Analisis Mendalam Harga 1 Ekor Ayam Petelur dan Faktor Penentu Nilai Investasinya

Ayam Petelur Produktif Harga seekor ayam petelur ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari fase hidup hingga kondisi pasar pakan global.

Industri peternakan ayam petelur merupakan salah satu sektor agribisnis yang vital dalam menjamin ketahanan pangan protein hewani. Namun, di balik konsumsi telur yang stabil, terdapat dinamika harga yang sangat kompleks terkait investasi awal, yakni harga 1 ekor ayam petelur itu sendiri. Harga ini bukanlah nilai tunggal yang statis, melainkan fluktuasi yang dipengaruhi oleh tahapan usia, kualitas genetik, kondisi pasar, biaya produksi yang melekat, serta faktor geografis yang tidak dapat diabaikan.

Untuk memahami nilai investasi yang sebenarnya, para calon peternak atau investor harus melakukan analisis mendalam. Membeli seekor ayam petelur produktif di puncak masa bertelurnya jelas memiliki harga yang jauh berbeda dibandingkan dengan membeli anak ayam baru menetas (DOC) atau ayam yang sudah mencapai akhir siklus produksinya (Apkir). Artikel ini akan mengupas tuntas seluruh spektrum harga ayam petelur, menyajikan data dan analisis mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang membentuk nilai jualnya di pasar Indonesia.

I. Klasifikasi dan Nilai Ayam Berdasarkan Fase Kehidupan

Harga 1 ekor ayam petelur sangat bergantung pada fase kehidupannya. Setiap fase memiliki nilai ekonomis yang berbeda, mencerminkan besaran biaya pemeliharaan dan potensi keuntungan yang akan dihasilkan di masa mendatang. Penggolongan ini esensial dalam perencanaan modal awal peternakan.

1. DOC (Day Old Chick) – Anak Ayam Umur Sehari

DOC adalah titik awal investasi. Ayam petelur yang baru menetas ini memiliki harga paling rendah secara nominal, namun memiliki risiko kematian dan biaya pemeliharaan terlama sebelum menghasilkan. Harga DOC sangat sensitif terhadap harga induk (Parent Stock/PS) dan biaya penetasan (hatchery).

2. Pullet (Ayam Dara) – Ayam Remaja Siap Bertelur

Pullet adalah ayam yang telah melalui fase pembesaran (umur sekitar 12 hingga 18 minggu) dan hampir mencapai puncak kematangan seksual. Pembelian pullet jauh lebih mahal daripada DOC karena biaya pakan, vaksinasi lengkap, dan risiko kematian (mortalitas) pada fase awal telah ditanggung oleh peternak pembibitan.

3. Layer Produktif (Ayam Petelur Puncak)

Ini adalah ayam yang berada pada usia puncak produksi telur (misalnya 25 hingga 60 minggu). Jika ayam ini dijual, harganya akan sangat tinggi, tetapi penjualan layer produktif jarang dilakukan kecuali untuk restrukturisasi kandang atau jika peternak menjual hak operasional peternakan.

Nilai seekor layer produktif tidak hanya dihitung dari biaya pembesaran, tetapi juga dari potensi telur yang akan dihasilkannya dalam sisa siklus produksi. Harga layer produktif adalah refleksi langsung dari Net Present Value (NPV) potensi telur yang akan dihasilkan di masa depan.

4. Ayam Apkir (Culling) – Akhir Siklus Produksi

Ayam apkir adalah ayam petelur yang telah melewati masa produksi optimal (biasanya setelah usia 70-80 minggu). Tingkat produksi telurnya mulai menurun drastis, sehingga peternak memutuskan untuk menjualnya sebagai ayam pedaging atau bahan baku industri makanan olahan.

II. Faktor Eksternal Dominan yang Menggerakkan Harga

Harga 1 ekor ayam petelur tidak hanya dibentuk oleh biaya internal pemeliharaan, tetapi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi makro dan dinamika rantai pasok global. Faktor-faktor ini sering kali menjadi penentu utama apakah harga akan melambung tinggi atau stabil.

1. Fluktuasi Harga Pakan (Input Cost)

Pakan adalah komponen biaya paling krusial, menyumbang 65% hingga 75% dari total biaya operasional. Kenaikan 1% pada harga pakan dapat meningkatkan harga pokok produksi (HPP) per butir telur secara signifikan, yang pada akhirnya harus tercermin dalam harga jual ayam (terutama pullet dan layer produktif).

Analisis Mendalam Komponen Pakan:

Pakan ayam petelur sebagian besar terdiri dari jagung, bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM), dan konsentrat lainnya (seperti tepung ikan). Fluktuasi harga ketiga komoditas ini memiliki dampak langsung:

  1. Jagung: Sebagai sumber energi utama, ketergantungan pada panen lokal sangat tinggi. Kegagalan panen, gangguan distribusi, atau kebijakan impor/ekspor yang ketat dapat menyebabkan lonjakan harga jagung yang langsung membebani peternak dan meningkatkan harga ayam hidup. Ketika harga jagung mengalami kenaikan 500 Rupiah per kilogram, dampaknya pada biaya pakan untuk membesarkan 1000 ekor pullet dapat mencapai puluhan juta Rupiah.
  2. Bungkil Kedelai (SBM): Sebagai sumber protein esensial, SBM mayoritas diimpor. Harga SBM sangat dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan kondisi pasar komoditas global, terutama produksi di Amerika Serikat dan Brazil. Pelemahan Rupiah secara otomatis membuat biaya impor SBM melonjak, menaikkan harga pakan jadi, dan menuntut penyesuaian harga jual ayam.
  3. Aditif dan Vitamin: Biaya mikro-nutrien, vitamin, dan obat-obatan juga sensitif terhadap kurs mata uang asing dan biaya logistik internasional. Meskipun persentasenya kecil, komponen ini penting untuk memastikan ayam tumbuh optimal dan sehat, yang merupakan prasyarat mutlak untuk kualitas pullet yang harganya mahal.

2. Biaya Energi dan Transportasi

Peternakan modern sangat bergantung pada listrik (untuk penerangan, ventilasi, dan pendinginan). Selain itu, biaya transportasi untuk mendistribusikan DOC dari hatchery, pakan dari pabrik, dan akhirnya ayam siap jual ke konsumen atau pasar apkir, turut menambah HPP. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu direspon oleh peningkatan harga jual di tingkat peternak, terutama di daerah yang jauh dari sentra produksi pakan.

3. Kebijakan Pemerintah dan Regulasi Supply

Intervensi pemerintah, seperti regulasi stok Grand Parent Stock (GPS) atau Parent Stock (PS), dapat mempengaruhi ketersediaan DOC secara keseluruhan. Jika pemerintah membatasi jumlah DOC yang ditetaskan untuk menstabilkan harga telur, secara paradoks, hal ini bisa membuat harga DOC dan pullet premium menjadi lebih tinggi karena kelangkaan pasokan ayam berkualitas di masa mendatang.

4. Kondisi Musiman dan Hari Besar

Permintaan terhadap ayam (baik daging apkir maupun telur) melonjak menjelang hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal). Peningkatan permintaan ini sering mendorong kenaikan harga beli ayam, baik dalam fase produktif maupun apkir, karena peternak berusaha memaksimalkan keuntungan dari permintaan yang tinggi.

III. Perhitungan Investasi dan Analisis Harga Berdasarkan Skala

Harga 1 ekor ayam petelur yang ditawarkan oleh penjual akan sangat bergantung pada volume pembelian dan jenis hubungan bisnis yang dijalin. Pembelian ritel (satuan atau puluhan ekor) memiliki harga per ekor yang jauh lebih tinggi daripada pembelian grosir (ribuan ekor) dari integrator besar.

Volatilitas Harga Pakan Waktu Harga Biaya pakan, yang sangat dipengaruhi oleh harga jagung dan SBM, menunjukkan volatilitas tinggi dan merupakan biaya terbesar dalam pembentukan harga jual ayam.

1. Harga Ritel vs. Harga Integrator (Grosir)

Peternak skala kecil yang membeli ayam dalam jumlah puluhan sering membeli dari pengepul lokal atau peternak pembesaran sekunder. Harga yang mereka bayar per ekornya mencakup biaya operasional pengepul, yang membuat harganya lebih tinggi.

Sebaliknya, peternak skala besar yang membeli ribuan ekor pullet langsung dari perusahaan integrator (perusahaan pakan atau pembibitan terkemuka) sering mendapatkan harga kontrak atau grosir yang jauh lebih kompetitif. Harga ini didasarkan pada perjanjian volume dan spesifikasi kualitas yang ketat (misalnya, keseragaman berat badan harus di atas 85%). Diskon volume adalah faktor utama yang menurunkan harga per ekor ayam petelur pada pembelian skala industri.

2. Diferensiasi Harga Berdasarkan Strain dan Kualitas

Tidak semua ayam petelur memiliki harga yang sama. Strain ayam memegang peranan penting:

3. Analisis Biaya Pokok Produksi (HPP) Pullet

Untuk memahami mengapa harga pullet 1 ekor bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu Rupiah, kita harus membedah HPP-nya. Biaya ini terakumulasi selama 16-18 minggu:

Perhitungan kasar HPP per ekor pullet usia 16 minggu mencakup:

  1. Harga DOC awal.
  2. Biaya Pakan (sekitar X kg pakan per ekor dari umur 0 hingga 16 minggu).
  3. Biaya Obat dan Vaksinasi (termasuk vaksin Newcastle Disease, Gumboro, dll.).
  4. Biaya Overhead (pemanas, listrik, air, tenaga kerja, depresiasi kandang).
  5. Biaya Risiko Mortalitas (biaya dari ayam yang mati harus ditanggung oleh ayam yang hidup, meningkatkan HPP sisa populasi).

Karena biaya pakan dan risiko mortalitas sangat tinggi, harga jual pullet harus menutupi semua komponen ini plus margin keuntungan. Oleh karena itu, lonjakan harga pakan dapat meningkatkan harga 1 ekor pullet secara substansial, bahkan tanpa adanya peningkatan pada biaya operasional lainnya.

IV. Dampak Geografis dan Logistik Terhadap Harga

Indonesia adalah negara kepulauan, dan biaya logistik memainkan peran sentral dalam menentukan harga akhir 1 ekor ayam petelur. Harga ayam di Jawa Tengah jelas berbeda dengan harga ayam yang sama di Papua atau Kalimantan Timur, meskipun kualitas genetiknya identik.

1. Biaya Transportasi DOC dan Pullet

DOC relatif mudah dikirim melalui jalur udara karena bobotnya ringan dan paketnya kecil. Namun, pengiriman pullet (ayam remaja) membutuhkan perlakuan khusus, kandang transportasi yang besar, dan seringkali pengiriman melalui jalur darat atau laut yang mahal dan berisiko.

2. Ketersediaan Pakan Lokal

Harga 1 ekor ayam petelur juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan di lokasi tersebut. Jika peternak di suatu pulau harus mengimpor pakan dari Jawa, biaya pakan per kilogramnya akan jauh lebih mahal. Kenaikan biaya pakan lokal ini secara tidak terhindarkan mendorong kenaikan harga jual pullet yang dibesarkan di lokasi tersebut, karena HPP lokalnya lebih tinggi.

Daerah-daerah yang memiliki sumber jagung lokal yang kuat, misalnya di beberapa bagian Lampung atau Sulawesi Selatan, cenderung memiliki HPP yang lebih stabil dan sedikit lebih rendah dibandingkan daerah yang sepenuhnya bergantung pada pakan impor atau pakan yang didatangkan dari pulau lain.

V. Skenario Pasar: Kapan Harga Mencapai Puncak?

Memahami kapan harga 1 ekor ayam petelur (terutama pullet dan apkir) mencapai puncaknya sangat penting untuk keputusan investasi dan penarikan modal. Harga ayam hidup bergerak seiring dengan ekspektasi pasar terhadap permintaan telur dan daging.

1. Pra-Produksi: Lonjakan Permintaan Pullet

Harga pullet cenderung meningkat tajam ketika ada sinyal pasar bahwa harga telur akan tinggi dalam enam bulan ke depan. Peternak berlomba-lomba mengisi kandang baru atau mengganti stok lama untuk memaksimalkan keuntungan dari harga telur yang diperkirakan bagus. Lonjakan permintaan ini, terutama di masa restock besar, menyebabkan harga pullet per ekor melonjak.

2. Penjualan Apkir: Faktor Harga Daging

Ayam apkir dijual sebagai sumber daging murah. Harga apkir mencapai puncaknya ketika harga ayam broiler (pedaging) sedang tinggi. Pasar apkir adalah pasar substitusi. Ketika konsumen mencari alternatif protein hewani yang lebih terjangkau, permintaan terhadap ayam apkir meningkat, menaikkan harga per ekornya, meskipun ayam tersebut sudah tidak produktif dalam menghasilkan telur.

3. Efek Keseimbangan Industri

Industri peternakan ayam petelur diatur oleh siklus harga telur. Harga ayam hidup (DOC, pullet, apkir) merupakan hasil derivatif dari harga telur. Ketika harga telur anjlok (oversuplai), peternak menunda pembelian pullet, menekan harga DOC dan pullet. Sebaliknya, saat harga telur meroket, permintaan pullet melonjak, menaikkan harga 1 ekor ayam petelur sebagai investasi masa depan.

VI. Implikasi Kualitas dan Kesehatan Terhadap Nilai Jual

Seorang pembeli profesional tidak hanya melihat harga nominal 1 ekor ayam petelur, tetapi juga menimbang kualitas dan jaminan kesehatannya. Harga yang sedikit lebih mahal seringkali merupakan investasi dalam menghindari kerugian besar di masa depan.

1. Parameter Kualitas yang Menentukan Harga Premium

Ayam yang memiliki harga premium (terutama pullet) harus memenuhi beberapa kriteria ketat:

2. Risiko Pembelian Ayam Harga Murah

Membeli ayam petelur dengan harga yang jauh di bawah rata-rata pasar membawa risiko yang signifikan. Harga yang terlalu murah seringkali mengindikasikan adanya masalah tersembunyi, seperti:

Pertama, kualitas genetik yang meragukan. Ayam mungkin bukan dari strain murni atau telah mengalami masalah inbreeding yang mengurangi potensi produksinya. Kedua, riwayat kesehatan yang buruk, mungkin pernah terinfeksi penyakit subklinis yang tidak terdeteksi namun akan mengurangi performa bertelur. Ketiga, keterbatasan nutrisi, ayam yang dibesarkan dengan pakan murah atau kurang nutrisi mungkin terlihat sehat secara fisik namun memiliki cadangan nutrisi yang tidak memadai untuk fase bertelur intensif.

Analisis risiko menunjukkan bahwa kerugian dari penurunan produksi telur akibat ayam berkualitas rendah jauh lebih besar daripada penghematan yang didapat dari harga pembelian awal yang murah. Oleh karena itu, peternak yang bijaksana selalu memilih ayam dengan harga yang mencerminkan kualitas teruji.

VII. Strategi Mengamankan Harga Terbaik

Bagi investor dan peternak yang serius, mengamankan harga 1 ekor ayam petelur yang paling efisien membutuhkan perencanaan strategis dan pemanfaatan hubungan bisnis.

1. Kontrak Jangka Panjang (Contract Farming)

Integrator besar sering menawarkan program kontrak di mana peternak setuju untuk membeli DOC atau pullet dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, asalkan mereka juga menjual kembali telur atau apkir kepada integrator tersebut. Kontrak ini memberikan stabilitas harga beli ayam, melindungi peternak dari lonjakan harga tiba-tiba di pasar spot, dan sering kali memberikan akses ke pakan dan konsultasi teknis yang lebih murah.

2. Pengadaan Mandiri dan Pengelolaan Biaya Internal

Beberapa peternak besar memilih untuk mengintegrasikan sebagian operasional mereka, misalnya dengan membuat pabrik pakan mini atau fasilitas pembesaran pullet sendiri. Meskipun ini membutuhkan modal awal yang besar, hal ini memungkinkan peternak mengendalikan HPP pullet secara langsung dan mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga pasar pakan dan DOC.

3. Waktu Pembelian (Timing)

Idealnya, pembelian pullet atau DOC dilakukan saat industri sedang berada di fase penyesuaian (oversuplai) di mana harga ayam hidup cenderung lunak. Peternak harus memiliki perkiraan yang baik mengenai kapan permintaan telur akan meningkat sehingga ayam yang dibeli hari ini akan mencapai puncak produksi tepat pada saat harga telur sedang tinggi. Perencanaan siklus yang akurat sangat mempengaruhi profitabilitas dari investasi harga 1 ekor ayam petelur.

VIII. Proyeksi Harga ke Depan dan Ketahanan Industri

Harga 1 ekor ayam petelur di masa depan akan semakin dipengaruhi oleh isu keberlanjutan, efisiensi genetik, dan tantangan iklim global.

1. Efisiensi Pakan dan Genetik

Para breeder terus mengembangkan strain ayam yang semakin efisien (FCR yang lebih rendah). Ayam yang mampu menghasilkan jumlah telur yang sama dengan konsumsi pakan yang lebih sedikit akan memiliki harga premium karena menawarkan efisiensi operasional jangka panjang yang lebih baik bagi peternak. Investasi dalam ayam FCR rendah dianggap sebagai perlindungan terhadap kenaikan harga pakan global.

2. Tantangan Perubahan Iklim

Perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi kegagalan panen jagung lokal, memaksa Indonesia untuk lebih banyak mengimpor pakan, yang secara langsung akan menaikkan HPP dan harga ayam hidup. Peternak harus siap mengadopsi teknologi kandang tertutup (closed house) yang membutuhkan investasi awal lebih tinggi, tetapi menjamin performa ayam tetap optimal, sehingga menjustifikasi harga beli ayam yang lebih mahal.

Secara keseluruhan, harga 1 ekor ayam petelur mencerminkan nilai yang sangat berlapis. Itu adalah cerminan dari biaya pakan yang dominan, kualitas genetik yang diinvestasikan, risiko kematian yang berhasil diatasi, serta biaya logistik yang melekat pada pengiriman. Bagi peternak, harga yang dibayar adalah investasi pada aset yang akan menghasilkan pendapatan berkelanjutan. Memahami setiap variabel ini adalah kunci untuk kesuksesan finansial dalam bisnis peternakan ayam petelur.

Analisis yang komprehensif ini menegaskan bahwa harga jual bukan sekadar angka, melainkan indikator kesehatan industri peternakan secara keseluruhan. Peternak harus selalu memantau tidak hanya harga jual DOC dan pullet, tetapi juga faktor makroekonomi seperti harga komoditas global, nilai tukar mata uang, dan kebijakan pemerintah terkait subsidi atau regulasi impor pakan, karena semua itu bersinergi dalam menentukan nilai akhir 1 ekor ayam petelur yang layak dibeli.

Diskusi tentang harga pullet dan DOC harus selalu melibatkan perhitungan biaya pengangkutan dari pulau ke pulau. Sebagai contoh spesifik, untuk mengirimkan seribu ekor pullet dari Jawa Timur ke Sulawesi Selatan, peternak harus memperhitungkan biaya kargo pesawat atau kapal, biaya penanganan di pelabuhan, biaya truk darat dari pelabuhan ke lokasi peternakan, serta biaya karantina yang wajib dipenuhi. Jika total biaya logistik per ekor mencapai sepuluh ribu Rupiah, maka harga pullet di Sulawesi otomatis akan lebih tinggi sepuluh ribu Rupiah dibandingkan harga di Jawa, bahkan sebelum memperhitungkan margin risiko. Margin risiko ini sangat penting karena mortalitas dalam perjalanan jauh bisa mencapai 2% hingga 5%, dan kerugian ini harus dialokasikan ke harga jual sisa ayam yang selamat.

Selain itu, aspek finansial dari harga ayam petelur tidak lepas dari skema permodalan. Peternak skala kecil sering mengandalkan pinjaman mikro atau modal pribadi, sementara integrator besar menggunakan skema pembiayaan bank atau investasi korporasi. Tingkat suku bunga pinjaman (cost of capital) yang tinggi secara tidak langsung menaikkan HPP peternak, karena biaya bunga harus diakumulasikan ke dalam harga pokok penjualan DOC dan pullet. Dalam lingkungan suku bunga tinggi, peternak membutuhkan harga jual yang lebih tinggi untuk mencapai titik impas (BEP) investasi mereka.

Kondisi kandang juga memberikan implikasi pada harga jual kembali ayam. Jika ayam dibesarkan di kandang terbuka tradisional (open house), performanya mungkin lebih rentan terhadap cuaca ekstrem atau penyakit, yang dapat menurunkan nilai jual apkirnya. Sebaliknya, ayam yang dibesarkan di kandang tertutup modern (closed house) sering kali memiliki kondisi fisik yang lebih optimal dan riwayat kesehatan yang lebih baik, sehingga nilai jualnya tetap stabil, baik saat dijual sebagai pullet maupun saat di-apkir sebagai daging.

Faktor manajemen limbah dan keberlanjutan juga mulai memengaruhi harga. Peternak yang mengadopsi sistem manajemen limbah yang baik dan ramah lingkungan (misalnya, pengolahan kotoran menjadi pupuk organik yang berharga) mungkin memiliki biaya operasional yang sedikit lebih rendah di jangka panjang, memungkinkan mereka menawarkan harga yang sedikit lebih kompetitif, atau setidaknya mempertahankan margin keuntungan yang stabil meskipun harga pakan berfluktuasi.

Dalam konteks harga ayam apkir, nilai jualnya sangat dipengaruhi oleh berat hidup (live weight). Ayam petelur yang memiliki berat di bawah standar pasar akan dihargai jauh lebih rendah per kilogramnya. Pengelolaan nutrisi yang tepat selama fase akhir produksi telur sangat krusial agar ayam tetap memiliki berat badan yang memadai saat masa apkir tiba, sehingga memaksimalkan pengembalian modal pada akhir siklus produksi. Keputusan untuk meng-apkir 1 ekor ayam petelur adalah perhitungan matematis murni: apakah pendapatan marjinal dari telur yang dihasilkan masih lebih tinggi dari biaya pakan marjinal yang dikeluarkan? Begitu FCR memburuk dan jawabannya adalah tidak, ayam tersebut segera di-apkir dan nilai jualnya bergantung pada pasar daging saat itu.

Penting untuk dicatat bahwa dalam industri yang sangat kompetitif, negosiasi harga selalu menjadi bagian dari proses pembelian dan penjualan. Pembeli yang memiliki volume besar memiliki daya tawar yang jauh lebih kuat untuk menekan harga per ekor. Sebaliknya, peternak pembesaran pullet yang memiliki reputasi sangat baik (misalnya, jaminan nol kasus penyakit spesifik) dapat mempertahankan harga premium karena nilai tambah kepercayaan dan kualitas yang mereka tawarkan. Kepercayaan ini diterjemahkan menjadi risiko investasi yang lebih rendah bagi pembeli, sehingga mereka rela membayar harga 1 ekor ayam petelur yang lebih tinggi.

Peran teknologi dalam pembentukan harga juga semakin meningkat. Penggunaan sensor pintar, sistem pakan otomatis, dan analisis data untuk memprediksi puncak produksi dan momen apkir yang tepat, memungkinkan peternak memaksimalkan efisiensi. Ayam yang dikelola dengan teknologi ini cenderung memiliki HPP yang lebih rendah, yang pada akhirnya dapat diterjemahkan menjadi harga jual yang lebih stabil dan menguntungkan bagi pembeli grosir.

Analisis tren harga komoditas global menunjukkan bahwa harga kedelai dan jagung diperkirakan akan tetap volatil. Ini berarti bahwa harga 1 ekor ayam petelur di masa mendatang akan terus menghadapi tekanan kenaikan. Strategi jangka panjang harus berfokus pada mitigasi risiko pakan, baik melalui hedging komoditas, maupun melalui pencarian sumber pakan alternatif lokal yang dapat mengurangi ketergantungan pada input impor dan meminimalkan dampak fluktuasi kurs Rupiah terhadap Dolar AS.

Akhirnya, transparansi rantai pasok juga memengaruhi harga. Peternak yang dapat menunjukkan asal-usul DOC, riwayat vaksinasi, dan komposisi pakan secara transparan sering kali dinilai lebih tinggi oleh pembeli yang menekankan pada standar keamanan pangan dan kesejahteraan hewan. Transparansi ini menambah lapisan kepercayaan yang dapat meningkatkan harga jual per ekor ayam petelur, sebagai imbalan atas jaminan mutu yang diberikan kepada pembeli akhir.

🏠 Kembali ke Homepage