Memahami Konsep dan Contoh Tawassul

Ilustrasi Konsep Tawassul Dua tangan menengadah berdoa ke atas menuju simbol cahaya, merepresentasikan proses mencari perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ilustrasi Tawassul: Menjadikan Sesuatu Sebagai Wasilah (Perantara) Dalam Berdoa

Tawassul merupakan salah satu istilah dalam khazanah keislaman yang sering menjadi topik perbincangan. Secara bahasa, tawassul berasal dari kata wasilah, yang berarti perantara atau sarana untuk mencapai tujuan. Dalam konteks syariat, tawassul adalah upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan suatu perantara (wasilah) yang dibenarkan oleh syariat, dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang mengabulkan doa dan permohonan.

Penting untuk dipahami sejak awal bahwa esensi tawassul adalah bagian dari doa. Ia bukanlah ritual terpisah, melainkan sebuah metode atau adab dalam berdoa agar permohonan tersebut lebih berpeluang untuk dikabulkan oleh Allah SWT. Kesalahpahaman sering terjadi ketika konsep wasilah disamakan dengan penyembahan atau meminta kepada selain Allah. Padahal, dalam tawassul yang benar, wasilah hanyalah sarana, sedangkan tujuan akhir dan satu-satunya tempat meminta tetaplah Allah SWT.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang konsep tawassul, landasan dalilnya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, berbagai jenisnya, serta memberikan contoh-contoh tawassul yang dapat dipraktikkan oleh seorang muslim, sambil menjelaskan batas-batas yang membedakannya dari perbuatan syirik.


Landasan Syariat Mengenai Tawassul

Konsep mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah bukanlah hal yang dibuat-buat, melainkan memiliki dasar yang kuat dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

1. Dalil dari Al-Qur'an Al-Karim

Allah SWT secara eksplisit menyebutkan perintah untuk mencari wasilah kepada-Nya. Firman-Nya dalam Surat Al-Ma'idah ayat 35 menjadi landasan utama:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 35)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kata "al-wasilah" dalam ayat ini mencakup segala bentuk ketaatan dan amalan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada keridhaan Allah. Ini adalah perintah umum yang membuka pintu bagi berbagai bentuk amal saleh untuk dijadikan sarana dalam berdoa.

Selain itu, Allah juga mengajarkan kita untuk bertawassul dengan nama-nama-Nya yang indah (Asmaul Husna), sebagaimana firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu..." (QS. Al-A'raf: 180)

Ayat ini secara langsung memberikan contoh tawassul yang paling agung, yaitu menjadikan sifat-sifat kesempurnaan Allah sebagai perantara dalam doa.

2. Dalil dari As-Sunnah (Hadis Nabi)

Praktik tawassul juga ditemukan dalam banyak riwayat hadis, baik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, maupun yang diajarkan dan dipraktikkan oleh para sahabatnya.

Salah satu hadis yang paling terkenal adalah kisah seorang sahabat yang buta matanya. Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif radhiyallahu 'anhu:

Seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku." Beliau bersabda, "Jika engkau mau, aku akan menundanya dan itu lebih baik bagimu. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Lelaki itu berkata, "Doakanlah." Maka Nabi SAW menyuruhnya untuk berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat, kemudian berdoa dengan doa ini: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku." Lelaki itu pun melakukannya dan sembuh.

(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh banyak ulama hadis).

Hadis ini menjadi salah satu dalil utama bagi sebagian kalangan ulama tentang bolehnya bertawassul dengan kedudukan atau pribadi Nabi Muhammad SAW. Dalam doa tersebut, lelaki buta itu memohon kepada Allah dengan menyebut "Nabi-Mu Muhammad" sebagai wasilahnya.

Contoh lain datang dari praktik Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu ketika terjadi musim kemarau panjang. Beliau tidak bertawassul langsung dengan Nabi SAW yang telah wafat, melainkan bertawassul dengan paman Nabi yang masih hidup, yaitu Al-Abbas bin Abdul Muththalib. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu meriwayatkan:

Bahwasanya Umar bin Khattab, apabila terjadi musim kemarau, beliau meminta hujan dengan perantara Al-Abbas bin Abdul Muththalib. Beliau berdoa, "Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau beri kami hujan. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Maka mereka pun diberi hujan."

(HR. Bukhari).

Kisah ini menunjukkan praktik tawassul dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup. Ini menjadi landasan kuat untuk jenis tawassul yang disepakati oleh seluruh ulama.


Jenis-Jenis Tawassul dan Contohnya

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan pemahaman para ulama, tawassul dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Sebagian jenis disepakati kebolehannya (muttafaq 'alaih) oleh seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sementara sebagian lainnya menjadi ranah perbedaan pendapat (khilafiyah).

A. Tawassul yang Disepakati (Masyru')

Ini adalah jenis-jenis tawassul yang memiliki landasan dalil yang sangat kuat dan jelas, sehingga tidak ada perselisihan di kalangan ulama mengenai kebolehannya. Berikut adalah contoh-contohnya:

1. Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah (Asmaul Husna was Sifat)

Ini adalah bentuk tawassul yang paling utama dan paling mulia. Seorang hamba berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang agung atau sifat-sifat-Nya yang sempurna yang sesuai dengan hajat yang dimintanya.

Dasarnya adalah firman Allah dalam QS. Al-A'raf: 180 yang telah disebutkan sebelumnya. Ini adalah cara berdoa yang paling dicintai Allah karena menunjukkan pengakuan hamba akan keagungan dan kesempurnaan Tuhannya.

2. Tawassul dengan Amal Saleh Pribadi

Seorang hamba boleh bertawassul kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah ia lakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Ia menjadikan amal tersebut sebagai perantara dengan harapan Allah memandang amal tersebut dengan pandangan rahmat-Nya dan mengabulkan doanya.

Dalil paling kuat untuk jenis ini adalah hadis masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma.

Singkatnya, tiga orang melakukan perjalanan dan berteduh di sebuah gua. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari gunung dan menutup pintu gua, membuat mereka terperangkap. Mereka pun berkata satu sama lain, "Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan (perantara) amal saleh kalian."

Kunci dari tawassul jenis ini adalah keikhlasan dalam amal yang dijadikan wasilah. Amal tersebut haruslah murni dilakukan untuk Allah, bukan untuk tujuan duniawi.

3. Tawassul dengan Meminta Doa dari Orang Saleh yang Masih Hidup

Ini adalah praktik di mana seseorang meminta orang lain yang dianggap lebih saleh, lebih dekat kepada Allah, atau doanya lebih mustajab (seperti orang tua, ulama, atau orang yang baru pulang haji) untuk mendoakannya kepada Allah.

Dalam praktik ini, yang menjadi wasilah adalah doa dari orang saleh tersebut, bukan pribadi atau kedudukannya. Orang yang meminta sadar sepenuhnya bahwa yang mendoakan adalah manusia biasa, dan yang mengabulkan tetaplah Allah SWT.

B. Tawassul yang Menjadi Ranah Perbedaan Pendapat (Khilafiyah)

Ada jenis tawassul lain yang menjadi subjek perbedaan pandangan di kalangan ulama. Perbedaan ini muncul karena interpretasi dalil yang beragam. Penting untuk menyikapi perbedaan ini dengan lapang dada dan saling menghormati.

Tawassul dengan Dzat atau Kedudukan (Jah) Orang Saleh yang Telah Wafat

Ini adalah bentuk tawassul di mana seseorang menyebut pribadi, kemuliaan, atau kedudukan Nabi Muhammad SAW atau orang-orang saleh lainnya (wali, syuhada) yang telah wafat di dalam doanya.

Pendapat yang Membolehkan:

Sebagian ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali (dalam satu riwayat) membolehkan jenis tawassul ini. Argumen mereka didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:

Pendapat yang Tidak Membolehkan atau Sangat Berhati-hati:

Sebagian ulama lain, terutama dari kalangan ulama yang lebih berpegang pada teks literal (seperti sebagian ulama mazhab Hanbali dan ulama kontemporer yang mengikuti pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab), berpendapat bahwa jenis tawassul ini tidak disyariatkan atau bahkan bisa mengarah pada kesyirikan (syirik washilah).

Argumen mereka adalah sebagai berikut:


Membedakan Tawassul yang Benar dengan Kesyirikan

Ini adalah poin yang paling krusial. Batasan antara tawassul yang dibenarkan dengan syirik sangatlah tipis, dan pemahaman yang salah bisa berakibat fatal bagi akidah seseorang. Perbedaan mendasarnya terletak pada keyakinan hati (i'tiqad).

Mari kita bedakan dengan jelas:

Tawassul yang Benar (Tauhid)

  1. Keyakinan: Pelakunya meyakini 100% bahwa yang memberi manfaat, menolak mudarat, dan mengabulkan doa hanyalah Allah SWT semata. Tidak ada satu pun makhluk yang memiliki kekuatan tersebut.
  2. Fungsi Wasilah: Wasilah (apakah itu amal saleh, Asmaul Husna, atau doa orang saleh) hanyalah dipandang sebagai sebab atau sarana yang dicintai Allah, yang diharapkan bisa menjadi pemicu turunnya rahmat dan ijabah dari Allah.
  3. Arah Permintaan: Permintaan dan doa ditujukan langsung dan hanya kepada Allah. Wasilah hanya disebut di dalam doa tersebut sebagai pengantar. Contoh: "Ya Allah, dengan perantara (sebutkan wasilah), kabulkanlah doaku." Permintaan tetap kepada "Allah".

Penyimpangan Menuju Syirik (Syirik Washilah / Istighatsah kepada selain Allah)

  1. Keyakinan: Pelakunya mulai meyakini bahwa wasilah (orang saleh yang telah wafat, jin, atau benda keramat) memiliki kekuatan sendiri untuk memberi manfaat atau menolak mudarat, baik secara independen maupun bersama Allah.
  2. Fungsi Wasilah: Wasilah tidak lagi dipandang sebagai sarana, tetapi sebagai sumber kekuatan atau "wakil Tuhan" yang bisa mengabulkan permintaan secara langsung.
  3. Arah Permintaan: Permintaan ditujukan langsung kepada wasilah tersebut, bukan lagi kepada Allah. Contoh: "Wahai Fulan (wali yang sudah wafat), sembuhkanlah penyakitku!" atau "Wahai penunggu gunung, berilah aku rezeki!" Ini adalah syirik akbar (syirik besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena ia telah menyamakan makhluk dengan Allah dalam hal kemampuan mengabulkan doa.

Jadi, perbedaan utamanya adalah: Tawassul yang benar adalah berdoa KEPADA Allah DENGAN perantara sesuatu, sedangkan syirik adalah berdoa KEPADA selain Allah.


Adab dan Etika dalam Bertawassul

Ketika melakukan tawassul, terutama yang disepakati, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan agar doa kita lebih sempurna dan lebih berpeluang dikabulkan:

  1. Ikhlas: Niatkan tawassul semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap keridhaan-Nya, bukan karena tujuan lain.
  2. Keyakinan Penuh kepada Allah: Tetaplah berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya pengabul doa. Jangan sampai hati bergantung kepada wasilah yang digunakan.
  3. Menggunakan Wasilah yang Disyariatkan: Prioritaskan jenis-jenis tawassul yang disepakati oleh para ulama, seperti dengan Asmaul Husna, amal saleh, dan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup.
  4. Menjauhi Keraguan: Berdoalah dengan penuh keyakinan dan harapan (raja') bahwa Allah akan mengabulkannya, serta diiringi rasa takut (khauf) akan dosa-dosa yang mungkin menghalangi.
  5. Didahului dengan Pujian dan Shalawat: Sebaiknya setiap doa, termasuk yang menggunakan tawassul, didahului dengan memuji Allah (tahmid) dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dan diakhiri pula dengan keduanya.

Kesimpulan

Tawassul adalah sebuah konsep agung dalam Islam yang menunjukkan betapa luasnya pintu rahmat Allah SWT. Ia adalah seni berdoa, sebuah cara bagi hamba untuk menunjukkan kerendahan dirinya di hadapan Sang Pencipta dengan membawa "bekal" yang dicintai-Nya, baik itu berupa nama-nama-Nya yang mulia, amal saleh yang ikhlas, maupun doa dari hamba-hamba-Nya yang saleh.

Contoh tawassul yang paling aman dan disepakati oleh seluruh ulama adalah: (1) bertawassul dengan Asmaul Husna dan Sifat-sifat Allah, (2) bertawassul dengan amal saleh pribadi yang paling ikhlas, dan (3) bertawassul dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup dan berada di hadapan kita.

Adapun mengenai tawassul dengan kedudukan orang saleh yang telah wafat, ini adalah wilayah perbedaan pendapat yang harus disikapi dengan bijak, ilmu, dan saling menghormati, tanpa perlu saling mencela atau mengkafirkan. Yang terpenting adalah menjaga batas akidah agar tidak terjerumus ke dalam kesyirikan, yaitu dengan memastikan bahwa doa dan permohonan kita selalu dan hanya ditujukan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Semoga pemahaman yang benar mengenai tawassul ini dapat meningkatkan kualitas doa kita dan semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

🏠 Kembali ke Homepage