Analisis Fiqih dan Tinjauan Spiritual atas Sunnah Ijabah Adzan
Adzan, panggilan suci yang berkumandang lima kali sehari, bukan sekadar penanda waktu shalat. Ia adalah deklarasi agung tauhid yang membelah keheningan dunia, mengajak jiwa-jiwa yang lalai kembali kepada Rabb-nya. Dalam tradisi Islam, Adzan memiliki kedudukan yang sangat istimewa, bahkan setiap lafaznya dipenuhi makna mendalam. Namun, keistimewaan Adzan tidak hanya terletak pada kumandangnya semata, melainkan juga pada respon dan interaksi yang dilakukan oleh pendengarnya—sebuah amalan sunnah yang dikenal sebagai ijabah (menjawab) Adzan.
Amalan menjawab Adzan seringkali dianggap remeh atau sekadar kebiasaan lisan. Padahal, para ulama dari berbagai mazhab telah menguraikan bahwa menjawab Adzan merupakan pintu gerbang menuju keutamaan spiritual yang tak terhingga, bahkan menjadi sebab utama diperolehnya syafa’at (pertolongan) Rasulullah ﷺ di hari Kiamat. Kajian ini bertujuan untuk menelusuri secara komprehensif landasan syar’i, tata cara yang detail, hingga implikasi spiritual dan fikih yang menyertai sunnah mulia ini. Kita akan mendalami mengapa respon sederhana berupa pengulangan kalimat Muadzin memiliki bobot yang sangat besar di sisi Allah SWT, dan bagaimana rincian tata cara tersebut memastikan kita mendapatkan pahala secara sempurna.
Hukum menjawab Adzan menurut mayoritas ulama adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Kewajiban untuk menjawab Adzan ini didasarkan pada serangkaian hadits sahih yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi. Sunnah ini adalah salah satu cara terbaik untuk menunjukkan penghormatan dan pengagungan terhadap syiar Islam yang paling mendasar.
Dasar utama bagi amalan ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-’Ash. Hadits ini menegaskan bahwa mengikuti ucapan Muadzin adalah langkah awal untuk meraih rahmat:
Hadits ini tidak hanya memerintahkan respons lisan, tetapi juga menghubungkannya langsung dengan dua amalan penting setelahnya: shalawat dan doa Wasilah. Ini menunjukkan bahwa menjawab Adzan adalah bagian dari rangkaian ibadah yang utuh, bukan sekadar interupsi sementara. Para fuqaha (ahli fikih) menetapkan bahwa perintah "ucapkanlah seperti yang diucapkan Muadzin" mengandung dorongan kuat yang mendekati wajib, meskipun secara umum statusnya ditetapkan sebagai sunnah muakkadah yang tidak boleh ditinggalkan kecuali karena uzur syar'i.
Meskipun mayoritas sepakat pada sunnah muakkadah, terdapat nuansa perbedaan dalam penekanan:
Kesimpulannya, seluruh mazhab sepakat bahwa meninggalkannya tanpa alasan adalah kerugian besar, dan melaksanakannya merupakan bukti ketaatan yang mendalam.
Keutamaan yang dijanjikan bagi mereka yang tekun dalam menjawab Adzan sangatlah besar, meliputi dimensi pengampunan dosa, jaminan surga, dan akses kepada syafa’at Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah janji yang menjadikan ritual respons ini jauh melampaui sekadar pengulangan kata-kata.
Salah satu riwayat paling agung mengenai keutamaan menjawab Adzan datang dari Umar bin Khattab ra. Rasulullah ﷺ bersabda, barangsiapa yang mengucapkan respons dengan keyakinan penuh, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya.
Hadits ini mengajarkan bahwa inti dari ijabah adalah afirmasi teologis, bukan hanya meniru suara. Respon ini harus disertai dengan pengakuan hati dan penetapan keyakinan. Ini adalah momen pembaharuan syahadat yang dilakukan lima kali sehari, memberikan kesempatan rutin kepada seorang Muslim untuk menghapus kesalahan-kesalahan kecil (dosa-dosa yang tidak membutuhkan taubat khusus).
Pahala tertinggi dari menjawab Adzan dan mengikuti serangkaian amalan setelahnya adalah perolehan syafa'at dari Nabi ﷺ. Keutamaan ini terikat erat dengan Doa Wasilah, yang akan dibahas lebih detail kemudian. Nabi ﷺ menjanjikan bahwa siapa pun yang berdoa memohon Wasilah bagi beliau, maka syafa’atnya pasti akan diberikan kepadanya.
Syafa’at ini sangat krusial di Hari Kiamat, hari di mana setiap jiwa membutuhkan pertolongan. Dengan mengamalkan sunnah ini secara konsisten, seorang Muslim telah menanam investasi spiritual yang paling berharga untuk kehidupan akhiratnya, yaitu pengakuan dan dukungan langsung dari Rasulullah ﷺ.
Meskipun Muadzin mendapatkan pahala yang besar karena menyerukan shalat, pendengar yang merespons juga turut mendapatkan bagian dari kebaikan tersebut. Dengan menjawab Adzan, seseorang telah berpartisipasi dalam menegakkan syiar, memberikan dukungan spiritual kepada Muadzin, dan menunjukkan kesiapan mental untuk melaksanakan ibadah. Ini adalah bentuk kerja sama spiritual (ta’awun ‘alal birr) yang mendatangkan berkah kolektif.
Menjawab Adzan tidak dilakukan secara serampangan, melainkan dengan tata cara spesifik yang dicontohkan langsung oleh Nabi ﷺ. Respon ini terbagi menjadi dua jenis utama: pengulangan lafaz (mumatsalah) dan respons khusus (ta'wil).
Untuk sebagian besar kalimat dalam Adzan, sunnahnya adalah mengulangi persis apa yang diucapkan oleh Muadzin. Ini berlaku untuk enam rangkaian lafaz pertama:
| Lafaz Muadzin | Respons Pendengar |
|---|---|
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ |
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ |
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ |
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ |
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ |
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ |
Pengecualian Khusus untuk Syahadat: Sebagian ulama, terutama dari kalangan Syafi'iyyah dan Hanabilah, menyunnahkan penambahan afirmasi syahadat setelah syahadat kedua (setelah "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah"), yaitu membaca lafaz yang disebutkan dalam hadits ampunan dosa di atas:
Amalan ini tidak menghilangkan pengulangan lafaz syahadat Muadzin, melainkan menambahkannya untuk meraih keutamaan ampunan dosa yang dijanjikan. Ini adalah amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan di antara Muadzin selesai mengucapkan syahadat kedua hingga Muadzin mulai mengucapkan *Hayya ‘ala shalah*.
Ketika Muadzin menyerukan ajakan untuk shalat dan keberuntungan, respons yang diberikan berbeda. Ini adalah momen transisi dari deklarasi keyakinan (tauhid) menuju tindakan nyata (ibadah).
| Lafaz Muadzin | Respons Pendengar | Makna Respons |
|---|---|---|
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ |
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ |
Tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. |
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ |
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ |
Tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. |
Makna di Balik Respon 'La Haula': Mengapa kita menjawab ajakan untuk shalat dengan kalimat penolakan daya diri dan pengakuan total akan daya Allah?
Ini adalah pelajaran tauhid praktis. Seruan *Hayya ‘ala Shalah* berarti, "Marilah menuju shalat." Meskipun ajakannya jelas, seorang hamba mengakui bahwa ia tidak akan mampu bangkit, berwudhu, dan berdiri shalat tanpa izin, pertolongan, dan kekuatan yang diberikan langsung oleh Allah SWT. Mengucapkan *La Hawla Wa La Quwwata Illa Billah* adalah manifestasi penyerahan diri total, mengakui kelemahan diri di hadapan perintah yang agung, dan memohon kekuatan ilahi untuk memenuhi panggilan tersebut. Ini merubah respons pasif menjadi permintaan bantuan aktif.
Pada Adzan Subuh, Muadzin menambahkan lafaz *At-Tatsweeb* (pemberitahuan tambahan) yang berbunyi:
Sebagian besar ulama, termasuk Imam Malik, berpendapat bahwa respons sunnah terhadap kalimat ini adalah dengan mengulangi lafaz yang sama: *As-salatu khairum minan naum*. Namun, sebagian ulama lain berpendapat bahwa sunnahnya adalah merespons dengan afirmasi ketaatan yang lebih kuat, seperti:
Artinya: "Engkau benar dan engkau telah berbuat kebaikan." (Diriwayatkan dari Bilal, Muadzin Nabi). Respons ini menunjukkan pengakuan kebenaran atas klaim bahwa shalat adalah lebih baik daripada tidur, sebuah pemahaman spiritual yang mendalam tentang prioritas kehidupan. Kedua respons ini dianggap sah dan mengandung keutamaan, tergantung pada kecenderungan riwayat yang dipegang.
Pada lafaz penutup Adzan:
| Lafaz Muadzin | Respons Pendengar |
|---|---|
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ |
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ |
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ |
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ |
Setelah Muadzin mengakhiri Adzan dengan kalimat tauhid, pendengar mengulanginya, menutup rangkaian ijabah lisan dan bersiap untuk amalan berikutnya: Shalawat dan Doa Wasilah.
Keutamaan menjawab Adzan mencapai puncaknya setelah Adzan selesai, yaitu melalui pembacaan shalawat dan doa khusus yang disebut Doa Wasilah atau doa setelah Adzan. Inilah kunci menuju syafa’at Nabi ﷺ.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Muslim, setelah menyelesaikan respons Adzan, pendengar wajib bershalawat kepada Nabi ﷺ. Format shalawat yang paling sempurna adalah Shalawat Ibrahimiyah, namun bentuk shalawat ringkas lainnya juga diterima.
Setelah shalawat, kita diperintahkan untuk memohonkan *al-Wasilah* untuk Nabi Muhammad ﷺ. Wasilah bukan berarti perantara dalam arti syirik, melainkan merujuk kepada kedudukan, derajat, atau tempat termulia di surga. Kita mendoakan agar Allah menganugerahkan kedudukan tertinggi ini kepada Nabi ﷺ.
Lafaz doa yang paling shahih dan mustajab adalah:
Terjemahan: Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada Muhammad Al-Wasilah dan Al-Fadhilah (kedudukan yang tinggi), dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan terpuji (Al-Maqamam Al-Mahmud) yang telah Engkau janjikan kepada-Nya.
Setiap frasa dalam doa ini mengandung makna teologis yang luar biasa:
Janji Nabi ﷺ sangat jelas: siapa yang mengucapkan doa ini, ia berhak mendapatkan syafa’atnya. Ini bukan sekadar doa untuk Nabi, melainkan doa yang memberi manfaat langsung kepada si pembaca, menunjukkan betapa besar penghargaan Islam terhadap respons positif terhadap panggilan ilahi.
Menjawab Adzan membuka pintu bagi keutamaan lain: berdoa di waktu mustajab. Nabi ﷺ bersabda:
Periode setelah Adzan selesai dijawab hingga Iqamah dikumandangkan adalah masa emas untuk memohon hajat dunia dan akhirat. Seorang Muslim yang konsisten menjawab Adzan berarti ia secara otomatis berada di gerbang waktu-waktu mustajab ini lima kali sehari. Hal ini menunjukkan bahwa Ijabah Adzan adalah katalisator untuk ibadah-ibadah berikutnya.
Para ulama fikih sangat detail dalam menjelaskan kapan seseorang wajib, sunnah, atau dilarang menjawab Adzan. Memahami kondisi-kondisi ini memastikan amalan ijabah kita sah dan tidak bertentangan dengan ibadah lain yang sedang dilakukan.
Jika seseorang sedang melaksanakan shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah, ia tidak boleh mengganggu shalatnya untuk menjawab Adzan secara lisan. Hal ini karena berkomunikasi secara lisan di luar konteks shalat membatalkannya. Respons Adzan harus dilakukan setelah ia selesai dari shalatnya, meskipun pahala ijabah yang spesifik waktu mungkin terlewatkan, ia tetap memprioritaskan ibadah yang sedang berlangsung.
Jika seseorang sedang membaca Al-Quran, berdzikir, atau mengajarkan ilmu, hukumnya adalah sunnah untuk menghentikan sementara aktivitas tersebut demi menjawab Adzan. Mengapa? Karena Adzan adalah seruan kepada seluruh umat, sebuah kewajiban syar’i yang melibatkan pendengaran semua orang. Mendahulukan respons terhadap seruan syiar yang bersifat publik ini lebih utama daripada melanjutkan dzikir yang bersifat individu.
Seseorang yang sedang berada di dalam kamar mandi atau WC (tempat buang hajat) dilarang menjawab Adzan secara lisan. Ini adalah situasi uzur (halangan) karena penghormatan terhadap lafaz-lafaz mulia dalam Adzan. Setelah keluar dan bersuci, jika Adzan masih berlangsung, ia boleh melanjutkannya; jika sudah selesai, ia tidak perlu mengqadha (mengganti) ijabah tersebut.
Hukum menjawab Iqamah (seruan berdiri shalat) berbeda dengan Adzan. Walaupun Iqamah juga merupakan seruan shalat:
Di kota-kota besar, seringkali terdengar beberapa Adzan dari masjid yang berbeda secara bersamaan atau berurutan. Para ulama menganjurkan bahwa seorang Muslim cukup menjawab Adzan yang pertama didengar. Jika ia ingin menjawab Adzan yang lain juga, hal itu diperbolehkan, namun Adzan pertama yang didengar memiliki prioritas dalam pelaksanaan sunnah ijabah ini.
Keutamaan menjawab Adzan juga dapat ditinjau dari sudut pandang linguistik dan psikologis, yang memperkuat statusnya sebagai ibadah mental dan emosional, bukan hanya lisan.
Adzan dimulai dan diakhiri dengan *Allahu Akbar* dan *Laa Ilaaha Illallah*. Lima kali sehari, setiap Muslim diingatkan akan dua pilar utama aqidah. Ketika seorang pendengar mengulangi lafaz ini, ia sedang memperbaharui komitmennya. Ini adalah *Dzikir* yang terstruktur. Proses pengulangan ini berfungsi sebagai penguatan bawah sadar (subconscious reinforcement) terhadap monoteisme murni. Setiap kali Muadzin mengucapkan syahadat, pendengar mengulangi, menancapkan keyakinan bahwa seluruh aktivitas yang akan ia lakukan, termasuk shalat, berlandaskan pada syahadat itu.
Penggunaan *La Hawla Wa La Quwwata Illa Billah* sebagai respons terhadap panggilan untuk sukses (*Hayya ‘alal Falah*) menunjukkan penghambaan total. Sukses (Falah) yang dijanjikan Islam adalah keselamatan dunia dan akhirat, yang puncaknya adalah surga. Dengan merespons ‘La Hawla’, seorang Muslim menanggalkan arogansi diri dan mengakui bahwa mencapai keselamatan sebesar itu mustahil tanpa kekuatan dari Allah. Secara psikologis, ini adalah latihan kerendahan hati yang dilakukan secara terprogram, melawan nafsu dan kesibukan duniawi yang seringkali membuat manusia merasa mampu mengendalikan segalanya.
Para ulama tasawuf menjelaskan bahwa menjawab Adzan adalah latihan untuk menghadirkan hati. Jika seseorang hanya mendengarkan Adzan tanpa merespons, seringkali Adzan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak spiritual. Namun, ketika seseorang merespons secara lisan, ia memaksa dirinya untuk fokus pada setiap kata. Fokus inilah yang mengubah pendengaran pasif menjadi interaksi aktif, menjamin hati ikut tergerak untuk menyambut shalat.
Keutamaan ini menjadi berlipat ganda karena Adzan disebut sebagai *Dhikr Jaly* (dzikir yang terang-terangan) yang memiliki kekuatan untuk mengusir setan. Ketika setan mendengar Adzan, ia lari terbirit-birit sambil terkentut-kentut. Dengan menjawab Adzan, seorang Muslim secara sadar bersekutu dengan kekuatan ilahi untuk mengusir godaan setan yang menghalangi ibadah, menjadikannya perisai spiritual yang efektif.
Dalam beberapa budaya, terdapat anjuran untuk diam total saat Adzan. Meskipun diam untuk mendengarkan Adzan adalah penghormatan yang baik, mengamalkan sunnah menjawab Adzan adalah bentuk penghormatan yang lebih tinggi, karena ini adalah amal yang diperintahkan secara eksplisit oleh Nabi ﷺ.
Tidak ada hadits yang secara spesifik menjanjikan pengampunan dosa hanya karena diam saat mendengarkan Adzan. Sebaliknya, hadits-hadits yang menjanjikan pengampunan secara eksplisit mengaitkannya dengan respons lisan, terutama yang melibatkan penambahan syahadat dan afirmasi keridhaan terhadap Allah, Rasul, dan Islam.
Ijabah adalah ibadah lisan yang didasari keyakinan hati. Diam hanya melibatkan ibadah hati (mendengarkan dengan khusyuk). Namun, sunnah Islam seringkali memadukan keduanya untuk menghasilkan pahala yang maksimal. Dengan menjawab, kita tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mengikrarkan ulang seluruh makna yang terkandung dalam Adzan.
Jika seseorang hanya diam, perhatiannya mungkin teralihkan. Namun, ketika ia harus merespons setiap dua lafaz Adzan, konsentrasinya terhadap pesan tauhid akan terjaga. Ijabah Adzan berfungsi sebagai alat bantu untuk mempertahankan fokus spiritual lima kali sehari, mencegah hati menjadi keras dan lalai karena rutinitas duniawi.
Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang ingin mengejar derajat tertinggi, menjawab Adzan sesuai tata cara yang diajarkan Nabi ﷺ adalah bentuk ketaatan yang paling utama, melebihi sekadar diam dan mendengarkan.
Keutamaan menjawab Adzan tidak hanya bersifat individual (pengampunan dosa, syafa’at), tetapi juga memiliki dimensi kolektif yang kuat, memperkuat kesatuan dan kesadaran umat Islam.
Adzan adalah syiar yang paling jelas membedakan komunitas Muslim dari yang lainnya. Ketika panggilan ini dikumandangkan, dan setiap individu meresponsnya, hal ini menjadi penegasan ulang identitas kolektif. Respon yang seragam menunjukkan bahwa meskipun tersebar, umat ini terikat oleh ketaatan yang sama terhadap panggilan yang sama. Ini menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
Adzan adalah pengatur waktu bagi seluruh aktivitas Muslim. Dengan merespons Adzan, kita secara mental dan fisik menyelaraskan diri dengan ritme ibadah global. Keutamaan ini terletak pada disiplin untuk menghentikan pekerjaan duniawi demi memenuhi tuntutan Ilahi. Respon *La Hawla* berfungsi sebagai transisi psikologis, melepaskan keterikatan sesaat pada dunia dan mengarahkan fokus kepada persiapan shalat.
Muadzin memikul tanggung jawab besar. Ia adalah orang yang dipercaya untuk menyeru umat menuju keberuntungan. Menjawab Adzan adalah bentuk penghargaan dan dukungan moral terhadap risalah yang dibawa oleh Muadzin. Keutamaan ini memastikan bahwa suara Adzan tidak pernah jatuh ke telinga yang tuli atau hati yang beku, melainkan selalu menemukan respons yang hangat dari komunitas.
Jika setiap Muslim di dunia mengamalkan sunnah ini dengan sempurna, dampaknya akan menciptakan gelombang energi spiritual kolektif yang tak terhingga. Adzan menjadi titik pertemuan spiritual harian, menyatukan jiwa-jiwa di bawah panji tauhid.
Menjawab Adzan adalah sunnah yang mudah diucapkan namun memiliki timbangan pahala yang amat berat. Ia adalah fondasi harian yang membangun kedekatan hamba dengan Tuhannya. Mulai dari pengampunan dosa, pengakuan syahadat lima kali sehari, hingga janji agung berupa syafa’at Rasulullah ﷺ di hari yang tiada pertolongan, semua terangkum dalam amalan ringkas ini.
Kajian mendalam terhadap tata cara, hukum, dan keutamaan ini hendaknya memicu kontemplasi: Apakah selama ini kita telah menunaikan hak Adzan secara sempurna? Apakah kita telah mengambil jatah syafa’at yang dijanjikan Nabi melalui doa Wasilah?
Semoga kita semua diberikan taufik oleh Allah SWT untuk menjadi hamba-hamba yang senantiasa menyambut panggilan-Nya dengan penuh keridhaan, mengamalkan sunnah Ijabah Adzan secara konsisten, sehingga kita termasuk golongan yang berhak mendapatkan kedudukan termulia di sisi-Nya dan syafa’at dari kekasih-Nya, Nabi Muhammad ﷺ.