Ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) telah menjadi primadona baru dalam industri perunggasan Indonesia. Dikenal karena pertumbuhannya yang relatif cepat dibandingkan ayam kampung biasa, serta kualitas daging yang dianggap lebih otentik dibandingkan ayam broiler, KUB menawarkan peluang bisnis yang menarik. Namun, penetapan harga ayam KUB per kilo tidaklah sederhana. Harga ini dipengaruhi oleh spektrum faktor kompleks, mulai dari hulu hingga hilir, yang membentuk dinamika pasar yang unik.
Ilustrasi Ayam KUB dan indikasi harga pasar per kilogram.
Ayam KUB adalah hasil persilangan yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian (kini menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional - BRIN). Tujuan utama pengembangan KUB adalah meningkatkan produktivitas ayam kampung lokal, terutama dalam hal kecepatan bertelur dan pertumbuhan. Karakteristik utama yang membedakan KUB dari ayam kampung murni atau ayam super adalah adaptabilitasnya yang tinggi terhadap lingkungan, namun dengan efisiensi pakan yang lebih baik daripada ayam kampung biasa.
Harga ayam KUB per kilo cenderung lebih tinggi dibandingkan ayam broiler karena faktor waktu pemeliharaan dan kualitas daging. Ayam broiler mencapai bobot panen (sekitar 1.5 - 2.0 kg) dalam waktu 30 hingga 40 hari. Sementara itu, ayam KUB memerlukan waktu 60 hingga 90 hari untuk mencapai bobot panen yang diinginkan konsumen (sekitar 1.0 - 1.3 kg). Durasi pemeliharaan yang lebih panjang ini otomatis meningkatkan biaya operasional, terutama biaya pakan, yang secara signifikan mendorong kenaikan harga jual per kilogram di tingkat peternak dan pengecer.
Daging ayam KUB memiliki tekstur yang lebih padat dan rasa yang lebih gurih, karakteristik yang sangat dicari oleh segmen pasar premium dan kuliner tradisional. Permintaan yang stabil dari restoran atau rumah makan yang mengedepankan cita rasa "ayam kampung asli" juga menjaga harga KUB tetap di atas rata-rata ayam pedaging industri. Hal ini membentuk citra KUB bukan hanya sebagai komoditas, melainkan sebagai produk spesialisasi (niche product) yang menargetkan konsumen yang bersedia membayar lebih untuk kualitas.
Penentuan harga jual KUB bukanlah keputusan tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks dari berbagai variabel biaya produksi dan kondisi pasar. Analisis mendalam terhadap struktur biaya sangat krusial untuk memahami mengapa harga KUB bisa berfluktuasi dari satu daerah ke daerah lain, atau dari satu musim ke musim lainnya.
Pakan menyumbang porsi terbesar, seringkali mencapai 60% hingga 75% dari total biaya produksi ayam KUB. KUB, meskipun lebih efisien dari ayam kampung biasa, tetap membutuhkan asupan nutrisi yang terjamin, terutama pada fase starter (usia 0-4 minggu). Karena siklus panen KUB yang lebih panjang (sekitar 2-3 kali lipat dari broiler), volume pakan yang dikonsumsi per ekor juga jauh lebih banyak.
Kualitas dan jenis pakan sangat berpengaruh. Peternak sering menggunakan pakan khusus untuk ayam kampung pedaging, yang harganya bisa lebih mahal daripada pakan broiler standar. Fluktuasi harga bahan baku pakan, seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan, yang sebagian besar masih bergantung pada impor atau produksi domestik yang tidak stabil, akan langsung tercermin pada harga pakan jadi. Kenaikan 5% saja pada harga pakan bisa memicu kenaikan harga jual KUB sebesar 10% hingga 15% untuk mempertahankan margin keuntungan peternak.
Rasio konversi pakan (FCR - Feed Conversion Ratio) pada KUB umumnya lebih tinggi (kurang efisien) dibandingkan broiler. FCR KUB bisa mencapai 3.0 - 3.5, yang berarti untuk menghasilkan 1 kg daging, ayam membutuhkan 3.0 hingga 3.5 kg pakan. FCR yang tinggi ini, ditambah dengan harga pakan yang mahal, adalah kontributor utama mengapa harga KUB per kilo jauh lebih mahal daripada broiler.
Harga DOC KUB relatif stabil dibandingkan DOC broiler, tetapi tetap lebih mahal karena proses pembibitan (breeding stock) yang lebih terfokus dan terbatas. DOC yang berkualitas menentukan tingkat mortalitas dan kecepatan pertumbuhan. Jika peternak membeli DOC dari sumber yang tidak tersertifikasi atau berkualitas rendah, risiko kerugian akibat kematian dini meningkat, memaksa peternak menaikkan harga jual dari sisa ayam yang berhasil dipanen untuk menutup kerugian DOC yang mati.
Harga DOC KUB yang optimal memastikan investasi awal peternak berada pada basis biaya yang tepat. Kenaikan harga DOC bisa menaikkan biaya total per ekor hingga 5% hingga 8%, yang kemudian diteruskan ke harga jual daging per kilogram.
Meskipun KUB dikenal lebih tahan banting dan memerlukan manajemen yang tidak seintensif broiler, durasi pemeliharaan yang panjang berarti biaya listrik, air, dan terutama tenaga kerja (jika menggunakan karyawan) harus dibayar untuk jangka waktu yang lebih lama. Biaya tenaga kerja per siklus pemeliharaan pada KUB secara agregat lebih tinggi, meskipun perawatan harian mungkin lebih santai dibandingkan broiler yang rentan stres.
Harga ayam KUB di Jawa, khususnya di sentra produksi seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, cenderung lebih rendah dan stabil dibandingkan di luar Jawa (misalnya Kalimantan, Sulawesi, atau Papua). Hal ini disebabkan oleh efisiensi logistik: ketersediaan pakan lebih mudah, dekat dengan pabrik pakan, dan dekat dengan pasar konsumen besar (DKI Jakarta dan kota-kota metropolitan lainnya). Peternak di daerah terpencil harus menanggung biaya transportasi pakan yang tinggi dan biaya distribusi hasil panen yang mahal. Biaya logistik ini dapat menaikkan harga jual per kilo hingga 20% - 30% di wilayah Indonesia Timur dibandingkan wilayah Barat.
Selain biaya produksi internal, harga KUB sangat sensitif terhadap kondisi pasar eksternal. KUB menempati posisi unik di antara ayam kampung murni (yang sangat lambat tumbuh) dan ayam pedaging (yang cepat tumbuh). Posisi ini membuatnya rentan terhadap substitusi produk.
Sama seperti ayam pedaging lainnya, permintaan terhadap KUB meningkat drastis menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada periode ini, permintaan yang tinggi memungkinkan peternak menaikkan harga jual (farm gate price) secara signifikan, terkadang hingga 30% dari harga normal. Peternak yang pandai mengatur siklus panen agar jatuh tepat pada masa puncak permintaan cenderung menuai keuntungan maksimal. Namun, di luar musim puncak, harga akan kembali melandai atau bahkan turun jika terjadi oversupply.
Meskipun fokus kebijakan pemerintah lebih sering tertuju pada stabilitas harga broiler (karena volume konsumsi yang masif), kebijakan terkait impor bahan baku pakan atau kebijakan kesehatan hewan tetap mempengaruhi KUB. Program-program pemerintah untuk mendorong pengembangan ayam lokal juga dapat memberikan subsidi (misalnya melalui penyediaan DOC bersubsidi) yang secara tidak langsung dapat menstabilkan harga jual KUB di tingkat konsumen.
Harga ayam KUB per kilo dapat dibedakan berdasarkan segmen penjualan dan bentuk produknya: Ayam Hidup (Live Bird), Karkas, dan Produk Olahan.
Harga di tingkat peternak (farm gate price) adalah harga yang dibayarkan oleh pengepul atau distributor. Harga ini merupakan indikator biaya produksi murni ditambah margin keuntungan peternak. Variasi harga hidup ini sangat luas, tergantung negosiasi dan skala peternakan. Peternak skala besar seringkali mendapatkan harga yang lebih baik karena volume yang ditawarkan, sementara peternak kecil mungkin harus menerima harga yang sedikit di bawah rata-rata karena keterbatasan daya tawar.
Setelah dipotong, dibersihkan, dan diolah menjadi karkas (daging utuh tanpa jeroan dan bulu), harga per kilogram meningkat tajam. Peningkatan ini mencakup biaya pemotongan (RPH/RPU), biaya pendinginan, pengemasan, dan tentu saja, margin keuntungan pengecer. Biasanya, harga karkas KUB di pasar tradisional atau supermarket bisa mencapai 1.5 hingga 2.0 kali lipat dari harga hidup di tingkat peternak, bergantung pada efisiensi rantai pasok.
KUB sering dibandingkan dengan Ayam Kampung Super (atau Joper), yang juga merupakan ayam hibrida dengan pertumbuhan cepat. Harga KUB cenderung sedikit lebih premium karena citranya sebagai hasil riset Balitbangtan yang dianggap memiliki stabilitas genetik lebih baik, serta kualitas daging yang dianggap lebih mendekati ayam kampung murni dibandingkan beberapa varian super lainnya. Ketika harga KUB naik, konsumen mungkin beralih ke Joper sebagai substitusi, yang kemudian dapat menekan harga KUB agar tetap kompetitif.
Untuk benar-benar memahami harga KUB per kilo, perlu dilakukan simulasi biaya produksi untuk mencapai bobot panen 1.2 kg per ekor dalam 70 hari. Perhitungan ini sangat sensitif terhadap harga pakan.
Jika total biaya langsung (DOC + Pakan + Obat) mencapai sekitar Rp 40.000 per ekor, dan bobot panen rata-rata 1.2 kg, maka HPP per kilogram hidup berada di kisaran: Rp 40.000 / 1.2 kg = **Rp 33.333 per kg.**
Peternak perlu menjual di atas HPP ini, misalnya dengan margin 15% - 20%, sehingga harga jual di tingkat peternak (farm gate) akan berkisar antara **Rp 38.000 hingga Rp 40.000 per kg.** Harga ini belum termasuk biaya transportasi dan margin distributor/pengecer.
Peternak yang berhasil menekan angka FCR di bawah 3.0 (misalnya 2.8) akan mengurangi total biaya pakan secara signifikan, sehingga HPP mereka lebih rendah. Sebaliknya, peternak dengan manajemen yang buruk, FCR tinggi (di atas 3.5), atau tingkat mortalitas di atas 10%, akan memiliki HPP yang jauh lebih tinggi, memaksa mereka menjual pada harga premium atau menanggung kerugian. Efisiensi adalah kunci utama dalam menentukan daya saing harga KUB di pasar.
Sektor perunggasan KUB, meskipun menguntungkan, menghadapi serangkaian tantangan yang dapat mengancam stabilitas harga jual per kilogram.
Walaupun KUB lebih tahan, mereka tetap rentan terhadap penyakit menular seperti Newcastle Disease (ND) dan Gumboro. Wabah penyakit dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang sangat tinggi. Ketika terjadi wabah, peternak terpaksa melakukan panen dini (dengan bobot yang kurang optimal) atau kehilangan seluruh stok. Kerugian ini harus ditutup dari siklus berikutnya, yang berarti biaya produksi keseluruhan meningkat, dan harga KUB yang dihasilkan akan cenderung lebih tinggi.
Pasar KUB terkadang sangat lokalistik. Di beberapa daerah, permintaan pasar belum cukup besar untuk menyerap volume panen yang konsisten. Keterbatasan ini memaksa peternak untuk menjual hasil panen ke pengepul lokal dengan harga yang tidak terlalu menguntungkan, atau menahan panen hingga bobotnya terlalu berat (di atas 1.5 kg), yang justru tidak disukai oleh konsumen karena dagingnya menjadi terlalu keras, sehingga harga per kilonya malah menurun.
Persaingan harga sering terjadi. Konsumen yang sangat sensitif harga mungkin beralih ke Ayam Kampung Super jika selisih harga terlalu jauh. Sebaliknya, konsumen yang mencari kualitas super premium mungkin memilih ayam kampung murni peliharaan tradisional, meskipun pertumbuhannya sangat lambat. KUB harus selalu berada di titik harga yang menawarkan nilai terbaik (kualitas daging gurih dengan waktu tunggu panen yang wajar).
Dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan makanan sehat dan permintaan akan sumber protein hewani non-broiler, prospek pasar KUB diyakini akan terus tumbuh. Stabilisasi harga KUB di masa depan sangat bergantung pada upaya kolektif, terutama dalam manajemen rantai pasok.
Riset dan pengembangan pakan alternatif atau pakan yang lebih spesifik untuk genetik KUB akan menjadi penentu utama penurunan HPP. Jika inovasi pakan dapat menekan FCR KUB dari 3.0 menjadi 2.5, biaya pakan per ekor akan turun sekitar 15% hingga 20%, yang memungkinkan harga jual KUB per kilo menjadi lebih kompetitif tanpa mengorbankan margin peternak.
Peternakan KUB yang terintegrasi, di mana peternak juga melakukan pembibitan (DOC) dan pemotongan (karkas), dapat mengendalikan biaya dari hulu ke hilir, sehingga mereka dapat menawarkan harga yang lebih stabil dan bersaing di pasar ritel. Skala ekonomi memungkinkan pembelian pakan dalam jumlah besar dengan harga diskon, yang secara langsung menekan HPP dan harga jual akhir per kilogram.
Peternak KUB tidak boleh hanya mengikuti harga pasar. Mereka harus proaktif dalam penetapan harga dengan mempertimbangkan beberapa variabel strategis.
Konsumen umumnya mencari ayam KUB dengan bobot hidup antara 1.0 kg hingga 1.3 kg, karena bobot ini dianggap menghasilkan daging yang paling empuk dan gurih. Jika ayam dipanen pada bobot di bawah 1.0 kg, peternak rugi karena hasil pakan tidak maksimal. Jika dipanen di atas 1.3 kg, permintaan pasar mungkin berkurang dan efisiensi pakan menurun (FCR memburuk). Menjual pada bobot optimal memastikan harga per kilo yang diterima peternak adalah yang tertinggi.
Salah satu cara menaikkan harga jual per kilo tanpa menaikkan biaya konsumen adalah dengan memotong rantai distribusi. Peternak yang menjual langsung ke restoran, rumah makan spesialis ayam kampung, atau melalui saluran daring (e-commerce) dapat mengambil alih margin yang biasanya diambil oleh pengepul dan distributor. Ini memungkinkan peternak mendapatkan harga premium yang lebih adil.
Harga KUB yang bersertifikasi organik, bebas antibiotik, atau memiliki jaminan kesehatan yang ketat (misalnya sertifikasi NKV untuk pemotongan) dapat dipatok jauh lebih tinggi. Konsumen modern bersedia membayar lebih untuk produk yang memberikan jaminan keamanan pangan dan etika pemeliharaan. Kualitas ini menjadi pembeda yang sangat kuat di tengah fluktuasi harga komoditas umum.
Meskipun KUB adalah produk niche, harga jualnya tidak imun terhadap kondisi ekonomi makro Indonesia. Daya beli masyarakat, inflasi umum, dan nilai tukar Rupiah (yang mempengaruhi harga impor bahan baku pakan) semuanya memainkan peran.
Saat inflasi tinggi dan daya beli masyarakat menurun, konsumen mungkin mengurangi frekuensi pembelian produk premium seperti KUB, dan beralih ke ayam broiler yang harganya lebih terjangkau. Penurunan permintaan ini akan memaksa peternak KUB untuk menahan kenaikan harga, bahkan jika biaya produksi mereka meningkat. Situasi ini menempatkan peternak pada posisi yang sulit karena margin keuntungan mereka tergerus.
Perbaikan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) di seluruh wilayah Indonesia dapat secara dramatis mengurangi biaya logistik pakan dan distribusi hasil panen. Pengurangan biaya logistik ini adalah salah satu cara paling efektif untuk menstabilkan dan bahkan menurunkan harga eceran KUB per kilo di wilayah yang sebelumnya mahal, sekaligus meningkatkan margin peternak di daerah tersebut.
Manajemen pemeliharaan yang detail, meskipun terlihat teknis, adalah fondasi yang menentukan efisiensi dan pada akhirnya, harga jual per kilo.
Peternak yang sukses memastikan pemberian pakan sesuai fase: Pre-Starter (0-2 minggu), Starter (2-4 minggu), dan Finisher (4 minggu hingga panen). Pakan Pre-Starter sangat mahal dan kaya protein. Penggunaan pakan ini secara tepat pada masa emas pertumbuhan akan memaksimalkan pertumbuhan awal dan mengurangi total hari pemeliharaan. Jika peternak terlalu cepat beralih ke pakan Finisher yang lebih murah, pertumbuhan KUB akan terhambat, waktu panen memanjang, FCR memburuk, dan total biaya per kilo pun melonjak.
Kandang yang terlalu padat (densitas tinggi) akan meningkatkan stres pada ayam, yang menyebabkan peningkatan kebutuhan pakan untuk mempertahankan bobot, serta risiko penyakit yang lebih tinggi. Sebaliknya, kandang dengan densitas yang ideal (sekitar 6-8 ekor/m² pada masa finisher) memastikan setiap ekor KUB mendapatkan ruang yang cukup, meminimalkan stres, dan menjaga FCR tetap rendah. Investasi yang tepat pada sarana dan prasarana kandang memiliki korelasi langsung dengan efisiensi biaya, yang tercermin pada HPP dan harga jual akhir.
Ayam KUB lebih tahan terhadap lingkungan terbuka (semi-intensif). Namun, cuaca ekstrem (terlalu panas atau terlalu dingin) tetap membutuhkan energi ekstra dari ayam untuk mempertahankan suhu tubuh. Energi ini diambil dari pakan. Dalam cuaca panas ekstrem, ayam makan lebih sedikit dan tumbuh lambat. Dalam cuaca dingin, mereka makan lebih banyak hanya untuk menghangatkan diri. Baik pertumbuhan lambat maupun konsumsi pakan berlebih akibat cuaca akan meningkatkan HPP, sehingga peternak mungkin terpaksa menaikkan harga jual per kilo untuk mengompensasi kerugian efisiensi pakan.
Harga ayam KUB per kilo jauh melampaui sekadar angka nominal; ia mencerminkan kualitas genetik, durasi pemeliharaan yang panjang, dan struktur biaya pakan yang tinggi. KUB telah berhasil mengisi celah pasar antara kecepatan broiler dan keotentikan ayam kampung murni. Stabilitas harga KUB di pasar mengindikasikan keberhasilan peternak dalam mengelola FCR, menekan mortalitas, dan merespons permintaan musiman.
Bagi konsumen, harga premium KUB merupakan jaminan akan rasa yang superior dan tekstur daging yang lebih padat. Bagi pelaku usaha, analisis harga KUB per kilo harus menjadi titik awal untuk perencanaan bisnis yang cermat, fokus pada efisiensi pakan, dan strategi pemasaran yang menargetkan segmen konsumen yang menghargai kualitas unggul dari ayam kampung hasil riset dalam negeri.
Dengan pemahaman menyeluruh tentang faktor-faktor ini, seluruh pemangku kepentingan dalam rantai pasok KUB, mulai dari peternak hingga konsumen, dapat membuat keputusan yang lebih informatif mengenai harga, investasi, dan konsumsi produk unggulan lokal ini.
Stabilitas harga KUB dalam jangka panjang memerlukan optimalisasi di setiap titik rantai nilai. Rantai nilai ini mencakup segala hal, mulai dari penyediaan bibit berkualitas (DOC) hingga proses pengemasan dan distribusi kepada konsumen akhir. Ketika ada ketidakefisienan di salah satu tahapan, dampaknya langsung terasa pada harga jual per kilogram.
Kualitas DOC KUB harus terjaga konsisten. Jika DOC yang diproduksi memiliki genetik yang bervariasi, maka pertumbuhan ayam di peternak juga akan tidak seragam (koefisien variasi bobot tinggi). Ketidakseragaman ini memaksa peternak melakukan panen bertahap (sortasi), yang menambah biaya tenaga kerja dan memperpanjang siklus pemeliharaan kandang secara keseluruhan. Oleh karena itu, investasi dalam stok induk (Parent Stock) KUB yang unggul dan teruji sangat penting untuk memastikan peternak hilir mendapatkan DOC yang seragam, yang pada akhirnya menstabilkan perhitungan HPP per kilo.
Karena pakan adalah komponen biaya dominan, peternak skala besar sering melakukan kontrak jangka panjang dengan pabrik pakan atau bahkan menyimpan stok bahan baku (terutama jagung) saat harga sedang rendah. Strategi ini membantu mengunci biaya produksi di tingkat yang lebih stabil, melindungi peternak dari lonjakan harga pakan mendadak. Di daerah yang akses logistiknya sulit, penyimpanan stok pakan menjadi pertimbangan penting meskipun memerlukan biaya gudang dan risiko kerusakan pakan.
Meskipun pakan mendominasi, peternak yang cerdas terus mencari cara untuk menekan biaya non-pakan. Misalnya, penggunaan sumber energi terbarukan (seperti panel surya) untuk mengurangi biaya listrik kandang, atau inovasi dalam sistem pemanas DOC yang lebih hemat energi. Setiap penghematan kecil pada biaya operasional (biaya variabel) ini akan secara kumulatif mengurangi HPP per kilogram, memungkinkan peternak menawarkan harga yang kompetitif tanpa merusak margin keuntungan mereka.
Perbedaan harga KUB per kilo antara wilayah Jawa, Sumatera, dan Indonesia Timur mencerminkan tingkat kemandirian pangan regional. Daerah yang memiliki produksi jagung dan kedelai lokal yang kuat cenderung memiliki harga pakan yang lebih rendah, sehingga harga KUB-nya juga lebih rendah.
Di Sumatera Utara atau Lampung, yang memiliki sentra produksi jagung besar, peternak KUB mungkin mendapatkan harga pakan sekitar 5% hingga 10% di bawah harga rata-rata nasional. Akibatnya, harga jual KUB hidup di sana bisa stabil di batas bawah HPP nasional. Sebaliknya, di Papua, di mana hampir semua pakan harus dikirimkan melalui laut dan darat, biaya transportasi pakan sangat tinggi. Harga pakan di sana bisa 20% - 30% lebih mahal. Kenaikan harga pakan ini mendorong harga KUB per kilo di tingkat konsumen Papua menjadi jauh lebih tinggi, bahkan setelah memperhitungkan perbedaan daya beli lokal. Disparitas geografis ini adalah masalah struktural yang perlu diatasi melalui pengembangan pabrik pakan skala kecil di daerah terpencil.
Di era digital, penggunaan teknologi dapat memberikan peternak KUB alat yang lebih baik untuk menetapkan harga dan mengelola risiko. Sistem manajemen kandang berbasis IoT (Internet of Things) memungkinkan pemantauan suhu, kelembaban, dan konsumsi pakan secara real-time.
Dengan memantau FCR secara harian, peternak dapat segera menyesuaikan formulasi pakan atau manajemen kandang jika FCR mulai memburuk. Penemuan masalah efisiensi pakan secara cepat ini mencegah kerugian biaya pakan yang tidak perlu, sehingga menjaga HPP tetap terkendali. Teknologi ini sangat penting karena siklus hidup KUB yang panjang memberikan banyak peluang bagi efisiensi pakan untuk menurun.
Data harga pakan global dan lokal, data cuaca, serta data historis permintaan musiman dapat dimasukkan ke dalam model prediktif. Peternak modern menggunakan data ini untuk merencanakan waktu panen secara optimal dan menetapkan harga jual yang paling menguntungkan. Misalnya, jika model memprediksi lonjakan harga jagung dalam dua bulan ke depan, peternak dapat mempertimbangkan panen sedikit lebih awal atau membeli stok pakan tambahan sekarang.
Tingginya harga KUB per kilo juga mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk memastikan pemeliharaan yang lebih etis (animal welfare) dan berkelanjutan, yang semakin penting bagi konsumen premium.
Ayam KUB idealnya dipelihara dalam sistem semi-intensif atau umbaran terbatas, yang memungkinkan mereka bergerak bebas (foraging) dan menunjukkan perilaku alami mereka, berbeda dengan broiler yang umumnya dikandangkan secara padat. Meskipun sistem umbaran ini menambah biaya lahan dan risiko keamanan (predator), hasil dagingnya dianggap lebih sehat dan premium. Biaya pemeliharaan yang lebih humanis ini adalah salah satu faktor yang menyumbang premi harga KUB per kilo.
Upaya untuk memproduksi KUB bebas residu antibiotik (Antibiotic-Free/AF) memerlukan manajemen kesehatan yang sangat ketat, investasi dalam biosekuriti yang mahal, dan penggunaan probiotik atau herbal yang harganya bisa lebih tinggi daripada obat kimia standar. Konsumen yang mencari produk AF rela membayar harga yang lebih tinggi, dan hal ini menjadi peluang bagi peternak KUB untuk menaikkan harga jual per kilo mereka sambil mengedepankan aspek kesehatan publik dan keberlanjutan.
Pemahaman mengenai Break-Even Point (BEP) adalah hal fundamental bagi setiap peternak KUB. BEP menentukan harga minimum per kilo yang harus dicapai agar peternak tidak merugi.
Biaya Variabel (VC): Pakan, DOC, Obat. Biaya Tetap (FC): Sewa kandang, gaji tetap, penyusutan. Dalam usaha KUB, proporsi Biaya Tetap relatif kecil dibandingkan Biaya Variabel yang didominasi pakan. Karena dominasi VC yang tinggi, BEP per unit (per kg) menjadi sangat sensitif terhadap perubahan harga pakan. Jika harga pakan naik 10%, BEP juga akan naik secara proporsional. Peternak harus selalu memantau BEP mereka agar tidak menjual KUB di bawah biaya produksi, yang merupakan jebakan umum dalam bisnis perunggasan.
Sebagai contoh, jika total biaya tetap untuk satu siklus (70 hari) adalah Rp 5.000.000, dan margin kontribusi per ekor (Harga Jual - Biaya Variabel) adalah Rp 5.000, peternak harus menjual setidaknya 1.000 ekor (atau 1.200 kg daging) hanya untuk menutup biaya tetap. Harga jual per kilonya harus dipastikan cukup tinggi untuk menutupi total biaya dan memberikan margin keuntungan yang layak. BEP yang tinggi secara otomatis mematok harga KUB per kilo pada level premium.
Pada akhirnya, harga ayam KUB per kilo adalah manifestasi dari nilai yang ditawarkan—kombinasi antara tantangan produksi, kualitas daging yang unggul, dan biaya operasional yang unik. Kesuksesan peternak KUB ditentukan oleh kemampuan mereka mengelola kompleksitas biaya ini secara efisien, sehingga dapat menawarkan harga yang adil bagi konsumen dan menguntungkan bagi bisnis mereka.