Kumandang adzan adalah seruan suci yang membelah keheningan, menandai masuknya waktu shalat, dan menyeru seluruh umat Muslim untuk bersatu menuju keberkatan. Adzan bukan hanya sekadar panggilan formal; ia adalah ritual spiritual yang dipenuhi dengan makna tauhid dan kepasrahan. Namun, nilai spiritual dari adzan tidak berhenti pada lafal-lafalnya saja. Justru, periode setelah adzan berkumandang hingga iqamah ditegakkan, dikenal sebagai salah satu waktu paling mustajab untuk memanjatkan doa dan melantunkan pujian.
Tradisi melantunkan pujian, shalawat, dan dzikir setelah adzan telah mengakar kuat, khususnya dalam kebudayaan Islam di Asia Tenggara, membentuk sebuah ritual yang kaya akan warisan sejarah dan spiritualitas. Artikel ini akan mengupas tuntas landasan syar’i dari pujian setelah adzan, menganalisis lafal-lafal yang ma’thur (bersumber dari Nabi), serta mendalami bagaimana tradisi ini terwujud dalam kerangka kultural Nusantara.
Bagi seorang Muslim, setiap amal perbuatan harus memiliki sandaran yang kokoh dari Al-Quran dan As-Sunnah. Periode setelah adzan bukanlah waktu yang kosong tanpa pedoman. Rasulullah ﷺ secara eksplisit mengajarkan umatnya amalan khusus yang membawa keutamaan besar pada saat itu.
Salah satu dalil terkuat yang mendorong umat Muslim untuk berdzikir dan berdoa setelah adzan adalah penetapan waktu tersebut sebagai momen mustajab (dikabulkan doa). Rasulullah ﷺ bersabda, sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Tirmidzi:
"Doa tidak akan ditolak antara Adzan dan Iqamah."
Pernyataan ini memberikan insentif luar biasa bagi setiap Muslim untuk mengisi jeda waktu tersebut, bukan dengan kesia-siaan, melainkan dengan memohon ampunan, hajat, dan yang paling utama, bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Pujian yang paling utama dan wajib dilantunkan setelah adzan adalah doa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ. Doa ini mengandung pengakuan terhadap kesempurnaan syariat, permohonan syafaat, dan harapan agar Nabi ditempatkan pada posisi tertinggi di surga.
Terjemah: "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini, berikanlah kepada Muhammad Al-Wasilah dan Al-Fadhilah. Dan bangkitkanlah beliau di kedudukan yang terpuji (Al-Maqam Al-Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya, [Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji]."
Setiap frasa dalam doa setelah adzan membawa makna teologis yang mendalam, menunjukkan mengapa pujian ini memiliki keutamaan luar biasa:
1. اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ (Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini): "Panggilan yang sempurna" merujuk pada adzan. Adzan disebut sempurna karena ia mengikrarkan tauhid secara utuh dan menafikan segala bentuk kesyirikan. Ia sempurna karena mencakup inti dari ajaran Islam.
2. وَالصَّلاَةِ القَائِمَةِ (dan shalat yang akan didirikan ini): Pengakuan akan kewajiban shalat yang akan segera dilaksanakan. Ini adalah transisi spiritual dari panggilan (adzan) menuju pelaksanaan ibadah (shalat).
3. آتِ مُحَمَّدًا الوَسِيلَةَ (berikanlah kepada Muhammad Al-Wasilah): Al-Wasilah adalah konsep yang sangat penting. Ini bukan berarti sekadar perantara, melainkan sebuah kedudukan khusus di surga, kedudukan tertinggi yang hanya layak ditempati oleh satu hamba Allah. Dengan memohon Wasilah bagi Nabi, kita mengakui dan mendukung kemuliaan beliau, yang mana balasan dari pengakuan ini kembali kepada kita sebagai syafaat.
4. وَالفَضِيلَةَ (dan Al-Fadhilah): Fadhilah bermakna keutamaan, martabat, dan kelebihan di atas makhluk lainnya. Permintaan Fadhilah melengkapi Wasilah, menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah makhluk termulia yang memimpin seluruh umat manusia.
5. وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا (Dan bangkitkanlah beliau di kedudukan yang terpuji): Al-Maqam Al-Mahmud adalah kedudukan besar di Padang Mahsyar saat hari Kiamat, di mana Nabi Muhammad ﷺ akan diberikan izin untuk memberikan syafaat al-'uzma (syafaat terbesar) kepada seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang ingkar, agar hisab dapat dimulai. Inilah manifestasi dari kasih sayang universal Nabi.
Keutamaan bagi yang membaca doa ma'thur ini sangat jelas, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
"Barangsiapa yang mengucapkan setelah adzan: ‘Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini...’ sampai akhir, maka dia berhak mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat."
Ini adalah janji terbesar, bahwa pujian singkat ini menjadi kunci untuk mendapatkan syafaat langsung dari Rasulullah ﷺ di hari yang penuh kegentingan.
Menara Masjid: Sumber Panggilan Suci
Meskipun doa ma'thur adalah pujian utama yang diajarkan Nabi, tradisi Islam, khususnya di Indonesia (Nusantara), mengembangkan bentuk-bentuk pujian lain yang dilantunkan dalam jeda waktu antara adzan dan iqamah. Praktik ini dikenal luas sebagai 'Pujian' atau 'Tarhim' (pengumuman/peringatan).
Sebelum membaca doa ma'thur di atas, disunnahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dalilnya adalah sabda Nabi:
"Apabila kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat (memberikan rahmat) kepadanya sepuluh kali." (HR. Muslim)
Urutan amalannya menjadi: Menjawab adzan → Bershalawat → Membaca doa Al-Wasilah. Shalawat yang biasa digunakan adalah Shalawat Ibrahimiyah atau shalawat dalam bentuk lain yang shahih.
Pembacaan shalawat ini di antara adzan dan iqamah merupakan penegasan kembali akan kecintaan umat kepada Nabi dan jembatan spiritual sebelum memasuki shalat.
Pujian, yang seringkali dilakukan secara berjamaah dan dilantunkan dengan suara lantang melalui pengeras suara masjid, adalah ciri khas praktik keagamaan di Indonesia, Malaysia, dan beberapa wilayah Asia Tenggara lainnya. Secara fiqih, pujian ini dikategorikan sebagai dzikir yang tidak terikat waktu khusus (dzikir mutlak), namun ditempatkan pada jeda adzan-iqamah karena alasan syiar, pengingat, dan edukasi.
Tradisi Pujian mulai menguat pada masa Wali Songo dan periode awal masuknya Sufisme (Tasawuf) di Nusantara. Sebelum masjid memiliki jam dan jadwal shalat yang pasti, pujian berfungsi sebagai penanda waktu bagi masyarakat yang jauh dari masjid, sekaligus sebagai sarana dakwah yang menyenangkan. Teks pujian seringkali berisi:
Secara praktis, pujian memiliki beberapa fungsi yang melampaui sekadar dzikir:
Pujian ini, meskipun tidak disyariatkan secara spesifik melalui hadits untuk dibaca secara lantang dan berjamaah di waktu tersebut, dianggap oleh mayoritas ulama Nusantara sebagai *bid'ah hasanah* (inovasi yang baik) atau masuk dalam kategori *maslahah mursalah* (kemaslahatan umum), selama isinya tidak bertentangan dengan syariat.
Pujian sangat bervariasi tergantung pada wilayah dan tradisi Tarekat yang dominan di daerah tersebut. Berikut adalah contoh tema-tema yang sering diangkat:
Pujian yang berfokus pada penguatan akidah, seringkali menyebutkan rukun Islam dan rukun Iman secara berulang-ulang, disajikan dalam bentuk syair (nadzom).
Contoh Lirik (Filosofi Jawa):
"Eling-eling siro manungso,
Waktu subuh wis teko,
Ayo podho sholat berjamaah,
Mumpung urip ono ing dunyo."
(Ingat-ingatlah kamu manusia,
Waktu subuh telah tiba,
Marilah kita shalat berjamaah,
Selagi hidup di dunia ini.)
Pujian ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan (taqwa) dengan mengingatkan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara dan ajal bisa datang kapan saja.
Contoh Lirik:
"Ojo lali yo konco,
Nek wis mati ora iso bali,
Kain putih telu lapis,
Ngiring awak mlebu kubur..."
(Jangan lupa wahai teman,
Jika sudah mati tak bisa kembali,
Kain putih tiga lapis,
Mengantar badan masuk ke kubur...)
Seringkali, bagian dari kitab-kitab maulid dilantunkan sebagai pujian untuk menanamkan kecintaan (mahabbah) terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Bagian yang sering dilantunkan adalah bagian yang berisi shalawat dan salam.
Memahami kedalaman makna pujian setelah adzan memerlukan pemahaman yang kokoh tentang konsep teologis di baliknya, terutama mengenai Wasilah dan Syafaat.
Seperti dijelaskan sebelumnya, Wasilah bukanlah alat perantara dalam doa, melainkan posisi mulia. Dalam konteks doa setelah adzan, kita memohon agar Allah menganugerahkan posisi tersebut kepada Nabi Muhammad ﷺ. Pertanyaannya, mengapa kita yang memohonkan Wasilah bagi Nabi?
Para ulama menjelaskan bahwa amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi hamba-Nya. Ketika kita mengakui dan memohonkan Wasilah untuk Nabi, kita sebenarnya sedang melakukan dua hal:
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Wasilah adalah puncak dari kemuliaan dan derajat, posisi yang paling dekat dengan singgasana Arsy Allah. Dengan menyebut doa ini, kita memastikan bahwa kita termasuk dari umat yang memuliakan pemimpin mereka.
Pujian setelah adzan secara langsung terkait dengan Al-Maqam Al-Mahmud, yaitu kedudukan terpuji di mana Nabi memberikan Syafaat Al-’Uzma (Syafaat Agung). Hari Kiamat digambarkan sebagai hari yang sangat panjang, di mana seluruh manusia menunggu keputusan Allah, diliputi ketakutan dan penderitaan.
Syafaat Agung adalah momen ketika seluruh umat manusia (dari Nabi Adam hingga manusia terakhir) memohon kepada para Nabi untuk meminta Allah segera memulai proses penghisaban. Setiap Nabi menolak karena merasa tidak pantas (karena mengingat kesalahan kecil mereka di dunia), hingga akhirnya permintaan itu sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian bersujud dan memohon kepada Allah.
Orang yang rutin membaca doa setelah adzan dijanjikan menjadi bagian dari mereka yang berhak menerima syafaat agung tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun pujian itu singkat, bobotnya sangat besar karena terkait dengan peristiwa monumental hari akhirat.
Dokumentasi Lafal-lafal Pujian
Dalam konteks kajian fiqih, tradisi pujian yang dilantunkan keras (Tarhim) sering menjadi perdebatan antara ulama yang berpegangan pada teks (nash) secara literal dan ulama yang mengedepankan kemaslahatan (istihsan) dan tradisi lokal.
Kelompok ulama yang menekankan pada hadits yang jelas (tekstualis) cenderung berpendapat bahwa yang disunnahkan setelah adzan hanyalah:
Menurut pandangan ini, melantunkan dzikir, syair, atau shalawat dalam bentuk Tarhim (bersuara keras, berjamaah, menggunakan pengeras suara) adalah perkara yang tidak ada contohnya di masa Nabi dan para Sahabat. Mereka khawatir hal ini dapat mengganggu jamaah yang sedang shalat sunnah Qabliyah atau mengaburkan sunnah yang sebenarnya (doa Al-Wasilah).
Ulama dari mazhab yang dominan di Nusantara (khususnya Syafiiyah) cenderung memandang tradisi pujian ini sebagai hal yang diperbolehkan (mubah) atau bahkan dianjurkan (mustahab) dengan beberapa alasan:
Maka, di sebagian besar masjid di Indonesia, tradisi pujian ini tetap dilestarikan sebagai warisan kearifan lokal yang sarat makna. Penggunaan lafal shalawat yang panjang dan pujian lirik bahasa lokal adalah ekspresi budaya yang memfasilitasi spiritualitas.
Pujian setelah adzan bukan hanya ritual formal, tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap kondisi spiritual dan sosial seorang Muslim.
Waktu antara adzan dan iqamah adalah periode transisi. Hati manusia cenderung mudah teralihkan oleh urusan duniawi yang baru saja ditinggalkan. Dengan mengisi jeda tersebut dengan shalawat, dzikir, atau doa, hati dipersiapkan untuk menghadapi Allah dalam shalat. Ini adalah pemanasan spiritual (warming up) yang memastikan bahwa ketika takbiratul ihram diucapkan, fokus (khusyu’) sudah maksimal.
Meskipun pujian Tarhim adalah tradisi, ia membantu mengamalkan sunnah yang pasti, yaitu menjawab adzan dan membaca doa Wasilah. Praktik berulang ini memastikan bahwa setiap Muslim memiliki kesempatan untuk mendapatkan janji syafaat Nabi lima kali sehari.
Imam Nawawi dalam kitab *Al-Adzkar* menekankan pentingnya memanfaatkan setiap detik waktu mustajab. Beliau menyebutkan bahwa orang yang paling berhak mendapat kemuliaan ini adalah mereka yang segera menyambut seruan adzan dengan jawaban yang benar, shalawat yang tulus, dan doa yang penuh pengharapan.
Pengulangan lafal-lafal suci dan kalimat tauhid memiliki efek menenangkan secara psikologis. Dalam dunia modern yang serba cepat dan bising, lima kali jeda setiap hari untuk berdiam diri dan mendengarkan pujian (baik itu shalawat Nabi atau syair nasihat) berfungsi sebagai ‘jeda mental’ (spiritual break). Ini adalah terapi komunal yang mengarahkan pikiran kembali kepada tujuan hakiki kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah.
Selain doa Al-Wasilah, ulama menyarankan agar jeda ini diisi dengan dzikir-dzikir ma'thur lainnya, khususnya di antara adzan dan iqamah.
Karena ini adalah waktu mustajab, memperbanyak permohonan ampunan sangat ditekankan. Istighfar adalah kunci pembuka rezeki dan penghapus dosa.
Kalimat ini dikenal sebagai ‘Harta Karun Surga’ dan dianjurkan untuk diperbanyak. Kalimat ini menegaskan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, sebuah bentuk totalitas kepasrahan yang sangat cocok sebelum memulai shalat.
Jika waktu jeda cukup panjang, membaca Sayyidul Istighfar (pemimpin dari segala permohonan ampun) sangat dianjurkan karena keutamaannya yang luar biasa.
Bagaimana seorang Muslim dapat memaksimalkan manfaat dari kumpulan pujian setelah adzan, terutama di tengah kesibukan modern?
Langkah pertama adalah memastikan seluruh adzan dijawab lafal demi lafal. Ketika muadzin mengucapkan 'Hayya 'ala ash-Shalah' (Mari menuju shalat), kita menjawabnya dengan 'La haula wa la quwwata illa billah' (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Penghayatan ini mengajarkan bahwa kita hanya dapat melaksanakan shalat karena pertolongan-Nya.
Setelah adzan selesai dan sebelum memulai pujian Tarhim (jika ada di daerah Anda), segera lantunkan shalawat Ibrahimiyah (minimal 3 kali) dan diikuti dengan doa Al-Wasilah. Ini adalah fondasi spiritual yang tidak boleh ditinggalkan demi mengejar tradisi.
Jika Anda berada di masjid yang tidak melaksanakan Tarhim, gunakan jeda waktu mustajab tersebut untuk berdoa. Angkatlah tangan, fokuskan hati, dan sampaikan hajat-hajat dunia dan akhirat Anda. Mengingat waktu mustajab ini sangat singkat, disiplin dan fokus sangat diperlukan.
Doa yang paling dianjurkan di waktu mustajab adalah doa yang berkaitan dengan kebaikan akhirat. Memohon ampunan, meminta husnul khatimah (akhir yang baik), dan memohon kemudahan hisab di hari Kiamat, jauh lebih utama daripada sekadar permintaan materi duniawi.
Bagi mereka yang tinggal di wilayah yang kuat tradisi Tarhimnya, disarankan untuk menghormati tradisi tersebut sebagai bagian dari syiar lokal. Sambil mendengarkan lantunan pujian komunal, seorang Muslim dapat secara individu melafalkan dzikir dan doa yang ma'thur. Hal ini menggabungkan manfaat syiar komunal dengan amal sunnah individual.
Kumpulan pujian setelah adzan adalah harta karun spiritual dalam Islam. Ia menjanjikan syafaat, menegaskan tauhid, dan mempersiapkan jiwa untuk shalat. Tradisi pujian di Nusantara memperkaya praktik ini dengan dimensi kultural, sosial, dan edukatif, menjadikannya penanda waktu yang khas dan penuh makna.
Mengamalkan pujian setelah adzan—khususnya doa Al-Wasilah—bukanlah sekadar rutinitas, melainkan investasi jangka panjang yang hasilnya akan dipetik pada Hari Perhitungan, di bawah naungan syafaat Rasulullah ﷺ. Jadikanlah setiap kumandang adzan sebagai alarm spiritual yang mengingatkan kita untuk mengambil bagian dari waktu mustajab tersebut, memperkokoh ikatan dengan Nabi, dan memohon keberkahan dari Allah SWT. Dengan menghidupkan pujian ini, kita tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga turut melestarikan warisan spiritual yang telah mengakar dalam peradaban Islam di seluruh dunia.
Semoga Allah SWT menerima semua amal kebaikan dan menetapkan kita sebagai umat yang berhak menerima Al-Maqam Al-Mahmud dan syafaat agung di hari Kiamat.
Di era modern, penetapan waktu antara adzan dan iqamah (interval) telah menjadi isu penting, terutama terkait dengan tradisi Pujian. Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dan lainnya menegaskan bahwa durasi interval haruslah cukup untuk memberikan waktu yang memadai bagi jamaah untuk berwudhu, melaksanakan shalat sunnah Qabliyah (sunnah Rawatib), dan melakukan dzikir/doa ma'thur.
Jika interval terlalu singkat (misalnya hanya 5 menit), manfaat dari waktu mustajab ini akan hilang karena jamaah terburu-buru. Jika terlalu panjang (misalnya 30-45 menit), kekhusyukan dapat menurun, dan sebagian jamaah mungkin terlambat karena salah memperkirakan waktu iqamah.
Rata-rata rekomendasi ulama untuk shalat yang tidak memiliki sunnah Qabliyah kuat (seperti Maghrib) adalah 10-15 menit. Sementara untuk shalat yang memiliki Rawatib kuat (seperti Dzuhur dan Isya) bisa mencapai 15-20 menit. Di sinilah tradisi Pujian memainkan peran penting, yaitu sebagai penanda waktu yang "menghangatkan" masjid selama interval ini.
Di banyak masjid pedesaan, ketiadaan ustadz atau penceramah yang rutin dapat diatasi dengan Pujian. Pujian yang dinadzomkan atau disyairkan berfungsi sebagai pengajaran moral (mau'izhah hasanah) yang disampaikan secara berulang. Ini adalah metode pengajaran yang sangat efektif dalam masyarakat yang mengutamakan tradisi lisan.
Teks-teks pujian yang berisi sanjungan kepada Allah (Asmaul Husna) dan kisah teladan Nabi (Siroh Nabawiyah) menjadi kurikulum informal yang diterima oleh semua kalangan usia, memperkuat fondasi keimanan secara kolektif.
Pujian Nusantara (Tarhim) tidak hanya kaya secara spiritual tetapi juga artistik. Sebagian besar pujian disusun dalam bentuk syair terikat (nadzom) atau qasidah dengan metrum tertentu. Hal ini memudahkan jamaah untuk menghafal dan melantunkannya secara harmonis.
Qasidah adalah bentuk puisi yang menjadi tulang punggung sastra Arab dan Islam. Ketika masuk ke Nusantara, qasidah diadaptasi menjadi berbagai genre musik lokal, seperti sholawat Jawa atau Melayu. Pujian di masjid seringkali menggunakan melodi yang sama dengan qasidah atau lagu-lagu maulid (seperti al-Barzanji atau Burdah), memberikan nuansa religius yang mendalam.
Penggunaan bahasa ibu (seperti bahasa Jawa Kuno, Sunda, atau logat Melayu setempat) dalam pujian adalah strategi dakwah yang cerdas oleh ulama masa lalu. Pesan-pesan agama menjadi lebih mudah dicerna dan mengena di hati masyarakat, karena disampaikan dalam konteks budaya mereka sendiri. Hal ini menciptakan rasa kepemilikan komunal terhadap praktik ibadah tersebut.
Banyak anak-anak dan remaja di Indonesia pertama kali belajar tentang tauhid, fiqih dasar (seperti tata cara wudhu), dan kisah Nabi bukan dari buku, melainkan dari pujian yang mereka dengar berulang kali di masjid sebelum iqamah. Pujian ini menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar keislaman mereka.
Sebelum pujian dimulai, seorang Muslim dituntut untuk menjawab adzan. Proses menjawab adzan ini sendiri adalah bentuk pujian yang sangat fundamental.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila muadzin mengatakan Allahu Akbar, Allahu Akbar, dan salah seorang dari kalian menjawab Allahu Akbar, Allahu Akbar..." (HR. Muslim). Kemudian beliau menyatakan bahwa siapa yang mengucapkan seluruhnya dengan yakin akan masuk surga.
Ini menunjukkan bahwa setiap respons terhadap adzan adalah dzikir yang berpahala besar. Bagian yang berbeda adalah saat muadzin mengucapkan *Hayya 'ala ash-Shalah* dan *Hayya 'ala al-Falah*. Respon yang disunnahkan adalah 'La Haula wa La Quwwata Illa Billah'. Makna di balik respons ini adalah pengakuan bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi panggilan shalat dan meraih kemenangan kecuali dengan izin dan pertolongan Allah SWT.
Setelah muadzin selesai mengucapkan lafal syahadat akhir (Laa ilaaha illaLlah), disunnahkan untuk:
Rangkaian amalan ini, meskipun terpisah-pisah, merupakan satu kesatuan Pujian yang sempurna yang menyertai panggilan shalat, memastikan bahwa hati dan lisan kita disibukkan dengan mengingat Allah dan Rasul-Nya sebelum memulai shalat.
Salah satu manfaat sosial Pujian yang sering diabaikan adalah perannya dalam persatuan umat (ukhuwah). Ketika puluhan atau ratusan orang melantunkan dzikir dan shalawat yang sama secara serentak, hal itu menciptakan resonansi spiritual dan emosional yang kuat.
Di masjid, semua jamaah, kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, melantunkan pujian yang sama dengan intonasi yang sama. Praktik ini meratakan kesenjangan dan mengingatkan bahwa dalam ibadah, status sosial tidaklah relevan. Semua adalah hamba yang sama-sama mengharapkan ridha Allah.
Di daerah yang minoritas Muslim, suara Pujian yang terdengar lantang adalah penegasan identitas keagamaan yang damai. Ia berfungsi sebagai pengingat keberadaan komunitas Muslim dan menunjukkan vitalitas ibadah mereka. Di daerah mayoritas, ia adalah lambang kedamaian dan ketentraman yang membedakan suasana masjid dari hiruk pikuk pasar atau keramaian kota.
Tradisi Pujian sangat erat kaitannya dengan praktik dzikir berjamaah yang dianjurkan dalam banyak tarekat (jalan Sufi). Bagi kaum Sufi, dzikir jahr (dzikir bersuara keras) adalah cara untuk mengusir kelalaian (ghaflah) dan menguatkan hati yang hadir kepada Allah. Praktik Pujian setelah adzan dapat dilihat sebagai manifestasi dari metode spiritual ini yang diintegrasikan ke dalam ritual shalat lima waktu sehari-hari.
Secara keseluruhan, kumpulan pujian setelah adzan adalah praktik yang multifaset: ia adalah perintah syar’i (doa Al-Wasilah), ia adalah sunnah (shalawat), dan ia adalah tradisi budaya yang bertujuan baik (Pujian/Tarhim). Pemahaman yang mendalam terhadap setiap lapisan pujian ini akan memungkinkan seorang Muslim untuk mendapatkan manfaat spiritual maksimal dari waktu yang sangat berharga dan mustajab ini.
Dalam bingkai spiritualitas Islam, tidak ada satu pun waktu yang diizinkan untuk berlalu tanpa mengingat Sang Pencipta. Periode setelah adzan adalah anugerah ilahi, sebuah ruang suci yang diberikan kepada umat untuk berinteraksi langsung dengan Rahmat Allah melalui doa dan pujian. Pengalaman mendengar adzan, menjawabnya dengan penuh keyakinan, bershalawat kepada Sayyidul Anam (Pemimpin Para Nabi), dan memohonkan Wasilah, adalah rangkaian ibadah yang, ketika dilakukan secara konsisten, akan membentuk benteng spiritual yang kuat dalam diri setiap Muslim.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan momen-momen emas setelah adzan bukan sekadar jeda menunggu, melainkan sebagai stasiun pengisian ulang energi spiritual, tempat kita merajut kembali harapan, menata kembali niat, dan memohonkan keberkahan yang tiada tara, semata-mata mengharapkan syafaat agung dari Rasulullah Muhammad ﷺ. Pengamalan ini adalah penegasan atas janji kita kepada Allah: bahwa kami mendengar panggilan-Mu dan kami bersiap, dengan hati yang penuh pujian dan lisan yang basah oleh dzikir, untuk berdiri di hadapan-Mu.