Menggali Kedalaman Bacaan Bilal: Peran Sentral Muadzzin dalam Rangkaian Sholat Jumat

Dalam praktik ibadah di Indonesia, khususnya pelaksanaan Sholat Jumat, terdapat serangkaian prosedur yang melibatkan peran kunci seorang petugas yang sering disebut Bilal atau Muadzzin. Peran ini melampaui sekadar mengumandangkan adzan, namun mencakup berbagai bacaan, peringatan, dan pemberitahuan yang berfungsi sebagai jembatan antara rangkaian ibadah sunnah menuju pelaksanaan khutbah wajib. Seluruh rangkaian tugas Bilal ini merupakan warisan tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam mazhab Syafi’i, yang bertujuan menertibkan jamaah, mengingatkan khatib, dan memuliakan Nabi Muhammad SAW sebelum inti ibadah dimulai.

Kajian ini akan mengupas tuntas seluruh aspek yang berkaitan dengan bacaan dan tugas Bilal. Mulai dari landasan historis, susunan teks-teks spesifik yang dilantunkan, hingga tinjauan mendalam dari perspektif fikih tentang status hukum dan signifikansi spiritual setiap lantunan tersebut. Memahami peran ini bukan hanya mengenal tradisi lokal, tetapi juga menyelami kekayaan metodologi penetapan hukum Islam yang berupaya menjaga kekhusyu’an dan ketertiban ibadah kolektif.

Simbol Ibadah dan Kekhusyu’an

I. Definisi dan Landasan Historis Tugas Bilal Jumat

Secara etimologis, kata Bilal merujuk pada sahabat Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah, yang merupakan muadzzin pertama dalam sejarah Islam. Dalam konteks Sholat Jumat di banyak negara, terutama yang kuat berpegang pada tradisi Madzhab Syafi’i seperti Indonesia, Bilal bukan hanya sebutan untuk pengumandang adzan. Ia adalah petugas yang ditugaskan secara struktural oleh takmir masjid untuk memandu transisi dari ibadah sunnah ke ibadah wajib (khutbah dan sholat).

Tugas Bilal dalam prosedur Jumat modern mencakup beberapa elemen yang tidak secara eksplisit dilakukan pada masa Rasulullah SAW, khususnya pembacaan shalawat dan peringatan (tanbih) sebelum khatib naik mimbar. Inilah yang seringkali menjadi fokus perdebatan fikih. Praktik ini lahir dari kebutuhan kontekstual di masa kekhalifahan Islam, di mana jamaah semakin banyak dan masjid semakin besar, sehingga diperlukan mekanisme pengumuman yang lebih terstruktur agar jamaah siap mendengarkan khutbah.

Asal Mula Dua Kali Adzan

Salah satu tugas utama Bilal adalah mengumandangkan adzan. Dalam Sholat Jumat, adzan dilakukan dua kali. Adzan pertama (Adzan Awal) dan Adzan kedua (Adzan Tsani). Pada masa Rasulullah SAW, hanya ada satu adzan, yaitu ketika beliau sudah duduk di atas mimbar. Namun, seiring meluasnya Madinah dan bertambahnya populasi, Khalifah Utsman bin Affan RA melihat perlunya ada pemberitahuan yang lebih awal agar masyarakat yang sibuk dengan urusan dunia dapat bersiap-siap menuju masjid. Maka, ditetapkanlah Adzan Awal. Konsensus ulama, terutama dari empat mazhab utama, menerima Adzan Utsmani ini sebagai sunnah yang baik (sunnah Utsmaniyah).

Perbedaan tugas Bilal di Indonesia dengan praktik di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi (yang cenderung mengikuti mazhab Hanbali/Maliki) terletak pada lantunan spesifik antara dua adzan tersebut. Di Indonesia, setelah Adzan Awal dan sebelum khatib naik mimbar, Bilal memiliki tugas tambahan yang sarat makna spiritual.

Kehadiran peran Bilal dalam tahapan pra-khutbah ini memastikan bahwa elemen waktu, persiapan khatib, dan kesiapan jamaah dapat tersinkronisasi dengan sempurna. Ini adalah manifestasi dari prinsip fikih yang memandang keteraturan dan ketertiban sebagai bagian integral dari kesempurnaan ibadah.

II. Rangkaian Tugas dan Bacaan Kunci Bilal

Tugas Bilal umumnya dimulai setelah waktu Dzuhur tiba dan berakhir sesaat sebelum khutbah dimulai. Berikut adalah urutan dan analisis detail setiap bacaan yang ia lantunkan.

A. Adzan Pertama (Adzan Awal)

Ini adalah adzan yang dikumandangkan setelah masuknya waktu Dzuhur, berfungsi sebagai pengumuman bahwa saatnya Sholat Jumat. Setelah adzan ini selesai, jamaah biasanya melanjutkan sholat sunnah qobliyah Jumat (atau sholat sunnah mutlak) sambil menunggu khatib naik ke mimbar. Fungsi Adzan Awal adalah i’lam (pemberitahuan waktu).

B. Membaca Doa Setelah Adzan dan Persiapan

Setelah Adzan Awal, Bilal disunnahkan membaca doa setelah adzan sebagaimana doa adzan pada umumnya, memohon kepada Allah agar memberikan wasilah dan keutamaan kepada Nabi Muhammad SAW.

C. Prosesi Menuju Mimbar dan Ucapan Salam

Ketika tiba waktunya khutbah, Bilal akan berdiri di depan mimbar (atau di sampingnya) untuk memulai serangkaian bacaan utama. Khatib kemudian naik ke mimbar dan mengucapkan salam kepada jamaah.

D. Bacaan Shalawat dan Peringatan (Tanbih)

Inilah inti dari tugas spesifik Bilal yang membedakan prosedur Jumat di Indonesia. Bacaan ini dibagi menjadi dua komponen utama: Shalawat dan Tembihan (Peringatan).

1. Shalawat Sebelum Khutbah

Sebelum Khatib duduk di mimbar, Bilal biasanya berdiri menghadap jamaah, lalu membaca shalawat dengan nada yang indah dan lantang. Teks shalawat yang umum digunakan adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ

Transliterasi: Allahumma sholli wa sallim 'alaa sayyidinaa wa maulanaa Muhammadin wa 'alaa aali sayyidinaa wa maulanaa Muhammad.

Makna: "Ya Allah, curahkanlah rahmat dan salam atas junjungan kami, pemimpin kami, Muhammad, dan atas keluarga junjungan kami, pemimpin kami, Muhammad."

Bacaan shalawat ini memiliki fungsi ganda: memuliakan Nabi dan memberikan jeda waktu bagi khatib untuk bersiap, sekaligus memfokuskan hati jamaah yang mungkin masih sibuk dengan urusan lain, mengingatkan mereka bahwa mereka akan mendengarkan pesan dari Sunnah Nabi.

2. Peringatan (Tembihan) atau Seruan “Ma’asyirol Muslimin”

Setelah shalawat, Bilal kemudian menoleh ke arah jamaah (atau mimbar) dan melantunkan seruan yang sangat khas dalam Sholat Jumat ala Madzhab Syafi’i. Seruan ini adalah bentuk peringatan yang memuncak pada perintah untuk mendengarkan khutbah.

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهُ، مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهُ، مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهُ.

Transliterasi: Ma'aasyirol Muslimin wa zumrotal mu'minin rohimakumullah. (Diulang tiga kali).

Kemudian dilanjutkan dengan seruan akhir:

اُنْصُتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ اللهُ. أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا لِقَوْلِ الْإِمَامِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

Transliterasi: Unshutu wasma'u wa athii'u rohimakumullah. Anshituu wasma'uu liqoulil imaami la'allakum turhamun.

Makna: "Wahai golongan kaum muslimin dan rombongan kaum mukminin, semoga Allah merahmati kalian (diulang tiga kali). Diamlah, dengarkanlah, dan taatilah, semoga Allah merahmati kalian. Diamlah dan dengarkanlah perkataan Imam (Khatib), semoga kalian dirahmati."

Pengulangan frasa ini (tiga kali) berfungsi sebagai penekanan ritual. Ini bukan sekadar pengumuman, tetapi seruan retoris yang dimaksudkan untuk menarik perhatian penuh jamaah sebelum dimulainya rukun khutbah. Ini adalah momen kritis di mana jamaah diinstruksikan untuk meninggalkan semua pembicaraan dan fokus total.

E. Adzan Kedua (Adzan Tsani)

Setelah Bilal selesai melantunkan Tembihan, ia kemudian duduk sebentar, dan Khatib berdiri untuk memulai Khutbah pertama. Di Indonesia, praktik yang lebih umum adalah Khatib duduk sebentar setelah Tembihan selesai, dan Bilal berdiri kembali untuk mengumandangkan Adzan Tsani.

Adzan Tsani (Adzan kedua) inilah yang dianggap sebagai adzan yang sejalan dengan praktik di masa Nabi SAW, yaitu adzan yang dikumandangkan tepat di depan mimbar setelah khatib naik. Fungsi utama Adzan Tsani adalah i’lam bit-taharrum (pemberitahuan bahwa ibadah khutbah/sholat akan segera dimulai, sehingga segala aktivitas lain harus dihentikan).

III. Analisis Fikih Mengenai Bacaan Tambahan Bilal

Dalam diskursus fikih, tugas Bilal yang paling banyak diulas adalah pembacaan shalawat dan seruan "Ma’asyirol Muslimin." Sebab, ini adalah praktik tambahan yang tidak ditemukan dalam hadis-hadis yang menggambarkan secara rinci tata cara sholat Jumat di zaman Nabi SAW.

A. Tinjauan Hukum Mazhab Syafi’i

Praktik di Indonesia, yang sangat kental dengan Mazhab Syafi’i, menerima dan melestarikan bacaan tambahan ini. Para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa selama praktik tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan mengandung unsur kebaikan, maka ia diperbolehkan, bahkan dianjurkan (sebagai *bid'ah hasanah* atau kebaruan yang baik).

Imam an-Nawawi, salah satu pilar Mazhab Syafi'i, dalam kitabnya *Al-Majmu'* menjelaskan pentingnya peringatan bagi jamaah untuk diam. Meskipun beliau tidak menyebutkan teks spesifik "Ma’asyirol Muslimin," ulama Syafi’iyyah kemudian mengembangkan teks tersebut sebagai alat pedagogis yang efektif untuk mencapai tujuan syar'i, yaitu *inshat* (diam dan mendengarkan).

1. Status Hukum Shalawat

Pembacaan shalawat sebelum khutbah dianggap sebagai hal yang mustahab (disukai). Dasarnya adalah keutamaan bershalawat, terutama di hari Jumat. Shalawat yang dilantunkan Bilal adalah bentuk penghormatan dan persiapan spiritual. Ini bukanlah rukun sholat Jumat, melainkan pelengkap ritual yang memperindah dan menertibkan prosesi.

Ulama berargumen, jika khatib saja diwajibkan membaca shalawat dalam khutbahnya (salah satu rukun khutbah), maka membaca shalawat oleh Bilal sebelum khutbah adalah tindakan yang selaras dengan spirit ibadah Jumat yang fokus pada pemuliaan Nabi SAW.

2. Status Hukum Tembihan (Ma’asyirol Muslimin)

Tembihan adalah instruksi langsung kepada jamaah. Inti dari seruan ini adalah perintah untuk Unshutu wasma’u wa athii’u (Diam, dengarkan, dan taati). Kewajiban mendengarkan khutbah adalah mutlak dalam Mazhab Syafi’i; bahkan berbicara saat khutbah berlangsung hukumnya makruh tahrim (mendekati haram).

Oleh karena itu, seruan Bilal berfungsi sebagai penegasan ulang kewajiban ini pada saat yang paling tepat. Ini adalah pengumuman resmi bahwa momen ibadah telah tiba dan bahwa mode diam harus segera diaktifkan oleh setiap individu. Tanpa seruan yang lantang dan terstruktur seperti ini, risiko jamaah lalai atau masih berbincang akan sangat tinggi, terutama di lingkungan masyarakat yang beragam dan padat.

B. Perbedaan Pendapat dengan Mazhab Lain

Perlu dipahami bahwa bacaan Bilal ini merupakan ciri khas Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi di beberapa wilayah. Di banyak negara yang mengikuti Mazhab Hanbali dan Maliki (seperti di jazirah Arab), praktik ini tidak ada. Bilal/Muadzzin hanya mengumandangkan adzan kedua setelah khatib naik mimbar dan mengucapkan salam.

Para ulama yang cenderung lebih ketat dalam mengikuti teks hadis (*Ahlul Hadis*) seringkali mempertanyakan legalitas Tembihan dan Shalawat ini, karena menganggapnya sebagai penambahan ritual yang tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW secara spesifik di lokasi dan waktu tersebut. Namun, para ulama Syafi’iyyah membalas argumen ini dengan dasar *Maslahah Mursalah* (kebaikan umum yang tidak dilarang syariat) dan tujuan pedagogis, yakni memastikan rukun sholat Jumat (yaitu khutbah) dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa gangguan.

Intinya, perbedaan ini adalah perbedaan dalam metodologi fikih: apakah suatu amal harus memiliki contoh tekstual spesifik (*nash*) ataukah boleh ditetapkan berdasarkan tujuannya yang baik dan maslahat umat, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.

IV. Analisis Retorika dan Struktur Teks "Ma’asyirol Muslimin"

Teks Tembihan Bilal bukanlah sekadar pengumuman, melainkan sebuah seruan retoris yang kaya makna. Setiap kata dipilih untuk memberikan dampak psikologis dan spiritual bagi jamaah.

A. Panggilan Penghormatan

Frasa "Ma'aasyirol Muslimin wa zumrotal mu'minin" (Wahai golongan kaum Muslimin dan rombongan kaum Mukminin) menggunakan dua kata sapaan yang berdekatan namun memiliki nuansa makna berbeda:

Dengan memanggil kedua identitas ini secara bergantian, Bilal memastikan bahwa seruannya mencapai setiap individu di masjid, baik mereka yang baru mencapai level Islam (syahadat) maupun mereka yang sudah mendalami keimanan (iman).

B. Doa Rahmah (Rahmatullah)

Seruan ini selalu diikuti dengan "rohimakumullah" (semoga Allah merahmati kalian). Doa ini berfungsi sebagai pelembut dan pemotivasi. Bilal tidak hanya memberi perintah, tetapi juga mendoakan kebaikan bagi yang diperintah. Pengulangan doa ini tiga kali memastikan bahwa pesan tersebut tersampaikan dengan penuh ketenangan dan harapan akan berkah ilahi.

Rahmat Allah adalah kunci keberhasilan ibadah. Dengan mendoakan rahmat sebelum Khutbah, Bilal secara implisit mengingatkan jamaah bahwa tujuan mereka berkumpul adalah untuk mencari Rahmat, yang hanya bisa didapat jika mereka melaksanakan ibadah dengan tertib dan mendengarkan pesan kebenaran yang akan disampaikan Khatib.

C. Inti Perintah: Inshat, Sama', dan Itta’

Puncak dari Tembihan adalah tiga perintah yang wajib ditaati jamaah:

  1. Unshutu (أنصتوا): Diam dan Perhatikan (Inshat). Ini bukan sekadar diam (*sukut*), tetapi diam sambil memasang telinga dan hati untuk menyimak. Inshat adalah kewajiban utama dalam khutbah.
  2. Wasma'u (واسمعوا): Dengarkan. Ini menekankan penggunaan indra pendengaran untuk menangkap setiap kata.
  3. Wa athii'u (وأطيعوا): Taati. Perintah ini mengacu pada ketaatan terhadap instruksi untuk diam, serta ketaatan terhadap ajaran kebaikan yang akan disampaikan khatib.

Ketiga perintah ini mengikat jamaah secara spiritual dan praktis. Transisi dari keriuhan duniawi di luar masjid ke kekhusyu’an mendengarkan wahyu dan nasihat ilahi harus ditandai dengan jeda formal yang kuat, dan inilah yang disediakan oleh Tembihan Bilal.

V. Fungsi Pedagogis dan Manajemen Kerumunan

Di luar perdebatan fikih tentang status hukum, peran Bilal dalam prosesi Jumat memiliki fungsi sosiologis dan pedagogis yang sangat vital, terutama dalam konteks masjid-masjid besar di kota-kota yang padat.

A. Menetapkan Batas Waktu Formal

Tugas Bilal, dari Shalawat hingga Adzan Tsani, berfungsi sebagai hitungan mundur ritual. Begitu Bilal memulai shalawat, setiap orang tahu bahwa waktu sholat sunnah telah habis dan khutbah akan segera dimulai. Ini menciptakan kesadaran waktu kolektif yang penting untuk memulai ibadah berjamaah.

B. Membantu Kekhusyu’an Khatib

Khatib membutuhkan suasana yang tenang dan fokus sebelum memulai Khutbah. Bacaan Bilal memastikan bahwa saat Khatib berdiri untuk memulai Khutbah, seluruh jamaah sudah dalam kondisi diam. Dengan demikian, Bilal secara tidak langsung membantu Khatib melaksanakan rukun-rukun Khutbah (seperti hamdalah, shalawat, wasiat taqwa, dsb.) dengan tenang dan tanpa gangguan.

C. Penguatan Identitas Tradisi

Bagi masyarakat yang tumbuh dalam tradisi Syafi’iyyah, rangkaian bacaan Bilal adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Sholat Jumat. Keberadaannya memberikan rasa kontinuitas dan kepastian ritual. Suara dan urutan bacaan yang sudah dikenal luas menciptakan kenyamanan dan orientasi ritual bagi jamaah. Menghilangkan elemen ini secara tiba-tiba bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan perpecahan di masyarakat yang sudah terbiasa dengan ritual tersebut.

Simbol Mimbar dan Khutbah

VI. Elaborasi Mendalam tentang Pengerjaan Rangkaian Ritual

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengelaborasikan setiap tahapan tugas Bilal dengan detail operasional dan spiritual yang lebih mendalam, menimbang setiap aspek yang mungkin terlewatkan dalam tinjauan singkat.

A. Adab dan Tata Krama Bilal

Seorang Bilal harus menjaga adab dan penampilan. Pakaian yang rapi, suara yang jelas, dan sikap yang tenang adalah keharusan. Ketika membacakan Tembihan, intonasi suara Bilal harus tegas namun menenangkan. Ketegasan diperlukan untuk memberikan perintah 'Inshat' (diam), sementara kelembutan diperlukan karena seruan tersebut disisipi doa 'Rohimakumullah'.

Penentuan waktu adalah faktor krusial. Bilal harus memastikan bahwa ia memulai serangkaian shalawat dan Tembihan tepat setelah khatib siap dan telah duduk di mimbar. Jika Bilal terlalu cepat atau terlalu lambat, hal itu dapat mengganggu ritme ibadah.

Dalam Mazhab Syafi’i, posisi Bilal saat Tembihan seringkali berdiri di anak tangga pertama mimbar atau menghadap jamaah, dengan posisi tangan yang sopan dan mata yang menunjukkan perhatian kepada jamaah. Setelah Tembihan selesai, barulah ia kembali ke tempat duduknya untuk Adzan Tsani, atau tetap berdiri jika ia juga bertugas sebagai Muadzzin Adzan Tsani.

B. Kedalaman Linguistik Shalawat Bilal

Pemilihan shalawat Bilal yang menggunakan lafal Sayyidina ("Junjungan kami") memiliki makna teologis penting dalam konteks keilmuan Islam tradisional. Meskipun beberapa aliran modernis memilih untuk tidak menggunakan Sayyidina karena khawatir berlebihan dalam memuji Nabi, Mazhab Syafi’i sangat menganjurkan penggunaannya sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan akan kedudukan agung Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin seluruh umat manusia.

Frasa "Sayyidina" memperkuat aspek spiritual dari Sholat Jumat. Ibadah Jumat adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah melalui Sunnah Nabi. Dengan menyebut beliau sebagai Sayyiduna, jamaah diingatkan akan otoritas spiritual dan teladan yang mereka ikuti. Penggunaan istilah ini di tengah-tengah ritual formal Sholat Jumat adalah pengukuhan keagungan Rasulullah SAW di hadapan jamaah yang berhimpun.

C. Peran Tembihan dalam Mengatasi Lupa dan Lalai

Manusia pada dasarnya pelupa (*al-insanu mahallu al-khata' wan nisyan*). Bahkan di masjid, terkadang pikiran masih tertinggal pada urusan pekerjaan atau rumah tangga. Tembihan Bilal berfungsi sebagai interupsi paksa yang disyariatkan. Suara lantang Bilal yang memanggil nama ‘Muslimin’ dan ‘Mukminin’ secara berulang-ulang, disusul dengan perintah 'Unshutu', adalah teknik retoris efektif untuk menarik kesadaran kembali kepada tujuan ibadah.

Jika Khutbah dimulai tanpa peringatan ini, jamaah yang tadinya sibuk berdzikir atau sholat sunnah mungkin tidak segera menyadari bahwa Khatib telah memulai, yang berpotensi menyebabkan mereka kehilangan rukun Khutbah, seperti mendengarkan wasiat taqwa. Oleh karena itu, Tembihan adalah semacam gerbang transisi spiritual, memastikan bahwa setiap telinga dan hati telah siap menerima bimbingan.

VII. Integrasi Ritual Bilal dengan Rukun Khutbah

Tugas Bilal harus dilihat sebagai bagian integral yang mendukung kesempurnaan rukun Khutbah. Khutbah Jumat memiliki lima rukun wajib dalam Mazhab Syafi'i:

  1. Pujian kepada Allah (Hamdalah).
  2. Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
  3. Wasiat Taqwa.
  4. Membaca ayat Al-Qur'an (minimal satu ayat) di salah satu khutbah.
  5. Berdoa untuk kaum Mukminin di khutbah kedua.

Hubungan antara Bilal dan rukun-rukun ini sangat erat. Shalawat yang dibacakan Bilal (sebelum Adzan Tsani) mengantisipasi rukun kedua Khutbah (Shalawat oleh Khatib). Ini menciptakan resonansi spiritual yang menyiapkan jamaah untuk mendengarkan puja dan puji yang akan dilantunkan Khatib.

Tembihan "Ma’asyirol Muslimin" secara langsung mendukung pelaksanaan rukun ketiga (Wasiat Taqwa). Wasiat Taqwa adalah inti Khutbah, dan pesan ini hanya akan efektif jika jamaah mendengarkannya dengan diam dan penuh perhatian. Jika Bilal gagal menertibkan jamaah, Khatib akan kesulitan menyampaikan Wasiat Taqwa, dan efektivitas Khutbah akan berkurang drastis.

Dalam tradisi Syafi’iyyah, Khutbah Jumat tidak sah jika tidak ada jamaah minimal 40 orang yang mendengarkan Khutbah secara Inshat. Peran Bilal menjamin bahwa persyaratan inshat ini dapat terpenuhi secara optimal, menjadikannya penunjang sahnya Sholat Jumat menurut pandangan fikih ini.

D. Variasi Lokal dan Adaptasi Bacaan

Meskipun teks inti shalawat dan Tembihan bersifat baku, terdapat sedikit variasi lokal dalam penyampaian dan penambahan lafal tertentu. Misalnya, beberapa masjid menambahkan seruan tentang keutamaan hari Jumat atau anjuran untuk bersiwak dan mandi. Semua variasi ini, selama tujuannya adalah kebaikan dan ketertiban ibadah, diterima dalam lingkup *bid'ah hasanah*.

Elaborasi atas kata-kata Arab yang digunakan dalam Tembihan, seperti membedakan antara al-Muslimin dan al-Mu’minin, menunjukkan tingkat penghormatan dan kehati-hatian linguistik yang mendalam dalam merancang teks ritual. Perbedaan ini bukan sekadar sinonim; ia mencerminkan spektrum iman dalam komunitas, memastikan bahwa Bilal memanggil setiap tingkat kesalehan yang hadir di masjid.

Pengulangan tiga kali (ثلاث مرات) untuk seruan rahmat (*rohimakumullah*) adalah teknik penekanan yang lazim dalam komunikasi Arab klasik, memberikan kekuatan persuasif yang lebih besar. Teknik ini memastikan bahwa perintah untuk diam tidak terdengar otoriter, melainkan diiringi dengan harapan berkah dan ampunan dari Allah SWT.

VIII. Penutup: Signifikansi Spiritual Peran Bilal

Peran Bilal dalam Sholat Jumat adalah sebuah warisan budaya dan keagamaan yang kaya. Ia adalah jembatan yang menghubungkan ritual sunnah dengan ritual wajib, antara persiapan spiritual individu dan pelaksanaan ibadah kolektif. Bacaannya, yang terdiri dari shalawat dan peringatan, bukan sekadar basa-basi ritual, melainkan instrumen efektif dalam manajemen ibadah dan penegasan kembali kewajiban syar’i.

Memahami tugas Bilal adalah memahami bagaimana fikih beradaptasi dengan kebutuhan zaman (maslahah). Meskipun teks-teks tersebut tidak ditemukan secara literal dalam hadis-hadis awal, ia telah dipertahankan oleh ulama selama berabad-abad karena manfaatnya yang nyata dalam menjaga ketertiban, kekhusyu’an, dan kesempurnaan ibadah Jumat bagi umat Islam, khususnya di wilayah yang teguh memegang tradisi keilmuan Mazhab Syafi’i.

Dengan demikian, ketika suara Bilal mengumandangkan “Ma’asyirol Muslimin…”, kita diingatkan bahwa itu adalah panggilan terakhir, seruan agung untuk menanggalkan dunia sejenak, dan memfokuskan seluruh jiwa raga pada khutbah dan Sholat Jumat yang penuh berkah.

🏠 Kembali ke Homepage