Ketentuan Shalat Berjamaah
Pendahuluan: Makna dan Kedudukan Shalat Berjamaah
Shalat merupakan tiang agama Islam, pilar utama yang membedakan seorang muslim dengan yang lainnya. Ia adalah bentuk komunikasi langsung seorang hamba dengan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun, Islam sebagai agama yang mengedepankan kebersamaan dan persatuan (ukhuwah) tidak hanya menganjurkan shalat sebagai ibadah individual. Islam sangat menekankan pelaksanaan shalat secara berjamaah, yakni dilakukan bersama-sama dengan seorang imam sebagai pemimpin dan makmum sebagai pengikut.
Shalat berjamaah memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat. Banyak dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan, pahala yang berlipat ganda, serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Melaksanakannya bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi juga meraih keberkahan, memperkuat ikatan sosial, dan menampakkan syiar Islam di tengah masyarakat. Memahami ketentuan-ketentuannya secara rinci adalah sebuah keniscayaan agar ibadah yang kita lakukan menjadi sah dan sempurna di sisi Allah SWT. Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai aspek terkait ketentuan shalat berjamaah.
Hukum Shalat Berjamaah: Sebuah Tinjauan Fikih
Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hukum shalat berjamaah bagi laki-laki yang baligh, berakal, dan tidak memiliki uzur syar'i. Perbedaan ini lahir dari cara mereka memahami dan menggabungkan dalil-dalil yang ada. Secara umum, pendapat tersebut terbagi menjadi beberapa pandangan utama:
1. Fardhu 'Ain (Kewajiban Individu)
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanbali dan beberapa ulama lainnya seperti Atha' bin Abi Rabah dan Al-Auza'i. Mereka berargumen bahwa shalat berjamaah adalah wajib bagi setiap individu laki-laki. Jika ditinggalkan tanpa uzur, maka ia berdosa, meskipun shalatnya yang dilakukan sendirian tetap dianggap sah. Dalil yang menjadi landasan mereka antara lain:
- Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 102, yang memerintahkan shalat berjamaah bahkan dalam kondisi perang (shalat khauf). Logikanya, jika dalam keadaan genting saja diwajibkan, maka dalam keadaan aman tentu lebih wajib lagi.
- Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dikumpulkannya kayu bakar, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, kemudian aku pergi kepada orang-orang (yang tidak ikut shalat berjamaah) dan aku bakar rumah-rumah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim). Ancaman sekeras ini menunjukkan suatu kewajiban yang sangat ditekankan.
- Hadits tentang seorang buta yang meminta keringanan kepada Rasulullah SAW untuk tidak shalat berjamaah karena tidak ada yang menuntunnya ke masjid. Awalnya beliau mengizinkan, namun ketika mengetahui orang tersebut masih mendengar adzan, beliau bersabda, "Kalau begitu, penuhilah panggilan itu." (HR. Muslim). Jika orang buta saja diperintahkan, bagaimana dengan yang bisa melihat?
2. Sunnah Mu'akkadah (Sunnah yang Sangat Dianjurkan)
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk mazhab Maliki dan Syafi'i. Mereka memandang shalat berjamaah sebagai sunnah yang sangat kuat dan ditekankan, mendekati wajib. Meninggalkannya tanpa uzur dianggap sangat tercela dan merugi, namun tidak sampai berdosa. Landasan argumen mereka adalah:
- Hadits utama tentang keutamaan shalat berjamaah, "Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih dua puluh tujuh derajat." (HR. Bukhari dan Muslim). Kata "lebih utama" (afdhalu) biasanya digunakan untuk membandingkan dua amalan yang sama-sama sah, bukan antara yang wajib dan yang sunnah. Ini menunjukkan bahwa shalat sendirian tetap sah dan diterima, hanya saja pahalanya jauh lebih sedikit.
- Mereka menafsirkan hadits tentang "membakar rumah" sebagai bentuk ancaman yang sangat keras untuk menunjukkan betapa pentingnya amalan ini, bukan sebagai dalil kewajiban secara hakiki. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera, bukan berarti perbuatan meninggalkan jamaah setara dengan dosa besar yang pantas dihukum seberat itu.
3. Wajib, Namun Bukan Syarat Sah Shalat
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi. Mereka berada di antara dua pendapat sebelumnya. Menurut mereka, shalat berjamaah hukumnya wajib bagi laki-laki, dan berdosa jika meninggalkannya tanpa uzur. Namun, kewajiban ini terpisah dari sah atau tidaknya shalat. Artinya, shalat yang dilakukan sendirian tetap sah, tetapi pelakunya menanggung dosa karena telah meninggalkan kewajiban berjamaah.
Terlepas dari perbedaan pendapat ini, semua ulama sepakat bahwa shalat berjamaah adalah syiar Islam yang agung dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Seorang muslim yang peduli terhadap agamanya sudah selayaknya berusaha semaksimal mungkin untuk senantiasa melaksanakannya di masjid.
Syarat Sah Shalat Berjamaah
Agar shalat berjamaah dianggap sah, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini terbagi menjadi dua kategori utama: syarat yang berkaitan dengan imam dan syarat yang berkaitan dengan makmum.
Syarat-syarat Terkait Imam
Seorang imam memikul tanggung jawab besar karena sahnya shalat makmum bergantung pada sahnya shalat sang imam. Berikut adalah kriteria dan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam:
1. Islam, Baligh, dan Berakal
Ini adalah syarat dasar. Imam harus seorang muslim, karena shalat adalah ibadah khusus umat Islam. Ia juga harus sudah baligh (mencapai usia dewasa) dan berakal sehat. Anak kecil yang belum baligh (mumayyiz) boleh menjadi imam dalam shalat sunnah, namun para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya menjadi imam dalam shalat fardhu. Pendapat yang lebih kuat adalah tidak sah jika ia mengimami orang dewasa dalam shalat fardhu.
2. Laki-laki (untuk Makmum Laki-laki atau Campuran)
Seorang laki-laki harus menjadi imam jika di antara makmumnya terdapat laki-laki. Ulama sepakat bahwa tidak sah shalat seorang laki-laki yang bermakmum kepada seorang perempuan dalam shalat fardhu. Adapun jika seluruh jamaahnya adalah perempuan, maka seorang perempuan boleh menjadi imam bagi mereka. Posisinya tidak di depan seperti imam laki-laki, melainkan di tengah-tengah shaf (barisan) pertama.
3. Mampu Membaca Al-Fatihah dengan Benar
Al-Fatihah adalah rukun shalat. Bacaan imam harus fasih dan benar, baik dari segi makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) maupun tajwidnya, setidaknya pada kadar yang tidak mengubah makna. Tidak sah shalat di belakang imam yang bacaan Al-Fatihahnya salah secara fatal (lahn jaliy), seperti mengubah harakat yang bisa mengubah arti. Jika imam hanya memiliki kesalahan ringan (lahn khafiy) dalam tajwid yang tidak mengubah makna, maka shalatnya tetap sah.
4. Suci dari Hadas dan Najis
Imam harus dalam keadaan suci dari hadas kecil (memiliki wudhu) dan hadas besar (sudah mandi wajib jika berjunub). Ia juga harus memastikan badan, pakaian, dan tempat shalatnya suci dari najis. Jika di tengah shalat imam menyadari bahwa ia berhadas, ia harus segera membatalkan shalatnya dan menunjuk salah seorang makmum di belakangnya untuk maju menggantikannya (proses ini disebut istikhlaf). Jika shalat selesai baru diketahui imam tidak suci, maka shalat makmum tetap sah, namun imam wajib mengulang shalatnya.
5. Bukan Seorang Makmum
Seseorang yang sedang menjadi makmum bagi imam lain tidak bisa pada saat yang sama menjadi imam bagi orang lain. Statusnya harus jelas, apakah ia pemimpin atau pengikut.
Syarat-syarat Terkait Makmum dan Hubungannya dengan Imam
Selain syarat pada imam, ada syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh makmum agar jamaahnya sah.
1. Niat Bermakmum (Mengikuti Imam)
Saat takbiratul ihram, seorang makmum wajib berniat dalam hatinya untuk shalat dan sekaligus berniat untuk mengikuti imam. Tanpa niat mengikuti imam, shalatnya tetap sah sebagai shalat sendirian, namun ia tidak mendapatkan pahala shalat berjamaah. Niat ini harus ada sejak awal shalat.
2. Posisi Makmum Tidak Boleh di Depan Imam
Posisi makmum harus berada di belakang imam. Jika makmum berdiri sejajar dengan imam, shalatnya masih dianggap sah, meskipun yang lebih utama adalah sedikit di belakang. Namun, jika posisi makmum, bahkan hanya tumitnya, berada di depan tumit imam, maka shalat berjamaahnya tidak sah. Pengecualian berlaku di tempat yang sangat sempit seperti di Masjidil Haram, di mana para ulama memberikan toleransi.
Aturan Posisi:
- Jika makmum hanya satu orang laki-laki, ia berdiri di sebelah kanan imam, sedikit mundur.
- Jika makmum dua orang atau lebih, mereka membentuk shaf di belakang imam.
- Jika makmumnya perempuan, ia berdiri di shaf belakang laki-laki, meskipun hanya sendirian.
3. Mengetahui Gerakan Imam
Makmum harus bisa mengikuti gerakan imam. Caranya bisa dengan melihat imam secara langsung, melihat sebagian makmum di depannya, atau mendengar suara takbir intiqal (takbir perpindahan gerakan) dari imam atau dari seorang mukabbir (penyambung suara imam). Jika makmum berada di tempat yang terhalang sehingga tidak bisa melihat dan mendengar imam atau jamaah lain, maka jamaahnya tidak sah.
4. Berada dalam Satu Tempat atau Bangunan yang Sama
Imam dan makmum harus berada dalam satu lokasi yang terhubung. Di dalam masjid, selama shaf (barisan) bersambung, maka jamaah dianggap sah, meskipun terhalang oleh tiang atau dinding. Jika shalat dilakukan di luar masjid, jarak antara imam dan makmum atau antara satu shaf dengan shaf berikutnya tidak boleh terlalu jauh (para ulama memberikan batasan yang bervariasi, umumnya sekitar 300 hasta atau sekitar 150 meter) dan tidak boleh ada penghalang seperti jalan raya atau sungai yang memutus hubungan antar shaf.
5. Kesesuaian Gerakan Shalat Imam dan Makmum
Makmum harus melakukan shalat yang urutan gerakannya sama dengan shalat imam. Misalnya, tidak sah shalat jenazah di belakang imam yang sedang shalat Dzuhur karena rukun dan gerakannya sangat berbeda. Namun, para ulama memperbolehkan shalat fardhu di belakang imam yang sedang shalat sunnah (misalnya, shalat Isya di belakang imam shalat tarawih) atau sebaliknya, karena urutan gerakannya sama. Demikian pula, boleh melakukan shalat qadha di belakang imam yang shalat tunai (tepat waktu).
6. Tidak Mendahului Imam dalam Gerakan
Ini adalah salah satu poin paling krusial. Makmum diharamkan untuk mendahului imam dalam gerakan rukun shalat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan ancaman keras dalam sabdanya:
"Tidakkah salah seorang dari kalian takut, jika ia mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau bentuknya menjadi bentuk keledai?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Mendahului imam dapat membatalkan shalat. Gerakan makmum harus terjadi setelah imam sempurna melakukan gerakannya. Idealnya, makmum mulai bergerak sesaat setelah imam memulai gerakannya dan menyelesaikannya setelah imam sempurna dalam posisi tersebut. Bergerak bersamaan dengan imam hukumnya makruh, sementara tertinggal terlalu jauh dari imam (dua rukun fi'li/gerakan) tanpa uzur juga bisa membatalkan shalat.
Adab dan Sunnah dalam Shalat Berjamaah
Untuk menyempurnakan pahala shalat berjamaah, terdapat adab-adab dan amalan sunnah yang sebaiknya diperhatikan oleh setiap muslim, baik sebelum, selama, maupun sesudah shalat.
Adab Sebelum Menuju Masjid
- Berwudhu dengan Sempurna dari Rumah: Menyempurnakan wudhu di rumah lalu berjalan ke masjid akan dihitung setiap langkahnya sebagai pengangkat derajat dan penghapus dosa.
- Berpakaian yang Bersih, Rapi, dan Menutup Aurat: Ini adalah bentuk pengagungan terhadap Allah. Gunakanlah pakaian terbaik yang dimiliki. Bagi laki-laki, disunnahkan memakai wewangian.
- Berjalan dengan Tenang dan Tidak Tergesa-gesa: Rasulullah menasihatkan untuk berjalan menuju shalat dengan penuh ketenangan (sakinah) dan kewibawaan (waqar). Apapun yang didapati dari shalat, ikutilah, dan apa yang tertinggal, sempurnakanlah.
- Membaca Doa Ketika Menuju, Masuk, dan Keluar Masjid: Terdapat doa-doa khusus yang diajarkan untuk setiap momen ini, yang berisi permohonan cahaya, rahmat, dan ampunan dari Allah.
- Mendahulukan Kaki Kanan Saat Masuk dan Kaki Kiri Saat Keluar: Ini adalah bagian dari adab umum dalam Islam yang juga berlaku untuk masjid.
- Melaksanakan Shalat Tahiyatul Masjid: Sebelum duduk, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat sebagai bentuk penghormatan kepada masjid.
Sunnah Selama Shalat Berjamaah
Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Ini adalah sunnah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW, bahkan beliau seringkali tidak akan memulai shalat sebelum memastikan shaf telah lurus dan rapat. Hikmahnya sangat besar:
- Menciptakan Kesatuan dan Persatuan Hati: "Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat." (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, "...dan janganlah kalian berselisih (dalam shaf), sehingga hati kalian akan berselisih."
- Menutup Celah bagi Setan: Shaf yang renggang memberikan ruang bagi setan untuk masuk dan mengganggu kekhusyukan shalat. Shaf yang rapat secara fisik melambangkan benteng yang kokoh.
- Cara Merapatkan Shaf: Merapatkan shaf dilakukan dengan menempelkan bahu dengan bahu, dan mata kaki dengan mata kaki jamaah di sampingnya, tanpa saling menyakiti atau memberatkan.
Mengucapkan "Aamiin" Bersama Imam
Setelah imam selesai membaca Al-Fatihah, makmum disunnahkan untuk mengucapkan "Aamiin" secara serentak bersama imam (dalam shalat jahriyyah/yang dikeraskan bacaannya). Keutamaannya sangat besar, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Jika imam mengucapkan 'Aamiin', maka ucapkanlah 'Aamiin', karena barangsiapa yang ucapan 'Aamiin'-nya bersamaan dengan ucapan 'Aamiin' para malaikat, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Membaca Doa Iftitah dan Bacaan Lainnya Secara Lirih
Makmum membaca doa iftitah, ta'awudz, dan basmalah (jika imam tidak mengeraskannya) secara lirih. Setelah imam membaca Al-Fatihah, makmum mendengarkan dengan saksama. Para ulama berbeda pendapat apakah makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat jahriyyah. Pendapat terkuat (dalam mazhab Syafi'i) adalah tetap wajib membacanya secara lirih setelah imam selesai atau di sela-sela bacaan imam.
Permasalahan Umum Seputar Shalat Berjamaah
Dalam praktik sehari-hari, seringkali muncul berbagai persoalan. Berikut adalah beberapa masalah umum beserta penjelasannya.
1. Masbuq (Makmum yang Terlambat)
Masbuq adalah seorang makmum yang terlambat bergabung dalam shalat berjamaah dan tidak mendapati takbiratul ihram bersama imam. Aturan bagi masbuq adalah sebagai berikut:
Kapan Seseorang Dihitung Mendapatkan Satu Rakaat?
Seseorang dianggap mendapatkan satu rakaat penuh bersama imam jika ia berhasil melakukan takbiratul ihram dan sempat ruku' bersama imam dengan tuma'ninah. Artinya, ia mendapati imam masih dalam posisi ruku' dan ia ikut ruku' sebelum imam bangkit untuk i'tidal. Jika ia mendapati imam sudah i'tidal, sujud, atau dalam posisi lainnya, maka ia tidak dihitung mendapatkan rakaat tersebut dan harus menambahnya nanti.
Cara Bergabung dengan Jamaah
Seorang masbuq, dalam posisi apapun ia mendapati imam, hendaknya langsung melakukan takbiratul ihram sambil berdiri, kemudian langsung mengikuti posisi imam saat itu.
- Jika mendapati imam ruku', ia takbiratul ihram, lalu langsung ruku' tanpa perlu membaca Al-Fatihah. Rakaat itu sudah dihitung untuknya.
- Jika mendapati imam sujud, ia takbiratul ihram, lalu langsung sujud mengikuti imam. Rakaat itu tidak dihitung untuknya.
- Jika mendapati imam duduk tasyahud akhir, ia takbiratul ihram, lalu duduk mengikuti imam.
Cara Menyempurnakan Shalat yang Tertinggal
Setelah imam mengucapkan salam, makmum masbuq tidak ikut salam. Ia harus bangkit berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang kurang. Aturan dasarnya adalah: rakaat yang ia dapati bersama imam dihitung sebagai awal shalatnya, dan rakaat yang ia kerjakan sendiri dihitung sebagai akhir shalatnya.
Contoh Praktis:
- Masbuq 1 rakaat pada shalat Maghrib: Ia bergabung pada rakaat kedua. Setelah imam salam, ia bangkit, menambah satu rakaat lagi dengan membaca Al-Fatihah dan surah, kemudian tasyahud akhir dan salam. (Karena rakaat kedua yang ia dapat bersama imam dihitung sebagai rakaat pertamanya, dan rakaat ketiga imam dihitung sebagai rakaat keduanya. Maka ia tinggal menambah rakaat ketiga).
- Masbuq 2 rakaat pada shalat Isya: Ia bergabung pada rakaat ketiga. Ia shalat bersama imam di rakaat ketiga dan keempat. Setelah imam salam, ia bangkit. Rakaat pertama yang ia tambah adalah rakaat ketiganya (ia duduk tasyahud awal setelahnya). Kemudian bangkit lagi untuk rakaat keempat, lalu tasyahud akhir dan salam. (Rakaat ketiga dan keempat imam dihitung sebagai rakaat pertama dan kedua baginya).
2. Imam Lupa atau Salah
Jika imam melakukan kesalahan, seperti lupa jumlah rakaat atau lupa melakukan tasyahud awal, makmum memiliki cara untuk mengingatkannya.
- Bagi Makmum Laki-laki: Mengucapkan tasbih ("Subhanallah") dengan niat berdzikir sekaligus mengingatkan imam.
- Bagi Makmum Perempuan: Menepukkan punggung telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri.
Jika imam menambah rakaat (misalnya shalat Dzuhur menjadi lima rakaat), makmum yang yakin imam salah tidak boleh mengikutinya. Ia harus duduk menunggu imam, atau jika terlalu lama, ia boleh niat berpisah (mufaraqah) dan menyelesaikan shalatnya sendiri. Jika imam lupa tasyahud awal dan sudah terlanjur berdiri tegak, ia tidak perlu kembali duduk. Shalat dilanjutkan dan ditutup dengan sujud sahwi sebelum salam.
3. Shaf yang Terputus atau Shalat Sendirian di Belakang Shaf
Shaf yang ideal adalah yang lurus, rapat, dan tidak terputus. Jika ada celah, hendaknya diisi oleh jamaah di belakangnya atau dari samping. Mengenai hukum shalat sendirian di belakang shaf, para ulama berbeda pendapat.
- Pendapat pertama: Shalatnya tidak sah dan harus diulang. Ini berdasarkan hadits yang menyatakan, "Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).
- Pendapat kedua (mayoritas ulama): Shalatnya sah namun makruh. Ia kehilangan keutamaan shaf. Mereka memahami hadits di atas sebagai penafian kesempurnaan, bukan penafian keabsahan.
Solusi bagi orang yang datang dan mendapati shaf sudah penuh adalah berusaha mencari celah atau menunggu jamaah lain datang untuk membuat shaf baru bersamanya. Menarik seseorang dari shaf di depannya untuk menemaninya adalah perbuatan yang tidak memiliki landasan dalil yang kuat.
Hikmah dan Manfaat Agung Shalat Berjamaah
Di balik perintah untuk melaksanakan shalat secara berjamaah, terkandung hikmah dan manfaat yang sangat luas, baik bagi individu maupun masyarakat.
- Dimensi Spiritual: Mendapatkan pahala 27 kali lipat, diampuni dosa-dosanya, didoakan oleh para malaikat, dan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang paling dicintai-Nya.
- Dimensi Sosial: Memperkuat tali persaudaraan (ukhuwah islamiyah) di antara sesama muslim, menjadi ajang silaturahmi harian, menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, karena semua berdiri dalam barisan yang sama di hadapan Allah.
- Dimensi Pendidikan: Mendidik umat untuk disiplin, taat pada pemimpin (selama dalam kebenaran), menjaga keteraturan, dan mengutamakan kepentingan bersama. Gerakan yang serempak di bawah komando seorang imam adalah latihan kepemimpinan dan ketaatan yang luar biasa.
- Dimensi Syiar: Menampakkan kekuatan dan persatuan umat Islam. Masjid yang ramai dengan jamaah shalat lima waktu menunjukkan kehidupan dan semangat keagamaan dalam sebuah komunitas.
Penutup
Shalat berjamaah adalah anugerah besar dari Allah SWT bagi umat Islam. Ia bukan sekadar ritual, melainkan sebuah institusi yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, sosial, dan pendidikan. Dengan memahami ketentuannya, melaksanakan adabnya, dan merenungi hikmahnya, kita dapat meraih kesempurnaan dalam ibadah ini. Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk dapat menjaga shalat berjamaah di masjid hingga akhir hayat.