Pendahuluan: Memahami Proses Meresosialisasi
Proses sosial manusia tidaklah statis. Sepanjang rentang kehidupannya, individu dihadapkan pada berbagai fase dan lingkungan yang menuntut penyesuaian fundamental. Ketika penyesuaian ini memerlukan penanggalan identitas, peran, dan nilai-nilai lama secara drastis untuk kemudian digantikan dengan seperangkat norma, etika, dan perilaku yang sepenuhnya baru, kita memasuki wilayah krusial yang dikenal sebagai meresosialisasi.
Meresosialisasi, atau resosialisasi, adalah proses sosiologis yang intensif, mendalam, dan sering kali dipaksakan, yang bertujuan untuk membentuk kembali fondasi psikologis dan perilaku seseorang. Berbeda dengan sosialisasi primer (masa kanak-kanak) atau sosialisasi sekunder (sekolah atau lingkungan kerja), meresosialisasi melibatkan diskontinuitas radikal dengan kehidupan sebelumnya. Ini adalah kelahiran kembali identitas dalam konteks baru, sebuah restrukturisasi diri yang melibatkan baik pengrusakan (desosialisasi) dari struktur lama maupun pembangunan (resosialisasi) struktur yang baru.
Dalam artikel yang komprehensif ini, kita akan menelusuri spektrum meresosialisasi, mulai dari lingkungan yang paling ekstrem dan terkontrol—institusi total yang digagas oleh Erving Goffman—hingga tantangan adaptasi yang dihadapi individu dalam peristiwa kehidupan non-institusional seperti migrasi, perceraian, atau pemulihan dari radikalisme. Pemahaman terhadap dinamika meresosialisasi menawarkan lensa penting untuk memahami bagaimana masyarakat mempertahankan keteraturan, bagaimana individu beradaptasi di tengah krisis, dan bagaimana identitas dibentuk ulang di bawah tekanan sosial yang luar biasa.
Fenomena ini bukan sekadar pergantian kebiasaan, melainkan perubahan paradigma dalam cara individu memandang diri mereka, berinteraksi dengan orang lain, dan menempatkan diri mereka dalam hierarki sosial yang baru. Keberhasilan atau kegagalan meresosialisasi memiliki implikasi besar terhadap kesehatan mental, stabilitas sosial, dan kemampuan individu untuk berfungsi kembali dalam masyarakat yang lebih luas. Kita akan mengkaji mengapa proses ini begitu menantang, apa saja metode yang digunakan untuk memfasilitasinya, dan bagaimana individu berjuang melawan penolakan dan stigma masa lalu.
I. Konsep Dasar dan Pembedaan Sosiologis
Definisi Meresosialisasi
Secara sederhana, meresosialisasi didefinisikan sebagai proses belajar yang intensif dan mendalam di mana individu meninggalkan peran sosial yang mapan dan mempelajari peran serta norma baru dalam lingkungan yang sangat terstruktur. Inti dari proses ini adalah kebutuhan untuk membersihkan diri dari struktur perilaku dan nilai-nilai yang tidak relevan atau bahkan merusak di masa depan.
Desosialisasi: Tahap Penghancuran Identitas Lama
Sebelum identitas baru dapat ditanamkan, identitas lama harus dipecah. Tahap ini, yang disebut desosialisasi, sering kali melibatkan serangkaian ritual degradasi atau penolakan. Dalam institusi total, desosialisasi dapat berupa penarikan hak-hak pribadi, penggantian nama dengan nomor, pencukuran rambut, atau penyeragaman pakaian. Tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan konsep diri yang dibangun selama bertahun-tahun, menciptakan ruang kosong psikologis di mana instruksi dan nilai-nilai baru dapat dengan mudah ditanamkan.
Resosialisasi: Tahap Pembangunan Identitas Baru
Setelah desosialisasi berhasil memisahkan individu dari masa lalunya, tahap resosialisasi dimulai. Ini adalah fase di mana individu secara aktif mempelajari budaya, bahasa, struktur hierarki, dan harapan perilaku dari kelompok atau institusi baru. Dalam konteks militer, ini adalah pelatihan disiplin dan kepatuhan. Dalam konteks biara, ini adalah internalisasi spiritualitas dan ritual. Keberhasilan tahap ini diukur dari seberapa penuh dan tulus individu menerima identitas dan peran barunya.
Pembedaan dari Sosialisasi Primer dan Sekunder
Penting untuk membedakan meresosialisasi dari bentuk sosialisasi lainnya:
- Sosialisasi Primer: Terjadi pada masa kanak-kanak, terutama dalam keluarga, membentuk fondasi kepribadian dan moral dasar. Proses ini terjadi secara alami dan tanpa paksaan.
- Sosialisasi Sekunder: Terjadi ketika individu memasuki kelompok sosial baru (sekolah, pekerjaan, klub). Ini melibatkan penyesuaian peran minor tanpa mengubah inti identitas atau nilai moral dasar.
- Meresosialisasi: Merupakan sosialisasi yang paling radikal. Ini tidak hanya menambahkan peran baru, tetapi mengganti kerangka acuan fundamental individu. Meresosialisasi terjadi karena adanya krisis, kegagalan sosialisasi sebelumnya, atau kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sama sekali baru dan kaku. Ini adalah proses yang menuntut totalitas komitmen.
Proses inti meresosialisasi: menghancurkan struktur identitas lama dan membangun struktur baru melalui proses yang intensif.
II. Meresosialisasi dalam Institusi Total (Goffman)
Kontributor paling signifikan dalam studi meresosialisasi adalah sosiolog Erving Goffman, yang memperkenalkan konsep Institusi Total (Total Institutions). Institusi total adalah tempat tinggal dan pekerjaan bagi sekelompok besar individu yang memiliki status serupa, terputus dari masyarakat luas untuk jangka waktu yang signifikan, dan dipimpin oleh staf yang terstruktur secara formal. Institusi semacam ini dirancang secara khusus untuk memfasilitasi meresosialisasi secara paksa dan efektif.
Karakteristik Institusi Total
Goffman mengidentifikasi empat karakteristik utama yang membuat institusi ini sangat efektif dalam membentuk ulang identitas:
- Pemisahan dari Dunia Luar: Penghalang fisik dan simbolis (dinding, gerbang, peraturan ketat) memutus hubungan individu dengan norma, keluarga, dan identitas luarnya.
- Kontrol Total atas Kehidupan: Semua aspek kehidupan (tidur, makan, bekerja, rekreasi) dilakukan di tempat yang sama, di bawah otoritas yang sama, dan mengikuti jadwal yang kaku dan terpusat.
- Penghinaan dan Degradasi (Self-Mortification): Prosedur yang dirancang untuk merendahkan diri, seperti pemeriksaan fisik invasif, penyitaan barang pribadi, dan penyeragaman penampilan. Tujuannya adalah menghilangkan harga diri yang terkait dengan identitas luar.
- Sistem Ganjaran dan Hukuman: Adanya sistem yang jelas untuk memberi penghargaan atas kepatuhan terhadap norma baru dan menghukum resistensi. Ini mempercepat internalisasi peran baru.
Studi Kasus Institusi Total
1. Penjara dan Lembaga Pemasyarakatan
Meresosialisasi narapidana adalah kasus yang unik karena tujuannya sering kali ambigu. Idealnya, tujuannya adalah rehabilitasi (mengajarkan norma-norma sipil), namun kenyataannya, lingkungan penjara sering kali menciptakan institusionalisasi dan kultur narapidana yang kontraproduktif terhadap reintegrasi masyarakat sipil. Proses desosialisasi di penjara sangat jelas: hilangnya kebebasan, penyeragaman pakaian, dan hilangnya nama. Namun, resosialisasi sering diarahkan pada kepatuhan terhadap hierarki penjara (penjaga vs. narapidana) dan subkultur narapidana (norma anti-otoritas dan kekerasan). Ketika narapidana dilepaskan, mereka sering membutuhkan meresosialisasi sekunder yang ekstrem untuk ‘menghapus’ kultur penjara yang telah mereka internalisasi—sebuah proses meresosialisasi ganda yang sangat sulit.
2. Militer dan Barisan Pelatihan Dasar (Boot Camp)
Tujuan meresosialisasi militer adalah mengubah individu sipil menjadi unit yang patuh, disiplin, dan mampu bekerja dalam tim di bawah tekanan ekstrem. Ini adalah contoh meresosialisasi yang berhasil dan disengaja. Desosialisasi dicapai melalui:
a) Penghilangan simbol individualitas (pakaian, rambut, nama panggilan).
b) Tekanan fisik dan psikologis terus-menerus untuk menghancurkan batas pribadi.
Resosialisasi kemudian berfokus pada:
a) Internalilsasi rantai komando (kepatuhan mutlak).
b) Penanaman etos kolektivitas (kelompok lebih penting dari individu).
c) Pembentukan identitas baru yang bangga dan berorientasi pada misi. Identitas militer baru ini menjadi dominan, seringkali tetap melekat jauh setelah individu meninggalkan dinas.
3. Institusi Keagamaan (Biara atau Kultus)
Institusi keagamaan yang bersifat total menargetkan perubahan nilai moral, spiritual, dan filosofis. Proses desosialisasi melibatkan penanggalan harta duniawi, pengambilan sumpah kemiskinan dan ketaatan, serta pemutusan kontak dengan keluarga lama. Resosialisasi di sini adalah internalisasi doktrin, ritual harian yang kaku, dan adopsi peran baru (misalnya, menjadi biarawan atau biksu). Proses ini sering didukung oleh keyakinan pribadi yang kuat, menjadikannya salah satu bentuk meresosialisasi yang paling tahan lama, karena motivasinya berasal dari dalam diri.
III. Meresosialisasi dalam Konteks Non-Institusional
Meresosialisasi tidak hanya terbatas pada lingkungan yang terkontrol ketat seperti penjara atau militer. Banyak peristiwa kehidupan yang mendasar dan transformatif juga menuntut proses meresosialisasi yang signifikan, meskipun tidak dipaksakan oleh dinding fisik.
1. Meresosialisasi Budaya: Migrasi dan Pengungsi
Ketika individu bermigrasi atau terpaksa menjadi pengungsi, mereka harus meresosialisasikan diri ke dalam budaya baru (akulturasi). Proses ini seringkali sangat traumatis. Identitas lama (bahasa ibu, kebiasaan makanan, nilai-nilai sosial) mungkin tidak relevan atau bahkan menjadi penghalang di lingkungan baru. Desosialisasi terjadi ketika ikatan komunitas lama putus, dan resosialisasi menuntut pembelajaran bahasa baru, norma-norma berinteraksi, dan struktur peran baru (misalnya, dari profesional di negara asal menjadi pekerja kasar di negara baru).
Tingkat kesulitan meresosialisasi budaya ini sangat tergantung pada tingkat penerimaan masyarakat penerima. Diskriminasi dan marginalisasi dapat menghambat proses ini, menyebabkan individu terjebak dalam disonansi kognitif antara identitas yang mereka bawa dan identitas yang dituntut oleh lingkungan baru.
2. Meresosialisasi Pasca-Karier dan Transisi Hidup
Transisi dramatis, seperti pensiun setelah puluhan tahun bekerja atau perceraian setelah pernikahan yang lama, juga membutuhkan meresosialisasi. Seseorang yang hidupnya didominasi oleh peran profesional (misalnya, seorang CEO atau perwira tinggi) akan mengalami desosialisasi ketika peran itu tiba-tiba hilang. Mereka harus membangun ulang identitas non-kerja, menemukan tujuan baru, dan meresosialisasi cara mereka menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan keluarga—keluarga yang kini terbiasa melihat mereka sebagai figur otoritas yang sibuk, dan kini harus beradaptasi dengan kehadiran mereka yang konstan.
3. Meresosialisasi Ideologis: Deradikalisasi
Salah satu bentuk meresosialisasi yang paling kompleks dan vital dalam masyarakat kontemporer adalah proses deradikalisasi terhadap individu yang terlibat dalam ekstremisme ideologis atau terorisme. Di sini, meresosialisasi tidak hanya tentang perubahan perilaku, tetapi perubahan kognitif yang mendalam—mengganti seluruh kerangka acuan moral dan epistemologis.
Tantangan Deradikalisasi
- Desosialisasi Ideologi: Ini berarti membongkar keyakinan fundamental yang mungkin telah mengakar selama bertahun-tahun, yang seringkali dianggap sebagai kebenaran mutlak. Hal ini sulit dilakukan tanpa menggantinya dengan narasi yang sama kuatnya.
- Resosialisasi Kognitif: Mengajarkan keterampilan berpikir kritis, toleransi, dan pemahaman terhadap pluralisme. Ini memerlukan intervensi psikologis yang mendalam, pendidikan ulang, dan paparan terhadap mentor atau mantan ekstremis yang berhasil bertransformasi.
- Reintegrasi Sosial: Individu yang berhasil dideradikalisasi menghadapi tantangan reintegrasi masyarakat yang seringkali penuh dengan stigma dan ketakutan, yang dapat mendorong mereka kembali ke kelompok ekstremis lama yang menawarkan rasa memiliki.
Program meresosialisasi ideologis harus berhati-hati agar tidak menjadi sekadar konformitas paksa. Transformasi sejati hanya terjadi ketika individu secara internal meyakini dan menerima nilai-nilai baru, bukan hanya mempraktikkannya untuk mendapatkan kebebasan.
4. Meresosialisasi Digital
Meskipun sering diabaikan, adaptasi terhadap perubahan teknologi juga menuntut meresosialisasi skala besar. Generasi yang lebih tua harus meresosialisasikan cara mereka berkomunikasi, berbelanja, dan mengakses informasi. Norma-norma sosial dan etiket yang berlaku di ruang fisik seringkali tidak berlaku di ruang digital, menuntut pembelajaran seperangkat aturan baru yang kompleks dan cair. Kegagalan dalam meresosialisasi digital dapat menyebabkan isolasi sosial dan ketidakmampuan berpartisipasi penuh dalam masyarakat kontemporer.
IV. Mekanisme Psikologis dan Perjuangan Melawan Meresosialisasi
Meresosialisasi bukanlah proses pasif; ia melibatkan konflik internal yang intens. Individu yang sedang menjalani proses ini harus berjuang melawan kecenderungan psikologis untuk mempertahankan konsistensi identitas diri.
1. Disonansi Kognitif
Disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang dialami individu ketika memiliki dua atau lebih nilai, keyakinan, atau perilaku yang saling bertentangan. Dalam meresosialisasi, disonansi ini terjadi ketika keyakinan lama (misalnya, ‘Saya adalah individu bebas’) berhadapan dengan tuntutan peran baru (misalnya, ‘Saya harus patuh mutlak’). Institusi total memanfaatkan disonansi ini: dengan memaksakan perilaku baru (kepatuhan), mereka memaksa individu untuk mengubah keyakinan internal mereka agar selaras dengan perilaku tersebut. Untuk mengurangi disonansi, individu mulai meyakinkan diri mereka bahwa peran baru ini memang diperlukan atau lebih unggul.
2. Resistensi Identitas
Tidak semua individu menyerah pada proses meresosialisasi. Goffman mengamati berbagai bentuk resistensi:
- Penarikan Situasional: Individu melepaskan diri secara mental, meskipun secara fisik patuh. Mereka menjalankan peran baru secara minimal, tetapi mempertahankan identitas internal mereka yang lama secara rahasia.
- Pemberontakan Terencana: Penolakan terbuka terhadap norma institusi. Ini sering dihukum, tetapi berfungsi untuk memperkuat ikatan kelompok yang menolak (misalnya, geng penjara).
- Instrumentalisasi: Individu berpura-pura menerima peran baru hanya demi keuntungan jangka pendek (misalnya, pembebasan bersyarat) sambil merencanakan untuk kembali ke identitas lama setelah keluar.
Resistensi ini menunjukkan bahwa meresosialisasi jarang bersifat total. Selalu ada sisa-sisa identitas lama (atau self-residue) yang dipertahankan oleh individu, terutama dalam institusi yang gagal memberikan rasa bermakna pada peran barunya.
3. Peran Trauma dan Kehilangan
Meresosialisasi seringkali dipicu oleh trauma (bencana alam, perang, penangkapan). Proses meresosialisasi dalam konteks ini sangat erat kaitannya dengan mekanisme koping. Individu tidak hanya belajar norma baru, tetapi juga harus memproses kehilangan identitas lama, properti, atau orang yang dicintai. Dalam konteks ini, meresosialisasi menjadi bagian dari pemulihan psikologis dan pemaknaan kembali hidup setelah kehancuran.
4. Resiliensi Psikologis
Resiliensi individu memainkan peran besar dalam keberhasilan meresosialisasi. Individu yang resilient mampu beradaptasi dengan tekanan dan menemukan cara untuk mengintegrasikan pengalaman lama ke dalam kerangka identitas baru tanpa mengalami kehancuran total. Mereka melihat perubahan bukan sebagai penghinaan total, tetapi sebagai tantangan untuk redefinisi diri, yang memungkinkan transisi dari peran yang gagal (misalnya, pecandu) ke peran yang berhasil (misalnya, anggota masyarakat yang produktif).
V. Aplikasi Mendalam dan Tantangan Reintegrasi
Tantangan terbesar dalam meresosialisasi bukanlah proses internal di dalam institusi terkontrol, melainkan reintegrasi ke dalam masyarakat bebas. Individu yang telah meresosialisasi harus menghadapi realitas bahwa masyarakat di luar seringkali tidak siap menerima identitas mereka yang baru, atau justru menjebak mereka dengan stigma dari identitas mereka yang lama.
1. Kasus Eks-Narapidana: Stigma dan Modal Sosial
Ketika seorang mantan narapidana meninggalkan penjara, mereka telah meresosialisasikan diri untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang sangat spesifik. Ironisnya, norma yang dipelajari di penjara (ketidakpercayaan, agresi, kepatuhan kaku) adalah racun dalam masyarakat sipil. Proses reintegrasi menuntut meresosialisasi cepat kembali ke norma-norma sipil (menghormati otoritas non-kekerasan, membangun kepercayaan). Namun, dua faktor menghambat hal ini:
a. Stigma Institusional
Masyarakat seringkali menggunakan ‘catatan kriminal’ sebagai identitas master yang menaungi semua identitas lain. Hal ini menghalangi peluang kerja, perumahan, dan pembentukan hubungan sosial yang sehat. Stigma bertindak sebagai penghalang yang secara efektif memaksa individu kembali ke lingkaran sosial marginal, di mana identitas narapidana lama lebih diterima.
b. Hilangnya Modal Sosial
Selama menjalani hukuman, mantan narapidana kehilangan jaringan sosial, dukungan keluarga, dan keterampilan kerja yang relevan. Meresosialisasi yang efektif memerlukan pembangunan kembali modal sosial ini, yang hanya dapat terjadi melalui dukungan komunitas, program pelatihan kerja yang relevan, dan, yang terpenting, penerimaan tanpa syarat dari lingkungan terdekat.
2. Meresosialisasi dalam Pemulihan Kecanduan
Program pemulihan dari kecanduan (misalnya, 12 Langkah) adalah bentuk meresosialisasi intensif, meskipun bersifat sukarela. Identitas lama (pecandu) adalah identitas yang harus mati. Desosialisasi melibatkan pengakuan ketidakberdayaan dan pemutusan hubungan dengan lingkungan yang memicu penggunaan. Resosialisasi melibatkan pembelajaran struktur baru:
- Struktur Spiritual/Filosofis: Menerima kekuatan yang lebih tinggi dan prinsip-prinsip moral baru (kejujuran, inventarisasi diri).
- Struktur Sosial: Membangun jaringan dukungan baru yang sehat (komunitas sesama pemulih) untuk menggantikan jaringan lama yang destruktif.
Keberhasilan program ini bergantung pada internalisasi peran baru sebagai ‘orang yang sedang pulih’, peran yang menuntut komitmen seumur hidup terhadap nilai-nilai meresosialisasi yang telah dipelajari.
3. Meresosialisasi Korban Seksual dan Perdagangan Manusia
Korban perdagangan manusia dipaksa menjalani meresosialisasi yang merusak. Para pelaku secara sistematis menghancurkan identitas, memaksakan kepatuhan, dan menanamkan rasa bersalah serta ketidakberdayaan. Ketika korban diselamatkan, mereka membutuhkan program meresosialisasi yang berlawanan arah. Program ini harus berfokus pada:
- Rekonstruksi Otonomi Diri: Mengajarkan korban bahwa mereka memiliki hak atas tubuh dan keputusan mereka.
- Pemulihan Kepercayaan: Mengatasi ketidakpercayaan total yang telah ditanamkan oleh pelaku.
- Pengembalian Keterampilan Hidup: Mengajarkan kembali keterampilan sosial dan ekonomi yang terputus selama masa eksploitasi.
Proses ini sangat lambat dan memerlukan kombinasi psikoterapi trauma dan dukungan sosial jangka panjang. Ini adalah bentuk meresosialisasi terbalik yang bertujuan untuk mengembalikan individu ke identitas sipil normal, jauh dari peran korban yang telah dipaksakan.
4. Etika dan Hak Asasi Manusia dalam Meresosialisasi
Mengingat sifatnya yang invasif terhadap identitas pribadi, meresosialisasi harus selalu dipertimbangkan melalui lensa etika. Dalam institusi total, terdapat risiko tinggi penyalahgunaan kekuasaan, di mana meresosialisasi berubah menjadi indoktrinasi atau penghukuman yang melanggar hak asasi manusia. Pertanyaan penting adalah: Sampai sejauh mana masyarakat atau negara berhak membentuk ulang identitas seseorang? Program meresosialisasi yang etis harus selalu berfokus pada rehabilitasi yang memberdayakan individu, bukan sekadar kontrol sosial yang menindas.
Dalam konteks penjara, rehabilitasi harus memastikan bahwa proses desosialisasi tidak sepenuhnya menghancurkan harga diri, tetapi mengarahkan perubahan perilaku melalui pendidikan dan keterampilan, memungkinkan narapidana mempertahankan inti moral yang positif sambil meninggalkan perilaku kriminal.
VI. Perspektif Teoritis: Meresosialisasi dalam Lensa Sosiologi Modern
Untuk memahami kedalaman meresosialisasi, kita perlu meninjau kerangka teoretis yang lebih luas, terutama dari teori interaksi simbolik dan teori peran.
1. Interaksi Simbolik dan Cermin Diri (The Looking-Glass Self)
Teori yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley menekankan bahwa identitas diri kita (self) dibentuk oleh bagaimana kita percaya orang lain memandang kita—konsep Cermin Diri. Dalam proses meresosialisasi, cermin diri ini dihancurkan dan diganti. Institusi total secara harfiah menawarkan 'cermin' baru:
- Cermin Lama Pecah: Di penjara, interaksi dari penjaga dan narapidana lain memberi tahu individu bahwa identitas luar mereka (misalnya, sebagai ayah, suami, pekerja) sudah tidak ada nilainya. Mereka sekarang hanya dipandang sebagai 'Nomor X' atau 'narapidana'.
- Cermin Baru Dibentuk: Melalui ritual, simbol, dan interaksi yang berulang, institusi memproyeksikan identitas baru yang seragam. Individu mulai melihat diri mereka melalui lensa peran baru yang ketat ini.
Keberhasilan meresosialisasi bergantung pada intensitas dan konsistensi dari cermin diri yang baru ini. Jika lingkungan eksternal tidak konsisten dalam memperlakukan individu sesuai peran barunya, proses resosialisasi akan goyah.
2. Teori Peran (Role Theory)
Meresosialisasi pada dasarnya adalah perubahan peran sosial secara total. Teori peran melihat individu sebagai aktor yang memainkan berbagai peran yang terikat pada ekspektasi sosial. Dalam meresosialisasi, individu harus melepaskan peran lama yang telah diinternalisasi (misalnya, peran ‘pecandu’ atau ‘prajurit’) dan secara cepat mempelajari skrip peran yang baru. Proses ini menimbulkan ketegangan peran (role strain) karena individu kesulitan beradaptasi dengan ekspektasi yang belum familiar.
Ketika seseorang pensiun, mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi kehilangan peran sosial yang memberi mereka struktur dan makna. Mereka harus memasuki periode peran non-sehat (roleless role), di mana mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka, sebelum akhirnya meresosialisasi diri menjadi peran baru (misalnya, ‘kakek aktif’ atau ‘relawan komunitas’). Kegagalan dalam menemukan peran pengganti sering kali menyebabkan isolasi dan depresi.
3. Strukturasi Ganda (Dual Structure) dalam Masyarakat Modern
Sosiologi modern juga melihat meresosialisasi sebagai respons terhadap kecepatan perubahan sosial. Di masyarakat industri atau digital yang bergerak cepat, individu mungkin perlu mengalami meresosialisasi minor berkali-kali sepanjang hidupnya hanya untuk mengikuti perkembangan teknologi atau pasar kerja. Transisi dari pekerjaan manual ke otomatisasi, misalnya, menuntut individu untuk meresosialisasikan keterampilan dan nilai-nilai mereka dari tenaga fisik menjadi pengetahuan teknis. Kegagalan adaptasi massal ini dapat menjelaskan munculnya pengangguran struktural dan ketegangan antar-generasi.
4. Meresosialisasi sebagai Mekanisme Kontrol Sosial
Dari perspektif struktural-fungsionalis, meresosialisasi berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang memastikan bahwa individu yang ‘menyimpang’ atau ‘gagal’ dapat dikembalikan ke fungsi produktif dalam masyarakat. Institusi total adalah katup pengaman masyarakat untuk menangani elemen yang dianggap mengancam (kriminal) atau tidak berfungsi (sakit mental yang parah). Meskipun demikian, meresosialisasi sebagai kontrol sosial harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak mereduksi individu menjadi sekadar objek yang dibentuk, tetapi sebagai subjek yang terlibat aktif dalam transformasinya.
VII. Kedalaman Proses: Dari Kepribadian Inti hingga Perubahan Bawah Sadar
Meresosialisasi, dalam bentuknya yang paling ekstrem, berupaya mengubah bukan hanya perilaku superfisial, tetapi juga kepribadian inti, yang merupakan aspek paling stabil dari identitas seseorang. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis dan psikologis mengenai batas-batas kemampuan manusia untuk berubah secara fundamental.
1. Pembentukan Kebiasaan Baru
Dalam meresosialisasi yang efektif, pengulangan dan ritual memainkan peran kunci. Misalnya, di militer atau biara, jadwal harian yang ketat (bangun pada jam tertentu, makan pada waktu yang sama, melaksanakan tugas spesifik) menanamkan kebiasaan baru hingga menjadi otomatis. Dengan mengubah lingkungan dan rutinitas, institusi memaksa otak untuk membangun jalur saraf baru, sehingga perilaku baru tidak lagi membutuhkan usaha kognitif yang besar, melainkan menjadi bagian alami dari identitas sehari-hari.
2. Peran Bahasa dan Terminologi
Penggunaan bahasa yang spesifik dalam lingkungan resosialisasi sangat penting. Di lingkungan pemulihan, terminologi seperti 'ketidakberdayaan', 'inventaris moral', atau 'cacat karakter' berfungsi untuk mendefinisikan masalah lama dan memberikan kerangka kerja untuk solusi baru. Di lingkungan kultus, bahasa khusus digunakan untuk mengisolasi anggota dari pemikiran dunia luar. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi perangkat untuk menstrukturkan realitas internal individu dan memperkuat identitas kelompok yang baru.
3. Identitas Master dan Identitas Sekunder
Dalam sosiologi, identitas master adalah identitas yang mendefinisikan individu di atas segalanya (misalnya, dokter, kriminal, tuna wisma). Meresosialisasi yang berhasil adalah proses yang menggantikan identitas master yang negatif atau usang dengan identitas master yang baru dan positif. Tantangannya adalah, terutama dalam kasus stigma (seperti narapidana), identitas master lama (kriminal) seringkali terlalu kuat di mata masyarakat sehingga menghalangi penerimaan identitas sekunder yang positif (misalnya, sebagai tukang roti, ayah yang bertanggung jawab, atau siswa). Stigma eksternal ini adalah musuh terbesar dari meresosialisasi yang berkelanjutan.
4. Keberlanjutan Perubahan di Luar Institusi
Pertanyaan terbesar mengenai meresosialisasi adalah: Apakah perubahan ini bertahan ketika individu meninggalkan lingkungan yang terkontrol? Banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang berhasil meresosialisasi di lingkungan total (misalnya, pelatihan militer) cenderung mempertahankan perubahan tersebut karena mereka membawa sistem dukungan (jaringan veteran) dan bangga dengan identitas barunya. Sebaliknya, bagi mereka yang keluar dari penjara atau rumah sakit jiwa, perubahan sering kali gagal karena masyarakat luar tidak mendukung peran baru tersebut, atau justru menarik mereka kembali ke peran lama yang akrab.
Untuk memastikan keberlanjutan, harus ada jembatan resosialisasi: program pra-pembebasan, dukungan mentorship, dan dukungan perumahan yang memadai. Tanpa jembatan ini, individu yang telah mengalami desosialisasi total menjadi rentan dan mudah tergelincir kembali ke pola lama karena tekanan sosial dan ekonomi di dunia luar.
VIII. Meresosialisasi dalam Kasus Krisis Sosial dan Bencana
Krisis kolektif, seperti perang, bencana alam, atau pandemi, memaksa populasi skala besar untuk menjalani meresosialisasi yang cepat dan tidak terencana. Proses ini terjadi secara horizontal, memengaruhi hampir setiap orang dalam komunitas yang sama.
1. Meresosialisasi Pasca-Bencana
Setelah bencana besar (gempa bumi, tsunami), masyarakat harus meresosialisasi ulang norma keselamatan, kerja sama, dan penggunaan sumber daya. Identitas ‘korban’ harus ditanggalkan, digantikan oleh identitas ‘penyintas’ dan ‘pembangun kembali’. Desosialisasi terjadi secara fisik—hilangnya rumah dan harta benda—yang memaksa individu melepaskan identitas yang terikat pada lokasi tersebut. Resosialisasi melibatkan:
- Pembentukan Solidaritas Baru: Individu yang sebelumnya asing kini harus bekerja sama dan bergantung satu sama lain.
- Penerimaan Peran Baru: Individu yang sebelumnya tidak memiliki peran kepemimpinan mungkin harus mengambil alih tanggung jawab dalam pemulihan.
- Penyesuaian Ekonomis: Perubahan total mata pencaharian dan tempat tinggal.
Meresosialisasi dalam konteks bencana sangat menantang karena tidak ada otoritas pusat yang mengendalikannya; ia bergantung pada resiliensi komunitas dan dukungan pemerintah yang terkoordinasi.
2. Meresosialisasi dalam Masyarakat Post-Konflik
Setelah periode konflik bersenjata, seluruh negara memerlukan meresosialisasi untuk beralih dari norma perang (ketidakpercayaan, kekerasan, hierarki militer) ke norma perdamaian (demokrasi, toleransi, hukum sipil). Proses ini mencakup:
- Demobilisasi dan Reintegrasi Mantan Pejuang: Mereka harus melepaskan identitas prajurit yang kuat dan kembali ke peran sipil yang damai—sebuah meresosialisasi yang sangat sulit bagi mereka yang telah lama berada di institusi total (tentara).
- Pendidikan Ulang Warga Sipil: Mengajarkan kembali nilai-nilai toleransi dan mengurangi rasa dendam yang ditanamkan selama propaganda perang.
Kegagalan meresosialisasi di tingkat nasional sering kali menjadi akar dari siklus kekerasan berulang, karena identitas prajurit yang kuat tetap menjadi pilihan peran yang tersedia.
3. Meresosialisasi dalam Konteks Kesehatan Mental
Bagi individu yang keluar dari rumah sakit jiwa (yang dulunya merupakan institusi total Goffman), meresosialisasi modern bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada institusi dan memaksimalkan fungsi dalam komunitas. Desosialisasi terjadi saat mereka meninggalkan lingkungan institusi yang aman namun kaku. Resosialisasi melibatkan pembelajaran keterampilan hidup mandiri, manajemen penyakit kronis, dan yang paling sulit, mengatasi stigma 'sakit mental' yang dilekatkan oleh masyarakat luas. Program komunitas yang berhasil menyediakan pelatihan keterampilan sosial dan pekerjaan, bertindak sebagai penyangga antara lingkungan terkontrol dan dunia bebas yang tidak terstruktur.
Penutup: Meresosialisasi sebagai Fenomena Manusiawi yang Berkelanjutan
Meresosialisasi adalah bukti kemampuan luar biasa manusia untuk beradaptasi, membentuk ulang diri, dan bertahan di bawah kondisi yang paling menantang. Dari sel isolasi penjara hingga desa-desa yang dibangun kembali setelah bencana, proses ini menegaskan bahwa identitas bukanlah struktur yang beku, melainkan cairan yang dapat dibentuk oleh tekanan lingkungan dan komitmen internal.
Proses meresosialisasi selalu melibatkan perjuangan ganda: perjuangan untuk menanggalkan kulit lama dan perjuangan untuk menginternalisasi dan mempertahankan kulit baru. Di masa depan, seiring dengan percepatan perubahan teknologi dan meningkatnya migrasi global, kebutuhan untuk meresosialisasi akan semakin sering muncul. Masyarakat yang matang dan berbelas kasih harus memastikan bahwa meresosialisasi difasilitasi dengan dukungan, etika, dan kesempatan yang nyata, sehingga individu yang bertransformasi dapat kembali berkontribusi penuh tanpa dibelenggu oleh bayangan identitas mereka di masa lalu.
Pada akhirnya, meresosialisasi adalah cerminan dari dinamika sosial: masyarakat menuntut konformitas dan adaptasi, sementara individu berjuang mencari makna dan otonomi di tengah perubahan peran dan nilai. Memahami kompleksitas meresosialisasi adalah kunci untuk membangun sistem rehabilitasi yang lebih manusiawi dan komunitas yang lebih inklusif, yang siap menerima individu-individu yang berani mendefinisikan ulang siapa diri mereka.
Reintegrasi: Langkah kritis dari lingkungan terkontrol menuju masyarakat luas, menuntut adaptasi identitas baru.