Ilustrasi pergerakan harga komoditas telur yang sering mengalami volatilitas dipengaruhi berbagai faktor harian.
Komoditas telur ayam ras merupakan salah satu bahan pangan esensial yang sangat sensitif terhadap dinamika ekonomi, sosial, dan bahkan lingkungan di Indonesia. Sebagai sumber protein hewani yang paling terjangkau bagi mayoritas masyarakat, pergerakan harga telur hari menjadi indikator penting stabilitas pangan nasional dan daya beli konsumen.
Ketika harga telur mengalami kenaikan tajam atau penurunan drastis, dampak yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada sektor peternakan, tetapi menjalar ke inflasi, kebijakan subsidi, hingga kesehatan gizi masyarakat. Oleh karena itu, memahami secara mendalam apa yang mendorong harga telur hari ini dan bagaimana mekanisme penentuannya bekerja adalah hal yang krusial bagi pemerintah, peternak, dan tentu saja, konsumen.
Analisis ini akan mengupas tuntas berbagai lapisan faktor yang memengaruhi harga, mulai dari biaya produksi di tingkat peternak, tantangan distribusi logistik antar wilayah, hingga intervensi regulasi yang berusaha menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen.
Pada dasarnya, harga telur hari yang diterima konsumen adalah cerminan dari total biaya produksi yang dikeluarkan peternak, ditambah margin keuntungan, dan biaya distribusi. Dari semua komponen biaya, biaya pakan mendominasi, seringkali mencapai 60% hingga 70% dari total pengeluaran operasional peternakan.
Pakan ternak ayam petelur (layer) sebagian besar terdiri dari jagung, bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM), dan konsentrat lainnya. Ketergantungan terhadap bahan baku ini membuat harga telur sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan ketersediaan domestik.
Jagung adalah sumber energi utama dalam pakan. Meskipun Indonesia memproduksi jagung, kebutuhan industri pakan seringkali melebihi pasokan domestik, terutama pada musim-musim tertentu atau saat terjadi gagal panen. Ketika pasokan jagung lokal berkurang, peternak terpaksa bersaing dengan industri lain, mendorong harga jagung naik drastis. Pemerintah sering mencoba menstabilkan harga jagung melalui kebijakan stok dan batas harga, tetapi implementasinya di lapangan sering menghadapi tantangan logistik dan penimbunan, yang secara langsung menekan margin peternak dan memaksa penyesuaian pada harga telur hari berikutnya.
Bungkil kedelai (SBM), sebagai sumber protein vital, hampir 100% bergantung pada impor. Karena pembelian SBM dilakukan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat (USD), pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD secara otomatis meningkatkan biaya impor bahan baku ini. Setiap kenaikan kurs Rp100 dapat berarti kenaikan signifikan pada biaya produksi pakan per kilogram, yang lantas dicerminkan pada kenaikan harga telur hari di pasaran. Peternak, terutama skala kecil, sangat terdampak oleh volatilitas nilai tukar ini karena mereka tidak memiliki daya tawar untuk menyimpan stok SBM dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, ketika menganalisis pergerakan harga telur hari, dua variabel ekonomi makro yang wajib dipantau adalah harga jagung domestik dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar.
Komponen biaya kedua yang signifikan adalah energi (BBM) dan logistik. Peternakan modern membutuhkan listrik untuk ventilasi, penerangan, dan pengolahan pakan. Lebih lanjut, biaya distribusi telur dari kandang ke pusat pengumpulan (agen), dan selanjutnya ke pasar ritel, sangat bergantung pada harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM, meskipun kecil, akan menciptakan efek domino, meningkatkan biaya transportasi di setiap titik rantai pasok. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, perbedaan biaya logistik antar wilayah—misalnya, pengiriman dari Blitar (pusat produksi) ke Papua—menciptakan disparitas harga telur hari yang besar, yang akan kita bahas lebih lanjut pada bagian stabilitas regional.
Tidak ada satu otoritas tunggal yang menetapkan harga telur hari secara seragam di seluruh Indonesia. Harga terbentuk melalui interaksi dinamis antara penawaran dan permintaan, dipengaruhi oleh harga acuan (referensi) dan rantai pasok.
Peternak umumnya berpedoman pada harga acuan yang dirilis oleh asosiasi peternak atau pusat-pusat produksi utama (seperti Blitar di Jawa Timur atau Lampung di Sumatera). Harga acuan ini berfungsi sebagai panduan, bukan harga wajib, dan mencerminkan biaya produksi saat itu serta kondisi permintaan pasar regional. Agen atau pengepul akan mengambil telur dari peternak dengan harga yang sangat dekat dengan acuan ini.
Pasar induk, seperti Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta, menjadi barometer penting. Pergerakan harga di pasar induk seringkali menjadi sinyal bagi harga ritel di pasar tradisional maupun modern. Pengepul dan distributor memainkan peran krusial dalam menyerap risiko dan fluktuasi. Mereka harus mempertimbangkan:
Selain faktor fundamental biaya, sentimen dan ekspektasi pasar juga berperan besar. Ketika ada rumor kekurangan pasokan atau menjelang hari besar keagamaan (seperti Idul Fitri atau Natal), permintaan melonjak tajam. Spekulasi ini dapat mendorong kenaikan harga yang melebihi kenaikan biaya produksi sesungguhnya. Sebaliknya, ketika terjadi surplus mendadak atau isu penyakit ternak, harga telur hari dapat anjlok, merugikan peternak secara signifikan.
Volatilitas harga telur hari tidak lepas dari pola musiman dan ancaman non-ekonomi yang sifatnya mendadak.
Secara historis, permintaan telur mencapai puncaknya menjelang dan selama hari-hari besar keagamaan. Kebutuhan rumah tangga, usaha katering, dan industri makanan yang meningkat drastis sering kali tidak dapat diimbangi dengan peningkatan produksi seketika. Meskipun peternak sudah merencanakan produksi jauh-jauh hari, kendala kapasitas logistik dan waktu panen (waktu yang dibutuhkan ayam dara untuk mulai bertelur) menciptakan gap permintaan yang mendorong harga meroket. Lonjakan ini biasanya bersifat temporer, dan harga telur hari cenderung kembali normal setelah periode puncak berlalu.
Ancaman kesehatan ternak, seperti wabah Avian Influenza (flu burung) atau penyakit lainnya, dapat menyebabkan penutupan sementara peternakan atau pemusnahan populasi ayam. Dampak langsungnya adalah penurunan drastis pada suplai telur di wilayah terdampak. Meskipun wabah mungkin bersifat lokal, dampaknya pada harga acuan bisa meluas karena pasar menjadi cemas akan ketersediaan jangka panjang, menyebabkan kenaikan harga telur hari secara nasional.
Cuaca ekstrem, seperti panas berkepanjangan atau banjir, juga memengaruhi produksi telur. Suhu tinggi menyebabkan ayam stres, menurunkan nafsu makan, dan mengurangi produksi telur (jumlah maupun kualitas). Di sisi lain, banjir dapat merusak infrastruktur peternakan, menghambat pengiriman pakan, atau bahkan memutus rantai distribusi, menyebabkan kelangkaan lokal yang berdampak langsung pada kenaikan harga telur hari di area yang terisolasi.
Mengingat signifikansi telur sebagai komoditas strategis, pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan seringkali melakukan intervensi untuk menjaga keseimbangan. Tujuannya ganda: memastikan peternak mendapat harga yang layak (di atas Harga Pokok Produksi/HPP) dan melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi.
Pemerintah menetapkan Harga Acuan Pembelian (HAP) yang merupakan batas bawah harga di tingkat peternak. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi peternak dari kerugian besar akibat kejatuhan harga (misalnya saat oversuplai). Namun, tantangannya adalah memastikan HAP ini benar-benar diterapkan di lapangan, terutama oleh pengepul besar yang memiliki daya tawar tinggi.
Di sisi konsumen, pemerintah sesekali menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk telur. Kebijakan ini bertujuan mengendalikan laju inflasi dan memastikan keterjangkauan. Namun, HET sering menjadi polemik. Jika HET ditetapkan terlalu rendah, sementara biaya produksi (pakan) sedang tinggi, peternak akan mengalami kerugian, yang bisa memicu aksi mogok atau bahkan pemangkasan populasi ayam, yang justru akan menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga yang lebih parah di masa depan.
Untuk menstabilkan biaya produksi dan meredam kenaikan harga telur hari, pemerintah terkadang mengintervensi dengan memberikan subsidi pakan, khususnya untuk jagung, atau menyalurkan bantuan sosial berupa telur kepada masyarakat miskin (sehingga membantu menyerap kelebihan pasokan di pasar). Skema bantuan ini, jika dikelola dengan baik, dapat mengurangi tekanan harga tanpa mengorbankan kesejahteraan peternak.
Salah satu ciri khas pasar telur di Indonesia adalah adanya disparitas harga yang signifikan antara wilayah produksi utama (Jawa) dan wilayah defisit (luar Jawa, khususnya bagian Timur). Perbedaan ini murni didorong oleh faktor logistik dan distribusi.
Pengiriman telur antarpulau membutuhkan biaya tinggi dan manajemen risiko yang cermat. Telur adalah komoditas yang rapuh dan membutuhkan penanganan khusus. Biaya peti kemas berpendingin (reefer container), asuransi, dan waktu tunggu di pelabuhan sangat memengaruhi harga akhir. Telur yang dijual di Jakarta mungkin memiliki harga Rp28.000 per kilogram, sementara harga telur hari yang sama di Maluku atau Papua bisa mencapai Rp35.000 hingga Rp40.000 per kilogram, semata-mata karena biaya distribusi yang menembus batas-batas geografis dan infrastruktur yang belum merata.
Jawa, terutama Jawa Timur (Blitar), adalah lumbung utama produksi telur nasional. Wilayah ini sering mengalami surplus, yang menyebabkan harga lokal di tingkat peternak cenderung rendah. Sementara itu, wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian besar Indonesia Timur bersifat defisit dan bergantung pada pasokan dari Jawa. Ketergantungan ini membuat harga di wilayah defisit sangat rentan terhadap gangguan rantai pasok, baik itu karena cuaca buruk di laut atau kendala pelabuhan.
Ketika membahas harga telur hari, penting untuk membedakan antara berbagai jenis telur yang ada di pasaran, karena faktor kualitas, metode budidaya, dan kandungan gizi memengaruhi harga jual.
Ini adalah jenis telur yang paling umum dan menjadi acuan utama dalam penetapan harga komoditas. Diproduksi oleh ayam petelur yang dibesarkan secara intensif. Produksi massal dan efisiensi pakan membuat telur ini memiliki harga paling kompetitif.
Telur ayam kampung dihargai lebih tinggi karena persepsi masyarakat terhadap kualitas gizi yang lebih baik dan metode budidaya yang lebih alami (ayam dilepas atau semi-intensif). Produksi telur ayam kampung jauh lebih rendah dan tidak seefisien telur ras, sehingga suplai terbatas dan harganya selalu premium dibandingkan harga telur hari ras.
Telur omega 3 diproduksi melalui modifikasi pakan ayam dengan suplemen seperti minyak ikan atau biji-bijian tertentu. Telur organik berasal dari ayam yang dibesarkan dengan pakan non-kimia dan tanpa antibiotik. Kedua jenis telur ini menargetkan segmen pasar premium. Biaya pakan yang lebih mahal dan sertifikasi yang ketat menyebabkan harga jualnya bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga telur hari biasa.
Peternak, terutama skala kecil dan menengah, berada di garis depan risiko fluktuasi harga telur hari. Untuk bertahan, mereka harus mengadopsi berbagai strategi mitigasi risiko.
Mengingat pakan adalah biaya terbesar, peternak yang cerdas mencoba membeli bahan baku (terutama jagung dan SBM) saat harga sedang rendah atau nilai tukar Rupiah menguat. Namun, strategi ini memerlukan modal kerja yang besar dan fasilitas penyimpanan yang memadai, yang menjadi kendala bagi peternak mikro.
Daripada hanya mengandalkan pengepul, banyak peternak mulai menjalin kemitraan langsung dengan industri pengolahan makanan (seperti pabrik roti atau mi) atau jaringan ritel modern. Kontrak jangka panjang ini memberikan stabilitas harga yang lebih baik, meskipun marginnya mungkin sedikit lebih rendah daripada menjual di pasar bebas saat harga sedang tinggi.
Fokus utama dalam peternakan modern adalah meningkatkan rasio konversi pakan (FCR), yaitu berapa banyak pakan yang dibutuhkan ayam untuk menghasilkan satu kilogram telur. Dengan manajemen kesehatan dan nutrisi yang optimal, peternak dapat memangkas biaya operasional dan menjaga daya saing meskipun harga telur hari cenderung stagnan atau rendah.
Telur memiliki bobot signifikan dalam perhitungan inflasi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kenaikan harga telur hari yang berkelanjutan memiliki potensi besar untuk mendongkrak laju inflasi umum, yang pada gilirannya memengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia.
Dalam keranjang inflasi, telur termasuk kelompok bahan makanan yang konsumsinya masif. Kenaikan harga telur bahkan dalam persentase kecil, jika terjadi secara nasional, dapat langsung memengaruhi daya beli masyarakat luas. Ketika inflasi tinggi, pemerintah biasanya akan meninjau ulang kebijakan impor komoditas pakan atau melakukan operasi pasar untuk menekan harga telur hari agar tidak terus merambat naik.
Tantangan terbesar pemerintah dalam mengelola harga telur adalah menyeimbangkan kepentingan. Jika harga terlalu rendah, peternak merugi, berhenti berproduksi, dan terjadi krisis pasokan di masa depan. Jika harga terlalu tinggi, masyarakat berpenghasilan rendah kehilangan akses terhadap protein terjangkau. Kebijakan yang efektif harus mencari titik impas di mana peternak mendapatkan keuntungan wajar dan konsumen mampu membeli telur pada harga telur hari yang stabil.
Melihat tren beberapa dekade terakhir, permintaan telur di Indonesia cenderung meningkat seiring pertumbuhan populasi dan peningkatan kesadaran gizi. Namun, tantangan yang dihadapi industri ini semakin kompleks.
Untuk menanggulangi kenaikan biaya pakan, industri harus beralih ke teknologi yang lebih modern, seperti kandang tertutup (closed house) yang memungkinkan pengendalian lingkungan optimal. Modernisasi ini meningkatkan efisiensi dan produksi, tetapi membutuhkan investasi modal yang sangat besar. Akses ke pembiayaan menjadi kunci bagi peternak untuk meningkatkan kapasitas dan menurunkan HPP, yang pada akhirnya dapat menstabilkan harga telur hari secara berkelanjutan.
Kebutuhan akan sistem data stok nasional yang akurat dan real-time sangat mendesak. Data yang valid mengenai populasi ayam, estimasi produksi, dan kebutuhan konsumsi per wilayah memungkinkan pemerintah dan peternak membuat keputusan yang lebih tepat mengenai kapan harus melakukan intervensi pasar atau menyesuaikan produksi. Tanpa data yang solid, fluktuasi harga telur hari akan terus didominasi oleh spekulasi dan ketidakpastian.
Masyarakat dan pelaku usaha yang sangat bergantung pada telur perlu memiliki strategi cerdas dalam menghadapi ketidakpastian harga telur hari.
Untuk memahami mengapa harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi daripada harga di kandang, kita harus membedah setiap tahapan dalam rantai pasok.
Ini adalah harga mentah yang diterima peternak. Pada titik ini, harga hanya mencerminkan HPP, ditambah margin keuntungan yang idealnya 5-10%. Namun, fluktuasi harga pakan sering membuat margin ini menjadi nol atau bahkan minus.
Telur dipindahkan ke pengepul besar atau koperasi. Di sini, terjadi penyortiran berdasarkan ukuran (A, B, C), pengecekan kualitas, dan pengemasan dalam tray. Biaya tenaga kerja dan risiko pecah (susut) ditambahkan. Susut bisa mencapai 2% hingga 5% dari total kuantitas, dan biaya ini harus ditanggung dan dimasukkan dalam penentuan harga telur hari yang dijual ke distributor.
Ini adalah tahap paling mahal, terutama untuk pengiriman jarak jauh. Biaya transportasi, BBM, tol, dan kargo menjadi signifikan. Di sinilah disparitas regional harga mulai terbentuk. Distributor besar harus mengelola risiko kerugian dan menstabilkan pasokan ke berbagai daerah.
Pedagang eceran membeli dari distributor. Mereka menambahkan biaya operasional toko, biaya tenaga kerja, dan margin keuntungan ritel (biasanya 10-15%). Harga di tahap inilah yang menjadi harga telur hari yang diketahui dan dibayarkan oleh konsumen akhir.
Jika terjadi kenaikan mendadak pada harga BBM, distributor akan segera menaikkan harga jual mereka, dan kenaikan ini akan diteruskan ke pedagang ritel, menghasilkan kenaikan harga telur hari yang cepat di tingkat konsumen, bahkan jika harga di tingkat peternak belum berubah signifikan.
Permasalahan utama yang membuat harga telur hari di Indonesia tidak sepenuhnya stabil adalah ketergantungan pada komponen impor, terutama bungkil kedelai (SBM). Selama ketergantungan ini tidak teratasi, harga telur akan selalu terombang-ambing oleh dinamika mata uang Rupiah dan harga komoditas global.
Upaya serius untuk mencari substitusi lokal bagi SBM sangat diperlukan. Penelitian terhadap sumber protein alternatif seperti maggot (larva BSF), protein dari hasil samping industri perikanan, atau peningkatan produksi kedelai domestik yang berkualitas harus didorong. Keberhasilan dalam diversifikasi sumber protein pakan akan secara dramatis mengurangi kerentanan peternak terhadap fluktuasi kurs dan memberikan fondasi yang lebih stabil bagi penetapan harga telur hari di masa depan.
Meskipun Indonesia berupaya mencapai swasembada jagung, manajemen stok harus diperkuat. Cadangan jagung nasional yang dikelola dengan baik oleh Bulog atau lembaga terkait, yang siap dilepas ke pasar saat terjadi kekurangan pasokan atau lonjakan harga, adalah kunci untuk menahan tekanan inflasi dari sisi pakan.
Harga telur hari ini adalah hasil kompleks dari interaksi biaya produksi global, efisiensi logistik domestik, dan intervensi kebijakan pemerintah. Bagi peternak, tantangannya adalah bagaimana mempertahankan margin keuntungan di tengah biaya pakan yang terus meningkat dan ancaman penyakit ternak.
Bagi konsumen, memahami faktor-faktor ini berarti mengelola ekspektasi harga, terutama menjelang masa-masa puncak permintaan. Stabilitas harga telur hari di masa mendatang sangat bergantung pada investasi di sektor hilir (pengolahan pakan), modernisasi peternakan, dan peningkatan efisiensi rantai pasok antar pulau. Hanya dengan pendekatan holistik yang menyeimbangkan kepentingan semua pihak, komoditas esensial ini dapat dipertahankan harganya pada tingkat yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pemerintah harus terus memantau dengan cermat pergerakan harga pakan dan BBM, serta siap mengambil tindakan korektif cepat melalui operasi pasar atau penyesuaian HAP/HET untuk mencegah volatilitas harga yang ekstrem. Mengingat telur adalah makanan sehari-hari, menjaga stabilitas harga telur hari adalah upaya menjaga ketahanan gizi dan stabilitas sosial-ekonomi.
***
Tidak jarang, harga telur hari di Indonesia terpengaruh oleh gejolak ekonomi global yang tampaknya tidak berhubungan langsung. Krisis geopolitik, misalnya, dapat mengganggu pasokan energi atau komoditas, yang secara langsung memengaruhi industri pakan ternak.
Ketika harga minyak mentah dunia melonjak, biaya pengiriman (freight cost) untuk kapal kargo yang membawa bungkil kedelai (SBM) dari Amerika atau Brazil akan meningkat tajam. Kenaikan ini diteruskan ke importir, yang kemudian menjualnya ke pabrik pakan dengan harga lebih tinggi. Pabrik pakan lantas menyesuaikan harga pakan jadi, dan peternak merespons dengan menaikkan harga telur hari mereka. Proses ini menunjukkan betapa sensitifnya rantai pasok telur terhadap dinamika harga energi internasional.
Perubahan iklim, seperti fenomena El Niño yang menyebabkan kekeringan panjang, dapat mengurangi produksi jagung domestik secara signifikan. Kekurangan jagung memaksa Indonesia untuk mengimpor atau menggunakan cadangan, tetapi harga impor jagung juga akan tinggi jika produsen utama jagung dunia (misalnya Amerika Serikat atau Argentina) juga mengalami gagal panen. Hal ini menciptakan tekanan biaya ganda pada peternak, yang akhirnya tercermin dalam kenaikan tajam harga telur hari.
Perilaku konsumen memainkan peran penting dalam memperburuk atau meredakan fluktuasi harga. Telur, dengan elastisitas permintaan yang relatif rendah (orang tetap akan membeli telur meskipun harganya naik karena sifatnya esensial), sering menjadi target penimbunan saat terjadi kepanikan.
Saat media memberitakan adanya potensi kenaikan harga telur hari yang signifikan menjelang hari raya, sebagian konsumen dan pelaku usaha kecil (seperti penjual martabak atau kue) cenderung melakukan pembelian dalam jumlah besar secara mendadak. Lonjakan permintaan singkat ini dapat menguras stok pengecer dan distributor, menciptakan kelangkaan buatan, yang kemudian memicu kenaikan harga yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika pembelian dilakukan secara normal.
Jika harga telur hari bertahan di level yang sangat tinggi untuk waktu yang lama (misalnya, di atas HET yang ditetapkan pemerintah), masyarakat berpenghasilan rendah mulai melakukan substitusi protein, beralih ke tempe, tahu, atau ikan murah. Penurunan permintaan jangka panjang ini dapat membantu menekan harga kembali turun, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan gizi masyarakat karena penurunan konsumsi protein hewani.
Masa depan industri telur untuk mencapai stabilitas harga yang lebih baik terletak pada inovasi dan adopsi teknologi.
Penerapan Internet of Things (IoT) dan sensor dalam kandang memungkinkan peternak memantau suhu, kelembaban, dan kesehatan ayam secara real-time. Hal ini meningkatkan efisiensi pakan, mengurangi tingkat kematian ayam, dan memaksimalkan produksi. Peningkatan efisiensi operasional ini secara langsung menurunkan HPP, yang pada akhirnya memungkinkan peternak menjual dengan harga telur hari yang lebih stabil dan terjangkau.
Pemasangan panel surya di peternakan skala besar dapat mengurangi ketergantungan pada listrik PLN atau generator diesel. Mengingat biaya energi merupakan komponen signifikan dalam operasional, transisi menuju energi terbarukan menawarkan stabilitas biaya jangka panjang, yang mengurangi kerentanan harga telur terhadap fluktuasi harga BBM.
Regulasi yang efektif dan tata niaga yang adil adalah prasyarat untuk pasar telur yang sehat. Namun, seringkali kebijakan yang ada belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah fundamental.
Meskipun pemerintah menetapkan HAP untuk peternak dan HET untuk konsumen, pengawasan di lapangan seringkali lemah. Di saat oversuplai, pengepul menekan peternak untuk menjual di bawah HAP, dan di saat defisit, pedagang ritel menjual jauh di atas HET. Perlu ada mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat serta transparansi data harga secara berkala untuk memastikan keadilan bagi semua pihak terkait harga telur hari.
Isu kartel pakan atau kartel bibit ayam (DOC) selalu menjadi bayang-bayang dalam industri ini. Jika sejumlah kecil perusahaan mengontrol mayoritas pasokan pakan atau bibit, mereka dapat memanipulasi harga input, memaksa peternak menanggung biaya lebih tinggi, yang kemudian diteruskan kepada konsumen sebagai kenaikan harga telur hari. Pengawasan ketat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat penting untuk menjaga integritas pasar.
Peternakan rakyat skala kecil masih mendominasi jumlah unit usaha dalam industri telur, meskipun kontribusi produksinya lebih rendah dibandingkan peternakan komersial besar. Peran mereka dalam menjaga pasokan lokal sangat penting.
Peternak rakyat kecil seringkali kekurangan modal untuk membeli pakan dalam jumlah besar atau untuk modernisasi kandang. Mereka sangat rentan terhadap kenaikan biaya pakan dan kejatuhan harga jual, yang seringkali memaksa mereka gulung tikar. Program kemitraan yang kuat antara peternak kecil dan integrator besar, yang mencakup penyediaan pakan dan jaminan pembelian telur dengan harga yang disepakati, dapat menjadi solusi.
Peternak rakyat sering menjadi penyedia telur utama untuk pasar-pasar lokal dan tradisional di wilayah terpencil. Jika mereka ambruk karena ketidakstabilan harga telur hari, daerah tersebut akan kehilangan pasokan lokal dan harus bergantung sepenuhnya pada pengiriman dari pulau lain, yang berarti harga akan melonjak drastis karena tambahan biaya logistik.
Meskipun volatilitas akan selalu ada, tren menuju stabilisasi harga telur hari dapat dicapai melalui beberapa upaya kolektif:
Fokus pada peningkatan produksi jagung dan pencarian substitusi protein lokal akan menjadi penentu terbesar. Jika Indonesia berhasil mengurangi ketergantungan impor pakan hingga di bawah 30% dari total kebutuhan, risiko nilai tukar Rupiah terhadap stabilitas harga telur akan berkurang signifikan.
Program tol laut dan pembangunan infrastruktur logistik (pelabuhan, gudang pendingin) di luar Jawa perlu dipercepat. Pengurangan biaya dan waktu pengiriman dari pusat produksi ke wilayah timur akan secara alami menekan disparitas harga telur hari antar wilayah, membuat harga di seluruh Indonesia lebih merata.
Pada akhirnya, harga telur hari yang stabil dan terjangkau bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga cerminan dari ketahanan pangan sebuah bangsa.