Adab dan Hukum: Larangan Saat Adzan Berkumandang

Corong Panggilan Adzan

Adzan, seruan agung yang menggema lima kali dalam sehari, bukanlah sekadar penanda waktu atau melodi penghias langit. Ia adalah sebuah proklamasi ilahi, panggilan langsung dari Allah SWT kepada hamba-Nya untuk segera meninggalkan segala urusan duniawi dan menghadap ke hadirat-Nya melalui shalat. Mengingat statusnya yang begitu sakral, umat Islam diwajibkan untuk menunjukkan adab yang paripurna dan menghentikan segala aktivitas yang berpotensi mengurangi penghormatan terhadap seruan tersebut.

Pengabaian terhadap adzan, atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan semangat seruan tersebut, dipandang sebagai hal yang sangat makruh, bahkan dapat mencapai tingkatan haram dalam kondisi tertentu, terutama jika hal itu dilakukan dengan niat meremehkan. Artikel ini akan mengupas tuntas larangan-larangan utama yang harus dihindari, landasan syariatnya, serta implikasi hukumnya menurut berbagai madzhab fikih, memberikan panduan komprehensif mengenai bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap ketika suara muadzin mulai berkumandang.

I. Kewajiban Dasar: Mendengar, Menjawab, dan Berhenti Beraktivitas

Sebelum membahas larangan, penting untuk memahami kewajiban fundamental yang menjadi alasan utama mengapa larangan-larangan tersebut ada. Kewajiban utama saat adzan adalah al-istima’ wa al-ijabah, yaitu mendengarkan dengan seksama dan menjawab seruan muadzin dengan mengulangi lafazh-lafazh adzan, kecuali pada lafazh 'Hayya 'alash shalaah' dan 'Hayya 'alal falaah' yang diganti dengan 'Laa haula wa laa quwwata illaa billah'.

Kewajiban menjawab ini (ijabah) secara otomatis menuntut penghentian aktivitas lainnya. Seseorang tidak mungkin bisa menjawab adzan dengan hati dan lisan yang khusyuk jika pada saat yang sama ia sedang sibuk dengan pembicaraan yang tidak relevan, transaksi bisnis, atau hiburan. Imam Nawawi, dalam pandangannya, menekankan bahwa menjawab adzan adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan), dan mengabaikannya tanpa uzur adalah perbuatan yang tidak disukai (makruh).

Keutamaan Menjawab Adzan

Keutamaan yang dijanjikan bagi mereka yang menjawab adzan adalah pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah wasilah untukku, karena wasilah adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap, akulah hamba itu. Barang siapa memintakan wasilah untukku, dia berhak mendapat syafaatku." (HR. Muslim).

Pengejaran pahala dan ampunan ini membutuhkan konsentrasi penuh. Oleh karena itu, segala tindakan yang memecah konsentrasi, seperti berbicara atau bekerja, secara inheren bertentangan dengan semangat ibadah saat adzan berlangsung. Inilah akar dari segala larangan yang akan dibahas selanjutnya.

II. Larangan Utama: Membicarakan Urusan Duniawi

Larangan paling mutlak dan paling sering ditekankan oleh para ulama adalah larangan berbicara atau mengobrol mengenai urusan duniawi selama adzan berlangsung. Ini mencakup percakapan biasa, tawa-tawa yang keras, atau diskusi yang tidak ada sangkut pautnya dengan shalat atau adzan itu sendiri.

1. Larangan Berbicara yang Tidak Perlu (Kalam Al-Laghwi)

Konsensus ulama menetapkan bahwa berbicara tentang masalah duniawi selama adzan adalah sangat makruh (makruh tahrim), bahkan di beberapa pendapat dianggap haram, khususnya jika pelakunya sengaja dan meremehkan. Adab ini didasarkan pada penghormatan terhadap seruan Allah.

Detail Fikih Mengenai Diam Saat Adzan

Menurut mazhab Hanafi, meninggalkan kewajiban menjawab adzan dengan menyibukkan diri pada pembicaraan lain adalah perbuatan yang tercela. Mereka sangat menganjurkan keheningan total. Mazhab Syafi'i juga menyatakan bahwa menyibukkan diri dengan obrolan yang bukan dzikir atau doa adalah makruh, karena hal itu menghilangkan pahala menjawab adzan.

Larangan berbicara ini tidak hanya berlaku untuk orang yang berada di dekat masjid, tetapi juga bagi mereka yang mendengarkan suara adzan melalui media elektronik atau lainnya. Syariat menekankan pentingnya mendengarkan suara adzan seolah-olah muadzin berbicara langsung kepada pendengar, menyeru mereka untuk meninggalkan hiruk pikuk dunia.

Pengecualian dalam Larangan Berbicara

Meskipun larangan berbicara sangat tegas, terdapat beberapa pengecualian yang dianggap dimaafkan, yaitu:

  1. Menjawab Salam: Jika seseorang mengucapkan salam kepada kita saat adzan berkumandang, sebagian ulama (terutama Syafi'iyah) membolehkan menjawab salam tersebut, namun lebih utama menunda jawaban hingga adzan selesai.
  2. Menyuruh Kebaikan atau Mencegah Kemungkaran: Jika terjadi suatu bahaya atau kemungkaran yang mendesak, atau jika ada kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa atau harta, maka berbicara untuk tujuan tersebut dibolehkan.
  3. Membaca Al-Qur'an atau Dzikir: Seseorang yang sedang membaca Al-Qur'an atau berdzikir harus menghentikan bacaannya (jika itu bukan bagian dari doa menjawab adzan) untuk fokus mendengarkan dan menjawab muadzin. Namun, melanjutkan dzikir yang berkaitan dengan adzan (seperti istighfar atau sholawat) diperbolehkan.

Inti dari larangan ini adalah: Setiap kata yang diucapkan yang tidak mendukung proses peribadatan (yakni menjawab adzan) harus dihentikan demi menghormati status adzan sebagai permulaan dari ibadah shalat yang agung.

2. Larangan Melakukan Transaksi Jual Beli (Al-Bai’ wa Asy-Syira’)

Aktivitas ekonomi, khususnya jual beli, harus dihentikan total saat adzan berkumandang, terutama Adzan Jum’at. Meskipun larangan berhenti berdagang pada waktu adzan Jum’at disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an (Surat Al-Jumu'ah ayat 9), para ulama mengqiaskan larangan ini juga berlaku secara umum pada adzan shalat fardhu lainnya, meskipun tingkat larangannya mungkin sedikit lebih rendah (dari haram menjadi makruh tahrim).

Tujuan dari larangan ini jelas: untuk memfokuskan hati dan pikiran sepenuhnya pada panggilan Allah, menjauhkan diri dari godaan harta dan keuntungan dunia. Transaksi yang dilakukan selama adzan dapat dianggap tidak berkah, karena dilakukan pada saat hati seharusnya berorientasi kepada akhirat.

Implikasi Hukum pada Jual Beli

Dalam konteks Adzan Jum’at, mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi jual beli yang dilakukan setelah adzan kedua (yang menandai masuknya waktu shalat Jum’at) adalah haram dan sebagian bahkan menyatakan akadnya tidak sah atau sah namun berdosa besar. Untuk adzan shalat fardhu lainnya, tindakan tersebut dipandang sebagai pelanggaran adab yang serius dan mengurangi pahala menjawab adzan.

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)

Prinsip ini diperluas kepada segala bentuk kesibukan duniawi yang memerlukan konsentrasi tinggi dan dapat menunda respons terhadap panggilan adzan. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, menandatangani kontrak, melakukan perhitungan keuangan yang rumit, atau menyelesaikan proyek pekerjaan yang membutuhkan fokus penuh.

III. Larangan Terkait Gerakan dan Keberadaan Fisik

Larangan berikutnya berhubungan dengan tindakan fisik, terutama bagi mereka yang sudah berada di dekat atau di dalam masjid.

1. Larangan Meninggalkan Masjid Setelah Adzan Berkumandang

Bagi seseorang yang sudah berada di dalam masjid ketika adzan dikumandangkan, ia dilarang meninggalkan masjid tersebut kecuali karena adanya uzur syar'i yang sangat mendesak. Tindakan ini secara populer disebut sebagai *khuruj ba'da al-adhan*.

Landasan larangan ini adalah hadits dari Abu Hurairah RA, yang melihat seorang pria keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, lalu beliau berkata, "Adapun orang ini, ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW)." (HR. Muslim).

Tafsir dan Alasan Hukum

Larangan ini bertujuan untuk memastikan jamaah berkumpul dan shalat berjamaah dapat segera didirikan. Meninggalkan masjid setelah adzan dapat diartikan sebagai ketidakpedulian terhadap seruan tersebut dan meremehkan shalat berjamaah. Uzur yang membolehkan keluar antara lain:

Jika tidak ada uzur, tindakan keluar tersebut dihukumi makruh tahrim (sangat mendekati haram) karena berpotensi menghilangkan pahala shalat berjamaah, yang nilainya 27 kali lipat dibandingkan shalat sendirian.

2. Larangan Terus-Menerus Sibuk dengan Pekerjaan Fisik

Meskipun seseorang tidak berbicara, terus melanjutkan pekerjaan fisik yang menyita perhatian, seperti membangun, memperbaiki kendaraan, atau kegiatan fisik berat lainnya, juga dihukumi makruh. Tujuannya adalah untuk segera menghentikan kegiatan tersebut, bersiap-siap, dan bergegas menuju tempat shalat. Kegiatan fisik yang tidak dapat ditunda (misalnya menahan pintu agar tidak roboh) dikecualikan, namun pekerjaan rutin harus segera diakhiri.

IV. Analisis Fikih Mendalam: Tingkat Larangan (Haram, Makruh Tahrim, Makruh Tanzih)

Pembahasan mengenai larangan saat adzan seringkali melibatkan perbedaan pendapat (khilafiyah) antar mazhab mengenai tingkat keparahan pelanggaran tersebut. Pemahaman terhadap hal ini sangat penting untuk menentukan prioritas dalam bersikap.

1. Fikih Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi sangat ketat dalam urusan adab shalat. Mereka menyatakan bahwa mengabaikan adzan dengan sengaja, khususnya dengan berbicara yang tidak bermanfaat, adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram). Mereka menekankan bahwa kehormatan adzan sebagai penyeru menuju Allah harus dijaga dengan keheningan dan fokus.

Bagi mereka, kewajiban mendengarkan adzan bersifat umum, dan menyibukkan diri dengan apapun yang tidak relevan adalah sama dengan tidak memenuhi hak adzan. Bahkan, seorang Hanafi dianjurkan untuk menghentikan shalat sunnah yang sedang ia kerjakan jika adzan mulai berkumandang, demi fokus mendengarkan dan menjawab muadzin, kecuali jika khawatir waktu shalat fardhu akan habis.

Aspek Pengecualian pada Shalat Jenazah

Sebagian ulama Hanafi memandang bahwa jika adzan berkumandang saat seseorang sedang melaksanakan shalat jenazah, shalat tersebut dapat dilanjutkan karena shalat jenazah adalah ibadah yang harus disegerakan pelaksanaannya (berdasarkan prinsip *ta'jil*), dan menghentikannya dapat menyebabkan penundaan yang tidak perlu bagi si mayit.

2. Fikih Mazhab Maliki

Mazhab Maliki cenderung melihat larangan ini dalam konteks adab dan kesempurnaan ibadah. Meskipun mereka tidak secara eksplisit mengharamkan bicara atau aktivitas duniawi selama adzan selain Adzan Jum’at, mereka sangat menekankan makruhnya tindakan tersebut. Meninggalkan jawaban adzan dianggap kehilangan pahala yang besar.

Maliki berpendapat bahwa keutamaan menjawab adzan begitu besar sehingga segala hal yang menghalanginya, meskipun tidak haram zatnya, menjadi terlarang demi meraih kesempurnaan sunnah. Oleh karena itu, bagi Maliki, jika ada orang yang sedang belajar atau mengajar, mereka harus menghentikan prosesnya dan mendengarkan adzan.

3. Fikih Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i termasuk yang paling detail dalam membagi jenis larangan. Mereka umumnya menghukumi *makruh tanzih* (makruh yang lebih ringan) bagi tindakan seperti berbicara, makan, atau minum saat adzan, asalkan itu bukan Adzan Jum’at. Namun, mereka sepakat bahwa makruh ini menjadi sangat kuat (mendekati tahrim) jika tindakan tersebut dilakukan secara berkelanjutan tanpa adanya uzur.

Isu Makan dan Minum

Syafi’iyah secara spesifik membahas makan dan minum. Jika seseorang sedang makan atau minum dan adzan berkumandang, lebih baik baginya untuk segera mengakhirinya. Namun, jika ia sedang sangat haus atau lapar dan khawatir akan mengganggu kekhusyukan shalatnya, ia boleh menghabiskan apa yang ada di mulut atau tangannya, namun tidak dianjurkan memulai makanan baru.

Mazhab Syafi’i juga memperkuat pandangan mengenai larangan bagi musafir yang melewati daerah berkumandangnya adzan untuk tidak mengabaikannya. Mereka harus berhenti sejenak, mendengarkan, dan menjawab adzan tersebut sebagai bentuk penghormatan.

4. Fikih Mazhab Hanbali

Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya menekankan pentingnya adab dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka memandang bahwa menahan diri dari segala hal yang memalingkan dari ibadah adalah kewajiban adab. Meninggalkan jawaban adzan tanpa uzur dihitung sebagai pelanggaran adab yang serius.

Bagi Hanbali, larangan meninggalkan masjid setelah adzan (kecuali dengan uzur) adalah larangan yang sangat ditekankan, mengikuti sunnah Nabi SAW yang memerintahkan jamaah untuk menetap dan menunaikan shalat.

V. Larangan Kontekstual dan Implikasi di Era Modern

Meskipun nash (teks agama) berfokus pada bicara dan jual beli, prinsip dasar penghormatan adzan dapat diperluas untuk mencakup segala bentuk gangguan modern.

1. Larangan Mendengarkan Musik atau Hiburan Keras

Ketika adzan berkumandang, seorang Muslim wajib mematikan atau setidaknya mengecilkan volume semua media hiburan yang dapat mengalihkan perhatian, seperti musik, film, permainan video, atau siaran yang tidak bermanfaat.

Prinsipnya: Jika sebuah aktivitas suara menghalangi pendengaran dan pemahaman terhadap lafazh adzan, maka aktivitas itu harus dihentikan. Melanjutkan mendengarkan musik keras saat adzan adalah pelanggaran adab yang parah, karena suara musik bersaing langsung dengan suara ilahi yang menyeru kepada shalat.

Hukum Penggunaan Ponsel Saat Adzan

Penggunaan telepon genggam, baik untuk menelepon, berselancar di internet, atau bermain game, juga termasuk dalam kategori larangan berbicara dan kesibukan duniawi. Seorang Muslim dianjurkan untuk segera mengakhiri panggilan telepon (jika tidak darurat) dan mengunci layarnya, lalu fokus pada adzan.

Menjawab panggilan telepon yang tidak mendesak pada saat adzan setara dengan memilih komunikasi duniawi di atas komunikasi ilahi, yang merupakan indikasi kurangnya penghormatan terhadap seruan tersebut.

2. Larangan Menghidupkan Televisi/Radio dengan Volume Tinggi

Jika televisi atau radio sedang menayangkan program yang tidak berkaitan dengan adzan atau ibadah, wajib hukumnya untuk meredam atau mematikannya. Jika yang disiarkan adalah adzan itu sendiri, maka kewajiban adalah mendengarkan dan menjawabnya. Namun, jika yang disiarkan adalah program hiburan atau berita, hal tersebut dianggap *lahw* (kesia-siaan) yang memalingkan hati dari panggilan shalat.

VI. Keutamaan Menahan Diri dan Konsekuensi Pengabaian

Mengapa syariat begitu menekankan larangan-larangan ini? Jawabannya terletak pada pentingnya menjaga kesucian waktu dan makna mendalam dari adzan itu sendiri.

1. Hikmah Dibalik Keheningan: Kesadaran Waktu

Adzan berfungsi sebagai "pemotong" siklus duniawi. Ia memaksa manusia untuk sejenak menghentikan kecepatan hidup modern, meletakkan pekerjaan, dan merenungkan tujuan hidupnya yang sebenarnya. Keheningan yang diciptakan saat adzan adalah momen sakral di mana hati dihadapkan pada Rabbul Alamin (Tuhan Semesta Alam).

Ketika seorang Muslim memilih untuk diam, mendengarkan, dan menjawab, ia sedang mempraktikkan konsep *tazkiyatun nafs* (penyucian jiwa), yaitu mendahulukan perintah Allah di atas keinginan pribadi dan kesibukan materi.

2. Peringatan Ulama Mengenai Kekurangan Pahala

Para ulama salafus shalih sangat mewanti-wanti mengenai dampak buruk bagi mereka yang mengabaikan adzan. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan bahwa orang yang tidak menghentikan pembicaraan saat adzan, meskipun tidak berdosa besar, ia telah kehilangan pahala yang sangat besar, yaitu pahala menjawab adzan dan pahala doa setelah adzan yang mustajab.

Pengabaian yang terus menerus dan berulang dapat menyebabkan hati menjadi keras dan sulit menerima nasehat keagamaan, karena ia telah terbiasa menolak panggilan Tuhan.

Kisah Peringatan (Ibrah)

Terdapat kisah-kisah yang dijadikan ibrah (pelajaran) dalam literatur Islam mengenai konsekuensi bagi mereka yang sangat tenggelam dalam transaksi duniawi saat adzan. Meskipun kisah-kisah ini mungkin tidak selalu berstatus hadits shahih, maknanya menegaskan bahwa mengutamakan harta di atas panggilan shalat dapat membawa dampak negatif pada keberkahan hidup dan rezeki seseorang. Menghentikan transaksi selama beberapa menit saat adzan adalah ujian keimanan terhadap janji Allah bahwa rezeki tidak akan berkurang karena ketaatan.

VII. Rincian Tambahan dan Hal-Hal yang Dianjurkan

Untuk menyempurnakan adab saat adzan, selain larangan, terdapat beberapa tindakan yang sangat ditekankan (mandub) untuk dilakukan, yang secara tidak langsung mendukung keharusan menghentikan segala aktivitas duniawi.

1. Anjuran Menghadap Kiblat Saat Adzan

Meskipun tidak diwajibkan, sebagian ulama menganjurkan (istihbab) bagi pendengar adzan untuk menghadap kiblat saat muadzin menyeru, sebagai bentuk penghormatan dan persiapan mental menuju shalat. Tindakan ini juga membantu fokus, sehingga secara fisik dan mental menjauhkan diri dari kesibukan lain.

2. Anjuran Berhenti Mengaji atau Membaca Al-Qur'an

Jika seseorang sedang membaca Al-Qur'an dan adzan berkumandang, ia dianjurkan untuk menghentikan bacaannya. Prioritas diberikan kepada mendengarkan dan menjawab adzan, karena adzan adalah panggilan yang waktunya terbatas, sementara membaca Al-Qur'an dapat dilanjutkan setelahnya.

Menghentikan qira'ah ini adalah bentuk pengutamaan fardhu atau sunnah muakkadah yang waktunya sempit (adzan) di atas amalan sunnah yang waktunya luas (membaca Al-Qur'an).

3. Doa Setelah Adzan: Peluang Emas

Larangan beraktivitas duniawi diakhiri dengan dorongan kuat untuk memanfaatkan waktu mustajab setelah adzan. Setelah menjawab adzan, dianjurkan membaca doa khusus (Doa Wasilah), diikuti dengan doa pribadi. Rasulullah SAW bersabda: "Doa yang diucapkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Fokus penuh pada saat adzan memungkinkan transisi yang mulus ke dalam doa yang mustajab ini, menjadikan keseluruhan proses adzan sebagai sebuah unit ibadah yang padat hikmah dan pahala. Jika seseorang sibuk mengobrol atau bekerja saat adzan, ia akan kehilangan kesempatan berharga untuk berintrospeksi dan berdoa pada waktu yang sangat istimewa.

VIII. Penekanan Hukum pada Kondisi Mendesak

Penting untuk membedakan antara larangan syar'i (berdasarkan nash) dan adab (etika). Meskipun larangan berbicara adalah adab yang kuat, situasi darurat selalu menjadi pengecualian yang diterima dalam syariat (kaidah *al-dharurat tubih al-mahzurat*).

1. Situasi Bahaya dan Medis

Jika seseorang sedang memberikan pertolongan pertama, memadamkan api, atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa, ia tidak diwajibkan untuk menghentikan tindakannya demi menjawab adzan. Dalam kondisi ini, menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan adalah prioritas syar'i yang lebih tinggi.

Hal ini juga berlaku bagi petugas medis atau tenaga keamanan yang sedang bertugas. Mereka harus menunaikan tugasnya, dan shalat (atau menjawab adzan) dapat dilakukan segera setelah situasi darurat terkendali.

2. Kebutuhan Menanggapi Panggilan Orang Tua

Sebagian ulama kontemporer membahas mengenai kewajiban mendengarkan adzan berhadapan dengan kewajiban menanggapi panggilan orang tua. Jika orang tua memanggil dengan kebutuhan mendesak, ketaatan kepada orang tua didahulukan. Namun, jika panggilan tersebut tidak mendesak, seorang Muslim sebaiknya meminta izin untuk menyelesaikan adab adzan terlebih dahulu, karena adab adzan itu sendiri adalah ketaatan kepada Allah, yang merupakan akar dari ketaatan kepada orang tua.

IX. Larangan Meniru Gerakan Muadzin Secara Tidak Proporsional

Dalam konteks adab, terdapat juga larangan yang terkait dengan gerakan. Yaitu, larangan melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan atau tidak relevan saat mendengarkan adzan. Fokus utama adalah pada ketenangan dan kekhusyukan.

1. Larangan Melakukan Gerakan Main-Main (Al-'Abats)

Gerakan-gerakan kecil yang menunjukkan ketidakseriusan, seperti memainkan pakaian, menggaruk-garuk yang tidak perlu, atau melihat ke sana kemari, sangat tidak dianjurkan. Meskipun ini bukan larangan haram, tindakan ini dianggap mengurangi pahala dan menunjukkan hati yang lalai terhadap seruan ilahi.

Syariat mengajarkan bahwa seluruh panca indra harus diarahkan untuk menghormati panggilan tersebut. Muadzin berdiri dengan penuh kehormatan; pendengar pun harus menyambutnya dengan kehormatan yang sama.

2. Menahan Diri dari Tidur atau Mengantuk

Bagi mereka yang mendengar adzan, khususnya adzan Isya atau Subuh, larangan kuat diberikan terhadap sikap mengabaikan panggilan karena rasa kantuk yang berlebihan atau kembali tidur setelah mendengar seruan tersebut. Tentu saja, ini lebih berhubungan dengan persiapan shalat, namun ia berakar pada kurangnya penghormatan terhadap panggilan Adzan itu sendiri.

Rasulullah SAW sangat tidak menyukai umatnya yang kembali tidur setelah adzan, terutama pada waktu Subuh, karena hal itu berpotensi besar menghilangkan shalat berjamaah atau bahkan waktu shalat itu sendiri.

X. Kesimpulan Penekanan Larangan

Intisari dari semua larangan yang berlaku saat adzan berkumandang adalah upaya untuk menciptakan kesenjangan waktu yang suci, di mana koneksi antara hamba dan Pencipta diperkuat, jauh dari segala kebisingan dan hiruk pikuk dunia. Larangan-larangan ini bersifat protektif, melindungi pendengar dari hilangnya kesempatan besar untuk meraih pahala menjawab adzan dan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad SAW.

Pada akhirnya, adab saat adzan adalah cerminan keimanan seseorang terhadap pentingnya shalat. Jika panggilan shalat, yang merupakan tiang agama, diabaikan demi urusan remeh-temeh seperti obrolan ringan atau transaksi tak penting, maka kualitas keimanan dan ibadah seseorang patut dipertanyakan. Setiap Muslim dianjurkan untuk menjadikan momen adzan sebagai waktu berhenti, waktu untuk menyelaraskan kembali hati dan pikiran kepada Allah SWT, dan mempraktikkan keheningan yang penuh hormat dan kepatuhan.

Berdoa Setelah Adzan

Dengan menerapkan larangan-larangan ini secara disiplin, seorang Muslim tidak hanya menjalankan adab yang mulia, tetapi juga memastikan dirinya berada dalam kondisi terbaik untuk menerima rahmat dan ampunan yang ditawarkan melalui panggilan shalat. Adab terhadap adzan adalah gerbang menuju kekhusyukan dalam shalat, dan penjaga utama agar hati tidak tergelincir dalam pusaran materialisme duniawi yang tak berkesudahan.

XI. Elaborasi Lanjutan: Dimensi Spiritual Larangan

Dalam tasawuf dan kajian mendalam mengenai dimensi spiritual ibadah, larangan saat adzan dipandang sebagai latihan fundamental dalam penguasaan diri (*mujahadatun nafs*). Suara adzan adalah pengingat bahwa waktu yang paling berharga adalah waktu yang dihabiskan untuk taat kepada Allah. Oleh karena itu, larangan berbicara dan beraktivitas duniawi adalah upaya untuk memutuskan rantai ketergantungan pada hal-hal fana.

1. Menghindari Syirik Kecil (Riya')

Ketika seseorang sibuk berbicara atau bekerja saat adzan, ada potensi bahwa ia sedang mendahulukan perhatian manusia (interaksi sosial, bisnis) di atas perhatian kepada Sang Pencipta. Menghentikan segala aktivitas secara total merupakan manifestasi dari keikhlasan, bahwa fokus utama hamba adalah pada perintah Ilahi, bukan pada pandangan atau keuntungan yang bersifat sementara. Ketidakpedulian terhadap adzan dapat menjadi indikator awal dari penyakit hati yang meremehkan syariat.

2. Konsep Tawaqquf (Berhenti Total)

Tawaqquf adalah konsep dalam adab yang berarti berhenti sejenak, mengamati, dan merenungkan. Adzan menuntut tawaqquf. Jika seseorang melanjutkan pekerjaannya, ia gagal dalam momen tawaqquf ini. Momen tawaqquf ini mengajarkan disiplin waktu dan hierarki prioritas, di mana segala urusan dihentikan ketika perintah tertinggi (panggilan shalat) datang. Kegagalan dalam tawaqquf dapat berakibat pada kegagalan dalam aspek spiritual yang lebih besar.

3. Hadits dan Kekuatan Suara Adzan

Hadits-hadits mengenai keutamaan adzan sering menyebutkan bahwa suara adzan didengar oleh segala sesuatu—batu, pepohonan, jin, dan manusia—dan semua yang mendengarnya akan menjadi saksi bagi muadzin di Hari Kiamat. Penghormatan terhadap adzan tidak hanya merupakan ketaatan lisan, tetapi juga ketaatan lingkungan. Ketika seorang Muslim diam dan mendengarkan, ia menyelaraskan dirinya dengan seluruh ciptaan yang juga ‘mendengarkan’ dan ‘menghormati’ panggilan tersebut.

XII. Perluasan Fiqh: Larangan Khusus dalam Konteks Shalat

Selain larangan umum, terdapat larangan-larangan yang berlaku khusus bagi mereka yang sedang beribadah atau bersiap-siap, yang semakin memperkuat pentingnya keheningan saat adzan.

1. Menghentikan Shalat Sunnah

Sebagaimana disebutkan dalam pandangan Hanafi, dan disetujui sebagian Syafi'iyah, jika seseorang sedang mengerjakan shalat sunnah mutlak (tidak terikat waktu) dan adzan berkumandang, lebih utama baginya untuk memotong shalat tersebut, mendengarkan adzan, menjawabnya, dan kemudian melanjutkan shalat sunnahnya atau langsung menunaikan shalat fardhu. Ini menunjukkan bahwa kewajiban mendengarkan adzan memiliki prioritas yang sangat tinggi, bahkan melebihi ibadah sunnah yang sedang berjalan.

Namun, jika ia sedang dalam shalat sunnah yang memiliki sebab (seperti shalat tahiyatul masjid) atau shalat rawatib, umumnya ia disarankan untuk menyelesaikannya dengan cepat dan khusyuk, asalkan tidak menghabiskan seluruh waktu adzan.

2. Larangan Mendahului Muadzin

Dalam adab menjawab adzan, dilarang mendahului ucapan muadzin. Pendengar harus menunggu hingga muadzin selesai mengucapkan setiap lafazh sebelum mengulanginya. Mendahului muadzin dianggap sebagai ketidaksabaran dan mengurangi pahala ijabah (jawaban). Tindakan ini juga secara tidak langsung menuntut keheningan, karena fokus lisan diarahkan untuk mengulang lafazh yang baru saja diserukan.

XIII. Konsekuensi Hukum Jual Beli di Luar Adzan Jum’at

Mengingat larangan jual beli saat Adzan Jum’at bersifat haram dan tertera jelas dalam Al-Qur'an, para fuqaha (ahli fikih) melakukan perbandingan hukum (qiyas) untuk adzan pada shalat lima waktu lainnya. Meskipun transaksi jual beli saat adzan Dhuhur atau Ashar tidak otomatis haram, ia tetap dianggap makruh tahrim (makruh yang berat).

1. Perspektif Makruh Tahrim

Makruh tahrim dalam fikih mengindikasikan bahwa tindakan tersebut sangat dicela dan mendekati keharaman. Ulama memberikan fatwa bahwa jika kegiatan jual beli itu sedemikian menyibukkan sehingga menyebabkan seseorang mengabaikan adzan, tidak menjawabnya, dan bahkan menunda shalat hingga hampir keluar waktu (atau luput dari jamaah), maka statusnya bisa meningkat menjadi haram karena melalaikan kewajiban yang lebih besar.

Intinya, larangan ini berfungsi sebagai pengingat: Jangan sampai kecintaan pada keuntungan materi (seperti yang didapat dari jual beli) mengalahkan kecintaan pada panggilan spiritual.

2. Jual Beli yang Tidak Dapat Ditunda

Bagaimana jika jual beli yang dilakukan adalah kebutuhan mendesak, misalnya pembelian obat saat sakit mendadak? Dalam kasus ini, tujuan syariat adalah menjaga kemaslahatan (kebaikan). Jika menunda transaksi tersebut dapat membahayakan jiwa (darurat), maka transaksi tersebut diperbolehkan, karena menyelamatkan jiwa adalah prioritas di atas adab adzan.

Namun, kaidah ini tidak boleh disalahgunakan. Penjual dan pembeli harus memiliki kesadaran bahwa mereka harus meminimalisir interaksi duniawi saat adzan dan segera menyelesaikan prosesnya untuk kembali fokus pada ibadah.

XIV. Pengaruh Lingkungan dan Adab Kolektif

Larangan saat adzan tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Ketika adzan berkumandang, masyarakat Muslim secara keseluruhan diharapkan menunjukkan sikap kolektif yang menghormati seruan tersebut.

1. Tanggung Jawab Kepala Keluarga dan Toko

Kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa anggota keluarganya menghentikan aktivitas, terutama anak-anak, dan fokus mendengarkan. Pemilik toko atau bisnis wajib menutup sementara atau menghentikan transaksi di tempat usahanya untuk memberikan kesempatan bagi pegawai dan pelanggan untuk merespons adzan.

Tindakan kolektif ini menciptakan atmosfer spiritual di lingkungan tersebut, di mana panggilan shalat diutamakan di atas segala kepentingan materi. Ini adalah salah satu ciri khas peradaban Islam yang menghargai waktu ibadah di atas waktu kerja.

2. Pendidikan Adab Sejak Dini

Melarang anak-anak bermain atau berbicara keras saat adzan adalah bagian penting dari pendidikan Islam. Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa adzan adalah momen hening dan penuh penghormatan. Jika adab ini ditanamkan sejak kecil, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai perintah syariat dan disiplin dalam memprioritaskan akhirat.

Seorang pendengar yang lalai saat adzan, bahkan tanpa berbicara, jika ia menunjukkan ekspresi meremehkan atau tawa-tawa, dianggap melanggar adab yang sangat mendasar dalam Islam.

XV. Larangan Terkait Perjalanan dan Transportasi

Dalam konteks modern, banyak Muslim yang sedang dalam perjalanan atau mengemudikan kendaraan saat adzan. Prinsip larangan juga berlaku di sini, meskipun penerapannya disesuaikan dengan keselamatan.

1. Mengemudi Kendaraan

Jika memungkinkan dan aman, pengemudi dianjurkan untuk menepi sejenak, mematikan radio atau musik, dan mendengarkan adzan, serta menjawabnya. Namun, jika menepi berbahaya (misalnya di jalan tol atau persimpangan sibuk), kewajiban menjaga keselamatan (hifzhun nafs) didahulukan. Dalam hal ini, pengemudi dianjurkan mengurangi kecepatan dan fokus lisan untuk menjawab adzan semampunya tanpa mengurangi fokus mengemudi.

Menjawab adzan sambil mengemudi tidak dianggap sebagai "kalam al-laghwi" (pembicaraan sia-sia), melainkan dzikir yang diperbolehkan. Namun, aktivitas lain seperti menelepon, membaca peta secara intensif, atau berdebat harus dihentikan.

2. Dalam Transportasi Umum

Penumpang di transportasi umum, di mana mereka tidak memiliki kendali atas gerakan atau pengeras suara, harus menghentikan percakapan pribadi mereka, mematikan gadget, dan fokus mendengarkan adzan yang mungkin terdengar dari luar atau melalui perangkat pribadi (jika menggunakan headphone untuk mendengarkan adzan). Keheningan di transportasi umum saat adzan adalah cerminan adab personal yang kuat.

Secara keseluruhan, larangan-larangan ini adalah pilar utama adab Muslim dalam merespons panggilan ilahi. Disiplin dalam keheningan dan penghentian aktivitas duniawi saat adzan adalah batu loncatan menuju shalat yang khusyuk dan ibadah yang diterima.

XVI. Memperdalam Aspek Larangan dari Sudut Pandang Psikologis Ibadah

Larangan saat adzan juga memiliki fungsi psikologis yang vital bagi seorang mukmin: menyiapkan jiwa untuk pertemuan dengan Tuhannya. Otak manusia cenderung mempertahankan momentum aktivitas yang sedang dilakukan. Ketika adzan berkumandang, dibutuhkan jeda yang tegas (larangan berbicara, larangan beraktivitas) untuk "mereset" pikiran dari urusan duniawi.

1. Memutus Keterikatan Materi

Seorang pedagang yang menolak menghentikan transaksinya menunjukkan bahwa nilai uang pada saat itu lebih tinggi daripada nilai panggilan Allah. Larangan jual beli berfungsi sebagai terapi spiritual untuk memutus keterikatan yang berlebihan terhadap materi. Dengan berhenti total, jiwa diberikan kesempatan untuk fokus pada nilai abadi.

2. Meditasi Aktif

Mendengarkan adzan dan menjawabnya dengan lisan yang khusyuk adalah bentuk meditasi aktif. Setiap lafazh adzan membawa makna tauhid yang mendalam ("Allah Maha Besar," "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah"). Jika proses ini diselingi obrolan atau pekerjaan, meditasi spiritual ini terputus, dan pesan tauhid tidak dapat meresap sempurna ke dalam hati.

XVII. Penguatan Dalil Larangan Berbicara: Ijma’ Para Ulama

Meskipun tingkat hukuman (Makruh Tahrim atau Tanzih) mungkin berbeda antar madzhab, para fuqaha bersepakat (ijma’) bahwa berbicara, mengobrol, atau melakukan aktivitas yang mengalihkan perhatian saat adzan adalah tindakan yang seharusnya ditinggalkan. Kesepakatan ini didasarkan pada prinsip keumuman adab dan penghormatan terhadap syiar Islam.

1. Pandangan Imam Malik Mengenai Adab

Imam Malik sangat menekankan adab dalam ibadah. Bagi beliau, ketidakpedulian terhadap adzan (dengan tetap berbicara atau bermain) menunjukkan kurangnya *ta’zhim* (penghormatan) terhadap syiar Allah. Walaupun beliau mungkin tidak menetapkan haram kecuali pada kasus Adzan Jum’at yang sudah dinaskan, beliau tetap memandang tindakan tersebut sebagai kegagalan dalam meraih kesempurnaan ihsan dalam beribadah.

2. Larangan untuk Orang yang Junub

Bagi orang yang dalam keadaan junub atau haid, meskipun mereka tidak wajib shalat, mereka tetap wajib mendengarkan adzan dan menahan diri dari tindakan yang dilarang (seperti berbicara yang tidak perlu), sebagai bentuk ketaatan umum kepada adab syar’i.

Kesimpulannya, larangan-larangan saat adzan adalah fondasi adab yang mengajarkan umat Islam untuk berdisiplin secara spiritual, menjadikan waktu panggilan shalat sebagai batas tegas antara urusan dunia dan panggilan akhirat, sehingga ketika berdiri di hadapan Allah dalam shalat, hati sudah bersih dari segala kekotoran dan keterikatan duniawi.

🏠 Kembali ke Homepage