Alt Text: Lansekap pedesaan Sunda yang tenang, sawah berundak, dan rumah panggung.
Nama saya Adiwangsa. Nama ini, yang diberikan oleh kakek saya, seorang Mamaos (pembaca puisi tradisional) dari Pameungpeuk, mengandung harapan agar saya menjadi pribadi yang berwibawa dan membawa kemuliaan. Sejak helaan napas pertama, saya telah diselimuti oleh aura Kasundaan yang pekat—sebuah warisan yang jauh lebih dalam daripada sekadar geografis. Ia adalah warisan etika, filosofi, dan cara memandang dunia yang diturunkan melalui bisikan angin di pucuk pohon pinus dan gemericik air di Citarum.
Kisah ini bukan sekadar kronik kehidupan pribadi saya, melainkan upaya memahami bagaimana seorang manusia Sunda bernegosiasi dengan perubahan abad. Saya lahir di kaki Gunung Galunggung, di sebuah kampung yang seolah terbuat dari anyaman bambu dan kesabaran. Di sana, waktu diukur bukan oleh jam dinding, melainkan oleh posisi matahari di atas bukit dan jadwal menumbuk padi. Kehidupan diatur oleh pamali (pantangan) dan tatakrama (etika) yang ketat, menciptakan sebuah benteng budaya yang, meskipun indah, mulai retak oleh gemuruh modernitas yang datang dari barat.
Masa kanak-kanak saya adalah pelajaran abadi tentang keseimbangan. Kami hidup berdampingan dengan alam, memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi spiritual. Nenek sering bercerita tentang Sanghyang Siksa Kandang Karesian, menekankan pentingnya cageur (sehat fisik dan mental), bageur (berakhlak baik), dan pinter (cerdas). Tiga pilar ini menjadi kompas moral pertama saya. Pagi diisi dengan membantu Ayah di sawah—kakiku yang kecil terbenam dalam lumpur dingin—sementara malam dihabiskan mendengarkan kakek menceritakan sasakala (asal-usul) kampung, sering kali diiringi suara alat musik bambu bernama Karinding yang mistis.
Pengajaran kakek tidak terbatas pada mitos. Ia adalah penjaga bahasa. Bahasa Sunda yang ia gunakan adalah bahasa yang kaya, penuh metafora, dan sangat halus, yang kini saya sadari perlahan menghilang. Ia mengajarkan tingkatan bahasa—Lemes, Loma, dan Kasar—dan betapa penggunaan yang salah dapat melukai hati seseorang lebih dalam daripada pukulan. Kami diajari bahwa keramahan sejati, handap asor, adalah inti dari jati diri Sunda.
Sekolah formal saya hanyalah Sekolah Rakyat (SR) kecil dengan lantai semen kasar. Guru kami, Bapak Hidayat, adalah seorang pendidik dengan semangat patriotik yang membara, mengajarkan kami tentang Indonesia yang baru merdeka, sambil tetap menghormati kebudayaan daerah. Namun, di luar pelajaran hitungan dan sejarah nasional, pendidikan sejati saya adalah di balai kampung, menyaksikan pertunjukan Wayang Golek, di mana nilai-nilai kepahlawanan, seperti yang diwujudkan oleh tokoh Arjuna atau Bima, diterjemahkan ke dalam konteks keseharian kami.
Transisi pertama yang saya ingat adalah kedatangan radio transistor. Alat kecil bertenaga baterai itu membuka jendela besar ke luar kampung. Tiba-tiba, musik dangdut dan berita dari Jakarta bersaing dengan alunan Kacapi Suling. Saya mulai merasakan tarik-menarik antara tradisi yang menenangkan dan modernitas yang menjanjikan kecepatan dan kemudahan.
Ketika tiba waktunya melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), Ayah memutuskan untuk menjual sebidang kecil sawah agar saya bisa merantau ke Bandung. Perpindahan ini terasa seperti dicabut paksa dari tanah yang saya cintai. Bandung, Kota Kembang, adalah antitesis dari kampung saya. Udara di sana lebih berdebu, suaranya lebih bising, dan irama hidupnya sangat cepat. Di sana, bahasa Sunda sering dicampur dengan istilah-istilah bahasa Indonesia yang trendi, dan orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, seolah mengejar sesuatu yang tak terlihat.
Masa-masa awal di Bandung adalah periode disorientasi. Saya yang terbiasa dengan komunitas yang intim, tiba-tiba harus beradaptasi dengan anonimitas kota besar. Di sekolah, saya bertemu teman-teman dari latar belakang yang sangat beragam: anak-anak dari keluarga priyayi (bangsawan/pejabat) yang halus, hingga keturunan pedagang Tionghoa yang sibuk. Mereka menertawakan aksen Sunda pedalaman saya, yang kemudian mendorong saya untuk menjadi pendengar yang lebih baik, mengamati bagaimana cara orang kota berkomunikasi dan beretika.
Tahun-tahun di SMA, dan kemudian di perguruan tinggi, saya memilih jurusan Sastra Daerah. Keputusan ini lahir dari keinginan yang kuat untuk mempertahankan apa yang saya rasa sedang hilang: kemurnian bahasa dan kekayaan cerita leluhur. Di kampus, saya menemukan sebuah komunitas intelektual yang justru sedang bersemangat mendefinisikan kembali identitas Sunda di tengah arus globalisasi.
Saya belajar tentang Naskah Kuna Cirebon, mempelajari aksara Kaganga, dan mulai membaca karya-karya pujangga Sunda modern seperti Ajip Rosidi dan Ramadhan KH. Melalui mereka, saya menyadari bahwa Kasundaan bukanlah fosil yang harus diawetkan, melainkan sebuah sungai yang harus terus mengalir, beradaptasi dengan bebatuan baru di jalurnya tanpa kehilangan sumber mata airnya.
Di masa kuliah, saya mendalami konsep Tri Tangtu di Buana (Tiga Ketentuan di Dunia): Rama (Pemimpin Spiritual), Ratu (Pemimpin Pemerintahan), dan Resi (Orang Bijak/Pendidik). Saya mulai melihat betapa rumitnya struktur sosial Sunda di masa lampau, yang sangat menghargai hierarki dan peran. Saya juga terpesona oleh konsep Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh (Saling Mencintai, Saling Mengasah, Saling Mengayomi). Filosofi ini, yang saya rasa sering diucapkan tetapi jarang diamalkan secara utuh di tengah persaingan kota, menjadi mantra pribadi saya.
Pencarian jati diri ini membawa saya pada disiplin lain: Penca Silat. Saya berlatih di sebuah padepokan tua di pinggiran Bandung. Silat bukan hanya bela diri; ia adalah seni pernapasan, meditasi, dan filosofi gerak. Setiap jurus, dari Timang hingga Bakti, mengajarkan kesabaran, fokus, dan bagaimana menghadapi serangan tanpa harus kehilangan ketenangan. Guru saya, yang dipanggil Abah, sering berkata bahwa musuh terbesar pesilat bukanlah lawan di hadapan kita, melainkan ketidaksabaran dan keserakahan di dalam diri.
Setelah lulus, saya menghadapi dilema yang sama seperti kebanyakan sarjana Sastra Daerah: Bagaimana cara hidup dari kecintaan pada budaya yang dianggap usang oleh pasar kerja? Saya menolak tawaran bekerja di perbankan atau perusahaan multinasional. Saya memilih jalan yang lebih sunyi: menjadi dosen, peneliti, dan sesekali, penulis kolom budaya.
Pekerjaan sebagai pengajar di universitas memberikan saya platform untuk berinteraksi dengan generasi yang sama sekali baru. Mahasiswa saya adalah anak-anak yang tumbuh dengan internet, pop Korea, dan bahasa gaul yang asing di telinga saya. Tantangan saya adalah membuat naskah kuno yang berusia ratusan tahun relevan bagi mereka yang hidup dalam hitungan detik media sosial.
Saya menggunakan pendekatan komparatif. Saya membandingkan struktur cerita dalam pantun buhun (pantun tua) dengan narasi dalam film modern. Saya menunjukkan bagaimana etika kepemimpinan yang diajarkan dalam kisah Prabu Siliwangi masih sangat dibutuhkan dalam politik hari ini. Perlahan, saya melihat percikan minat. Mereka mulai menyadari bahwa ‘Kasundaan’ bukan berarti hidup terbelakang, melainkan memiliki fondasi moral yang kuat untuk menghadapi ketidakpastian masa depan.
Proyek terbesar dalam hidup saya adalah upaya revitalisasi bahasa Sunda. Saya menyadari bahwa kosakata yang digunakan sehari-hari semakin menyempit. Kata-kata indah yang menggambarkan nuansa emosi, seperti leuleus jeujeur (lemah lembut namun tegas) atau hegar (gembira dan cerah), mulai terlupakan. Saya membentuk sebuah kelompok kecil yang bertugas mendokumentasikan dan menciptakan glosarium modern yang menggunakan istilah-istilah Sunda otentik dalam konteks baru.
Kami menyelenggarakan lokakarya di berbagai desa, tidak hanya mengajarkan bahasa tulis, tetapi juga membangkitkan kembali seni tutur. Kami fokus pada Sisindiran (pantun/puisi) dan Kawih (lagu). Musik, saya temukan, adalah jalur tercepat menuju hati. Ketika generasi muda mulai menyanyikan lirik Sunda yang puitis, mereka secara tidak langsung menghidupkan kembali roh bahasanya.
Tentu saja, ada resistensi. Banyak yang melihat upaya ini sebagai kegiatan elitis atau nostalgik yang tidak praktis. Namun, saya berpegang teguh pada prinsip bahwa bahasa adalah rumah jiwa sebuah bangsa. Jika rumah itu roboh, jiwa pun akan kehilangan tempat berlindung.
Hidup adalah serangkaian babak penyesuaian. Saat saya menua, saya menyaksikan bagaimana laju perubahan semakin cepat. Kota Bandung yang dulu saya anggap modern kini terasa kuno dibandingkan dengan kecepatan internet dan perkembangan teknologi informasi yang mengubah cara kita berinteraksi dan mengonsumsi budaya.
Saya menghabiskan banyak waktu mengamati bagaimana kesenian Sunda beradaptasi. Degung (orkestra gamelan Sunda) kini diaransemen ulang dengan sentuhan jazz atau elektronik. Wayang Golek dipentaskan dengan tata cahaya modern dan dialog yang lebih relevan dengan isu politik kontemporer. Beberapa pihak menyebutnya "penghilangan kemurnian," tetapi saya melihatnya sebagai bukti vitalitas. Budaya yang mati adalah budaya yang menolak berubah.
Salah satu kontributor terbesar dalam adaptasi ini adalah para musisi muda. Mereka membawa rebab dan suling keluar dari keraton dan memasukkannya ke studio rekaman. Mereka menciptakan sebuah "Sunda Pop" yang menarik perhatian global, membuktikan bahwa identitas lokal bisa menjadi komoditas budaya yang bernilai universal.
Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa inovasi tidak mengorbankan kedalaman. Penting untuk memastikan bahwa generasi penerus memahami bahwa di balik melodi Degung yang indah, terdapat sistem tangga nada Pelog dan Salendro yang rumit, yang mengandung makna filosofis tentang kosmos dan ketenangan batin.
Salah satu pelajaran paling berharga yang saya dapatkan dari kakek adalah konsep saamparan (berbagi alas, setara). Dalam tradisi pertanian kami, hasil panen selalu dibagi. Tidak ada yang boleh tidur lapar sementara tetangganya berlimpah. Namun, sistem ekonomi kapitalis yang kini mendominasi telah mengubah nilai-nilai ini. Persaingan diglorifikasi, dan kekayaan pribadi menjadi tujuan utama.
Saya melihat munculnya kesenjangan yang mencolok. Di satu sisi, ada gedung-gedung pencakar langit di Bandung yang megah; di sisi lain, masih banyak kampung yang kekurangan akses air bersih. Tugas saya sebagai pengamat budaya adalah mengingatkan kembali bahwa filosofi Sunda mengajarkan kesederhanaan, hirup sauyunan (hidup rukun), dan menjauhi adigung adiguna (sombong dan angkuh).
Saya percaya bahwa solusi untuk menghadapi gejolak ekonomi dan sosial modern terletak pada kembali memahami etika sundanese way of life. Jika kita bisa mengamalkan kembali silih tulungan (saling membantu), maka pembangunan akan menjadi lebih merata dan manusiawi.
Alt Text: Siluet seorang tokoh duduk bersila dalam kontemplasi, dikelilingi ornamen motif tradisional.
Dalam otobiografi modern, kita cenderung berfokus pada pencapaian dan tanggal-tanggal penting. Namun, dalam konteks Sunda, konsep waktu itu sendiri adalah hal yang cair dan melingkar. Kita tidak hanya bergerak maju, tetapi juga selalu melihat ke belakang, mencari kebijaksanaan dari karuhun (leluhur). Masa lalu bukan beban, melainkan bekal.
Kakek sering berbicara tentang rasa. Rasa adalah sensasi spiritual dan emosional yang melampaui logika. Puisi yang bagus harus memiliki rasa. Makanan yang enak harus memiliki rasa. Keputusan yang bijak harus didasarkan pada rasa. Dalam konteks otobiografi, mengenang kembali hidup saya adalah upaya untuk menangkap rasa dari setiap momen, bukan hanya fakta keringnya.
Saya mengingat rasa haru ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bandung. Rasa pahitnya kegagalan saat naskah pertama saya ditolak. Rasa damai yang mendalam saat saya mendengar suara tarawangsa (alat musik gesek ritual) di daerah Rancakalong. Rasa-rasa inilah yang membentuk peta jiwa saya. Jika otobiografi hanya mencatat peristiwa, ia adalah sejarah. Jika ia mencatat rasa, ia adalah kehidupan.
Saya menghabiskan banyak waktu dalam penelitian mendalam tentang cerita rakyat yang membentuk Priangan. Salah satunya adalah kisah Lutung Kasarung. Kisah ini bukan sekadar dongeng tentang pangeran yang menyamar; ia adalah pelajaran tentang bagaimana penampilan luar bisa menipu dan bagaimana kebenaran serta ketulusan hati akan selalu menemukan jalannya. Kisah-kisah ini mengajarkan kesabaran kosmis, bahwa setiap penderitaan adalah bagian dari proses menuju kematangan.
Setelah puluhan tahun mengajar dan berjuang di Bandung, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya, bukan sebagai orang yang gagal, melainkan sebagai Resi (orang bijak) yang membawa pengetahuan dari kota. Tanah yang dulu saya tinggalkan kini menyambut saya dengan keheningan yang saya rindukan.
Saya membangun kembali rumah panggung kecil yang dulu ditinggali kakek. Kini, rumah itu menjadi pusat studi budaya Sunda kecil, di mana saya mengadakan pertemuan mingguan untuk bercerita, membaca puisi, dan memainkan Kacapi. Saya melihat cucu-cucu tetangga saya, yang kini lebih tertarik pada telepon pintar mereka, tetapi ketika saya mulai memainkan melodi Tembang Cianjuran, mata mereka terangkat. Ada sesuatu dalam melodi itu yang berbicara pada jiwa mereka, sebuah warisan genetik yang tak terhapuskan oleh sinyal internet.
Kepulangan ini mengajarkan saya tentang keutuhan. Selama bertahun-tahun, saya berusaha mencari identitas Sunda di buku-buku tebal, di museum, dan di seminar-seminar akademik. Ternyata, ia ada di tempat yang paling sederhana: pada cara seorang petani menyapa Anda di pagi hari, pada aroma kopi yang diseduh di tungku, dan pada kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita hanyalah bagian kecil dari siklus alam yang besar.
Otobiografi ini adalah sebuah pesan, bukan hanya sebuah catatan. Saya ingin generasi penerus Sunda, dan siapa pun yang berinteraksi dengan kebudayaan ini, memahami bahwa Kasundaan adalah janji untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan antara teknologi dan spiritualitas, antara pencapaian individu dan kemaslahatan komunal, dan antara modernitas serta akar.
Dalam etika Sunda, seorang pemimpin haruslah nyantika (bijaksana), nyunda (berkarakter Sunda), dan nyakola (berpendidikan). Saya selalu berpesan kepada murid-murid saya: Keberhasilan sejati bukanlah seberapa tinggi jabatan Anda, tetapi seberapa besar manfaat yang Anda berikan kepada lingkungan sekitar. Jika Anda menjadi arsitek, pastikan bangunan Anda menghormati alam sekitar, tidak sekadar menentangnya. Jika Anda menjadi pengusaha, pastikan keuntungan Anda didapatkan dengan cara yang halal dan bermanfaat bagi banyak orang.
Saya mendalami konsep Dangiang, yang sering diterjemahkan sebagai 'aura' atau 'kharisma', tetapi maknanya jauh lebih dalam. Dangiang didapatkan melalui praktik kebaikan yang konsisten, melalui ketenangan batin, dan melalui pengabdian tulus. Ia bukan sesuatu yang bisa dipalsukan atau dibeli; ia adalah pantulan dari kemurnian jiwa.
Perjuangan untuk mempertahankan bahasa, seni, dan filosofi adalah perjuangan melawan amnesia budaya. Saya menulis otobiografi ini dengan harapan bahwa pengalaman saya—perjuangan seorang anak desa di tengah kota, dan kepulangannya untuk menjadi penjaga gawang tradisi—dapat menginspirasi orang lain untuk mencari dan merayakan identitas mereka sendiri, apa pun latar belakangnya.
Saya telah melihat budaya Sunda dicoba untuk dibekukan, dikomersialkan, dan bahkan dipolitisasi. Namun, pada intinya, ia tetaplah budaya yang hangat, merangkul, dan kaya akan keindahan yang bersumber dari penghormatan terhadap alam dan sesama. Kekuatan Sunda terletak pada kemampuan untuk tersenyum di tengah kesulitan, seperti filosofi nonom poek—gelap namun tetap muda—yang berarti optimisme yang tak pernah padam.
Dalam akhir perenungan ini, saya menyadari bahwa setiap orang Sunda, secara sadar atau tidak, adalah penerus dari garis panjang karuhun yang telah menjaga tanah Parahyangan ini. Kita adalah penjaga sungai, gunung, dan hutan. Kita adalah pewaris bahasa yang manis seperti gula aren dan sehalus sutra. Tugas kita hanyalah satu: miara (merawat) dan ngamumule (melestarikan) warisan itu dengan cara yang relevan bagi anak cucu kita.
Jika saya harus merangkum seluruh perjalanan ini menjadi tiga poin utama, inilah yang akan saya sampaikan kepada dunia, terutama kepada generasi muda yang kini berjuang mendefinisikan diri di era digital:
Saya, Adiwangsa, kini duduk di teras rumah panggung tua, ditemani suara jangkrik dan gemercik air di kolam. Saya telah menempuh perjalanan yang jauh, dari lumpur sawah hingga ruang kuliah, tetapi pada akhirnya, saya menemukan kedamaian dalam kesederhanaan. Otobiografi ini adalah persembahan saya untuk tanah Pasundan, sebuah janji bahwa api warisan ini akan terus menyala.
— Tamat —