Adzan Subuh adalah panggilan suci yang membelah keheningan dini hari, menandai dimulainya waktu shalat pertama dan hari yang baru bagi umat Islam. Ia memiliki kedudukan yang sangat istimewa, bukan hanya sebagai pemberitahuan waktu shalat, melainkan sebagai seruan spiritual yang membawa berkah, ketenangan, dan kesadaran. Menjawab adzan, sebuah sunnah yang sangat ditekankan, merupakan bentuk penghormatan dan ketaatan kepada syiar agama.
Proses menjawab panggilan ini bukan sekadar mengulang lafadz muadzin, tetapi merupakan praktik dzikir yang sarat makna. Terlebih pada adzan Subuh, terdapat satu lafadz unik yang membedakannya dari adzan shalat lainnya, yaitu "Ash-shalatu khairun minan naum" (Shalat itu lebih baik daripada tidur). Memahami konteks lafadz ini, cara menjawabnya, serta doa yang mustajab setelahnya, adalah kunci untuk meraih keutamaan Subuh secara menyeluruh.
Adzan, secara bahasa berarti pemberitahuan. Secara syariat, ia adalah pemberitahuan waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu. Adzan Subuh memegang peran yang fundamental karena ia memanggil manusia dari kondisi istirahat (tidur) menuju perjuangan spiritual (shalat dan beraktivitas). Rasulullah ﷺ sangat menekankan pentingnya shalat Subuh, bahkan menjadikannya sebagai penentu keberkahan hari seseorang.
Waktu Subuh sering disebut sebagai waktu yang penuh berkah. Allah ﷻ bersumpah dengan waktu Fajar dalam Al-Qur'an (QS. Al-Fajr: 1). Tidur adalah simbol kelekatan duniawi dan istirahat fisik, sedangkan shalat adalah simbol koneksi transenden dan aktivasi spiritual. Panggilan adzan di waktu ini berfungsi sebagai pengingat keras bahwa koneksi dengan Sang Pencipta harus diutamakan di atas kenyamanan fisik.
Nabi ﷺ bersabda: "Dua rakaat fajar (shalat sunnah qabliyah Subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya." (HR. Muslim, Tirmidzi). Keutamaan yang luar biasa ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah yang dilakukan di awal waktu fajar, yang diawali dengan panggilan adzan.
Keunikan Adzan Subuh terletak pada penambahan lafadz Tsaubiyah (pengingat), yang secara tegas membedakan keutamaan shalat dari kenikmatan tidur. Ini adalah undangan untuk menanggalkan selimut dan meraih pahala yang tidak tertandingi oleh harta benda dunia.
Menjawab adzan hukumnya adalah sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi siapa saja yang mendengarnya, kecuali bagi mereka yang sedang buang hajat atau berada dalam kondisi tertentu yang menghalanginya. Jawaban ini harus dilakukan dengan niat menghormati panggilan dan mengulanginya sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, dengan pengecualian pada dua lafadz utama: *Hayya ‘ala shalah* dan *Hayya ‘ala falah*, serta lafadz khusus Subuh.
Pada lafadz-lafadz awal, sunnahnya adalah mengulang persis seperti yang diucapkan oleh muadzin. Ini adalah persaksian iman yang diperbaharui setiap kali panggilan shalat dikumandangkan.
| Lafadz Adzan (Muadzin) | Jawaban (Pendengar) |
|---|---|
| اَللّٰهُ أَكْبَرُ اَللّٰهُ أَكْبَرُ | اَللّٰهُ أَكْبَرُ اَللّٰهُ أَكْبَرُ |
| (Diucapkan dua kali) | |
| أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ | أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ |
| (Diucapkan dua kali) | |
| أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ | أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ |
| (Diucapkan dua kali) | |
Ketika muadzin menyeru untuk menuju shalat dan kemenangan, pendengar tidak mengulang seruan tersebut, melainkan mengucapkan dzikir yang menyatakan penyerahan diri dan pengakuan bahwa semua kekuatan hanya milik Allah ﷻ.
Lafadz ini adalah undangan langsung untuk melaksanakan ibadah. Jawaban yang disunnahkan adalah pengakuan akan kelemahan diri dan kekuatan Allah.
Lafadz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Makna: Tiada daya (untuk meninggalkan maksiat) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah.
Kemenangan yang dimaksud di sini adalah kemenangan dunia dan akhirat. Responnya sama, menegaskan bahwa kesuksesan hanya dapat diraih melalui kekuatan Ilahi.
Lafadz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Pengulangan *Laa hawla wa laa quwwata illa billah* (dua kali untuk masing-masing seruan) adalah dzikir yang agung, yang disebut oleh Nabi ﷺ sebagai salah satu ‘harta karun di bawah Arsy’. Ini mengajarkan kita bahwa pelaksanaan ibadah, bahkan sekadar melangkah ke masjid, hanya bisa terjadi atas izin dan bantuan Allah.
Inilah lafadz inti yang menjadi ciri khas Adzan Subuh, sering disebut sebagai *Tsaubiyah* (peringatan pengulangan). Lafadz ini hanya diucapkan oleh muadzin setelah *Hayya ‘ala falah* pada Adzan Subuh.
Lafadz Muadzin:
Makna: Shalat itu lebih baik daripada tidur.
Linguistiknya sederhana, namun maknanya mendalam. Kata *khairun* (lebih baik) di sini adalah perbandingan mutlak. Secara fisik, tidur memberikan istirahat, namun secara spiritual, ia bersifat fana dan tidak menghasilkan pahala. Shalat, di sisi lain, menghasilkan kedekatan dengan Allah, pahala yang abadi, dan energi spiritual untuk menghadapi hari.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jawaban yang paling utama untuk lafadz Tsaubiyah ini, namun pendapat yang kuat dan dipegang oleh mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama adalah mengulang lafadz tersebut, sebagai bentuk pengakuan dan penegasan kebenaran pernyataan tersebut.
Jawaban Pendengar:
Sebagian kecil ulama (seperti sebagian ulama Mazhab Hanafi) juga membolehkan jawaban: صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ (Shadaqta wa bararta - Engkau benar dan engkau berbuat baik). Namun, mengulang lafadz yang sama adalah yang paling umum dipraktikkan, sebab tujuannya adalah membenarkan dan mengikrarkan keutamaan shalat atas tidur.
Lafadz *Ash-shalatu khairun minan naum* pertama kali disyariatkan pada masa Nabi ﷺ. Ada riwayat dari Bilal bin Rabah, muadzin utama Nabi, yang menyebutkan penambahan lafadz ini atas perintah Nabi ﷺ. Penambahannya menegaskan fokus spiritual di waktu Subuh.
Para ahli fiqh menekankan bahwa Tsaubiyah bukanlah bagian integral dari adzan yang berlaku untuk semua waktu shalat, melainkan dikhususkan hanya untuk adzan Subuh. Mengucapkannya pada adzan Dzuhur, Ashar, Maghrib, atau Isya’ dianggap menyalahi sunnah.
Tidur yang dimaksud adalah tidur yang dapat melalaikan seseorang dari kewajibannya. Perbandingan ini menjadi pengingat bagi jiwa yang cenderung malas di saat hawa dingin dan kelelahan malam masih menyelimuti. Peringatan ini ibarat cambuk spiritual yang mendorong hamba untuk memilih kebaikan yang abadi daripada kenikmatan sementara.
Setelah menjawab lafadz syahadat (*Asyhadu an la ilaha illallah* dan *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*), disunnahkan untuk menambah dzikir pengakuan iman dan memohon ridha Allah, sebagaimana diriwayatkan dari Sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash:
Makna: Dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rela Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku.
Dzikir ini memiliki keutamaan luar biasa, yaitu diampuni dosanya bagi yang mengucapkannya setelah bagian syahadat adzan, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim.
Setelah muadzin menyelesaikan seluruh lafadz adzan (termasuk *Ash-shalatu khairun minan naum* dan pengulangan *Allahu Akbar* serta *Laa ilaha illallah*), kita disunnahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi ﷺ dan dilanjutkan dengan doa yang dikenal sebagai 'Doa Wasilah'.
Langkah pertama setelah adzan selesai adalah bershalawat. Nabi ﷺ bersabda, "Apabila kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali." (HR. Muslim).
Setelah bershalawat, barulah dilanjutkan dengan doa yang memohon kedudukan mulia bagi Nabi Muhammad ﷺ.
Doa ini adalah inti dari respons spiritual setelah adzan dan memiliki janji pahala besar, yaitu mendapatkan syafaat Nabi Muhammad ﷺ di hari kiamat.
Kita memulai dengan memohon kepada Allah, "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini." Panggilan ini disebut "sempurna" karena ia adalah panggilan tauhid, tidak mengandung celaan, dan datang dari perintah Allah ﷻ. Frasa ini menegaskan bahwa adzan bukanlah sekadar ritual manusia, melainkan manifestasi perintah Ilahi.
Frasa "dan shalat yang akan didirikan" merujuk pada shalat wajib yang akan segera dilaksanakan setelah adzan dan iqamah. Ini adalah pengakuan bahwa adzan adalah pra-syarat, dan shalat adalah tujuannya. Kita memohon keberkahan pada proses perpindahan dari panggilan menuju pelaksanaan ibadah.
Ini adalah permintaan sentral doa. *Al-Wasilah* secara harfiah berarti kedekatan atau sarana. Dalam konteks hadits, Al-Wasilah adalah kedudukan tertinggi di Surga, yang hanya layak dimiliki oleh satu hamba Allah, dan Nabi ﷺ meminta umatnya untuk memohonkan kedudukan ini bagi beliau. *Al-Fadhilah* berarti keutamaan atau kelebihan yang melebihi seluruh makhluk.
Dengan memohonkan kedudukan tertinggi ini bagi Nabi, kita menunjukkan cinta dan penghormatan, dan sebagai imbalannya, Nabi ﷺ menjanjikan syafaat bagi kita.
*Maqam Mahmud* (Kedudukan Terpuji) adalah kedudukan agung Nabi Muhammad ﷺ yang akan menjadi pemberi syafaat umum (Syafa'at 'Uzma) pada hari Kiamat, ketika seluruh manusia berdiri kebingungan menanti hisab. Ini adalah janji Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Isra: 79).
Tambahan "Sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji" adalah penegasan keyakinan kita bahwa Allah pasti akan memenuhi janji-Nya. Meskipun frasa ini sering ditambahkan dalam doa setelah adzan, ia memiliki dasar yang kuat dalam riwayat-riwayat sunnah dan berfungsi sebagai penutup yang menguatkan tauhid.
Selain lafadz jawaban yang spesifik, terdapat beberapa adab dan hukum fiqh yang mengiringi proses mendengarkan dan menjawab Adzan Subuh.
Setelah menjawab adzan Subuh secara lengkap dan membaca Doa Wasilah, kita memasuki waktu mustajab kedua, yaitu waktu antara adzan dan iqamah. Nabi ﷺ bersabda, "Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Waktu Subuh ini khususnya sangat singkat dan berharga. Setelah adzan Subuh, disunnahkan untuk melaksanakan shalat sunnah Fajar (Qabliyah Subuh), yang merupakan shalat sunnah paling ditekankan. Setelah itu, sisa waktu harus dimanfaatkan untuk berdzikir, memohon ampunan, dan berdoa kepada Allah ﷻ sebelum iqamah dikumandangkan.
Banyak ulama salaf menganjurkan untuk membaca *istighfar* dan doa-doa meminta keberkahan rezeki di waktu antara Adzan Subuh dan shalat wajib. Kekuatan spiritual di waktu ini sangat besar, karena ia adalah waktu turunnya rahmat dan pembagian rezeki harian.
Jawaban adzan harus segera dilakukan setelah muadzin mengucapkan setiap lafadz. Jika seseorang terlewat beberapa lafadz karena ada halangan (misalnya sedang makan atau berbicara sebentar), ia disunnahkan untuk menyusul jawaban tersebut.
Meskipun sunnah mu'akkadah, ada kondisi di mana seseorang tidak diwajibkan (atau bahkan dilarang) menjawab adzan:
Jika seseorang berada di tempat yang mendengar suara adzan dari beberapa masjid secara bersamaan, disunnahkan untuk menjawab adzan yang pertama kali didengar, atau adzan yang paling jelas terdengar. Jika waktunya berdekatan, cukup menjawab salah satunya.
Penting untuk diingat bahwa adzan Subuh memiliki dua panggilan (adzan pertama dan adzan kedua). Dalam tradisi fiqh, adzan pertama adalah pemberitahuan waktu sahur (untuk Ramadhan) atau sebagai persiapan waktu Subuh, dan lafadz Tsaubiyah (*Ash-shalatu khairun minan naum*) diucapkan pada adzan kedua, yaitu adzan yang menandakan masuknya waktu shalat Subuh yang sebenarnya.
Untuk memahami kedalaman lafadz Tsaubiyah, kita harus melihatnya dari tiga dimensi: fisik, temporal, dan transenden.
Tidur adalah kebutuhan fisik, sementara shalat adalah disiplin fisik. Ketika seseorang memilih shalat, ia sedang memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu fisik yang menginginkan kenyamanan. Kemenangan kecil ini di Subuh hari memberikan dorongan mental dan spiritual untuk memenangkan pertarungan yang lebih besar sepanjang hari.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa tidur yang dilakukan setelah fajar (disebut *Nawm As-Sabt*) seringkali merugikan, karena Nabi ﷺ berdoa agar umatnya diberkahi pada waktu pagi mereka. Memilih berdiri shalat Subuh adalah investasi terhadap keberkahan waktu dan kesehatan jiwa.
Subuh adalah gerbang menuju siang hari. Kualitas ibadah di waktu fajar menentukan kualitas aktivitas dan rezeki yang akan diperoleh di siang hari. Shalat Subuh yang ditunaikan secara berjamaah di masjid dijamin mendapat perlindungan Allah ﷻ sepanjang hari.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah.” (HR. Muslim). Jaminan ini meliputi perlindungan, rezeki, dan petunjuk. Ini adalah bentuk pahala instan yang jauh melampaui kenikmatan tidur sesaat.
Dengan menjawab panggilan adzan Subuh, kita secara sadar menyatakan bahwa kita memilih bergabung dalam jaminan dan berkah Ilahi, melepaskan diri dari potensi kelalaian akibat tidur yang berkelanjutan.
Tidur adalah kematian sementara (*kematian sughra*). Shalat adalah kehidupan spiritual (*kehidupan kubra*). Ketika kita berdiri di hadapan Allah, kita sedang mengumpulkan bekal yang akan dibawa menuju kehidupan abadi. Kenikmatan tidur akan berakhir saat kita bangun, namun pahala dari shalat akan terus mengalir hingga hari Kiamat.
Lafadz *Ash-shalatu khairun minan naum* adalah pengajaran filosofis tentang prioritas. Ia mengajarkan umat Islam untuk selalu mendahulukan nilai-nilai spiritual yang kekal atas kebutuhan materi dan kenyamanan yang sementara.
Setelah menjawab seluruh rangkaian lafadz adzan, mengucapkan doa, dan bershalawat, pendengar disunnahkan untuk mengakhiri rangkaian respons dengan dzikir penutup Adzan.
Adzan ditutup dengan pengulangan tauhid:
Lafadz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Dan lafadz penutup:
Lafadz Muadzin:
Jawaban Pendengar:
Rangkaian ini menegaskan kembali fondasi keimanan kita: Allah Maha Besar dan tiada Tuhan selain Dia. Setelah lafadz terakhir ini diucapkan, proses menjawab adzan secara lisan telah selesai. Selanjutnya, kita beralih ke dimensi doa dan ibadah sebelum iqamah.
Janji mendapatkan syafaat bagi yang membaca doa Wasilah adalah motivasi tertinggi dalam merespons adzan Subuh. Syafaat Nabi ﷺ adalah jalan keluar di saat kesulitan tak terbayangkan di Padang Mahsyar.
Oleh karena itu, setiap Muslim didorong untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya mendengar adzan, tetapi juga meresponsnya dengan kesadaran penuh, memahami setiap makna dari lafadz-lafadz yang diucapkan. Hal ini mengubah aktivitas rutin menjadi momen spiritual yang sangat bernilai di sisi Allah ﷻ.
Praktik menjawab adzan Subuh membentuk disiplin spiritual harian yang kuat. Bangun, menjawab panggilan suci, dan berdiri shalat adalah penanda bahwa seorang hamba telah menjadikan Allah ﷻ sebagai prioritas utama sebelum kesibukan duniawi dimulai.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa keengganan untuk menjawab panggilan adzan dan melaksanakan shalat Subuh adalah ciri-ciri yang harus dihindari, karena ia dapat mengunci keberkahan hari tersebut.
Adzan Subuh adalah titik transisi. Malam telah ditutup dengan istirahat dan mungkin ibadah malam (Tahajjud), dan hari dibuka dengan shalat wajib. Respon kita terhadap adzan adalah cara kita mengintegrasikan spiritualitas malam ke dalam aksi duniawi di siang hari.
Ketika kita mengucapkan Ash-shalatu khairun minan naum, kita tidak hanya berbicara tentang kebaikan shalat itu sendiri, tetapi juga tentang kebaikan memilih disiplin atas kenyamanan, memilih kesadaran atas kelalaian, dan memilih keabadian atas kefanaan. Inilah esensi dari jawaban Adzan Subuh: sebuah deklarasi komitmen harian yang mengikatkan diri kita pada janji Allah dan Rasul-Nya, meraih keberkahan sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam.