Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan, di mana setiap Muslim yang telah memenuhi syarat diwajibkan untuk menunaikan ibadah puasa. Namun, Islam sebagai agama yang memberikan kemudahan (din al-yusr) memahami bahwa ada kalanya seseorang berhalangan untuk berpuasa karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat, atau yang dikenal dengan istilah uzur syar'i. Adanya halangan ini bukan berarti kewajiban tersebut gugur begitu saja. Allah SWT, dengan segala rahmat-Nya, memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya untuk tetap menyempurnakan kewajibannya, yaitu dengan cara mengganti puasa yang ditinggalkan.
Kewajiban mengganti puasa ini terbagi menjadi dua bentuk utama, yakni Qadha dan Fidyah. Qadha adalah mengganti puasa yang ditinggalkan dengan berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan, sejumlah hari yang ditinggalkan. Sementara itu, fidyah adalah kompensasi berupa memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari ketidakmampuan berpuasa secara permanen. Keduanya memiliki dasar hukum, ketentuan, dan tata cara pelaksanaan yang spesifik. Memahami perbedaan, syarat, dan cara pelaksanaannya adalah sebuah keharusan agar ibadah pengganti yang kita lakukan sah dan diterima di sisi Allah SWT.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan menyeluruh segala hal yang berkaitan dengan cara "membayar" utang puasa Ramadhan. Mulai dari dasar hukum yang melandasinya, siapa saja yang wajib meng-qadha dan siapa yang diperbolehkan membayar fidyah, hingga panduan praktis mengenai lafal niat dan doa-doa yang menyertainya. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif agar setiap Muslim dapat menunaikan kewajibannya dengan benar, tenang, dan penuh keyakinan.
Memahami Kewajiban Mengganti Puasa: Qadha dan Fidyah
Sebelum melangkah lebih jauh ke tata cara teknis, sangat penting untuk membangun fondasi pemahaman yang kokoh mengenai mengapa puasa Ramadhan yang tertinggal harus diganti. Kewajiban ini bukanlah aturan buatan manusia, melainkan perintah langsung dari Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur'an dan diperjelas melalui sunnah Rasulullah SAW.
Dasar Hukum Kewajiban Mengganti Puasa
Landasan utama mengenai kewajiban mengganti puasa Ramadhan terdapat dalam firman Allah SWT di Surah Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua kondisi utama yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, yaitu sakit dan dalam perjalanan (musafir). Bagi mereka yang berada dalam dua kondisi ini, Allah memerintahkan untuk menggantinya (qadha) di hari lain sejumlah hari yang sama. Ayat ini juga memperkenalkan konsep fidyah bagi "orang-orang yang berat menjalankannya" (alladzina yuthiqunahu). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa frasa ini merujuk kepada mereka yang secara fisik tidak lagi memiliki kemampuan untuk berpuasa, seperti orang tua yang sudah sangat lanjut usia atau orang yang menderita penyakit kronis yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Kewajiban qadha juga diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA, beliau berkata:
"Kami (para wanita) mengalami haid pada masa Rasulullah SAW, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (HR. Muslim)
Hadis ini menjadi bukti kuat bahwa wanita yang meninggalkan puasa karena haid atau nifas wajib menggantinya dengan qadha puasa. Dari dalil-dalil tersebut, para ulama dari seluruh mazhab sepakat (ijma') bahwa mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena uzur syar'i adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.
Siapa Saja yang Wajib Mengqadha Puasa?
Qadha puasa diwajibkan bagi mereka yang meninggalkan puasa karena suatu halangan yang bersifat sementara dan memiliki harapan untuk dapat berpuasa kembali di kemudian hari. Secara rinci, kelompok yang wajib mengqadha puasa antara lain:
- Orang Sakit yang Diharapkan Sembuh: Seseorang yang menderita sakit yang jika dipaksakan berpuasa dapat memperparah penyakitnya atau memperlambat proses penyembuhannya, diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun, ia wajib menggantinya setelah sembuh.
- Musafir (Orang yang dalam Perjalanan): Seseorang yang melakukan perjalanan jauh (sesuai ketentuan jarak dalam fiqih, umumnya sekitar 81-89 km) diperbolehkan untuk berbuka. Ia wajib mengqadha puasanya setelah perjalanannya selesai.
- Wanita Haid dan Nifas: Wanita yang sedang mengalami siklus menstruasi (haid) atau dalam masa nifas (setelah melahirkan) diharamkan untuk berpuasa. Mereka wajib mengganti seluruh hari puasa yang ditinggalkan selama periode tersebut.
- Wanita Hamil dan Menyusui (dengan kondisi tertentu): Jika seorang wanita hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan dirinya sendiri jika berpuasa, maka ia hanya wajib mengqadha puasanya. Namun, jika kekhawatirannya hanya tertuju pada kesehatan bayi atau janinnya, mayoritas ulama (khususnya mazhab Syafi'i dan Hanbali) berpendapat ia wajib qadha sekaligus membayar fidyah.
- Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa: Seseorang yang dengan sengaja membatalkan puasa tanpa adanya uzur syar'i, ia telah berdosa besar dan wajib segera bertaubat serta mengqadha puasa yang dirusaknya. Jika pembatalan dilakukan dengan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, ia dikenai hukuman tambahan yang lebih berat (kafarat).
- Orang yang Pingsan atau Hilang Kesadaran: Jika seseorang pingsan atau tidak sadarkan diri sepanjang hari (dari terbit fajar hingga terbenam matahari), maka puasanya tidak sah dan ia wajib mengqadhanya.
Panduan Lengkap Pelaksanaan Qadha Puasa Ramadhan
Setelah memahami siapa saja yang diwajibkan, langkah selanjutnya adalah mengetahui tata cara pelaksanaannya. Pelaksanaan qadha puasa pada dasarnya sama seperti puasa Ramadhan, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Perbedaan utamanya terletak pada niatnya.
Niat Qadha Puasa Ramadhan: Rukun yang Terpenting
Niat adalah pilar utama dalam setiap ibadah. Sebuah amalan bisa menjadi ibadah yang bernilai pahala atau sekadar kebiasaan bergantung pada niat yang terpatri di dalam hati. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Untuk qadha puasa, niat harus ditegaskan di dalam hati bahwa puasa yang akan dilakukan adalah untuk mengganti utang puasa Ramadhan.
Para ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa untuk puasa wajib seperti puasa Ramadhan dan qadha-nya, niat harus dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar (tabyit an-niyyah). Ini didasarkan pada hadis Nabi SAW: "Barangsiapa yang tidak berniat (puasa) di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." (HR. An-Nasa'i dan lainnya, disahihkan oleh Al-Albani).
Berikut adalah lafal niat qadha puasa Ramadhan yang umum diucapkan untuk memantapkan hati:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’i fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
"Saya berniat untuk mengqadha puasa fardhu Ramadhan esok hari karena Allah Ta'ala."
Penting untuk dipahami bahwa melafalkan niat bukanlah sebuah kewajiban. Niat sesungguhnya adalah kehendak yang ada di dalam hati. Namun, mengucapkannya (talaffuzh) dianggap sunnah oleh sebagian besar ulama untuk membantu menguatkan dan menegaskan niat di dalam hati.
Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa Qadha dengan Puasa Sunnah?
Ini adalah pertanyaan yang sering muncul. Misalnya, seseorang ingin mengqadha puasa pada hari Senin atau Kamis, yang juga merupakan hari-hari disunnahkan untuk berpuasa. Para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai hal ini:
- Pendapat Pertama (Membolehkan dan Mendapat Dua Pahala): Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Syafi'i, berpendapat bahwa menggabungkan niat puasa qadha (yang wajib) dengan puasa sunnah (seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, atau puasa Daud) diperbolehkan. Orang tersebut akan mendapatkan pahala dari puasa wajibnya (karena utangnya lunas) dan juga mendapatkan pahala dari puasa sunnahnya. Ibadah wajib dianggap sebagai pokok, dan ibadah sunnah "mengikut" padanya.
- Pendapat Kedua (Hanya Sah Niat Wajibnya): Sebagian ulama lain berpendapat bahwa jika niat digabungkan, maka yang akan sah hanyalah puasa wajibnya saja (qadha). Ini karena ibadah wajib memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat, sehingga ia akan "mengalahkan" niat ibadah sunnah.
- Pendapat Ketiga (Sebaiknya Dipisah): Untuk kehati-hatian (ihtiyath) dan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menyarankan agar niat dipisahkan. Seseorang dapat memprioritaskan untuk melunasi utang puasa qadha terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan puasa-puasa sunnah.
Kesimpulannya, jika seseorang berniat qadha puasa pada hari Senin, puasanya tetap sah sebagai qadha. Adapun perihal apakah ia juga mendapat pahala sunnah puasa Senin, itu adalah karunia dari Allah SWT yang Maha Luas. Namun, yang terpenting adalah niat utama untuk melunasi utang puasa harus menjadi prioritas.
Waktu Pelaksanaan Qadha Puasa
Fleksibilitas adalah salah satu keindahan syariat Islam. Waktu untuk melaksanakan qadha puasa sangatlah luas, yaitu terbentang sejak hari kedua bulan Syawal hingga hari terakhir bulan Sya'ban, sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
- Boleh Dilakukan Berurutan atau Terpisah: Seseorang tidak diwajibkan untuk mengqadha puasa secara berturut-turut. Ia boleh melakukannya secara terpisah-pisah sesuai dengan kemampuannya.
- Menyegerakan Lebih Utama: Meskipun waktunya panjang, menyegerakan pembayaran utang adalah sikap yang lebih terpuji. Ini menunjukkan keseriusan dan ketakwaan seseorang dalam menunaikan kewajibannya kepada Allah. Hal ini juga untuk menghindari risiko lupa atau datangnya halangan lain (sakit atau ajal) sebelum utang puasa lunas.
- Batas Akhir Pelaksanaan: Batas akhir untuk mengqadha puasa adalah hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Konsekuensi Menunda Qadha Hingga Bertemu Ramadhan Berikutnya
Bagaimana jika seseorang lalai dan menunda-nunda qadha puasanya tanpa ada uzur yang dibenarkan (seperti sakit berkepanjangan) hingga Ramadhan berikutnya tiba? Dalam hal ini, menurut pandangan mayoritas ulama, khususnya dalam mazhab Syafi'i, orang tersebut berdosa karena kelalaiannya dan memiliki dua kewajiban:
- Tetap Wajib Mengqadha Puasa: Utang puasa tersebut tidak gugur dan harus tetap dibayar setelah Ramadhan yang baru saja selesai.
- Wajib Membayar Fidyah: Sebagai "denda" atas keterlambatannya, ia juga diwajibkan membayar fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk setiap hari utang puasa yang ia tunda.
Jadi, jika seseorang memiliki utang puasa 5 hari dan menundanya tanpa uzur hingga bertemu Ramadhan lagi, maka setelah Ramadhan itu selesai, ia wajib berpuasa qadha 5 hari dan membayar fidyah untuk 5 orang miskin. Kewajiban fidyah ini berlaku kelipatan jika ia menundanya melewati dua Ramadhan, tiga Ramadhan, dan seterusnya.
Tata Cara Pelaksanaan Qadha Puasa Sehari-hari
Pelaksanaan qadha puasa sama persis dengan puasa di bulan Ramadhan. Berikut adalah rinciannya:
- Sahur: Disunnahkan untuk makan sahur sebelum masuk waktu subuh. Sahur mengandung berkah, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Niat di Malam Hari: Seperti yang telah dijelaskan, niat harus sudah terpasang di dalam hati pada malam hari sebelum terbit fajar.
- Menahan Diri (Imsak): Sejak terbit fajar (waktu Subuh) hingga terbenam matahari (waktu Maghrib), wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, berhubungan suami istri, dan lain-lain.
- Menjaga Perilaku: Selain menahan diri dari yang membatalkan secara fisik, hakikat puasa adalah menahan diri dari perkataan kotor, berbohong, menggunjing, dan perbuatan dosa lainnya yang dapat merusak pahala puasa.
- Menyegerakan Berbuka: Ketika waktu Maghrib tiba, disunnahkan untuk segera berbuka puasa. Ini adalah salah satu amalan yang dicintai Allah.
Doa Berbuka Puasa
Saat berbuka adalah salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Ada beberapa doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk dibaca saat berbuka puasa, yang juga dapat diamalkan saat berbuka puasa qadha.
Doa yang paling shahih dan dianjurkan adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu, wa tsabatal ajru insya Allah.
"Telah hilang rasa dahaga, dan urat-urat telah basah, dan semoga pahala tetap terlimpah, jika Allah menghendaki." (HR. Abu Dawud, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Ada juga doa lain yang sangat populer di masyarakat:
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa'ala rizqika afthartu. Birahmatika yaa arhamar roohimin.
"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih."
Meskipun sanad hadis doa kedua ini diperdebatkan kekuatannya (dianggap dha'if atau lemah oleh sebagian ahli hadis), namun maknanya baik dan boleh diamalkan sebagai doa secara umum, bukan sebagai doa yang secara khusus terikat dengan sunnah berbuka.
Fidyah sebagai Pengganti Puasa: Solusi bagi yang Tak Mampu
Selain qadha, Islam menyediakan solusi lain bernama fidyah. Fidyah bukanlah pilihan bebas, melainkan jalan keluar yang dikhususkan bagi orang-orang dengan kondisi tertentu yang membuat mereka tidak mampu berpuasa secara permanen.
Pengertian dan Kategori Orang yang Membayar Fidyah
Fidyah secara bahasa berarti "tebusan". Secara istilah, fidyah adalah sejumlah harta (dalam bentuk makanan pokok) yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai tebusan karena meninggalkan kewajiban puasa Ramadhan akibat uzur yang tidak memungkinkan untuk mengqadha-nya.
Kelompok yang diperbolehkan mengganti puasa dengan fidyah adalah:
- Orang Tua Renta: Seseorang yang usianya sudah sangat lanjut (sepuh) sehingga fisiknya tidak lagi kuat untuk menahan lapar dan dahaga seharian. Kondisi lemah ini bersifat permanen.
- Orang Sakit Kronis: Seseorang yang menderita penyakit menahun yang menurut keterangan medis tidak ada harapan untuk sembuh. Jika berpuasa, kondisinya akan semakin memburuk.
- Wanita Hamil dan Menyusui (yang Hanya Khawatir pada Janin/Bayi): Sebagaimana disinggung sebelumnya, dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali, jika seorang ibu hamil atau menyusui tidak berpuasa murni karena khawatir akan kesehatan janin atau bayinya (sedangkan kondisi fisiknya sendiri kuat), maka ia wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah.
- Orang yang Menunda Qadha (sebagai denda): Seperti yang telah dibahas, ini adalah kasus di mana fidyah berfungsi sebagai denda keterlambatan, bukan sebagai pengganti puasa. Kewajiban qadha-nya tetap ada.
Niat Membayar Fidyah
Sama seperti ibadah lainnya, pembayaran fidyah juga harus didahului dengan niat. Niat dilakukan di dalam hati saat hendak menyerahkan fidyah. Berikut adalah contoh lafal niat yang bisa diucapkan:
Niat Fidyah untuk Diri Sendiri:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْفَرْضِ عَلَيَّ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata ‘an ifthāri shaumi ramadhāna lilfardhi ‘alayya lillāhi ta‘ālā.
"Aku niat mengeluarkan fidyah ini sebagai ganti dari berbuka puasa Ramadhan, yang fardhu atasku, karena Allah Ta'ala."
Niat Fidyah untuk Orang Lain (misal orang tua yang sudah wafat):
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانِ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ لِلْفَرْضِ عَلَيْهِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata ‘an shaumi ramadhāni (sebutkan nama) bin (sebutkan nama ayahnya) lilfardhi ‘alaihi/‘alaihā lillāhi ta‘ālā.
"Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadhan (fulan bin fulan), yang fardhu atasnya, karena Allah Ta'ala."
Takaran dan Cara Membayar Fidyah
Mengetahui takaran dan cara pembayaran yang benar adalah kunci sahnya fidyah. Terdapat beberapa detail penting yang harus diperhatikan.
Takaran Fidyah
Para ulama sepakat bahwa takaran fidyah untuk satu hari puasa yang ditinggalkan adalah satu mud makanan pokok. Apa itu satu mud?
- Satu mud adalah sebuah takaran volume yang digunakan pada zaman Nabi SAW.
- Jika dikonversi ke dalam satuan berat untuk beras (makanan pokok di Indonesia), para ulama memiliki sedikit perbedaan pendapat karena massa jenis beras bisa berbeda-beda. Secara umum, satu mud setara dengan kurang lebih 675 gram atau 0,688 liter.
- Untuk kehati-hatian, banyak ulama dan lembaga amil zakat di Indonesia yang menggenapkannya menjadi 750 gram (3/4 kg) atau bahkan 1 kg per hari untuk memastikan takarannya terpenuhi. Ada juga yang mengonversinya menjadi takaran 1 porsi makanan lengkap siap saji.
Jadi, jika seseorang meninggalkan puasa selama 30 hari, maka ia wajib membayar fidyah sebanyak 30 mud (30 x 750 gram = 22,5 kg beras).
Bolehkah Fidyah Dibayar dengan Uang?
Ini adalah isu kontemporer yang penting. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Jumhur (Mayoritas) Ulama (Mazhab Maliki, Syafi'i, Hanbali): Berpendapat bahwa fidyah harus dibayarkan dalam bentuk makanan pokok (tha'am) sesuai dengan teks Al-Qur'an (fidyatun tha'amu miskin - fidyah yaitu memberi makan orang miskin). Memberikannya dalam bentuk uang dianggap tidak sah karena menyalahi nash (teks) yang jelas.
- Mazhab Hanafi: Memperbolehkan membayar fidyah dalam bentuk uang (qimah) yang nilainya setara dengan harga satu mud makanan pokok. Alasan mereka adalah tujuan utama fidyah adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin pada hari itu, dan uang seringkali lebih fleksibel dan bermanfaat bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Di Indonesia, banyak yang mengikuti pendapat mazhab Syafi'i, sehingga menyalurkan fidyah dalam bentuk beras. Namun, lembaga-lembaga amil zakat yang profesional seringkali menyediakan opsi pembayaran dalam bentuk uang dengan catatan bahwa mereka akan bertindak sebagai wakil untuk membelikan makanan pokok dan menyalurkannya kepada yang berhak. Ini adalah solusi praktis yang mencoba menggabungkan kemudahan bagi pembayar fidyah dan kepatuhan pada aturan syariat.
Cara dan Waktu Pembayaran
- Penerima Fidyah: Fidyah hanya boleh diberikan kepada fakir dan miskin. Tidak boleh diberikan kepada kategori penerima zakat lainnya seperti amil, mualaf, atau untuk pembangunan masjid.
- Waktu Pembayaran: Fidyah boleh dibayarkan sejak hari pertama Ramadhan bagi orang yang sudah dipastikan tidak akan mampu berpuasa (misalnya orang tua renta). Ia bisa membayarnya setiap hari setelah waktu maghrib, atau bisa juga mengumpulkannya dan membayarnya sekaligus di akhir Ramadhan. Fidyah tidak boleh dibayarkan sebelum memasuki hari puasa yang ditinggalkan.
- Distribusi: Utang fidyah untuk 30 hari boleh diberikan kepada 30 orang miskin yang berbeda (masing-masing 1 mud), atau boleh juga diberikan seluruhnya (30 mud) kepada satu orang miskin saja.
Doa dan Amalan Pendukung
Selain menunaikan kewajiban teknis berupa qadha atau fidyah, sangat penting untuk menyertainya dengan permohonan ampun dan doa kepada Allah SWT. Mengingat utang puasa, terutama jika disebabkan kelalaian, adalah sebuah kekurangan dalam ibadah, maka mendekatkan diri kepada Allah adalah penyempurnanya.
Doa Mohon Kemudahan dan Istiqamah
Saat hendak melaksanakan qadha atau mengumpulkan dana untuk fidyah, berdoalah kepada Allah agar diberikan kemudahan, kekuatan, dan keistiqamahan. Tidak ada doa khusus yang baku, namun kita bisa memanjatkan doa dengan bahasa kita sendiri atau menggunakan doa-doa umum yang ma'tsur (bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah).
Contoh doa memohon kemudahan:
رَبِّ يَسِّرْ وَلَا تُعَسِّرْ، رَبِّ تَمِّمْ بِالْخَيْرِ
Rabbi yassir wa lā tu’assir, Rabbi tammim bil khair.
"Ya Tuhanku, mudahkanlah dan jangan Engkau persulit, dan akhirilah dengan kebaikan."
Kita juga bisa memperbanyak doa agar senantiasa dibantu dalam beribadah:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Allahumma a’innī ‘alā dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibādatik.
"Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu."
Pentingnya Taubat dan Istighfar
Jika utang puasa disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian dalam menunda qadha, maka langkah pertama dan utama adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha). Taubat ini meliputi tiga hal: menyesali perbuatan, berhenti dari kelalaian tersebut, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Memperbanyak istighfar adalah bagian dari taubat.
Lafal istighfar yang paling utama adalah sayyidul istighfar, namun yang paling sederhana dan bisa dibaca kapan saja adalah:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ
Astaghfirullāhal ‘azhīm.
"Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung."
Qadha dan fidyah adalah cara untuk menggugurkan kewajiban secara fiqih, sementara taubat dan istighfar adalah cara untuk membersihkan hati dan memohon ampunan Allah atas dosa kelalaian yang mungkin menyertainya.
Sebagai penutup, menunaikan utang puasa Ramadhan, baik dengan qadha maupun fidyah, adalah cerminan dari tanggung jawab dan ketaatan seorang hamba kepada Rabb-nya. Syariat Islam yang penuh kemudahan telah memberikan jalan keluar bagi setiap kondisi yang kita hadapi. Kewajiban kita adalah mempelajarinya, memahaminya, dan melaksanakannya dengan niat yang tulus ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Semoga Allah senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menunaikan seluruh kewajiban kita, menerima amal ibadah kita, dan mengampuni segala dosa dan kekurangan kita. Aamiin.