Gambaran kompleksitas harga ayam di pasar, dipengaruhi oleh permintaan dan biaya pakan.
Pendahuluan: Dinamika Harga Pangan Pokok
Ayam adalah salah satu komoditas protein hewani paling penting dan paling sering dikonsumsi di Indonesia. Oleh karena itu, fluktuasi harga ayam 1 ekor di pasar menjadi indikator vital kesehatan ekonomi rumah tangga dan stabilitas sektor peternakan nasional. Harga ini tidak statis; ia bergerak mengikuti irama pasokan, permintaan musiman, dan, yang paling krusial, biaya input produksi.
Memahami harga ayam potong—yang umumnya diukur per kilogram atau per ekor (dengan asumsi berat rata-rata tertentu)—memerlukan analisis mendalam terhadap rantai pasok yang panjang, mulai dari pembibitan ayam umur sehari (Day Old Chick/DOC), harga pakan yang sangat dipengaruhi oleh komoditas global seperti jagung dan kedelai, hingga biaya logistik dan margin pedagang di tingkat pengecer. Artikel ini bertujuan mengupas tuntas semua variabel tersebut, memberikan perspektif yang komprehensif bagi konsumen, pelaku usaha, maupun pengamat ekonomi.
Harga satu ekor ayam di pasar tradisional sering kali mencerminkan harga live weight (berat hidup) yang kemudian dikonversi menjadi harga dressed weight (berat bersih setelah dipotong dan dibersihkan). Perbedaan antara kedua acuan ini adalah variabel pertama yang harus dipahami konsumen agar dapat melakukan perbandingan harga yang adil dan akurat.
I. Definisi "Ayam 1 Ekor" dan Variasi Bobot
Ketika seseorang menanyakan harga ayam 1 ekor, penting untuk mendefinisikan jenis ayam yang dimaksud, karena bobot dan nilai gizi sangat bervariasi. Di pasar Indonesia, setidaknya ada empat kategori utama ayam yang diperdagangkan, dan masing-masing memiliki segmentasi harga yang berbeda.
A. Ayam Ras Pedaging (Broiler)
Ini adalah jenis yang paling dominan dan menjadi acuan utama harga ayam potong harian. Ayam broiler mencapai bobot siap panen dalam waktu singkat (sekitar 30–40 hari). Bobot standar yang sering diperjualbelikan untuk “1 ekor” adalah:
- Ayam Kecil (0.8 – 1.0 kg): Sering dicari oleh restoran atau rumah tangga kecil. Harga per kilogramnya cenderung sedikit lebih tinggi karena dianggap efisien.
- Ayam Standar (1.1 – 1.4 kg): Bobot paling umum. Inilah yang paling sering menjadi patokan ketika media massa melaporkan harga harian.
- Ayam Besar (1.5 kg ke atas): Dibutuhkan oleh industri pengolahan makanan atau catering besar. Jika stok bobot standar menipis, harga ayam besar bisa ikut terangkat.
Perlu dicatat, fluktuasi harga harian untuk ayam broiler sangat tinggi. Sebuah kenaikan harga pakan sebesar 2% dapat langsung memicu kenaikan harga jual di tingkat peternak, yang kemudian diteruskan ke pasar.
B. Ayam Kampung Asli
Memiliki masa panen yang jauh lebih lama (3–5 bulan) dan bobot yang relatif lebih ringan (rata-rata 0.8–1.2 kg). Harganya hampir selalu lebih mahal daripada broiler karena biaya pemeliharaan yang lebih lama, risiko penyakit, dan tekstur daging yang lebih padat. Konsumen yang mencari ayam kampung cenderung tidak sensitif terhadap harga asalkan kualitas dan keasliannya terjamin.
C. Ayam Pejantan (Jantan Broiler Afkir)
Sering dijual sebagai alternatif ayam kampung, ayam pejantan memiliki bobot antara 0.6–1.0 kg dan harga yang berada di antara broiler dan ayam kampung. Peminatnya adalah segmen yang menginginkan tekstur sedikit alot namun dengan harga yang lebih terjangkau dibanding ayam kampung asli.
D. Ayam Petelur Afkir (Ayam Tua/Ayam Merah)
Ayam betina yang sudah habis masa produktif telurnya. Dikenal dengan tekstur sangat keras dan kandungan lemak rendah. Harganya sangat rendah dan biasanya dimanfaatkan untuk hidangan berkuah yang membutuhkan proses masak sangat lama, seperti soto atau kaldu kuat.
Dengan demikian, frasa "harga ayam 1 ekor" bisa berkisar dari Rp 20.000 untuk ayam afkir hingga lebih dari Rp 80.000 untuk ayam kampung organik premium, tergantung definisi bobot dan jenis yang dipilih.
II. Faktor Utama Penentu Harga Ayam di Tingkat Pasar
Harga yang kita lihat di meja penjual adalah puncak gunung es dari berbagai biaya yang dikeluarkan sepanjang rantai produksi. Tiga faktor utama mendominasi struktur biaya operasional peternakan, yang secara langsung menentukan harga jual per ekor.
A. Biaya Pakan (Feed Cost): Kontributor Utama
Sekitar 60% hingga 70% dari total biaya produksi ayam broiler adalah pakan. Harga pakan sangat bergantung pada komoditas internasional, terutama jagung, bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM), dan suplemen vitamin.
- Ketergantungan Jagung: Jagung adalah sumber energi utama. Jika panen jagung lokal gagal atau harga impor (walaupun pemerintah mendorong swasembada, kebutuhan impor tetap ada) naik, harga pakan langsung meroket. Kenaikan 500 Rupiah per kg pakan dapat berarti peningkatan biaya produksi puluhan ribu per ekor ayam siap potong.
- Kurs Rupiah terhadap Dolar AS: Bungkil kedelai (SBM), yang merupakan sumber protein esensial, hampir 100% diimpor. Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS secara otomatis meningkatkan biaya input SBM, yang kemudian disalurkan ke harga pakan, dan akhirnya ke harga ayam di pasar.
- Efisiensi Konversi Pakan (FCR): Peternak yang memiliki FCR (Feed Conversion Ratio) buruk (membutuhkan lebih banyak pakan untuk menghasilkan 1 kg daging) akan memiliki biaya per ekor yang lebih tinggi, memaksa mereka menjual dengan harga premium atau menanggung kerugian.
Ketika harga pakan menunjukkan tren kenaikan berkelanjutan, dampaknya terasa dalam hitungan hari di pasar eceran. Pedagang kecil cenderung segera menaikkan harga untuk menghindari kerugian modal, mengingat ayam adalah komoditas yang cepat busuk dan harus terjual dalam 24 jam.
B. Harga DOC (Day Old Chick) dan Biaya Pembibitan
DOC adalah bibit ayam berusia satu hari. Harga DOC ditentukan oleh perusahaan pembibitan (integrator) besar. Jika terjadi kelebihan pasokan DOC, harga ayam cenderung turun 4–6 minggu kemudian. Sebaliknya, jika pemerintah atau integrator melakukan program pengurangan populasi (culling) untuk menstabilkan harga, pasokan akan berkurang, dan harga ayam akan naik drastis.
- Efek DOC Mahal: Jika peternak membeli DOC dengan harga yang sudah tinggi, mereka akan menargetkan harga jual yang lebih tinggi pula untuk menutup modal awal.
- Regulasi Populasi: Adanya instruksi untuk melakukan culling atau penyesuaian populasi seringkali menjadi instrumen pemerintah untuk menjaga Harga Acuan Pembelian (HAP) di tingkat peternak, namun ini berimbas pada lonjakan harga di pasar karena pasokan berkurang signifikan.
C. Logistik dan Infrastruktur Transportasi
Dari kandang ke Rumah Potong Ayam (RPA), dan dari RPA ke pasar, membutuhkan biaya transportasi. Di daerah dengan infrastruktur buruk (terutama di luar Jawa), biaya logistik per ekor dapat membengkak hingga 10-15% dari harga jual. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi pemicu kenaikan harga ayam secara regional, meskipun peternakan itu sendiri berada dalam kondisi surplus pasokan.
III. Fluktuasi Harga: Dampak Musiman dan Geografis
Harga ayam 1 ekor di pasar sangat dipengaruhi oleh waktu dalam setahun dan lokasi geografis pasar tersebut.
A. Pengaruh Hari Raya Besar (High Season)
Periode keagamaan dan liburan nasional adalah masa di mana permintaan terhadap ayam melonjak tajam, jauh melebihi kemampuan peternak untuk meningkatkan pasokan dalam jangka pendek. Kenaikan harga di periode ini bisa mencapai 30% hingga 50% dari harga normal.
- Idul Fitri dan Natal: Permintaan puncak. Konsumsi rumah tangga dan industri makanan meningkat drastis. Pemerintah biasanya menyiapkan stok Buffer, namun kenaikan harga tidak terhindarkan karena tingginya volume permintaan serentak.
- Tahun Ajaran Baru/Wisuda: Meskipun lebih kecil, pada periode ini catering dan katering pesta mengalami peningkatan pesanan, yang sedikit banyak menarik harga ayam ke atas.
B. Perbedaan Regional (Disparitas Harga)
Indonesia memiliki disparitas harga yang signifikan, terutama antara Pulau Jawa (sebagai pusat produksi) dan wilayah Indonesia Timur atau kepulauan terpencil.
| Zona Pasar | Karakteristik Pasokan | Variasi Harga |
|---|---|---|
| Jawa Barat, Tengah, Timur | Padat Peternakan, Logistik Efisien | Harga paling stabil dan rendah. Fluktuasi ketat mengikuti HET. |
| Sumatra Utara, Selatan | Pusat Konsumsi Besar, Keterbatasan RPA modern | Harga lebih tinggi 5%–10% dari Jawa. Dipengaruhi biaya transportasi antarkota. |
| Kalimantan & Sulawesi | Ketergantungan Impor DOC/Pakan dari Jawa | Harga tinggi 15%–25%. Transportasi laut/udara menjadi beban biaya signifikan. |
| Papua & Maluku | Pasokan Sangat Terbatas, Logistik Mahal | Harga bisa dua kali lipat dari Jawa. Perlu subsidi logistik khusus. |
Di daerah terpencil, risiko cuaca buruk yang menghambat pengiriman kapal atau penerbangan juga sering menyebabkan kelangkaan mendadak, yang langsung memicu lonjakan harga ayam 1 ekor di pasar lokal menjadi tidak rasional.
IV. Menghitung Harga Jual: Margin dan Konversi Berat
Konsumen sering bingung membandingkan harga per kg live weight (LW) di peternak dan harga per kg dressed weight (DW) di pasar. Memahami konversi ini adalah kunci untuk menentukan apakah harga yang ditawarkan pedagang wajar.
A. Konversi Berat Hidup ke Berat Bersih (Yield)
Ketika ayam dipotong, dibuang darahnya, dicabut bulunya, dan dikeluarkan jeroannya, terjadi penyusutan bobot (yield loss). Rata-rata yield broiler adalah 70% hingga 75%.
Contoh Perhitungan:
Jika harga Live Weight (LW) di peternak adalah Rp 20.000/kg, dan pedagang membeli ayam 2 kg LW. Total biaya ayam hidup: Rp 40.000. Setelah dipotong, berat bersih (DW) menjadi 1.4 kg (70% yield).
Biaya modal per kg DW (tanpa memperhitungkan biaya potong dan margin): Rp 40.000 / 1.4 kg = Rp 28.571/kg.
Jika harga jual di pasar adalah Rp 35.000/kg DW, maka margin kotor pedagang adalah Rp 6.429/kg. Harga ini mencakup biaya operasional pedagang (sewa lapak, es batu, listrik, tenaga kerja). Jika kita membeli 1 ekor ayam standar (1.4 kg DW), harganya adalah 1.4 kg x Rp 35.000 = Rp 49.000 per ekor.
B. Peran Pedagang Eceran dan Margin
Margin pedagang eceran biasanya berkisar antara 10% hingga 20% dari harga beli DW, tergantung pada kecepatan perputaran barang dan lokasi pasar. Di pasar modern, margin cenderung lebih besar karena kualitas penyajian, rantai dingin (cold chain) yang terjamin, dan biaya operasional yang lebih tinggi.
Visualisasi rantai pasok ayam potong, menunjukkan titik-titik penambahan biaya dari peternak hingga pasar.
V. Intervensi Pemerintah dan Stabilitas Harga Acuan
Pemerintah menyadari bahwa stabilitas harga ayam sangat krusial bagi inflasi nasional. Oleh karena itu, ada kebijakan Harga Acuan Pembelian (HAP) di tingkat peternak dan Harga Acuan Penjualan (HAPen) di tingkat konsumen yang seringkali diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan.
A. Implementasi Harga Acuan Pembelian (HAP)
HAP bertujuan melindungi peternak dari kerugian besar saat terjadi kelebihan pasokan. Jika harga jatuh di bawah HAP, pemerintah dapat meminta integrator besar menyerap stok atau melakukan intervensi pasar. Namun, dalam praktiknya, menjaga HAP sulit dilakukan karena sifat komoditas yang cepat rusak dan biaya pakan yang terus berubah.
B. Harga Eceran Tertinggi (HET)
HET adalah upaya untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi, terutama menjelang hari besar. Ketika harga ayam 1 ekor (berat 1.2 kg, misalnya) di pasar melampaui HET yang ditetapkan, pemerintah dapat melakukan operasi pasar dengan menjual stok dari Bulog (Badan Urusan Logistik) atau distributor besar dengan harga yang lebih rendah.
Meski demikian, HET seringkali hanya efektif di pasar-pasar yang berdekatan dengan ibu kota provinsi. Di daerah pelosok, harga jual cenderung jauh melampaui HET karena faktor logistik yang tidak dapat ditutupi oleh margin HET.
C. Pengaruh Penyakit Ternak
Wabah penyakit seperti Flu Burung (AI) atau Newcastle Disease (ND) dapat menyebabkan kerugian massal. Jika terjadi wabah, pasokan bisa tiba-tiba anjlok, menyebabkan kenaikan harga yang sangat cepat di pasar, meskipun hanya bersifat sementara. Pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk program vaksinasi dan sanitasi, yang secara tidak langsung juga membebani struktur biaya produksi jangka panjang.
VI. Strategi Cerdas Mendapatkan Harga Ayam Terbaik
Bagi konsumen, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mendapatkan ayam dengan kualitas terbaik pada harga yang paling wajar, terutama saat harga sedang bergejolak.
A. Memilih Jenis Pasar
- Pasar Tradisional: Menyediakan harga terendah, terutama jika membeli sebelum jam 8 pagi. Kelemahannya: rantai dingin tidak selalu terjamin, dan persaingan harga membuat kualitas terkadang dikorbankan.
- Pasar Modern/Supermarket: Harga lebih tinggi 5%-15%, tetapi menawarkan ayam yang sudah terstandarisasi (misalnya, ayam berlabel, bebas antibiotik, atau organik). Cocok untuk konsumen yang memprioritaskan keamanan pangan dan kebersihan.
- Pembelian Langsung dari Peternak (Kemitraan): Di beberapa wilayah, peternak menjual langsung ke konsumen dalam volume besar (misalnya 10 ekor). Ini menawarkan harga mendekati HAP peternak, namun memerlukan kemampuan memotong dan menyimpan yang memadai.
B. Analisis Waktu Pembelian
Hindari membeli ayam 1 ekor di pasar pada hari Kamis hingga Sabtu, karena ini adalah periode puncak belanja mingguan, yang mendorong harga naik. Hari Senin dan Selasa sering menawarkan harga paling stabil. Selain itu, membeli pada periode normal (bukan Hari Raya) selalu menjadi cara terbaik menghemat anggaran protein.
C. Kualitas dan Kesegaran
Harga yang terlalu murah bisa mengindikasikan kualitas yang rendah atau ayam yang sudah mendekati batas kesegaran. Selalu periksa tanda-tanda kesegaran:
- Daging harus berwarna merah muda pucat dan elastis saat disentuh.
- Tidak ada bau asam atau amis yang menyengat.
- Tidak terlihat memar atau kebiruan yang parah, yang menandakan penanganan buruk saat transportasi.
VII. Elaborasi Ekonomi Makro dan Proyeksi Jangka Panjang
Untuk melengkapi pemahaman tentang harga ayam 1 ekor di pasar, kita harus melihatnya sebagai bagian integral dari ekonomi pertanian yang lebih besar. Kebijakan perdagangan internasional dan perubahan iklim global kini memainkan peran yang semakin besar.
A. Keterkaitan dengan Komoditas Global
Indonesia masih mengimpor sebagian besar bahan baku pakan. Ketika terjadi kekeringan parah di Amerika Serikat atau Brasil yang mempengaruhi panen jagung atau kedelai, harga komoditas ini akan melonjak di pasar futures internasional, dan dampaknya akan terasa di harga pakan Indonesia 2–3 bulan kemudian. Kenaikan biaya pakan ini bersifat akumulatif, menyebabkan harga ayam domestik tidak pernah benar-benar kembali ke titik terendah sebelumnya, menciptakan spiral kenaikan harga bertahap dari waktu ke waktu.
Selain itu, konflik geopolitik di wilayah pengekspor energi juga mempengaruhi harga bahan bakar, yang kemudian menambah komponen biaya logistik dalam distribusi ayam dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Dalam konteks ini, harga ayam 1 ekor di pasar bukan hanya cerminan permintaan lokal, tetapi juga merupakan barometer ketidakpastian ekonomi global.
B. Tantangan Efisiensi Peternakan Rakyat
Mayoritas peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan rakyat atau peternakan mandiri skala kecil. Mereka seringkali menghadapi tantangan dalam hal efisiensi teknologi dan akses permodalan. Ketika terjadi lonjakan harga pakan, peternak kecil ini adalah yang paling rentan dan seringkali terpaksa menjual ayam mereka dengan harga rugi (di bawah HAP) hanya untuk melunasi utang pakan. Fenomena ini menciptakan ketidakstabilan pasokan; jika banyak peternak kecil gulung tikar, pasokan jangka panjang akan dikuasai oleh integrator besar, yang pada akhirnya dapat membatasi pilihan harga bagi konsumen.
Dampak dari minimnya efisiensi ini terlihat jelas pada rasio konversi pakan (FCR). Peternak mandiri mungkin memiliki FCR 1.8-2.0, sementara peternakan modern yang terintegrasi bisa mencapai FCR 1.5-1.6. Perbedaan kecil dalam FCR ini dapat diterjemahkan menjadi selisih biaya produksi yang signifikan, memaksa harga jual dari peternak rakyat menjadi lebih tinggi agar tetap impas, atau sebaliknya, memaksa mereka keluar dari pasar.
C. Peran Infrastruktur Rantai Dingin (Cold Chain)
Salah satu alasan mengapa harga ayam segar di pasar tradisional seringkali fluktuatif adalah karena kurangnya infrastruktur rantai dingin yang memadai. Ayam yang tidak segera didinginkan setelah dipotong memiliki masa simpan yang sangat pendek. Pedagang harus menjualnya pada hari yang sama, dan jika tidak laku, mereka terpaksa banting harga pada sore hari untuk menghindari kerugian total. Sebaliknya, jika permintaan tinggi, mereka dapat menahan stok dan menaikkan harga dengan cepat.
Investasi pada fasilitas Rumah Potong Ayam (RPA) modern dengan fasilitas pembekuan cepat dan transportasi berpendingin dapat mengurangi kerugian (loss) pasca panen dan menstabilkan pasokan, yang pada akhirnya akan meredam fluktuasi harga harian ayam 1 ekor di pasar. Namun, investasi ini membutuhkan modal besar dan dukungan regulasi yang konsisten dari pemerintah daerah.
D. Dampak Substitusi Protein
Harga ayam di pasar juga tidak lepas dari pengaruh harga komoditas protein lainnya, seperti daging sapi, ikan, dan telur. Ketika harga daging sapi melonjak tinggi, terjadi efek substitusi, di mana konsumen beralih ke ayam. Peningkatan permintaan mendadak ini menyebabkan harga ayam ikut terangkat. Sebaliknya, ketika harga telur (protein termurah) stabil, ini bisa menjadi 'rem' alami bagi kenaikan harga ayam, karena konsumen memiliki alternatif yang lebih murah.
Peristiwa seperti musim panen raya ikan atau larangan impor daging sapi tertentu dapat menciptakan riak yang kompleks di pasar protein, yang semuanya bermuara pada penetapan harga ayam 1 ekor di tingkat pengecer. Analisis ini menunjukkan bahwa harga ayam adalah titik keseimbangan yang rapuh antara berbagai variabel domestik dan internasional.
E. Kasus Khusus: Harga Ayam Organik dan Kesehatan
Beberapa tahun belakangan, muncul segmen pasar ayam premium, seperti ayam organik, ayam probiotik, atau ayam tanpa antibiotik. Meskipun pangsa pasarnya kecil, harga per ekor jenis ayam ini bisa dua hingga tiga kali lipat dari broiler standar. Kenaikan harga ini dibenarkan oleh biaya produksi yang jauh lebih tinggi (pakan organik lebih mahal, masa pemeliharaan lebih lama, dan sertifikasi yang ketat).
Harga ayam premium ini, meskipun tidak mempengaruhi HAP secara umum, menunjukkan adanya segmentasi pasar yang didorong oleh kesadaran kesehatan konsumen. Petani yang bergerak di sektor ini harus mampu menjamin transparansi rantai pasok mereka untuk membenarkan tingginya harga jual per ekor tersebut.
Oleh karena itu, stabilitas harga ayam potong di pasar tidak hanya bergantung pada stok harian yang tersedia, tetapi juga pada kebijakan makroekonomi terkait impor pakan, kestabilan mata uang, dan efektivitas program stabilisasi harga pemerintah.
F. Analisis Mendalam Mengenai Resiko Cuaca dan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi faktor risiko baru yang signifikan dalam peternakan ayam. Gelombang panas ekstrem dapat menyebabkan stres pada ayam, mengurangi nafsu makan, meningkatkan angka kematian, dan pada akhirnya menurunkan bobot panen. Hal ini secara langsung mengurangi pasokan efektif di pasar.
- Efek Panas: Suhu tinggi di kandang terbuka dapat menyebabkan peternak merugi besar. Penurunan bobot rata-rata panen sebesar 5% sudah cukup untuk menaikkan harga jual per kilogram secara keseluruhan di tingkat pasar, karena peternak harus menutupi biaya operasional yang tidak sebanding dengan hasil panen.
- Bencana Alam: Banjir atau tanah longsor di jalur distribusi utama dapat memutus akses pakan ke peternak atau memutus distribusi ayam potong ke kota-kota besar, menciptakan kelangkaan instan dan lonjakan harga yang ekstrim, meskipun hanya bersifat sementara.
Untuk memitigasi risiko ini, investasi dalam sistem pendinginan kandang (evaporative cooling system) menjadi penting. Namun, investasi ini mahal, dan biaya operasionalnya (listrik) harus dimasukkan ke dalam harga akhir jual ayam 1 ekor kepada konsumen, yang secara perlahan mendorong kenaikan harga dasar.
G. Peran Media Sosial dalam Pembentukan Harga
Di era digital, media sosial dan grup komunikasi peternak memainkan peran yang tak terduga dalam pembentukan harga. Informasi (atau disinformasi) mengenai pasokan DOC atau harga pakan dapat menyebar sangat cepat, menyebabkan peternak bereaksi serentak. Jika beredar kabar bahwa harga pakan akan naik drastis, peternak mungkin memutuskan untuk menahan panen sebentar atau menaikkan harga patokan jual mereka, menciptakan ekspektasi kenaikan harga yang segera direspons oleh pedagang di pasar eceran, bahkan sebelum kenaikan biaya riil terjadi.
Kesimpulan: Kompleksitas Harga Ayam 1 Ekor
Harga ayam 1 ekor di pasar adalah hasil dari interaksi kompleks antara dinamika mikro (efisiensi peternak, biaya logistik lokal) dan makro (kurs mata uang, harga komoditas global, dan intervensi pemerintah). Bagi konsumen, pemahaman yang baik tentang berbagai jenis ayam, konversi berat, dan faktor musiman dapat membantu dalam membuat keputusan pembelian yang lebih cerdas dan ekonomis.
Secara umum, konsumen harus selalu siap menghadapi fluktuasi harga, mengingat mayoritas biaya produksi ayam potong bersifat impor (pakan). Upaya menuju swasembada pakan dan perbaikan infrastruktur rantai dingin adalah kunci jangka panjang untuk mencapai stabilitas harga ayam potong, sehingga harga per ekor di pasar dapat lebih terjangkau dan prediktif bagi seluruh lapisan masyarakat.