Adzan, panggilan suci yang berkumandang lima kali sehari, bukan sekadar pemberitahuan waktu shalat. Ia adalah manifesto tauhid, deklarasi keimanan, dan undangan langsung dari Sang Pencipta. Bagi seorang mukmin, mendengar adzan haruslah diikuti dengan respons (jawaban) yang penuh adab dan ketundukan. Tata cara menjawab adzan ini bukanlah inisiatif pribadi, melainkan sebuah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) yang diajarkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artikel mendalam ini akan menguraikan secara rinci dan komprehensif mengenai seluruh adab dan langkah-langkah yang harus dilakukan seorang muslim ketika mendengar adzan, mulai dari lafaz yang diulang, pengecualiannya, pembacaan shalawat, hingga doa penutup yang memiliki keutamaan luar biasa, yaitu mendapatkan syafaat Nabi di hari kiamat. Ketepatan dalam merespons adzan adalah cerminan dari pengagungan seseorang terhadap syiar Islam dan kesiapan dirinya untuk memenuhi panggilan Allah.
Sebelum membahas detail lafaz, penting untuk memahami mengapa respons terhadap adzan begitu ditekankan. Adzan adalah pemisah antara dunia dan akhirat dalam waktu sehari-hari. Ketika Bilal bin Rabah, muazin pertama, mengumandangkan adzan, segala aktivitas duniawi yang tidak mendesak seharusnya terhenti. Respon verbal kita adalah tanda penerimaan dan komitmen atas apa yang diucapkan muazin.
Setiap frase dalam adzan membawa beban teologis yang mendalam. Frase ‘Allahu Akbar’ adalah penegasan bahwa tiada yang lebih besar, lebih utama, atau lebih penting daripada Allah. Ketika kita mengulanginya, kita menegaskan kembali prioritas ini dalam hati. ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah’ adalah sumpah yang kita ulangi, membatalkan segala bentuk syirik dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu, menjawab adzan adalah pembaharuan baiat (sumpah setia) kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Keutamaan menjawab adzan diriwayatkan dalam Hadits dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku…” (HR Muslim). Perintah untuk 'mengucapkan seperti yang ia ucapkan' menempatkan adab ini sebagai kewajiban sunnah yang tidak boleh diabaikan, menjadikannya salah satu praktik ibadah yang paling mudah dilakukan namun memiliki pahala yang besar.
Para ulama menjelaskan bahwa saat adzan berkumandang, setan akan melarikan diri sambil terkentut-kentut, membenci suara tauhid tersebut. Dengan menjawab adzan, seorang mukmin secara aktif bergabung dalam pengusiran setan dan penegasan kebenaran. Kepatuhan ini tidak hanya bersifat verbal tetapi juga spiritual, menandakan kesiapan jiwa untuk melepaskan ikatan dunia dan menuju shalat.
Secara umum, sunnahnya adalah mengulang setiap lafaz yang diucapkan oleh muazin. Namun, terdapat satu pengecualian penting pada dua lafaz ajakan menuju shalat dan kemenangan.
Pada lafaz-lafaz berikut, kita mengucapkan kembali lafaz yang sama dengan muazin:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Jawaban: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Jawaban: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Jawaban: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Jawaban: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Jawaban: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Pengulangan ini harus dilakukan setelah muazin menyelesaikan lafaznya. Sikap terburu-buru dalam menjawab adzan adalah kurang sempurna. Muazin mengucapkan kalimat tersebut sebagai pemberitahuan, dan kita mengucapkannya sebagai pengakuan dan penerimaan.
Ketika muazin mengucapkan lafaz ajakan untuk shalat dan menuju kemenangan, kita tidak mengulangnya. Ini adalah pengecualian yang paling penting. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa sebagai respons terhadap ajakan tersebut, kita harus mengucapkan pernyataan penyerahan diri dan upaya (haulah) kepada Allah.
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Jawaban: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Transliterasi: Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Artinya: Tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
Jawaban: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Transliterasi: Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Artinya: Tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Pengucapan 'Laa haula wa laa quwwata illaa billaah' pada saat ini memiliki makna yang sangat mendalam. Muazin mengajak kita menuju shalat dan kemenangan (falah), namun kita menyadari bahwa tanpa bantuan dan kekuatan dari Allah, kita tidak akan mampu bergerak, apalagi melaksanakan shalat dengan khusyuk. Ini adalah bentuk pengakuan total terhadap kelemahan diri di hadapan kebesaran-Nya, dan penyerahan bahwa hanya dengan izin-Nya kita dapat memenuhi panggilan tersebut.
Dalam memahami jawaban adzan, kita juga perlu menyentuh sedikit perbedaan pandangan dalam mazhab Fiqh, terutama mengenai adzan yang menggunakan *tarji'* (pengulangan syahadat secara pelan) sebagaimana yang dipraktikkan Mazhab Syafi'i.
Dalam adzan yang menggunakan tarji' (diucapkan pelan setelah Allahu Akbar kedua, sebelum diucapkan lantang), jumhur ulama menganjurkan untuk tetap menjawab lafaz syahadat baik saat diucapkan pelan maupun saat diucapkan lantang. Jadi, kita menjawab syahadat sebanyak empat kali: dua saat tarji' dan dua saat jahr (lantang).
Bagaimana jika kita sedang shalat sunnah atau shalat wajib ketika adzan berkumandang? Dalam kondisi shalat, kita tidak boleh menjawab adzan secara lisan. Kita harus tetap fokus pada shalat. Kewajiban menjawab adzan hanya berlaku di luar shalat. Setelah shalat selesai, jika adzan masih berlangsung, kita dapat menjawab sisa adzan tersebut. Namun, jika adzan telah selesai, kewajiban menjawabnya telah terlewatkan.
Setelah selesai menjawab seluruh lafaz adzan (termasuk pengecualian ‘Laa haula’), tahap selanjutnya yang memiliki keutamaan luar biasa adalah membaca shalawat dan doa khusus setelah adzan. Ini adalah rangkaian yang tidak boleh dipisahkan.
Setelah menjawab seluruh kalimat adzan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah akan bershalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim).
Lafaz shalawat yang paling utama adalah Shalawat Ibrahimiyah, namun membaca shalawat singkat seperti ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad’ juga mencukupi.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ
Setelah membaca shalawat, kita dianjurkan membaca doa yang masyhur, yang dikenal sebagai doa wasilah dan fadhilah. Inilah puncak dari adab merespons adzan, dan keutamaan bagi yang mengucapkannya adalah mendapatkan syafaat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hari Kiamat. Hal ini ditegaskan dalam Hadits riwayat Bukhari.
اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ.
Transliterasi: Allahumma Rabba haadzihid da’watit taammah, wash shalaatil qaa-imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’atshu maqoomam mahmuudan alladzii wa’adtah.
Artinya: “Ya Allah, Rabb bagi panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan, berikanlah kepada Nabi Muhammad Al-Wasilah (derajat tertinggi di surga) dan Al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepada beliau.”
Dalam beberapa riwayat ditambahkan kalimat: ‘Innaka laa tukhliful mi’aad’ (Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji). Walaupun penambahan ini masih diperselisihkan keshahihannya dalam beberapa riwayat, maknanya tetap baik dan sering digunakan. Namun, versi yang diriwayatkan Bukhari adalah tanpa tambahan tersebut.
Setiap kata dalam doa ini mencerminkan pengakuan dan harapan kita:
Memahami makna ini membuat kita menyadari bahwa dengan doa pendek ini, kita sedang berpartisipasi dalam permohonan keagungan bagi Rasulullah, dan imbalannya adalah syafaat beliau bagi kita di hari yang paling sulit.
Selain respons verbal, adab ketika adzan berkumandang juga mencakup perilaku fisik dan mental. Adzan menuntut penghentian segera atas aktivitas yang tidak mendesak.
Sunnah yang sangat ditekankan adalah menghentikan semua bentuk percakapan, pekerjaan, atau kegiatan yang tidak penting selama adzan. Bahkan, membaca Al-Qur’an atau dzikir yang lain pun dianjurkan untuk dihentikan sementara, demi memberikan fokus penuh untuk menjawab panggilan muazin. Keheningan selama adzan adalah bentuk penghormatan terhadap syiar tersebut.
Sebagian ulama (terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i) menganjurkan doa khusus ketika muazin mengucapkan ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’. Meskipun kita wajib mengulanginya, sunnah juga menambahkan:
رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا
Transliterasi: Radhitu billahi rabba, wa bi Muhammadin rasula, wa bil islami dina.
Artinya: Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku.
Hadits riwayat Imam Muslim menyebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan ini saat mendengar syahadat, diampuni dosanya. Waktu terbaik untuk mengucapkannya adalah setelah selesai menjawab lafaz syahadat dari muazin.
Iqamah adalah panggilan kedua, tanda bahwa shalat akan segera dimulai. Meskipun lebih pendek, iqamah juga memiliki tata cara respons yang wajib diketahui, yang mirip dengan adzan namun dengan perbedaan spesifik.
Sama seperti adzan, sebagian besar lafaz iqamah diulang persis, termasuk 'Allahu Akbar' di awal dan di akhir, serta syahadat dan 'Laa ilaaha illallah'.
Pengecualian utama dalam iqamah adalah lafaz ‘Qad Qamatis-Salah’ (Shalat telah ditegakkan). Ini diucapkan dua kali dalam iqamah.
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
Jawaban yang disunnahkan: Sebagian besar ulama (seperti Mazhab Syafi’i dan Hanbali) menganjurkan untuk mengulanginya sama persis.
Namun, Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Maliki menganjurkan jawaban khusus:
أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا
Transliterasi: Aqoomahallahu wa adaamaha.
Artinya: Semoga Allah menegakkannya dan mengekalkannya.
Mengulang lafaz iqamah secara persis (sesuai Hadits Adzan) adalah yang paling aman dan sesuai dengan keumuman Hadits riwayat Bukhari, namun mengucapkan doa ‘Aqoomahallahu’ juga memiliki dalil dan praktik yang kuat dalam mazhab-mazhab tertentu. Mengamalkan salah satunya sudah mencukupi.
Adab menjawab adzan adalah lebih dari sekadar gerak bibir. Ini adalah praktik meditasi spiritual yang mengalihkan perhatian dari fana menuju baqa. Dalam kajian ushul fiqh dan tasawuf, adzan dipandang sebagai berikut:
Adzan datang pada waktu-waktu puncak aktivitas duniawi (saat kerja keras, makan, atau istirahat). Keharusan untuk menghentikan segalanya dan menjawab adzan adalah ujian nyata terhadap tingkat kepatuhan dan kesungguhan hati seorang hamba. Orang yang mengabaikan adzan menunjukkan bahwa janji duniawi masih lebih kuat daripada panggilan Ilahi.
Adzan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam keseragaman waktu dan tindakan. Ketika seorang muslim di Jakarta menjawab adzan, pada saat yang sama, jutaan muslim lain di Mekkah, Kairo, dan London juga melakukannya, menegaskan persatuan umat (ukhuwah Islamiyah) dalam menghadapi Rabb yang sama.
Di era modern, banyak yang menganggap adzan hanya sebagai suara latar atau alarm. Dengan disiplin menjawab setiap lafaz, kita menghidupkan kembali sunnah yang mulai terlupakan, mengembalikan kedudukan adzan sebagai momen sakral. Keagungan ajaran Islam terletak pada perhatiannya terhadap detail ibadah, sekecil apapun itu.
Mengenai waktu berdoa setelah adzan, terdapat beberapa rincian penting yang diulas oleh para fuqaha (ahli fiqh) dan muhadditsin (ahli hadits).
Salah satu keutamaan besar yang terkait dengan adzan adalah bahwa waktu antara adzan dan iqamah (disebut *ma bainal adzan wal iqamah*) adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hal ini mendorong kita untuk memanfaatkan waktu tersebut, bukan hanya membaca doa wasilah, tetapi juga memanjatkan doa-doa pribadi (hajat). Ketelitian dalam menjawab adzan secara berurutan, membaca shalawat, dan dilanjutkan dengan doa wasilah adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan waktu mustajab ini.
Para ulama tafsir menekankan bahwa saat kita menjawab adzan, kita harus merenungkan makna setiap kalimat:
Sebagian kecil ulama membolehkan berdoa di sela-sela adzan. Namun, pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berdasarkan sunnah yang jelas, adalah bahwa fokus utama ketika adzan berkumandang adalah menjawab lafaz muazin secara berurutan. Doa-doa pribadi atau doa wasilah disempurnakan setelah adzan selesai secara total.
Dalam adzan Subuh, muazin menambahkan kalimat *At-Tatswiib* (ajakan bangun), yaitu ‘Ash-Shalaatu Khairum Minan-Naum’ (Shalat lebih baik daripada tidur) sebanyak dua kali, setelah ‘Hayya ‘alal-falah’.
Untuk kalimat Tatswiib ini, kita tidak mengulanginya. Sebagian besar ulama, berdasarkan riwayat dari Bilal dan praktik yang masyhur, menganjurkan jawaban:
صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ
Transliterasi: Shodaqta wa bararta.
Artinya: Engkau benar dan engkau berbuat kebaikan.
Jawaban ini adalah bentuk pengakuan dan persetujuan bahwa shalat memang lebih mulia dan lebih berharga dibandingkan nikmat duniawi seperti tidur. Mengucapkan ini adalah deklarasi pribadi bahwa kita memilih kebenaran yang dibawa oleh panggilan tersebut.
Urutan menjawab adzan Subuh secara lengkap menjadi:
Pengulangan dan penghayatan yang teliti terhadap adab menjawab adzan secara keseluruhan, mulai dari lafaz pertama hingga doa penutup, adalah investasi spiritual yang nilainya tak terhingga.
Keutamaan terbesar dari praktik ini, yang disebutkan berkali-kali dalam Hadits, adalah janji syafaat (pertolongan) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits Bukhari: “Barangsiapa yang mengucapkan ketika mendengar seruan (adzan), ‘Allahumma Rabba hadzihid da’watit taammah...’ maka ia berhak mendapatkan syafaatku pada Hari Kiamat.”
Syafaat Nabi adalah satu-satunya harapan bagi banyak umat manusia pada Hari Perhitungan yang dahsyat. Bahwa amalan sederhana yang hanya memakan waktu dua atau tiga menit—menjawab adzan dengan benar—dapat memastikan kita mendapatkan syafaat tersebut, menunjukkan betapa besar rahmat Allah dan kasih sayang Nabi-Nya terhadap umat.
Karena adzan berkumandang lima kali dalam sehari, adab menjawabnya menjadi praktik ibadah yang paling konsisten dan berulang. Konsistensi ini melatih jiwa untuk selalu terhubung dengan Allah di tengah kesibukan. Setiap adzan adalah kesempatan baru untuk memperbaharui keimanan, mendapatkan pahala yang besar, dan menegaskan kembali komitmen untuk menuju keberhasilan sejati (al-falah) yang terletak pada ketaatan.
Dengan mengikuti sunnah ini secara cermat, seorang muslim tidak hanya menjalankan ibadah yang dianjurkan tetapi juga memastikan dirinya berada dalam barisan orang-orang yang senantiasa menanggapi panggilan Allah dengan penuh keridhaan, menjadikannya kunci pembuka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
***