Tafsir Mendalam Ayat Al-Kursi (Per Bagian)
Ayat Al-Kursi memuat sepuluh kalimat fundamental yang menjelaskan sepuluh sifat atau aspek kekuasaan Allah. Setiap bagian mengandung lautan hikmah dan prinsip teologi Islam yang mendasar.
1. Keunikan Tauhid: ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia)
Ini adalah pondasi tauhid uluhiyyah (keesaan dalam peribadatan). Lafazh Allah adalah Nama Dzat Yang Maha Mulia, mencakup seluruh nama dan sifat kesempurnaan. Frasa ini meniadakan segala bentuk ketuhanan lain. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa kalimat ini, yang merupakan inti dari syahadat, memurnikan ibadah dari segala syirik, baik syirik besar (seperti menyembah patung) maupun syirik kecil (seperti riya').
Implikasi Teologis
Pernyataan ini menuntut seorang mukmin untuk mengarahkan seluruh penghambaan, rasa takut, harapan, dan ketaatan hanya kepada Allah semata. Segala bentuk perantara atau kekuatan selain Allah yang disembah atau disandarkan harapan padanya adalah batil. Ini adalah pernyataan kemerdekaan spiritual dari dominasi makhluk.
Para ulama tafsir menekankan bahwa pengulangan konsep tauhid ini di awal ayat memastikan bahwa semua sifat yang disebutkan setelahnya —seperti Hidup, Kekal, Pemilik—hanya layak disandang oleh Dzat yang Tunggal ini. Tanpa Tauhid, pemahaman terhadap sifat-sifat Allah berikutnya tidak akan sempurna.
2. Kesempurnaan Dzat: ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ (Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus)
Ini adalah dua Nama Allah yang Agung (Al-Ism Al-A'zham) yang sering kali muncul berpasangan dalam Al-Qur'an (seperti dalam Surah Thaha: 111). Kedua nama ini menjelaskan sifat wajib bagi Allah dan meniadakan segala kekurangan.
Al-Hayyu (Yang Maha Hidup)
Hidup-Nya Allah adalah hidup yang sempurna, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak diakhiri oleh kematian. Berbeda dengan kehidupan makhluk yang nisbi dan fana. Kehidupan Allah melibatkan seluruh sifat kesempurnaan seperti Ilmu, Kekuatan, Kehendak, dan Pendengaran yang semuanya bersifat azali (kekal abadi).
Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri dan Mengurus)
Al-Qayyum memiliki dua makna utama:
- Dia berdiri sendiri (tidak membutuhkan makhluk-Nya).
- Dia menegakkan dan mengurus seluruh makhluk-Nya, menjaga eksistensi dan keteraturan langit dan bumi, serta mengatur rezeki dan nasib setiap makhluk tanpa henti.
Jika Allah adalah Al-Hayyu, maka Dia memiliki kekuatan untuk bertindak; dan jika Dia adalah Al-Qayyum, maka Dia menggunakan kekuatan tersebut untuk mengatur alam semesta. Kedua nama ini saling melengkapi, menjamin bahwa kekuasaan dan manajemen alam semesta tidak pernah terputus sedetik pun.
3. Penolakan Kekurangan: لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ (Tidak mengantuk dan tidak tidur)
Pernyataan ini merupakan penyempurnaan dari sifat Al-Hayyul Qayyum. Rasa kantuk (sinah) adalah permulaan dari tidur, dan tidur (naum) adalah ketidakaktifan total yang menghilangkan kesadaran. Keduanya adalah tanda kelemahan dan kebutuhan makhluk.
Imam At-Tabari menjelaskan bahwa Allah menafikan sifat-sifat ini dari Dzat-Nya karena keduanya adalah lawan dari sifat Al-Qayyum. Dzat yang mengatur, menjaga, dan mengurus alam semesta yang maha luas ini haruslah Dzat yang selalu sadar, waspada, dan aktif tanpa henti. Jika Allah mengantuk atau tidur, maka seluruh tata surya dan kehidupan akan hancur dan kacau. Ayat ini memberikan ketenangan bagi hamba, bahwa Penjaga mereka tidak pernah lalai.
4. Kepemilikan Mutlak: لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ (Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi)
Ini adalah penegasan atas tauhid Rububiyyah (keesaan dalam kepemilikan dan pengaturan). Segala sesuatu yang eksis, baik yang terlihat oleh mata (di bumi) maupun yang ghaib (di langit), adalah milik Allah semata. Kepemilikan ini adalah kepemilikan hakiki dan mutlak (mulk haqiqi), berbeda dengan kepemilikan manusia yang nisbi dan sementara.
Syekh As-Sa’di menjelaskan bahwa karena Allah adalah Pemilik tunggal, maka Dia berhak penuh untuk bertindak sesuai kehendak-Nya (tasarruf) pada kerajaan-Nya. Tidak ada yang bisa menuntut hak atau mengklaim kepemilikan tanpa izin dan karunia dari-Nya. Konsekuensinya, manusia harus menyadari bahwa mereka hanyalah pelayan dan pengelola sementara atas apa yang mereka miliki.
5. Batasan Syafa’at: مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ (Tiada yang dapat memberi syafa‘at di sisi Allah tanpa izin-Nya?)
Setelah menyatakan kepemilikan mutlak-Nya, ayat ini melanjutkan dengan menegaskan bahwa tidak ada entitas—baik malaikat, nabi, wali, maupun makhluk mulia lainnya—yang memiliki otoritas independen untuk memberikan pertolongan (syafa’at) di hadapan Allah.
Implikasi terhadap Syirik
Ayat ini membatalkan praktik-praktik syirik yang menjadikan makhluk sebagai perantara yang dianggap memiliki kekuatan sendiri untuk mengubah keputusan Ilahi. Syafa’at hanya terjadi dengan dua syarat utama:
- Allah mengizinkan syafa’at itu diberikan.
- Orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhai Allah (sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain, seperti Surah Al-Anbiya: 28).
Ayat ini mengajari kita bahwa jika kita membutuhkan pertolongan, kita harus memohon kepada Pemilik Izin (Allah), bukan kepada yang diizinkan untuk memberi syafa’at. Ini adalah salah satu bukti paling kuat dari Tauhid Uluhiyyah dalam Ayat Al-Kursi.
6. Ilmu yang Meliputi Segala Sesuatu: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ (Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka)
Frasa ini menegaskan kesempurnaan ilmu Allah (tauhid Al-Asma wa Ash-Shifat). Dalam tafsir ulama salaf, "apa yang di hadapan mereka" (maa baina aydiihim) merujuk pada urusan yang akan terjadi di masa depan (akhirat) dan segala hal yang sedang mereka hadapi saat ini di dunia. Sementara "apa yang di belakang mereka" (maa khalfahum) merujuk pada masa lalu yang telah terjadi.
Ilmu Allah mencakup tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibn Katsir menafsirkan bahwa frasa ini juga berarti Allah mengetahui apa yang dilihat makhluk (yang di depan mereka) dan apa yang disembunyikan makhluk (yang di belakang mereka). Ini adalah ilmu yang tak terbatas, tak terhalangi oleh ruang dan waktu, dan tak mungkin dilupakan.
7. Keterbatasan Ilmu Makhluk: وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ (dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya)
Bagian ini berfungsi sebagai penyeimbang dari bagian sebelumnya. Jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka makhluk tidak mengetahui apapun kecuali apa yang secara spesifik diizinkan oleh Allah untuk mereka ketahui.
Ini adalah pengakuan terhadap kemiskinan dan kelemahan ilmu manusia. Semua penemuan, sains, dan pengetahuan filosofis yang dicapai manusia adalah tetesan kecil yang diberikan Allah dari lautan ilmu-Nya yang tak bertepi. Tujuannya adalah mencegah kesombongan ilmu (‘ujub) dan mendorong kerendahan hati bahwa sumber utama pengetahuan adalah Allah semata.
Dalam konteks teologis yang lebih luas, frasa ini menjamin bahwa segala rahasia Dzat, takdir (qadar), dan hakikat penciptaan tetap tersembunyi dari makhluk, kecuali jika Allah berkehendak membukanya melalui wahyu atau ilham. Hal ini menjaga keagungan (Majestic) Allah.
8. Keagungan Singgasana: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ (Kursi Allah meliputi langit dan bumi)
Ini adalah frasa yang memberikan nama spesifik kepada ayat ini: Ayat Al-Kursi (Ayat Kursi). Kursi di sini, sebagaimana dijelaskan oleh ulama salaf seperti Abdullah bin Abbas (keponakan Nabi), adalah tempat kedua kaki Allah, dan ia bukanlah Arsy (Singgasana) yang lebih besar dan mengelilingi Kursi serta seluruh alam semesta.
Hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari menjelaskan perbandingan ukuran Kursi dan Arsy: “Tidaklah tujuh langit dibandingkan dengan Kursi melainkan seperti lingkaran cincin yang dilemparkan di padang pasir yang luas, dan tidaklah Kursi dibandingkan dengan Arsy melainkan seperti lingkaran cincin yang dilemparkan di padang pasir yang luas.”
Pentingnya Kursi: Ayat ini menyebut Kursi untuk menunjukkan betapa agungnya kekuasaan Allah dan betapa luasnya kerajaan-Nya. Jika Kursi, yang merupakan makhluk, sudah seluas dan sebesar itu hingga meliputi seluruh langit dan bumi, maka betapa lebih agungnya Dzat Yang Memilikinya. Frasa ini menghilangkan keraguan akan kemampuan Allah untuk menguasai dan mengatur segala sesuatu.
9. Kemudahan Pemeliharaan: وَلَا يَئُودُهُۥ حِفْظُهُمَا (Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya)
Kata ya’uuduhuu (يَئُودُهُ) berarti memberatkan atau menyulitkan. Ayat ini menjamin bahwa meskipun Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan meskipun pengaturan alam semesta sangat kompleks, pemeliharaan (hifzhuhumaa) atas semua itu sama sekali tidak memberatkan atau menyulitkan Allah.
Jika seorang raja manusia merasa lelah mengurus satu negara kecil, apalagi Dzat yang memelihara miliaran galaksi dan triliunan makhluk tanpa pernah merasa lelah, mengantuk, atau bosan. Ini adalah manifestasi dari sifat Al-Qayyum dan penetapan Kekuatan (Quwwah) dan Kemampuan (Qudrah) Allah yang sempurna, yang berbanding terbalik dengan kelemahan makhluk.
10. Penutup dan Pengagungan: وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ (dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar)
Ayat ditutup dengan dua nama agung yang merangkum keseluruhan tema yang telah disebutkan.
Al-Aliyyu (Yang Maha Tinggi)
Maha Tinggi memiliki tiga dimensi: ketinggian Dzat (Allah berada di atas Arsy, terpisah dari makhluk-Nya), ketinggian kekuasaan (kekuatan-Nya mengatasi segala kekuatan), dan ketinggian derajat (sifat-sifat-Nya mengatasi segala sifat makhluk).
Al-Azhiim (Yang Maha Besar/Agung)
Maha Besar dalam segala hal; dalam Dzat, Nama-nama, Sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Keagungan-Nya tidak dapat diukur atau dicakup oleh akal makhluk. Keagungan (‘Azhamah) ini memastikan bahwa segala bentuk ibadah dan pengagungan yang diarahkan kepada-Nya adalah pantas dan layak.
Kesimpulan dari Ayat Al-Kursi adalah bahwa Allah adalah Dzat yang Tunggal (Huwa), Sempurna dalam Kehidupan dan Pengaturan (Al-Hayyul Qayyum), Terbebas dari Kelemahan (Laa ta'khudzuhuu sinatun wa laa nauum), Pemilik Mutlak (Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh), Berhak Mutlak Atas Syafa’at (illa bi idznih), Ilmu-Nya Meliputi Segala Sesuatu (Ya'lamu...), Kerajaan-Nya Maha Luas (Wasi'a kursiyyuh), Pemeliharaan-Nya Mudah (Wa laa ya’uuduhuu), dan Dia Maha Tinggi dan Maha Agung (Al-Aliyyul ‘Azhiim).
Keutamaan dan Manfaat Spiritual Ayat Al-Kursi
Kedudukan Ayat Al-Kursi sebagai ayat yang paling agung tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga membawa manfaat spiritual dan perlindungan praktis bagi kehidupan seorang Muslim, sebagaimana yang dikuatkan oleh berbagai hadits shahih.
1. Ayat Paling Agung (Sayyidul Ayah)
Dalam riwayat dari Ubay bin Ka'ab, Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Ayat apakah yang paling agung dalam Kitabullah?” Ubay menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah mengulangi pertanyaan itu, lalu Ubay menjawab, “Ayat Al-Kursi.” Maka Rasulullah menepuk dada Ubay dan bersabda, “Selamat bagimu, wahai Abul Mundzir (panggilan Ubay), atas pengetahuanmu.” (HR. Muslim).
Keagungan ini berasal dari fakta bahwa Ayat Al-Kursi berisi tentang tauhid murni, Asma’ul Husna (terutama Al-Hayyu dan Al-Qayyum), dan penolakan total terhadap segala kekurangan dari Dzat Allah.
2. Benteng Perlindungan dari Syaitan
Salah satu manfaat yang paling terkenal dan sering dipraktikkan adalah perlindungan total dari gangguan jin dan syaitan. Kisah masyhur yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari melibatkan Abu Hurairah dan syaitan yang mencuri makanan sedekah. Syaitan itu mengajarkan Abu Hurairah bahwa jika ia membaca Ayat Al-Kursi sebelum tidur, Allah akan senantiasa menjaganya, dan syaitan tidak akan mendekatinya hingga pagi tiba. Rasulullah ﷺ membenarkan ucapan syaitan tersebut, seraya berkata, “Dia berdusta kepadamu, tetapi dia berkata benar.”
Oleh karena itu, Ayat Al-Kursi merupakan bagian fundamental dari Dzikir Pagi dan Sore (Al-Athkar) serta Dzikir Sebelum Tidur.
3. Kunci Masuk Surga
Dalam hadits riwayat An-Nasa'i, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang membaca Ayat Al-Kursi setiap selesai shalat fardhu, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian.”
Ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah yang sederhana ini. Setelah menyelesaikan kewajiban shalat, membaca ayat ini menjadi penyempurna dan penegasan iman yang menjamin balasan tertinggi. Membacanya setelah shalat adalah manifestasi pengakuan atas kekuasaan Allah sebelum kembali menyibukkan diri dengan urusan dunia.
4. Melindungi Rumah dan Keluarga
Ulama fiqih dan hadits menganjurkan agar Ayat Al-Kursi dibaca ketika memasuki rumah dan ketika keluar rumah. Membacanya saat memasuki rumah berfungsi sebagai perisai yang mencegah syaitan masuk ke dalam rumah. Syaitan tidak akan mampu menetap di rumah yang sering dibacakan Ayat Al-Kursi di dalamnya, karena ia membenci pengakuan mutlak terhadap Tauhid yang terkandung dalam ayat tersebut.
5. Keberkahan dan Ketenangan Hati
Pembacaan Ayat Al-Kursi dengan pemahaman yang benar (tadabbur) akan menanamkan keyakinan (iman) yang kuat di hati. Saat seseorang merenungkan bahwa Allah adalah Al-Hayyul Qayyum, Pemilik segala sesuatu, dan Penjaga alam semesta yang tidak pernah lelah, rasa cemas dan takut terhadap makhluk akan hilang. Ini menghasilkan ketenangan psikologis dan tawakkal yang murni.
Elaborasi Syarah Ulama: Kedalaman Setiap Nama Allah
Kedalaman teologis Ayat Al-Kursi terletak pada rangkaian Asmaul Husna yang disajikan. Setiap nama dalam ayat ini bukan hanya label, melainkan kunci untuk memahami sifat mutlak (sifat kamal) yang kontras dengan kekurangan (sifat naqsh) makhluk.
Hubungan Al-Hayyu dan Al-Qayyum
Al-Qadhi Ibn Arabi menjelaskan bahwa Allah adalah Al-Hayyu (Maha Hidup) secara Dzat-Nya, dan Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri dan Mengurus) adalah hasil dari sifat hidup yang sempurna itu. Seseorang atau sesuatu yang tidak hidup tidak dapat mengurus. Karena Allah hidup dengan kesempurnaan mutlak, Dia secara otomatis dapat mengurus seluruh alam semesta. Ini adalah hukum kausalitas Ilahi.
Imam Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib, memandang bahwa Ayat Al-Kursi mencakup tiga pilar utama akidah:
- Tauhid Dzat: “Allahu laa ilaaha illa Huwa.”
- Tauhid Sifat: “Al-Hayyul Qayyum” dan penafian kelemahan “Laa ta’khudzuhuu sinatun wa laa nauum.”
- Tauhid Af’al (Perbuatan): Kepemilikan (Lahu maa fis samawaati), ilmu (Ya’lamu), dan kekuasaan (Wasi’a kursiyyuh).
Rantai sifat-sifat ini menunjukkan korelasi yang erat: karena Dia Hidup dan Mengurus, Dia tidak tidur. Karena Dia tidak tidur, Dia mengetahui segala sesuatu. Karena Dia mengetahui segala sesuatu, Dia berhak memiliki dan menguasai segalanya. Karena Dia memiliki segalanya, tidak ada yang berani memberi syafa’at tanpa izin-Nya.
Analisis Syafa'at
Frasa Man dzalladzii yasyfa’u ‘indahuu illa bi idznih memiliki makna tanya yang mengandung penolakan (istifham inkari). Artinya, tidak mungkin ada. Ini adalah penegasan terhadap keagungan Allah yang tidak membutuhkan perantara untuk mencapai-Nya. Ini secara langsung menolak klaim kaum musyrikin yang menjadikan berhala atau dewa sebagai perantara tanpa izin dari Tuhan yang hakiki.
Syafa’at yang sah di hari kiamat, seperti Syafa’at Al-‘Uzhma (Syafa’at Agung) oleh Nabi Muhammad ﷺ, tetap tunduk pada izin dan kehendak Allah. Syafa'at adalah sebuah kehormatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya, bukan hak yang dapat diklaim oleh makhluk.
Kedalaman Ilmu Allah (Al-’Alim)
Penjelasan Ya’lamu maa baina aydiihim wa maa khalfahum diperluas oleh para mufassirin menjadi cakupan ilmu Allah yang tak terbayangkan. Bukan hanya masa depan dan masa lalu manusia, tetapi juga niat terdalam di hati mereka, rahasia terdalam di lautan, dan jumlah tetesan hujan di setiap musim.
Ketika Ayat Al-Kursi menyatakan Wa laa yuhiithuuna bi syai’im min ‘ilmihii illa bi maa syaa’, ini adalah pengingat konstan bahwa segala ilmu yang kita banggakan adalah pinjaman dan bukan milik kita. Sains dan teknologi adalah penemuan atas hukum-hukum Allah yang telah Dia izinkan untuk diketahui, bukan penemuan yang berdiri sendiri.
Kontras Keagungan (Al-Aliyyul Azhiim)
Dua nama penutup ini adalah penutup yang sempurna. Al-Aliyyu menetapkan bahwa Allah berada di atas, bebas dari segala sentuhan dan lokasi makhluk. Al-Azhiim menetapkan bahwa Dia sangat besar dan agung sehingga segala sesuatu di hadapan-Nya menjadi kecil dan sepele. Penggabungan kedua sifat ini memastikan bahwa tidak ada yang dapat menyamai Allah dalam kekuasaan, pengetahuan, atau kebesaran-Nya.
Ayat Al-Kursi adalah ringkasan teologis yang komprehensif. Pembacaan ayat ini berulang kali berfungsi sebagai proses pembersihan hati dan pikiran dari segala bentuk dualisme, keraguan, dan ilusi bahwa ada kekuatan lain yang setara atau melebihi Allah.
Dengan demikian, Ayat Al-Kursi melampaui sekadar doa; ia adalah deklarasi iman yang paling kokoh, sumber perlindungan yang paling andal, dan peta jalan menuju pengenalan Allah yang sempurna.
Hikmah Filosofis dan Kontemplasi dalam Ayat Al-Kursi
Di luar keutamaan perlindungan, Ayat Al-Kursi memberikan kerangka filosofis yang kuat bagi eksistensi manusia dan alam semesta. Kontemplasi atas setiap sifat dapat membentuk karakter seorang mukmin yang resilient dan penuh syukur.
Manifestasi Kekuatan dalam Kelemahan
Ketika ayat menafikan sinatun wa laa nauum (mengantuk dan tidur), ini adalah pelajaran mengenai kelemahan fundamental yang melekat pada makhluk. Tidur adalah kebutuhan fisik, jeda dari kelelahan, dan tanda bahwa kekuatan terbatas. Allah, karena Dia Maha Kuat, tidak membutuhkan istirahat. Hal ini memicu kontemplasi: jika kita mencari kekuatan, kita harus mencarinya pada Dzat yang tidak pernah lemah.
Dalam konteks modern, ketika manusia cenderung bergantung pada teknologi, aset, atau kekuatan militer, Ayat Al-Kursi mengalihkan fokus kembali kepada kekuatan yang tidak terbatas dan abadi. Setiap usaha yang dilakukan makhluk hanyalah alat, sementara keberhasilan mutlak berada di tangan Al-Qayyum.
Konsep Interkoneksi dan Ketergantungan
Seluruh alam semesta digambarkan sebagai properti yang diurus secara aktif oleh Al-Qayyum, yang Kursi-Nya melingkupi segalanya. Ini menciptakan gambaran kosmos yang terintegrasi dan terpusat. Tidak ada satupun atom yang bergerak di luar kendali Ilahi.
Para sufi sering merenungkan bagian ini untuk mencapai tingkat fana’ (peleburan diri) dalam kesadaran tauhid. Kesadaran bahwa segala yang kita lihat adalah milik-Nya menghilangkan rasa ego dan kepemilikan. Jika kita tidak memiliki apa-apa, maka kita tidak perlu takut kehilangan apa-apa, karena semuanya akan kembali kepada Pemilik asalnya. Ini menghasilkan kebebasan sejati dari keterikatan dunia.
Ilmu dan Kepercayaan (Ghaib)
Pembahasan ilmu Allah dalam Ayat Al-Kursi—mengetahui masa lalu, kini, dan masa depan—mengharuskan manusia untuk menerima konsep Ghaib (hal yang tak terlihat). Meskipun ilmu manusia tidak dapat melingkupi ilmu Allah kecuali yang diizinkan-Nya, kita diwajibkan untuk percaya pada apa yang Dia ketahui. Kepercayaan pada takdir, yang sepenuhnya berada dalam ruang lingkup ilmu Allah yang tidak terbatas, menjadi wajib.
Penerimaan batasan ilmu ini adalah inti dari kerendahan hati intelektual dalam Islam. Seseorang boleh mencari ilmu di dunia, tetapi ia harus selalu mengakui bahwa ada rahasia yang tidak akan pernah ia capai, seperti hakikat Dzat Allah atau hakikat Kursi itu sendiri, karena ia berada di luar kapasitas pemahaman manusia.
Filsafat Ketinggian dan Keagungan
Penutup ayat, Wa Huwal ‘Aliyyul ‘Azhiim, bukan sekadar penutup retoris. Al-Aliyyu (Maha Tinggi) menunjukkan sifat transendensi (tanzih), yakni Allah jauh dari segala sifat makhluk. Al-Azhiim (Maha Besar) menunjukkan keagungan-Nya dalam kekuasaan. Kontemplasi atas nama-nama ini menguatkan akidah dari bahaya tajsim (menyamakan Allah dengan benda) atau tahlil (mereduksi Allah menjadi sekadar kekuatan alam).
Ketinggian Allah adalah ketinggian yang sempurna, melampaui semua ruang dan dimensi yang diciptakan-Nya. Ini adalah jaminan bahwa meskipun Dia dekat dengan kita melalui ilmu-Nya, Dzat-Nya tetap termuliakan dan jauh dari segala bentuk representasi materi. Inilah mengapa Ayat Al-Kursi dianggap sebagai lambang kesempurnaan teologis dalam Islam.