Sepanjang sejarah kekristenan, konsili telah menjadi pilar penting dalam pembentukan doktrin, penetapan praktik, dan penyelesaian perselisihan teologis. Dari pertemuan-pertemuan para rasul di Yerusalem hingga konsili-konsili ekumenis yang membentuk wajah Gereja, forum-forum ini merefleksikan upaya berkelanjutan untuk memahami kebenaran ilahi, menjaga kesatuan, dan merespons tantangan zaman. Artikel ini akan menyelami sejarah panjang konsili, mulai dari definisi dan tujuan fundamentalnya, hingga menelusuri konsili-konsili ekumenis utama yang telah mengukir jejak tak terhapuskan dalam doktrin dan struktur gerejawi, serta dampaknya yang abadi hingga hari ini.
Apa Itu Konsili? Definisi dan Tujuan
Secara umum, konsili (dari bahasa Latin: concilium, yang berarti "pertemuan" atau "dewan") adalah sebuah pertemuan resmi para pemimpin gerejawi, seperti uskup, kardinal, atau teolog, untuk membahas dan memutuskan masalah-masalah doktrinal, moral, atau disipliner yang penting bagi komunitas Kristen. Konsili bisa bersifat lokal (sinode keuskupan atau provinsi), regional, atau yang paling signifikan, ekumenis (menyeluruh, universal), yang mewakili seluruh Gereja. Tujuan utama sebuah konsili adalah untuk menjaga kemurnian iman, menyelesaikan kontroversi teologis, menetapkan hukum dan disiplin gerejawi, serta memperbarui kehidupan rohani Gereja sesuai dengan tuntutan zaman.
Konsep konsili berakar pada praktik Gereja mula-mula, di mana para rasul dan penatua berkumpul untuk mengatasi masalah-masalah krusial. Contoh paling awal yang tercatat adalah Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15), di mana para rasul membahas apakah orang-orang non-Yahudi yang menjadi Kristen harus disunat dan mematuhi Hukum Musa. Keputusan konsili ini, yang dipimpin oleh Petrus dan Yakobus, menjadi preseden penting bagi otoritas konsili dalam menyelesaikan perbedaan dan menetapkan arah bagi Gereja yang sedang berkembang.
Konsili tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengambilan keputusan, tetapi juga sebagai forum dialog, refleksi kolektif, dan pencarian kehendak Tuhan melalui diskusi dan doa bersama. Keyakinan bahwa Roh Kudus hadir dan membimbing pertemuan-pertemuan ini adalah landasan bagi otoritas dan legitimasi keputusan-keputusan konsili. Keputusan yang diambil di konsili-konsili ekumenis, khususnya, sering kali dianggap mengikat seluruh umat beriman dan memiliki bobot doktrinal yang sangat tinggi, bahkan bagi beberapa tradisi Kristen dianggap tidak dapat salah (infalibel) dalam hal-hal iman dan moral.
Dalam konteks modern, konsili juga dapat dipahami sebagai ekspresi sinodalitas Gereja, yaitu cara Gereja hidup dan beroperasi melalui partisipasi, dialog, dan pengambilan keputusan bersama. Sinodalitas menekankan bahwa seluruh umat Allah dipanggil untuk berjalan bersama, mendengarkan satu sama lain, dan bersama-sama merespons panggilan Injil di dunia. Dengan demikian, konsili tidak hanya sebuah peristiwa historis, tetapi sebuah model yang terus relevan bagi kehidupan gerejawi yang dinamis.
Konsili-Konsili Ekumenis: Pilar Doktrinal Kekristenan
Konsili ekumenis, yang berarti "seluruh dunia," adalah pertemuan para uskup dari seluruh Gereja untuk membahas masalah-masalah doktrinal dan disipliner yang memengaruhi kekristenan secara universal. Jumlah pasti konsili ekumenis bervariasi antara tradisi Kristen. Gereja Katolik Roma mengakui 21 konsili ekumenis, Gereja Ortodoks Timur mengakui tujuh konsili pertama, sementara beberapa tradisi Protestan mengakui keputusan dari beberapa konsili awal mengenai doktrin Kristologi dan Trinitas. Meskipun demikian, konsili-konsili ini telah membentuk kerangka teologis yang mendasari sebagian besar kekristenan.
Tujuh Konsili Ekumenis Pertama (Masa Gereja Perdana)
Tujuh konsili pertama memiliki peran yang sangat sentral karena mereka merumuskan doktrin-doktrin fundamental tentang Trinitas dan Pribadi Kristus yang diterima secara luas oleh mayoritas umat Kristen.
1. Konsili Nicea I (325 M)
Konsili Nicea pertama adalah respons terhadap ajaran Arius, seorang presbiter dari Aleksandria, yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah ciptaan Allah Bapa, bukan ilahi sepenuhnya dan setara dengan Bapa. Ajaran ini, yang dikenal sebagai Arianisme, mengancam inti dari doktrin Trinitas dan keselamatan. Kaisar Konstantinus Agung, yang baru saja melegalkan kekristenan, memanggil konsili ini untuk menjaga kesatuan Gereja dan kekaisaran.
Hasil terpenting dari Nicea I adalah perumusan Kredo Nicea, sebuah pernyataan iman yang menegaskan keilahian Kristus. Kredo ini menyatakan bahwa Yesus adalah "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat (homoousios) dengan Bapa." Kata homoousios menjadi titik krusial dalam menolak Arianisme, menegaskan bahwa Kristus memiliki hakikat yang sama dengan Bapa. Konsili ini juga menetapkan tanggal perayaan Paskah secara seragam dan beberapa kanon disipliner gerejawi.
2. Konsili Konstantinopel I (381 M)
Meskipun Nicea I menolak Arianisme, kontroversi teologis berlanjut. Konsili Konstantinopel pertama diadakan untuk mengatasi kebangkitan Arianisme dalam bentuk yang lebih halus, serta untuk mengutuk ajaran-ajaran lain seperti Makedonianisme (yang menyangkal keilahian Roh Kudus) dan Apollinarianisme (yang menyangkal kemanusiaan penuh Kristus). Konsili ini dipanggil oleh Kaisar Theodosius I.
Konsili ini memperluas Kredo Nicea, menghasilkan apa yang sekarang dikenal sebagai Kredo Nicea-Konstantinopel. Kredo yang diperluas ini lebih jelas menegaskan keilahian Roh Kudus, menyatakan bahwa Roh Kudus "Tuhan yang menghidupkan, yang keluar dari Bapa, yang bersama Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan." Konsili ini juga memberikan status kehormatan kedua bagi uskup Konstantinopel setelah uskup Roma, sebuah keputusan yang memiliki implikasi signifikan bagi hubungan antara Timur dan Barat di kemudian hari.
3. Konsili Efesus (431 M)
Konsili Efesus diadakan untuk menyelesaikan kontroversi mengenai sifat Maria dan pribadi Kristus yang dipicu oleh ajaran Nestorius, Patriark Konstantinopel. Nestorius berargumen bahwa Maria seharusnya disebut Christotokos ("Pembawa Kristus") daripada Theotokos ("Pembawa Allah"), karena menurutnya, dia hanya melahirkan kodrat manusiawi Kristus, bukan kodrat ilahi-Nya. Ini menyiratkan pemisahan dua pribadi dalam Kristus, yang satu ilahi dan yang lain manusiawi.
Konsili Efesus, yang didominasi oleh St. Sirilus dari Aleksandria, mengutuk Nestorianisme dan menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah satu Pribadi ilahi dengan dua kodrat, ilahi dan manusiawi, yang tak terpisahkan. Dengan demikian, Maria secara tepat disebut Theotokos karena dia melahirkan Yesus, yang adalah Allah yang menjadi manusia. Keputusan ini memperkuat doktrin persatuan hipostatis (kesatuan pribadi) dalam Kristus.
4. Konsili Kalsedon (451 M)
Setelah Konsili Efesus, kontroversi Kristologi beralih ke ajaran Eutyches, seorang biarawan dari Konstantinopel, yang mengajarkan Monofisitisme (dari bahasa Yunani: monos, "satu" dan physis, "kodrat"). Eutyches berpendapat bahwa setelah inkarnasi, kodrat manusiawi Kristus diserap oleh kodrat ilahi-Nya, sehingga hanya ada satu kodrat ilahi. Ajaran ini mengancam kemanusiaan sejati Kristus dan implikasinya terhadap keselamatan manusia.
Konsili Kalsedon, yang dihadiri oleh sekitar 500 uskup, adalah konsili terbesar dan salah satu yang paling berpengaruh. Konsili ini merumuskan definisi Kalsedon, sebuah pernyataan iman yang menolak Monofisitisme dan menegaskan bahwa Kristus memiliki dua kodrat—ilahi dan manusiawi—yang bersatu dalam satu Pribadi ilahi, "tanpa campur aduk, tanpa perubahan, tanpa terbagi, tanpa terpisah." Dokumen ini, yang juga mengacu pada 'Tome' Paus Leo I, menjadi patokan bagi ortodoksi Kristologi dan tetap menjadi landasan bagi Gereja Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan sebagian besar denominasi Protestan. Namun, definisi ini juga menyebabkan skisma dengan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental (Miaphysite) yang menolak rumusan "dua kodrat setelah inkarnasi".
5. Konsili Konstantinopel II (553 M)
Konsili ini dipanggil oleh Kaisar Yustinianus I untuk mengatasi masalah yang disebut "Tiga Bab," yaitu tulisan-tulisan atau ajaran-ajaran teolog yang dituduh Nestorian atau memiliki kecenderungan Nestorian. Tujuannya adalah untuk mendamaikan faksi-faksi dalam Gereja yang masih belum menerima sepenuhnya keputusan Kalsedon atau merasa Kalsedon terlalu kompromistis terhadap Nestorianisme. Konsili ini menegaskan kembali dan memperjelas ajaran Kristologi dari Efesus dan Kalsedon, dengan mengutuk ulang Nestorianisme dan beberapa penafsirannya, serta menegaskan kesatuan subjek dalam Kristus adalah satu pribadi dari Sabda Ilahi.
6. Konsili Konstantinopel III (680-681 M)
Konsili ini membahas kontroversi Monotelitisme (dari bahasa Yunani: monos, "satu" dan thelema, "kehendak"), ajaran yang menyatakan bahwa Kristus hanya memiliki satu kehendak ilahi, meskipun memiliki dua kodrat. Ajaran ini adalah upaya untuk menjembatani jurang dengan Monofisitisme, tetapi dikhawatirkan dapat merusak kemanusiaan penuh Kristus. Jika Kristus tidak memiliki kehendak manusiawi, maka Dia tidak dapat sepenuhnya menjadi teladan bagi manusia dalam ketaatan kepada Bapa.
Konsili ini mengutuk Monotelitisme dan secara tegas menyatakan bahwa Kristus memiliki dua kehendak, satu ilahi dan satu manusiawi, yang bekerja secara harmonis dan tanpa pertentangan, sesuai dengan dua kodrat-Nya yang sejati. Kehendak manusiawi Kristus tunduk pada kehendak ilahi-Nya.
7. Konsili Nicea II (787 M)
Konsili Nicea kedua berhadapan dengan kontroversi Ikonoklasme, yaitu penghancuran atau penolakan ikon-ikon suci dalam ibadah Kristen. Gerakan Ikonoklasme, yang didukung oleh beberapa kaisar Bizantium, berpendapat bahwa penghormatan ikon adalah bentuk penyembahan berhala. Ini menyebabkan penganiayaan terhadap mereka yang mendukung penggunaan ikon dan perusakan banyak karya seni keagamaan.
Konsili Nicea II, yang dipimpin oleh Permaisuri Irene, menegaskan kembali ortodoksi penggunaan ikon. Konsili ini membedakan antara latreia (penyembahan mutlak, yang hanya diberikan kepada Allah) dan proskynesis (penghormatan atau venerasi, yang diberikan kepada ikon sebagai representasi dari orang suci yang digambarkan, bukan objek itu sendiri). Konsili ini menyatakan bahwa menghormati ikon berarti menghormati prototipe yang diwakilinya, dan bahwa ikon berfungsi sebagai alat pengajaran dan pendorong devosi. Keputusan ini secara permanen mengakhiri periode Ikonoklasme pertama.
Konsili-Konsili Abad Pertengahan
Setelah tujuh konsili pertama, Gereja terus mengadakan pertemuan-pertemuan penting untuk merespons tantangan-tantangan baru, terutama di Barat. Konsili-konsili ini sebagian besar diselenggarakan oleh otoritas kepausan dan berfokus pada reformasi gerejawi, disiplin, dan respons terhadap gerakan-gerakan bidah serta perubahan politik.
Konsili Lateran I (1123 M)
Konsili pertama yang diadakan di Basilika St. Yohanes Lateran di Roma, menandai pengesahan resmi Konkordat Worms (1122), yang mengakhiri Kontroversi Investitur. Konsili ini menyelesaikan perselisihan panjang antara kepausan dan kekaisaran mengenai hak penunjukan uskup. Konsili menegaskan pemisahan kekuasaan gerejawi dan sekuler, memberikan hak investitur spiritual (pemberian cincin dan tongkat) kepada Gereja, sementara kaisar mempertahankan hak untuk menganugerahkan wilayah feodal.
Konsili Lateran II (1139 M)
Dipanggil oleh Paus Inosensius II, konsili ini bertujuan untuk mengakhiri skisma yang disebabkan oleh anti-paus Anacletus II dan untuk menegakkan kembali disiplin gerejawi. Konsili ini mengeluarkan kanon-kanon penting, termasuk larangan pernikahan bagi klerus (memperkuat selibat klerus), melarang pertunangan klerus, dan mengutuk ajaran-ajaran bidah dari Petrus dari Bruys dan Arnold dari Brescia.
Konsili Lateran III (1179 M)
Dibawah Paus Aleksander III, konsili ini diselenggarakan setelah beberapa dekade konflik dengan Frederick Barbarossa dan skisma lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk mengakhiri perpecahan baru dalam gereja dan mengutuk ajaran Waldenses dan Kathar. Konsili ini menetapkan bahwa untuk pemilihan paus, diperlukan dua pertiga suara kardinal, sebuah aturan yang masih berlaku hingga hari ini. Ini juga mengeluarkan ketentuan untuk meningkatkan moral klerus dan melarang penjualan jabatan gerejawi.
Konsili Lateran IV (1215 M)
Konsili ini adalah salah satu konsili abad pertengahan yang paling penting dan paling banyak dihadiri, dipanggil oleh Paus Inosensius III. Ini adalah puncak kekuatan kepausan abad pertengahan dan menghasilkan reformasi yang luas. Konsili ini:
- Menetapkan doktrin transubstansiasi sebagai penjelasan resmi tentang bagaimana roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi.
- Mewajibkan umat beriman untuk menerima Ekaristi dan pengakuan dosa setidaknya setahun sekali (dikenal sebagai "kewajiban Paskah").
- Mengutuk berbagai ajaran bidah seperti Albigenses (Kathar) dan Waldenses.
- Mengeluarkan sejumlah besar kanon disipliner yang mengatur kehidupan klerus dan umat, termasuk larangan pernikahan rahasia.
- Menyerukan Perang Salib Kelima.
- Mengeluarkan peraturan diskriminatif terhadap Yahudi dan Muslim.
Konsili Lyon I (1245 M)
Dipanggil oleh Paus Inosensius IV, konsili ini sebagian besar berfokus pada konflik antara kepausan dan Kaisar Frederick II, yang diekskomunikasi dan dipecat oleh Paus di konsili ini. Konsili ini juga membahas masalah-masalah seperti invasi Mongol ke Eropa Timur dan Perang Salib yang sedang berlangsung.
Konsili Lyon II (1274 M)
Dipanggil oleh Paus Gregorius X, konsili ini memiliki tujuan utama untuk menyatukan kembali Gereja Timur dan Barat. Delegasi dari Kekaisaran Bizantium, termasuk Kaisar Michael VIII Palaiologos, hadir dan menyetujui doktrin-doktrin Barat, termasuk keutamaan paus dan penggunaan filioque dalam Kredo. Namun, persatuan ini terbukti berumur pendek dan ditolak oleh sebagian besar klerus dan umat di Timur. Konsili ini juga mengatur tentang pemilihan paus (konklaf) dan seruan untuk Perang Salib baru.
Konsili Vienne (1311-1312 M)
Dipanggil oleh Paus Klemens V atas tekanan dari Raja Philip IV dari Prancis, konsili ini paling dikenal karena keputusannya untuk membubarkan Ordo Bait Allah (Kesatria Templar) di tengah tuduhan-tuduhan bidah dan penyimpangan. Konsili ini juga berusaha mereformasi Gereja dan mengutuk beberapa ajaran filosofis yang dianggap tidak ortodoks, serta menyerukan upaya misionaris dan studi bahasa-bahasa Timur.
Konsili-Konsili Akhir Abad Pertengahan dan Awal Modern
Periode ini ditandai oleh krisis besar dalam Gereja, termasuk Skisma Barat dan munculnya gerakan reformasi.
Konsili Konstanz (1414-1418 M)
Konsili Konstanz adalah salah satu konsili terbesar dan terpenting dalam sejarah Gereja Katolik, yang dipanggil untuk menyelesaikan Skisma Barat (1378-1417), di mana terdapat tiga paus yang saling bersaing. Konsili ini akhirnya berhasil mengakhiri skisma dengan memecat atau menerima pengunduran diri ketiga paus dan memilih satu paus baru, Martinus V.
Konsili ini juga mengutuk ajaran Jan Hus dan John Wycliffe, yang dianggap bidah. Hus ditangkap, diadili, dan dibakar di tiang, meskipun dia diberikan surat jaminan perjalanan oleh Kaisar. Secara doktrinal, Konstanz terkenal karena menetapkan supremasi konsili atas paus dalam keadaan tertentu (konsiliarisme), meskipun keputusan ini kemudian ditolak oleh kepausan.
Konsili Basel-Ferrara-Florence (1431-1449 M)
Awalnya dipanggil di Basel, konsili ini adalah kelanjutan dari semangat konsiliarisme Konstanz. Konsili ini berselisih dengan paus mengenai otoritas dan lokasi. Akhirnya, sebagian besar konsili dipindahkan ke Ferrara dan kemudian ke Florence. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai persatuan kembali dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur yang masih terpisah setelah skisma besar tahun 1054.
Di Florence, sebuah kesepakatan persatuan (disebut "Union of Florence") ditandatangani dengan Ortodoks Timur, yang menerima filioque dan keutamaan paus, serta definisi sakramen. Namun, seperti persatuan Lyon, kesepakatan ini ditolak oleh sebagian besar Gereja Ortodoks di Timur setelah delegasi kembali ke rumah. Konsili ini juga mencapai kesepakatan singkat dengan beberapa Gereja Ortodoks Oriental lainnya.
Konsili Lateran V (1512-1517 M)
Konsili ini dipanggil oleh Paus Julius II dan dilanjutkan oleh Paus Leo X, dengan tujuan untuk mereformasi Gereja "di kepala dan anggota" dan melawan konsiliarisme. Ironisnya, konsili ini berakhir hanya beberapa bulan sebelum Martin Luther memakukan 95 Tesisnya di Wittenberg, yang memicu Reformasi Protestan. Meskipun konsili ini mengesahkan beberapa dekret reformasi dan mengutuk ajaran Averroisme yang tidak ortodoks, kegagalannya untuk mengatasi masalah-masalah mendalam yang membusuk dalam Gereja secara efektif berkontribusi pada pecahnya Reformasi.
Konsili-Konsili Modern
Konsili-konsili modern berhadapan dengan tantangan Reformasi Protestan, Revolusi Ilmiah, Pencerahan, dan modernitas.
Konsili Trente (1545-1563 M)
Konsili Trente adalah respons utama Gereja Katolik terhadap Reformasi Protestan (sering disebut sebagai Kontra-Reformasi). Konsili ini diadakan dalam tiga sesi terpisah selama 18 tahun karena berbagai gangguan politik dan militer. Tujuannya ganda: untuk mengutuk doktrin-doktrin Protestan dan untuk mereformasi Gereja Katolik.
Keputusan-keputusan Trente sangat berpengaruh dan membentuk wajah Gereja Katolik selama empat abad. Beberapa poin penting meliputi:
- Skriptura dan Tradisi: Menegaskan bahwa Alkitab dan tradisi suci adalah sumber wahyu yang setara.
- Pembenaran: Menegaskan doktrin pembenaran melalui iman dan perbuatan, menolak doktrin sola fide (iman saja) Protestan.
- Sakramen: Menegaskan kembali jumlah dan validitas tujuh sakramen.
- Ekaristi: Menegaskan doktrin transubstansiasi dan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi.
- Hierarki Gereja: Menegaskan otoritas Paus dan hierarki gerejawi.
- Reformasi Disipliner: Mengeluarkan dekret-dekret tentang pembentukan seminari untuk pendidikan klerus, larangan penumpukan jabatan, dan kewajiban uskup untuk tinggal di keuskupannya.
- Vulgata: Mendeklarasikan Vulgata Latin sebagai versi Alkitab resmi Gereja.
Konsili Vatikan I (1869-1870 M)
Dipanggil oleh Paus Pius IX, konsili ini diadakan pada masa di mana Gereja menghadapi tantangan dari modernisme, rasionalisme, dan hilangnya Negara-negara Kepausan. Konsili ini sangat penting karena menetapkan doktrin infalibilitas paus. Doktrin ini menyatakan bahwa ketika paus berbicara ex cathedra (dari takhta) mengenai masalah iman atau moral dan berniat untuk mendefinisikan doktrin bagi seluruh Gereja, ia dilindungi dari kemungkinan kesalahan oleh Roh Kudus.
Konsili ini juga menegaskan keutamaan dan yurisdiksi universal paus di atas semua uskup. Meskipun konsili ini terpaksa ditunda karena invasi Italia ke Roma, keputusannya mengenai infalibilitas paus memiliki dampak signifikan pada struktur dan teologi Gereja Katolik, memperkuat otoritas kepausan secara dramatis.
Konsili Vatikan II (1962-1965 M)
Konsili Vatikan II adalah konsili ekumenis ke-21 dan terakhir dari Gereja Katolik Roma, dipanggil oleh Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI. Ini adalah peristiwa yang monumental dan transformatif bagi Gereja Katolik di abad ke-20.
Alih-alih mengutuk bidah atau merumuskan doktrin baru, tujuan utama Vatikan II adalah "aggiornamento" (pembaharuan atau pembaruan) dan "resourcement" (kembali ke sumber-sumber iman). Konsili ini berupaya untuk:
- Pembaruan Liturgi: Memungkinkan penggunaan bahasa vernakular (lokal) dalam Misa, mendorong partisipasi umat, dan memperbarui bentuk-bentuk ibadah.
- Ekumenisme: Mendorong dialog dan kerja sama dengan denominasi Kristen lainnya, mengakui elemen-elemen kebenaran dalam Gereja-Gereja lain.
- Hubungan Antar-Agama: Menyerukan dialog dan penghormatan terhadap agama-agama non-Kristen.
- Sifat Gereja (Lumen Gentium): Memperluas pemahaman tentang Gereja tidak hanya sebagai hierarki tetapi sebagai "Umat Allah" yang karismatik, menekankan martabat dan panggilan universal untuk kekudusan bagi semua anggota.
- Peran Uskup (Christus Dominus): Menegaskan kembali kolegalitas uskup dengan paus, menekankan bahwa para uskup secara kolektif bertanggung jawab atas Gereja universal bersama Paus.
- Hubungan Gereja dengan Dunia Modern (Gaudium et Spes): Mengatasi isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, perdamaian, dan martabat manusia, mendorong Gereja untuk terlibat dengan dunia secara positif.
- Wahyu Ilahi (Dei Verbum): Menekankan pentingnya Alkitab dan mendorong umat Katolik untuk membaca dan mempelajarinya.
- Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae): Mendukung hak setiap individu untuk kebebasan beragama, menolak pemaksaan dalam hal iman.
Struktur dan Prosedur Konsili
Prosedur konsili telah berkembang sepanjang sejarah, tetapi beberapa elemen inti tetap konsisten. Biasanya, sebuah konsili dipanggil oleh seorang kaisar atau paus. Dalam Gereja Ortodoks Timur, kaisar memiliki peran penting dalam memanggil tujuh konsili ekumenis pertama. Dalam Gereja Katolik, seiring berjalannya waktu, Pauslah yang memiliki wewenang eksklusif untuk memanggil, memimpin, dan mengesahkan konsili ekumenis.
Peserta utama konsili adalah para uskup, yang dianggap sebagai penerus para rasul dan memiliki otoritas mengajar (magisterium). Selain uskup, sering kali para teolog ahli, perwakilan ordo-ordo religius, dan bahkan perwakilan dari kekuatan sekuler (seperti kaisar atau raja) juga hadir sebagai penasihat atau pengamat. Setiap peserta memiliki peran dalam diskusi, dan dalam beberapa konsili, hak suara. Proses pengambilan keputusan biasanya melibatkan diskusi yang panjang, debat teologis, dan pemungutan suara. Roh Kudus dianggap membimbing proses ini, dan keputusan yang diambil diharapkan merefleksikan kehendak ilahi.
Dokumen-dokumen konsili, yang dikenal sebagai 'kanon' atau 'dekret', biasanya merangkum keputusan-keputusan yang diambil. Dokumen-dokumen ini kemudian disebarluaskan ke seluruh Gereja dan diharapkan untuk dipatuhi oleh semua umat beriman. Penerimaan keputusan konsili oleh seluruh Gereja (baik melalui persetujuan universal dari uskup atau pengesahan oleh Paus, tergantung pada tradisi gerejawi) adalah kunci untuk menetapkan otoritas ekumenisnya.
Meskipun prosesnya bisa sangat politis dan penuh intrik, konsili tetap dilihat sebagai wahana di mana Gereja, yang diilhami oleh Roh Kudus, dapat berbicara dengan satu suara mengenai kebenaran iman. Konsili menyediakan sebuah forum bagi Gereja untuk berefleksi secara korporat, memurnikan pemahamannya tentang wahyu, dan memperbarui komitmennya terhadap misi Injil.
Dampak dan Warisan Konsili
Dampak konsili terhadap kekristenan tidak dapat dilebih-lebihkan. Mereka telah membentuk hampir setiap aspek doktrin, praktik, dan struktur gerejawi. Beberapa warisan penting meliputi:
- Formulasi Doktrin: Konsili-konsili awal membentuk doktrin inti tentang Trinitas dan Kristologi yang menjadi dasar bagi kekristenan ortodoks. Tanpa Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon, kita mungkin memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang Allah dan Kristus.
- Kesatuan dan Perpecahan: Konsili sering kali dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan, dan memang, mereka berhasil menyatukan pemahaman ortodoks. Namun, penolakan terhadap keputusan konsili juga sering kali menjadi penyebab utama skisma, seperti perpecahan dengan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental setelah Kalsedon, atau perpecahan antara Timur dan Barat setelah keputusan seperti filioque dan keutamaan paus.
- Reformasi Gerejawi: Banyak konsili, terutama di Abad Pertengahan dan Trente, berfokus pada reformasi disipliner dan moral dalam Gereja, berusaha untuk mengatasi korupsi, meningkatkan pendidikan klerus, dan memperkuat kehidupan rohani umat.
- Respon terhadap Tantangan: Konsili selalu menjadi respons Gereja terhadap tantangan-tantangan baru, baik itu bidah internal, perubahan politik dan budaya eksternal, atau kebutuhan untuk menyajikan iman dalam konteks yang berbeda.
- Pembaruan dan Modernisasi: Konsili Vatikan II secara khusus menunjukkan bagaimana sebuah konsili dapat memimpin Gereja pada pembaruan radikal dan dialog dengan dunia modern, tanpa mengorbankan inti imannya.
Secara keseluruhan, konsili telah menjadi alat esensial bagi Gereja untuk menjaga identitasnya, menegaskan kepercayaannya, dan beradaptasi dengan aliran sejarah. Mereka adalah cerminan dari keyakinan Gereja bahwa Roh Kudus terus membimbingnya menuju kebenaran penuh.
Kontroversi dan Tantangan Terhadap Otoritas Konsili
Meskipun konsili dipandang sebagai forum penting bagi otoritas gerejawi, bukan berarti sejarah mereka tanpa kontroversi. Beberapa tantangan dan perdebatan penting mengenai konsili meliputi:
- Konsiliarisme vs. Keutamaan Kepausan: Selama Abad Pertengahan Akhir, khususnya pada masa Skisma Barat dan Konsili Konstanz, muncul perdebatan sengit tentang apakah konsili memiliki otoritas lebih tinggi daripada paus (konsiliarisme) atau paus yang memiliki otoritas tertinggi. Gereja Katolik Roma akhirnya secara tegas menolak konsiliarisme dan menegaskan keutamaan serta infalibilitas paus, terutama di Vatikan I.
- Penerimaan Universal: Tidak semua konsili diterima secara universal oleh semua tradisi Kristen. Tujuh konsili ekumenis pertama diterima oleh Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur, tetapi konsili-konsili setelahnya menjadi titik perpecahan. Gereja-gereja Protestan, meskipun menghormati rumusan doktrinal dari beberapa konsili awal, secara umum menolak gagasan bahwa konsili memiliki otoritas yang mengikat di atas Kitab Suci.
- Interpretasi dan Implementasi: Bahkan setelah sebuah konsili selesai, interpretasi dan implementasi dekret-dekretnya dapat menjadi sumber perdebatan yang panjang. Misalnya, Konsili Vatikan II, meskipun dianggap sebagai pembaruan besar, masih menjadi subjek interpretasi yang beragam di kalangan umat Katolik, dengan beberapa pihak menyerukan interpretasi "kontinuitas" yang menekankan kesinambungan dengan tradisi sebelumnya, sementara yang lain menekankan "diskontinuitas" atau semangat pembaruan radikal.
- Pengaruh Politik: Sepanjang sejarah, pengaruh politik sering kali memainkan peran signifikan dalam penyelenggaraan dan keputusan konsili. Kaisar Bizantium sering memanggil dan bahkan mencoba untuk mengintervensi konsili-konsili awal. Raja dan penguasa sekuler juga memiliki pengaruh besar di konsili-konsili abad pertengahan dan modern, seperti Konsili Vienne dan Konsili Trente. Meskipun idealnya konsili harus dibimbing oleh Roh Kudus, faktor-faktor manusia dan politik tidak dapat diabaikan.
- Partisipasi dan Representasi: Pada masa lalu, konsili didominasi oleh uskup dan klerus laki-laki. Di era modern, ada diskusi tentang perluasan partisipasi, seperti peran awam dan perempuan, dalam proses sinodal, yang mencerminkan keinginan untuk inklusivitas yang lebih besar dalam kehidupan Gereja.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, konsili tetap menjadi kesaksian kuat akan keinginan Gereja untuk mengatasi perbedaan, mencari kebenaran, dan terus beradaptasi dalam perjalanan sejarahnya yang panjang.
Jenis-Jenis Konsili Lainnya
Selain konsili ekumenis, Gereja juga mengadakan pertemuan-pertemuan yang lebih lokal namun tetap penting dalam perkembangan doktrin dan disiplin. Konsili-konsili ini biasanya disebut sinode.
- Sinode Keuskupan: Pertemuan klerus dan, di Gereja Katolik modern, perwakilan awam dalam satu keuskupan, dipimpin oleh uskup diosesan. Tujuannya adalah untuk membahas masalah-masalah lokal dan menerapkan keputusan-keputusan konsili yang lebih besar atau hukum kanon.
- Sinode Provinsi/Regional: Pertemuan para uskup dari satu provinsi gerejawi atau wilayah tertentu. Pertemuan ini lebih besar dari sinode keuskupan dan dapat membuat keputusan yang mengikat untuk wilayah tersebut, selama tidak bertentangan dengan hukum universal Gereja.
- Konsili Plener/Nasional: Pertemuan para uskup dari seluruh negara atau wilayah geografis yang luas. Ini memiliki otoritas yang lebih besar daripada sinode provinsi dan dapat mengeluarkan dekret yang berlaku untuk seluruh Gereja di negara tersebut, sekali lagi, dengan tunduk pada hukum universal.
Meskipun sinode-sinode ini tidak memiliki bobot doktrinal yang sama dengan konsili ekumenis, mereka adalah bagian integral dari tata kelola Gereja dan membantu memastikan bahwa ajaran dan disiplin Gereja diterapkan secara efektif di berbagai konteks lokal.
Kesimpulan: Konsili sebagai Cermin Perjalanan Iman
Konsili, dalam berbagai bentuk dan ukurannya, adalah sebuah cermin yang merefleksikan perjalanan iman kekristenan yang dinamis dan sering kali bergejolak. Dari Konsili Yerusalem yang awal hingga Konsili Vatikan II yang transformatif, pertemuan-pertemuan ini telah menjadi medan pertempuran teologis, forum rekonsiliasi, dan wahana reformasi. Mereka telah merumuskan doktrin-doktrin fundamental yang menjadi inti kepercayaan Kristen, menyelesaikan perselisihan yang mengancam perpecahan, dan memandu Gereja melalui perubahan zaman yang tak terhindarkan.
Meskipun metode dan partisipasi dalam konsili telah berevolusi, semangat dasarnya tetap sama: mencari kehendak Allah secara kolektif, menjaga kesatuan Gereja, dan menyebarkan kebenaran Injil kepada dunia. Warisan konsili-konsili ini tidak hanya terletak pada teks-teks dekret dan kanon yang mereka hasilkan, tetapi juga pada cara mereka terus membentuk identitas, spiritualitas, dan misi umat Kristen hingga hari ini. Konsili mengingatkan kita bahwa Gereja adalah tubuh yang hidup, terus-menerus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang iman, etika, dan perannya di dunia, selalu di bawah bimbingan Roh Kudus.
Dengan memahami sejarah konsili, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana iman Kristen telah berkembang, tantangan apa yang dihadapinya, dan bagaimana Gereja berupaya untuk tetap setia pada panggilannya sepanjang abad. Konsili adalah bukti nyata bahwa dialog, refleksi kolektif, dan pencarian akan kebenaran adalah elemen tak terpisahkan dari kehidupan gerejawi, baik di masa lalu, kini, maupun di masa depan.