adalah penekanan ganda: beliau adalah manusia (mudah diteladani) namun sekaligus manusia yang terpilih dan tersucikan (memiliki otoritas spiritual dan moral tertinggi).
Ini adalah titik pertama dari tiga karakteristik utama yang mendefinisikan hubungan emosional Nabi dengan umatnya. عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Azizun alaihi ma anittum) diterjemahkan sebagai "berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami." Kata kunci di sini adalah *'Anittum* (kesulitan, kesukaran, penderitaan, dosa yang memberatkan).
Makna *Azizun Alaihi* adalah bahwa segala bentuk kesulitan yang menimpa umat, baik di dunia maupun di akhirat, terasa sangat memberatkan dan menyedihkan bagi Nabi SAW. Beliau tidak ingin melihat umatnya menderita. Kualitas ini menunjukkan empati yang melampaui batas; kesulitan yang dialami oleh individu lain, dirasakan oleh beliau seolah-olah menimpa dirinya sendiri. Ini adalah bentuk kepemimpinan spiritual yang ideal, di mana pemimpin tidak terpisah dari kesulitan pengikutnya.
Contoh nyata dari sifat *Azizun Alaihi* dapat dilihat dalam Sirah Nabawiyah ketika beliau sangat bersedih melihat umatnya jatuh ke dalam dosa atau menolak hidayah. Kesedihan beliau pada malam-malam Qiyamul Lail, saat beliau memohon ampunan bagi umatnya, adalah manifestasi langsung dari sifat ini. Beliau khawatir akan azab yang mungkin menimpa mereka di hari kiamat.
Karakteristik kedua adalah حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Harisun alaikum), yang berarti "sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu." Kata *Haris* mengandung arti keinginan yang kuat, dorongan yang gigih, atau bahkan ‘rakus’ dalam konteks positif—rakus akan kebaikan dan keselamatan bagi orang lain.
Sifat *Haris* ini adalah kekuatan pendorong di balik seluruh misi dakwah beliau. Keinginan beliau bukan hanya agar umatnya nyaman di dunia, tetapi yang utama adalah agar mereka mencapai kebahagiaan abadi di Akhirat. Keinginan ini begitu intensif sehingga terkadang hampir menghancurkan diri beliau sendiri, sebagaimana firman Allah di tempat lain (Q.S. Al-Kahfi: 6): "Maka, barangkali engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih hati..."
Jika *Azizun* adalah empati terhadap kesulitan, maka *Harisun* adalah proaktivitas untuk memberikan solusi dan keselamatan. Ini mencerminkan upaya tanpa henti Nabi SAW dalam mendakwahi, mendidik, dan membimbing umat, bahkan ketika mereka menolak atau menyakitinya. Keinginan untuk menyelamatkan umat inilah yang membedakan kepemimpinan beliau dari pemimpin duniawi lainnya.
Puncak dari deskripsi ilahi ini disempurnakan dengan dua Asmaul Husna (yang juga merupakan sifat Nabi): بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Bil Mu'minina Ra'ufun Rahim), "penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Penting dicatat bahwa sifat *Ra'ufun Rahim* di sini secara spesifik dihubungkan dengan بِالْمُؤْمِنِينَ (terhadap orang-orang mukmin). Meskipun Nabi Muhammad SAW adalah Rahmatan Lil 'Alamin (Rahmat bagi seluruh alam), sifat khusus *Ra'uf* dan *Rahim* ini ditekankan secara langsung kepada mereka yang telah memilih jalan keimanan. Ini adalah jaminan istimewa bagi kaum mukminin bahwa Rasul mereka adalah pelindung spiritual dan emosional mereka.
Untuk memahami kedalaman ayat Laqod Jaakum, kita harus menempatkannya dalam konteks Surah At-Tawbah (Pengampunan). Surah ini adalah salah satu surah terakhir yang diturunkan, sering disebut sebagai ‘Surah Pedang’ karena berisi perintah keras untuk memerangi kaum musyrikin yang melanggar perjanjian dan mengungkap habis tabiat kaum munafik di Madinah. Surah ini diturunkan setelah Perang Tabuk dan menjelang akhir kehidupan Nabi SAW. Suasana surah ini adalah suasana ketegasan, hukuman, dan pembersihan barisan umat Islam.
Mengapa ayat yang penuh kelembutan ini diletakkan setelah serangkaian ayat tentang ketegasan dan jihad? Para mufassir melihatnya sebagai strategi ilahiah: setelah umat diperintahkan untuk bersikap keras terhadap musuh-musuh Islam dan membersihkan hati dari kemunafikan, Allah SWT menutupnya dengan pengingat bahwa tujuan dari semua ketegasan ini adalah untuk melindungi umat yang dicintai oleh Rasulullah SAW. Ayat 128 adalah jaminan: ketegasan bukan berarti Allah atau Rasul-Nya tidak peduli; sebaliknya, ketegasan itu sendiri adalah bentuk rahmat dan kasih sayang untuk memastikan keselamatan jangka panjang bagi kaum mukminin.
Ibnu Kathir menjelaskan bahwa ayat ini berfungsi sebagai penutup yang menenangkan, mengingatkan orang-orang yang mungkin merasa terbebani oleh perintah-perintah berat atau yang khawatir akan dosa-dosa mereka, bahwa Nabi mereka adalah sumber pengampunan dan perlindungan.
Sifat-sifat Nabi yang disebutkan dalam Laqod Jaakum—yaitu *Aziz, Haris, Ra'uf, dan Rahim*—bukanlah sekadar sifat teoritis, melainkan landasan bagi setiap tindak tanduk beliau sepanjang dua puluh tiga tahun masa kenabian. Mengkaji sirah (biografi) beliau adalah mengkaji bagaimana sifat-sifat ini terwujudkan dalam situasi yang paling ekstrem sekalipun.
Sifat *Azizun Alaihi* terlihat jelas dalam peristiwa-peristiwa penting, khususnya yang melibatkan keputusan hukum. Ketika dihadapkan pada dua pilihan hukum, Nabi SAW selalu memilih yang paling ringan bagi umatnya, selama itu tidak melanggar perintah Allah. Aisyah RA pernah bersaksi bahwa Rasulullah tidak pernah memilih antara dua perkara kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama tidak mengandung dosa.
Contoh yang paling menyentuh adalah ketika Rasulullah SAW menunda salat Isya’ karena khawatir akan membebani umat. Beliau bersabda: "Jika bukan karena aku khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk menunda salat ini hingga sepertiga malam." Perasaan ‘berat’ melihat umatnya kesulitan adalah motivasi utama di balik keringanan (rukhsah) dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam, melalui tangan Nabi Muhammad SAW, dirancang bukan untuk menyulitkan, melainkan untuk memudahkan.
Penderitaan umat yang dirasakan oleh Nabi tidak hanya terbatas pada masalah duniawi atau hukum, tetapi juga penderitaan spiritual. Kekhawatiran terbesar beliau adalah bid’ah, perpecahan, dan kesesatan yang akan menimpa umat setelah beliau wafat. Kesedihan beliau terkait perpecahan umat melampaui kesedihan atas kekalahan perang, karena perpecahan adalah kesulitan abadi yang mengancam keselamatan spiritual.
Oleh karena itu, memahami *Azizun Alaihi* berarti memahami bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW adalah peredam kesulitan. Ketika kita merasa terbebani oleh hidup, mengingat bahwa Nabi telah merasakan beban itu bagi kita, seharusnya memotivasi kita untuk kembali pada ajaran beliau yang menjanjikan kemudahan.
Sifat *Harisun Alaikum* tercermin dalam ketabahan beliau di Thaif, di Mekkah selama pemboikotan, dan selama masa-masa genting dalam perang. Setelah dilempari batu dan dihina di Thaif, malaikat Jibril menawarkan untuk menghancurkan penduduk kota itu. Namun, Nabi SAW menolak. Beliau berkata, "Bahkan, aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun."
Ini adalah perwujudan sempurna dari *Harisun Alaikum*. Keinginan untuk menyelamatkan melampaui hasrat untuk membalas dendam. Beliau melihat potensi iman dalam generasi yang belum lahir, menunjukkan pandangan jangka panjang yang didorong oleh kasih sayang yang mendalam. Kegigihan beliau memastikan bahwa pintu taubat dan hidayah selalu terbuka lebar, bahkan bagi musuh-musuh terberat sekalipun, selama hayat dikandung badan.
Kegigihan ini juga berarti Nabi SAW tidak pernah merasa lelah dalam mengajarkan kebenaran. Beliau mengulang-ulang nasihat, bersabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berulang, dan mencari cara baru untuk menyampaikan risalah kepada berbagai kalangan. *Harisun Alaikum* mengajarkan kita bahwa kasih sayang sejati menuntut usaha, konsistensi, dan ketidakputusasaan dalam membimbing orang lain menuju jalan yang benar, meskipun jalannya penuh rintangan.
Sementara ayat 9:128 menekankan sifat *Ra'ufun Rahim* kepada orang-orang mukmin, ia tidak dapat dipisahkan dari ayat lain yang menegaskan kedudukan beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya: 107). Rahmat beliau terbagi menjadi dua: Rahmat umum (bagi seluruh alam, termasuk non-muslim dan makhluk hidup) dan Rahmat khusus (bagi kaum mukminin, yang menjamin keselamatan akhirat).
Kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat karena menghentikan praktik-praktik jahiliyah yang merusak, memberikan kerangka hukum yang adil, dan mencegah azab total yang biasanya menimpa umat terdahulu yang menolak nabi mereka. Jika Nabi Muhammad SAW tidak diutus, kemanusiaan akan terus terjerumus dalam kegelapan moral dan sosial. Keberadaan beliau dan ajarannya menjadi penyeimbang moralitas di dunia.
Sikap beliau terhadap tawanan perang, anak-anak, wanita, dan bahkan hewan, semuanya adalah manifestasi dari rahmat umum ini. Beliau melarang membunuh wanita dan anak-anak dalam perang, dan mengajarkan etika perlakuan terhadap hewan, bahkan saat penyembelihan. Ini adalah reformasi total terhadap moralitas global yang dipicu oleh kasih sayang yang menyeluruh.
Rahmat khusus ini adalah apa yang membedakan hubungan beliau dengan umat beriman. Di hari kiamat, ketika semua nabi sibuk dengan diri mereka sendiri, Nabi Muhammad SAW akan maju untuk memohon Syafa’atul ‘Uzhma (Syafaat Agung) bagi seluruh manusia, dan Syafa’at khusus bagi umatnya untuk dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke surga. Ini adalah manifestasi puncak dari sifat *Azizun Alaihi* dan *Harisun Alaikum* yang diabadikan dalam sifat *Ra'ufun Rahim*.
Syafa'at beliau adalah janji bahwa rasa 'berat' yang beliau rasakan atas kesulitan umat tidak akan pernah berhenti, bahkan setelah kematian. Sifat *Ra'ufun Rahim* memastikan bahwa jembatan penghubung antara Nabi dan umatnya tetap kokoh, melintasi batas dunia dan akhirat.
Ayat Laqod Jaakum bukan hanya deskripsi tentang Nabi, tetapi juga tuntutan bagi umat. Ketika kita menyadari betapa besarnya pengorbanan dan kasih sayang yang beliau curahkan, respons yang tepat dari umat haruslah berupa:
Jika Nabi Muhammad SAW merasa berat atas kesulitan umat, maka kaum Muslimin harus mewarisi empati ini. Seorang Muslim sejati tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap kesulitan saudara-saudaranya, baik dalam hal ekonomi, sosial, maupun spiritual. Kesulitan orang lain harus terasa 'berat' bagi kita (*Azizun Alaihi*). Ini menuntut adanya solidaritas sosial yang kuat (ukhuwah Islamiyah) dan tanggung jawab kolektif untuk meringankan beban sesama Muslim.
Mewarisi sifat *Azizun* berarti menghindari fanatisme yang memecah belah dan sebaliknya, mencari titik temu yang memudahkan pelaksanaan ajaran Islam. Mengingat bahwa Nabi selalu memilih yang termudah, umat juga harus berusaha menghindari pembuatan-buat aturan yang tidak perlu yang justru memberatkan dan menjauhkan orang dari agama.
Karena beliau adalah *Harisun Alaikum* (sangat menginginkan kebaikan kita), respons alami kita haruslah mencintai beliau melebihi diri sendiri dan keluarga. Kecintaan (Mahabbah) ini diwujudkan melalui pengikutan (Itbaa') terhadap sunnahnya. Mengikuti sunnah bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk terima kasih atas upaya beliau yang tak kenal lelah untuk menyelamatkan kita.
Ibnu Taimiyyah dan ulama-ulama lain menekankan bahwa cinta kepada Rasulullah SAW bukanlah klaim emosional semata, melainkan tindakan nyata mengikuti petunjuk beliau. Setiap kali kita melakukan suatu ibadah atau tindakan moral sesuai dengan tuntunan beliau, kita sedang menjawab kasih sayang beliau.
Oleh karena itu, kewajiban umat adalah memastikan bahwa ajaran yang mereka praktikkan adalah ajaran yang murni dari Rasulullah SAW, sehingga seluruh upaya dan kegigihan beliau tidak sia-sia. Pengabaian terhadap sunnah adalah pengabaian terhadap manifestasi tertinggi dari *Harisun Alaikum*.
Ayat Laqod Jaakum memberikan landasan spiritual yang kuat bagi seorang Muslim. Penghayatan mendalam terhadap ayat ini memengaruhi cara pandang kita terhadap takdir, ibadah, dan hubungan sesama manusia. Pemahaman bahwa Nabi merasakan kesulitan kita secara mendalam memberikan rasa aman dan jaminan dalam praktik spiritual.
Dalam ilmu Fikih, sifat *Azizun Alaihi* menjadi prinsip utama di balik kaidah Al-Mashaqqah Tajlib At-Taisir (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan). Seluruh sistem keringanan hukum, mulai dari jamak-qashar salat hingga izin berbuka puasa bagi yang sakit, berakar pada kasih sayang kenabian yang tidak ingin melihat umatnya menderita. Dengan memahami ini, seorang Muslim akan melihat syariat bukan sebagai rantai kewajiban yang berat, melainkan sebagai sebuah sistem yang dirancang dengan kelembutan ilahiah melalui perantara Nabi SAW.
Seorang Muslim yang menghayati *Laqod Jaakum* akan mencari kemudahan dalam agama tanpa jatuh pada penyelewengan. Ia akan selalu mengingat bahwa jika beliau bersabar dalam mengajarkan sesuatu, maka kita harus bersabar dalam melaksanakannya, mengetahui bahwa kesulitan yang ada telah diminimalisir oleh Nabi sendiri.
Dalam konteks Tasawwuf (sufisme), penghayatan ayat ini adalah jalan menuju Maqam Mahabbah (Tingkatan Cinta) kepada Rasulullah SAW. Cinta ini melahirkan Adab (etika) yang tinggi. Adab kepada Nabi tidak hanya berarti menghormati namanya dan sunnahnya, tetapi juga berusaha meniru *Akhlaq Al-Karimah* (akhlak mulia) beliau, terutama sifat penyantun (*Ra'uf*) dan penyayang (*Rahim*). Jika kita tahu beliau memiliki dua sifat ini, kita pun harus berusaha keras untuk memiliki sifat yang sama terhadap sesama manusia.
Para sufi sering merenungkan ayat ini sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan sifat *ra'fah* dan *rahmah* dalam diri mereka. Bagaimana mungkin seorang hamba mengklaim mencintai Rasul yang penuh kasih sayang, tetapi dirinya sendiri keras hati, pemarah, dan tidak peduli terhadap nasib orang lain? Penghayatan *Laqod Jaakum* menuntut transformasi karakter dari dalam.
Di masa-masa fitnah dan perpecahan, ayat 9:128 berfungsi sebagai pilar ketahanan (tsabat) bagi umat Islam. Ketika umat dihadapkan pada tantangan global, pemahaman akan kasih sayang Nabi memberikan harapan yang tak terpadamkan. Harapan ini terbagi menjadi aspek Dunia dan Akhirat.
Dalam menghadapi krisis sosial dan politik, umat Islam diingatkan bahwa Nabi mereka telah melalui penderitaan yang jauh lebih besar (*Azizun Alaihi*). Kisah hijrah, Perang Uhud, dan pengepungan Khandaq adalah bukti bahwa kesulitan adalah bagian dari perjalanan iman. Namun, di balik kesulitan itu, terdapat keinginan kuat Nabi untuk melihat umatnya berhasil (*Harisun Alaikum*). Oleh karena itu, ketidakputusasaan dalam mencari solusi dan memperbaiki keadaan adalah sunnah yang didorong oleh ayat ini.
Fokus utama *Laqod Jaakum* adalah pada keselamatan akhirat. Penekanan pada *Ra'ufun Rahim* memastikan bahwa bahkan bagi mereka yang tergelincir atau berbuat dosa, selama mereka tetap berada dalam lingkaran keimanan, mereka memiliki pendoa dan perantara yang tak tertandingi di sisi Allah SWT. Pengetahuan ini seharusnya memotivasi taubat yang tulus, karena ada jaminan belas kasih dari Rasulullah SAW yang akan memohonkan ampunan bagi mereka.
Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun pertobatan itu sulit, ada dukungan ilahiah dan kenabian yang menanti. Kasih sayang beliau adalah jaring pengaman terakhir bagi setiap mukmin yang mengakui kesalahannya dan kembali kepada Allah SWT.
Meskipun ayat ini ditujukan secara langsung kepada kaum Muslimin, sifat-sifat yang terkandung di dalamnya menawarkan pelajaran universal bagi kepemimpinan, kemanusiaan, dan etika.
Ayat ini mendefinisikan kepemimpinan spiritual yang ideal. Pemimpin sejati adalah yang merasakan penderitaan rakyatnya (Azizun), yang secara proaktif mencari kebaikan bagi rakyatnya (Harisun), dan yang mengelola kekuasaannya dengan belas kasih dan kelembutan (Ra'ufun Rahim). Model kepemimpinan Nabi Muhammad SAW menolak tiranisme dan otoritarianisme yang berbasis kepentingan pribadi. Ini adalah cetak biru bagi setiap individu yang memegang amanah, besar maupun kecil, dalam masyarakat.
Dalam kondisi masyarakat modern yang seringkali dilanda keputusasaan, kisah Nabi yang selalu berharap dan gigih (*Harisun Alaikum*) memberikan suntikan optimisme. Beliau tidak pernah putus asa terhadap potensi kebaikan dalam diri manusia. Ini mendorong kita untuk melihat orang lain bukan hanya dari kesalahan masa lalu mereka, tetapi dari potensi taubat dan kebaikan yang dapat mereka capai di masa depan.
Dengan demikian, Laqod Jaakum adalah lebih dari sekadar deskripsi; ia adalah manual operasional tentang bagaimana kasih sayang ilahi diwujudkan melalui perantara manusia yang sempurna. Ia adalah janji, motivasi, dan tuntutan untuk meneladani cinta dan pengorbanan yang tak pernah habis.
Ayat Laqod Jaakum Rasulun min anfusikum akan tetap menjadi salah satu ayat terpenting yang menjelaskan kedudukan agung Nabi Muhammad SAW. Ayat ini memastikan bahwa hubungan antara umat dan Nabi tidak pernah terputus; ia adalah hubungan kasih sayang abadi, yang dimulai di dunia melalui risalah dan akan disempurnakan di akhirat melalui syafa’at. Kesadaran akan betapa ‘beratnya’ kesulitan kita dirasakan oleh beliau, dan betapa ‘kuatnya’ keinginan beliau untuk menyelamatkan kita, harus menjadi motor penggerak bagi setiap mukmin untuk selalu berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Setiap Muslim diajak untuk merenungkan makna ayat ini: Rasulullah SAW telah memenuhi janji-Nya, telah menanggung beban berat demi kita, dan telah menunjukkan kasih sayang yang tak terbatas. Kini, giliran kita untuk membuktikan bahwa kita layak menerima rahmat *Ra'ufun Rahim* itu, dengan membalasnya melalui ketaatan yang sempurna dan cinta yang tulus. Sungguh, telah datang kepada kita seorang Rasul yang penuh kasih sayang. Maka, sambutlah dan ikutilah beliau dengan sepenuh hati.