Biografi bukanlah sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa yang terangkai secara kronologis, melainkan sebuah peta interpretatif atas lintasan emosi, keputusan, dan penyesalan yang membentuk entitas yang disebut ‘saya’ saat ini. Setiap manusia adalah narator dari kehidupannya sendiri, dan dalam menceritakan kisah ini, saya berharap dapat menemukan benang merah dari Aksara Dirgantara yang sekarang berdiri di titik ini. Kehidupan adalah sebuah dialektika yang abadi antara potensi dan realitas, antara impian yang belum terwujud dan pengalaman yang telah menggoreskan kedalaman. Memulai perjalanan introspeksi ini memerlukan kejujuran yang brutal tentang kerentanan dan pengakuan yang tulus atas setiap pencapaian, sekecil apa pun itu.
Saya selalu melihat diri saya sebagai entitas yang cair, bukan beku. Identitas bukan barang mati yang bisa diarsip, melainkan sungai yang terus mengalir, merespons setiap musim kemarau dan hujan badai yang dilewatinya. Filosofi dasar ini menjadi landasan mengapa setiap babak kehidupan terasa seperti memulai sebuah novel baru, dengan karakter utama yang sama namun dengan kedewasaan dan perspektif yang terus bertambah. Introspeksi ini bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah perangkat untuk merancang masa depan. Siapa saya adalah hasil negosiasi yang tak pernah usai antara genetik yang diwarisi dan lingkungan yang dipeluk atau ditolak. Dalam lembaran-lembaran ini, saya akan membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, mulai dari bau tanah basah di desa asal hingga hiruk pikuk desain di meja kerja yang kini menjadi markas utama perenungan dan kreasi.
Saya dilahirkan di sebuah kota kecil yang letaknya agak terpencil, diapit oleh hamparan sawah hijau yang memantulkan cahaya matahari pagi seperti permadani zamrud. Masa kecil saya, dalam banyak hal, adalah sebuah ode untuk keheningan dan kecepatan alam. Rumah kami, sebuah bangunan sederhana dengan atap genteng merah yang selalu hangat di siang hari, menjadi benteng pertama di mana karakter dan imajinasi saya dibentuk. Kenangan terkuat bukanlah tentang mainan mahal atau perjalanan mewah, melainkan tentang aroma khas tanah yang terbakar setelah hujan lebat, suara jangkrik yang bersembunyi di balik semak-semak bambu saat malam tiba, dan ritme napas kakek saya yang tidur di bale-bale kayu.
Orang tua saya, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang terbatas secara formal, adalah guru pertama saya dalam hal etika kerja dan ketahanan. Ayah saya adalah seorang pekerja keras yang mengajarkan nilai ketepatan waktu dan integritas melalui tindakannya, bukan ceramahnya. Saya ingat betul bagaimana ia menghabiskan waktu berjam-jam memperbaiki mesin tua di bengkelnya, ketekunan yang tampak membosankan bagi anak kecil, namun kini saya sadari sebagai fondasi dari disiplin yang saya terapkan dalam proyek-proyek saya. Ibu, di sisi lain, adalah sumber kehangatan emosional dan pendorong utama rasa ingin tahu saya. Dialah yang pertama kali menyajikan buku-buku bergambar dan mendongengkan kisah-kisah fantastis tentang perjalanan ke luar angkasa, ironisnya, di desa yang bahkan sinyal televisinya sering terputus.
Masa kanak-kanak tanpa internet dan gawai memaksa saya untuk mengolah imajinasi secara mandiri. Lapangan di belakang rumah adalah panggung utama teater pribadi saya. Saya sering menghabiskan sore hari membangun kota-kota mini dari lumpur dan ranting, merancang sistem irigasi kecil menggunakan bambu yang dibelah, dan menetapkan aturan-aturan fisika saya sendiri di dunia miniatur itu. Aktivitas ini, yang saat itu hanya terasa seperti permainan, kini saya pahami sebagai manifestasi awal dari ketertarikan saya pada sistem, struktur, dan desain. Setiap bongkahan tanah yang saya tumpuk adalah pelajaran tentang stabilitas dan estetika. Kegagalan kota lumpur saya roboh saat diguyur hujan deras mengajarkan saya tentang kelemahan material dan perlunya perencanaan yang matang, pelajaran yang jauh lebih mendalam daripada yang didapat dari buku teks mana pun.
Interaksi sosial pertama saya juga sangat mendefinisikan. Lingkungan desa yang komunal menuntut adaptasi dan empati. Saya belajar bernegosiasi, berbagi sumber daya (terutama kelereng dan layang-layang), dan menyelesaikan konflik tanpa bantuan orang dewasa. Namun, di tengah hiruk pikuk bermain kelompok, ada sisi Aksara yang selalu menyendiri. Saya sering duduk di bawah pohon mangga besar di sudut kebun, membaca buku apa pun yang saya temukan, atau sekadar mengamati pergerakan semut yang membawa remah-remah makanan kembali ke sarang mereka. Pengamatan mikro ini menumbuhkan kebiasaan refleksi yang mendalam, kebiasaan untuk selalu mencari pola dan makna tersembunyi di balik permukaan peristiwa sehari-hari. Keheningan itu adalah laboratorium pertama saya; di sana, saya belajar untuk mendengar suara pikiran saya sendiri, sebuah modal yang tak ternilai dalam menghadapi kebisingan dunia modern di kemudian hari.
Salah satu kenangan paling formatif adalah kunjungan pertama ke perpustakaan kabupaten. Bau kertas tua dan sampul yang usang langsung membius saya. Di sana, saya menemukan ensiklopedia besar yang penuh dengan gambar bangunan megah dari seluruh dunia—Piramida Giza, Colosseum, hingga Menara Eiffel. Momen itu adalah katalis. Saya menyadari bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengubah ide abstrak menjadi realitas fisik yang bertahan melintasi zaman. Sejak saat itu, setiap gambar arsitektur bukan hanya foto; itu adalah cerita tentang ambisi, matematika, dan ketahanan material. Saya mulai menggambar, bukan hanya rumah, tetapi struktur yang tidak mungkin, jembatan yang melintasi sungai imajiner, dan gedung pencakar langit yang menjulang di atas sawah kami. Pengalaman inilah yang menanamkan benih profesi yang akan saya geluti, sebuah hasrat untuk membangun, merancang, dan meninggalkan jejak yang terukur.
Tumbuh di lingkungan yang damai tidak berarti tanpa tantangan. Saya adalah anak yang sensitif, mudah terpengaruh oleh suasana hati orang lain, dan sering merasa canggung dalam situasi sosial yang besar. Pengalaman dirundung ringan oleh beberapa teman sekolah dasar karena kecenderungan saya yang lebih suka membaca daripada bermain sepak bola, mengajarkan saya tentang batas-batas dan pentingnya membangun benteng internal. Saya belajar bahwa rasa sakit emosional, meskipun tidak meninggalkan bekas fisik, dapat lebih lama membekas. Namun, alih-alih menjadi pahit, pengalaman itu mendorong saya untuk mencari pelarian dan kekuatan dalam dunia intelektual. Buku menjadi sahabat yang tidak pernah menghakimi, dan proses belajar menjadi sebuah bentuk pertahanan diri. Rasa canggung itu secara bertahap bertransformasi menjadi kerendahan hati dan kemampuan untuk mendengarkan lebih dalam, sebuah keterampilan yang kelak sangat berguna dalam berinteraksi dengan klien dan kolega yang beragam. Masa kecil ini, meskipun sederhana, adalah masa-masa di mana cetak biru diri saya, si pengamat yang reflektif, mulai dibuat dengan tinta yang tak terhapuskan.
Kepindahan dari desa ke kota saat memasuki jenjang sekolah menengah pertama adalah kejutan budaya yang signifikan. Jika di desa kehidupan berjalan dengan ritme musim, di kota, semuanya serba cepat, serba bising, dan serba kompetitif. Sekolah menengah adalah periode intens di mana saya mulai memahami konsep meritokrasi dan tekanan akademis yang sesungguhnya. Saya harus berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum yang lebih padat dan guru-guru yang menuntut. Namun, justru di tengah persaingan inilah, bakat dan minat saya mulai teruji dan terasah.
Saya menemukan ketertarikan mendalam pada Matematika dan Fisika. Bukan karena angka itu sendiri, tetapi karena keindahan logis dan kebenaran universal yang terkandung di dalamnya. Matematika adalah bahasa yang sempurna, sistem yang tidak mengenal ambiguitas, dan dalam dunia yang terasa kacau, menemukan struktur yang begitu solid memberikan rasa nyaman yang luar biasa. Ketertarikan ini membawa saya pada keputusan kritis saat memilih jurusan kuliah. Saya sempat goyah antara Sastra (karena cinta saya pada narasi) dan Teknik (karena obsesi saya pada konstruksi). Setelah perenungan yang panjang, dan mengingat kegembiraan saya saat merancang kota lumpur di masa lalu, saya memutuskan untuk mengambil jalan tengah yang harmonis: Arsitektur.
Kuliah Arsitektur adalah periode pendewasaan yang paling brutal dan transformatif. Studio desain, yang seharusnya menjadi ruang kreasi, seringkali terasa seperti medan pertempuran tanpa tidur. Desain tidak hanya menuntut kreativitas; ia menuntut ketahanan fisik, kemampuan presentasi yang persuasif, dan toleransi tinggi terhadap kritik yang tajam dan tak terduga. Saya menghabiskan hampir seluruh malam saya di studio, ditemani aroma kopi instan yang pahit dan dengungan kipas angin tua. Saya belajar bahwa sebuah ide desain yang tampak brilian di kepala bisa jadi tidak realistis saat dihadapkan pada hukum fisika atau anggaran yang ketat.
Salah satu proyek paling formatif adalah desain untuk "Hunian Pasca Bencana" di semester keempat. Dosen saya menuntut tidak hanya solusi teknis, tetapi juga solusi yang manusiawi, etis, dan berkelanjutan. Saat itulah saya mulai mengintegrasikan filosofi personal saya ke dalam karya profesional. Saya tidak hanya ingin membangun gedung; saya ingin membangun ruang yang mendukung kehidupan, yang merespons iklim lokal, dan yang menghormati sumber daya alam. Saya ingat harus mengunjungi langsung daerah yang pernah dilanda bencana, berbicara dengan para penyintas, dan merasakan langsung kebutuhan mereka. Pengalaman ini mengubah pandangan saya: arsitektur bukan tentang kemewahan, tetapi tentang pelayanan. Kegagalan awal saya dalam mendapatkan nilai A di proyek-proyek awal mengajarkan saya bahwa kesempurnaan datang dari proses iterasi yang melelahkan, bukan dari inspirasi sesaat.
Saya juga menemukan mentor yang sangat berpengaruh saat masa kuliah—seorang Profesor tua yang sangat idealis bernama Bapak Sudiro. Beliau mengajarkan tentang ‘Arsitektur yang Bernapas’—bahwa setiap bangunan harus memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Beliau sering berkata, “Aksara, bangunan terbaik bukan yang paling megah, tetapi yang paling jujur pada material dan paling ramah pada penggunanya.” Ajaran ini menjadi kompas moral saya. Saya mulai mendalami konsep arsitektur hijau dan desain bioklimatik, jauh sebelum tren ini menjadi arus utama. Tugas akhir saya, sebuah studi komprehensif tentang ‘Integrasi Sistem Pemanenan Air Hujan pada Infrastruktur Kota Padat Penduduk,’ menantang konvensi dan membutuhkan riset mendalam di luar batas kurikulum wajib. Keberanian untuk mengambil topik yang sulit ini membentuk reputasi saya sebagai seorang yang mau mendalami isu-isu fundamental, bukan hanya yang bersifat estetika permukaan.
Meskipun fokus saya pada arsitektur sangat kuat, saya memastikan diri saya tidak menjadi spesialis yang picik. Saya terlibat dalam klub debat universitas, bukan untuk memenangkan piala (meskipun terkadang kami berhasil), tetapi untuk melatih kemampuan menyusun argumen yang koheren dan logis di bawah tekanan waktu. Kemampuan ini, untuk menyaring informasi yang kompleks menjadi poin-poin yang mudah dicerna, adalah keterampilan presentasi yang krusial dalam dunia profesional arsitektur. Selain itu, saya juga menghabiskan beberapa bulan menjadi relawan di proyek konservasi bangunan bersejarah. Memegang batu bata berusia ratusan tahun, mencium bau kapur tua, dan merasakan tekstur kayu yang melapuk, memberikan penghormatan mendalam pada sejarah material dan teknik konstruksi masa lampau. Saya menyadari bahwa inovasi harus berakar pada pemahaman yang kuat tentang tradisi.
Fase pendidikan ini bukanlah perjalanan mulus. Ada keraguan, terutama saat melihat teman-teman lain sudah bekerja dan mendapatkan gaji, sementara saya masih berkutat dengan model maket dan revisi tak berujung. Rasa terisolasi sering menghampiri, terutama ketika tuntutan proyek memaksa saya menjauhi kehidupan sosial. Namun, setiap krisis energi, setiap saat putus asa di depan monitor komputer pada pukul 3 pagi, adalah momen yang membangun ketahanan mental. Saya belajar bahwa kepuasan terbesar bukan datang dari pengakuan eksternal, tetapi dari rasa tuntas menyelesaikan sebuah pekerjaan yang saya tahu telah saya kerjakan dengan upaya terbaik dan kejujuran intelektual. Pendidikan telah mengubah Aksara kecil yang pemalu di bawah pohon mangga menjadi seorang profesional muda yang berani mengutarakan visinya, meskipun visinya itu mungkin tidak populer.
Langkah pertama dalam dunia profesional adalah kejutan yang nyata. Setelah lulus dengan predikat yang memuaskan, saya memilih untuk bekerja di sebuah biro arsitektur skala menengah di ibu kota. Saya berasumsi bahwa di sana, saya akan segera diizinkan merancang mahakarya yang berkelanjutan. Realitasnya jauh lebih membumi: tahun-tahun awal dihabiskan untuk detail teknis, membuat gambar kerja yang membosankan, dan menghitung spesifikasi material. Transisi dari idealisme akademis yang tidak terbatas ke pragmatisme komersial adalah pelajaran yang keras.
Saya bekerja di bawah seorang manajer proyek yang sangat konservatif. Ia memegang teguh prinsip efisiensi biaya di atas segalanya, sering kali mengorbankan kualitas desain lingkungan yang saya perjuangkan. Saya ingat pernah menghabiskan dua minggu penuh merancang sistem ventilasi alami yang kompleks untuk sebuah kantor, hanya untuk melihatnya digantikan oleh sistem pendingin udara standar yang lebih murah dan mudah dipasang. Frustrasi saya memuncak. Namun, daripada menyerah, saya menggunakan periode ini untuk menguasai aspek-aspek yang sebelumnya saya abaikan: manajemen proyek, estimasi biaya yang realistis, dan, yang terpenting, seni negosiasi dengan para insinyur dan klien yang skeptis. Saya menyadari bahwa ide terbaik sekalipun tidak akan terwujud tanpa kemampuan untuk menjual ide tersebut dan menjalankannya sesuai anggaran.
Setelah tiga tahun bekerja, saya merasa bahwa kontribusi saya terlalu kecil untuk dampak yang saya ingin ciptakan. Saya mulai merasa bahwa saya tidak lagi merancang, melainkan hanya memfasilitasi mimpi orang lain tanpa jiwa. Momen kritis datang saat sebuah proyek perumahan besar yang kami tangani mengalami kegagalan struktural minor setelah badai. Meskipun bukan kesalahan desain saya, hal itu memicu refleksi mendalam tentang tanggung jawab seorang perancang. Saya memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk mengontrol integritas etis dan ekologis dari pekerjaan saya adalah dengan mengambil risiko yang lebih besar dan membangun platform saya sendiri.
Keputusan untuk mendirikan studio konsultasi saya sendiri, yang saya namakan "Akar Rancang," adalah tindakan impulsif yang didorong oleh keyakinan yang mendalam. Modal saya minim, namun visi saya jelas: menciptakan arsitektur yang beresonansi dengan lingkungan, yang meminimalkan jejak karbon, dan yang menghargai material lokal. Awalnya sangat sulit. Klien besar ragu-ragu untuk mempercayakan proyek mereka kepada studio baru yang dipimpin oleh seseorang yang masih tergolong muda dengan ide-ide yang dianggap “terlalu hijau” atau “terlalu mahal.”
Proyek pertama yang benar-benar mendefinisikan Akar Rancang adalah renovasi sebuah pusat komunitas di daerah pinggiran kota. Anggarannya sangat ketat, tetapi tantangan desainnya menarik: bagaimana menciptakan ruang yang terbuka dan inklusif dengan menggunakan 90% material daur ulang atau sumber daya lokal. Kami menggunakan bambu yang ditanam secara lestari, batu-batu dari sungai lokal, dan sistem pencahayaan alami yang dirancang secara detail untuk mengurangi ketergantungan pada listrik. Saya harus terjun langsung ke lapangan, bekerja bahu-membahu dengan para tukang lokal, mengadaptasi desain saya berdasarkan kemampuan material yang ada, dan belajar lebih banyak dari para pengrajin daripada yang saya pelajari di seminar. Keberhasilan proyek ini, yang memenangkan penghargaan desain regional kecil, bukan hanya karena estetika, tetapi karena efisiensi operasionalnya yang mencapai 40% lebih baik daripada bangunan sejenis.
Proyek ini membuka pintu. Tiba-tiba, orang-orang mulai melihat bahwa desain berkelanjutan tidak harus berarti mahal atau tidak estetis; itu berarti cerdas dan tahan lama. Pekerjaan saya mulai bergerak dari skala kecil ke proyek-proyek yang lebih kompleks: merancang sekolah berbasis ekologi, kantor pusat perusahaan teknologi yang menuntut sertifikasi nol-energi, hingga masterplan untuk revitalisasi kawasan pesisir yang terancam abrasi. Setiap proyek adalah kasus studi yang unik, menuntut integrasi disiplin ilmu yang berbeda—hidrologi, botani, hingga psikologi ruang.
Tantangan terbesar dalam fase ini adalah mengelola pertumbuhan tim dan mempertahankan etos kerja yang idealis. Ketika Akar Rancang berkembang menjadi dua puluh staf, peran saya bergeser dari perancang utama menjadi visioner dan manajer. Saya harus belajar mendelegasikan, mempercayai judgment kolega, dan yang paling sulit, menolak proyek-proyek yang bertentangan dengan prinsip inti studio. Menolak tawaran besar dari pengembang yang ingin membangun resor mewah yang merusak terumbu karang adalah salah satu keputusan etis yang paling sulit, tetapi penting untuk menjaga integritas filosofi yang telah saya bangun sejak awal. Keputusan tersebut memperkuat keyakinan tim bahwa kami bukan hanya perusahaan arsitektur, tetapi sebuah gerakan yang berkomitmen pada pembangunan yang bertanggung jawab. Krisis identitas ini, meskipun menyakitkan, memastikan bahwa Akar Rancang tetap otentik.
Ada masa-masa sulit, terutama saat krisis ekonomi global yang membuat banyak proyek konstruksi tertunda. Kami harus merumahkan beberapa anggota tim. Momen itu adalah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya. Saya tidak hanya merasa bertanggung jawab secara profesional, tetapi juga secara personal. Untuk bertahan, kami melakukan pivot: kami fokus pada konsultasi energi, audit bangunan eksisting, dan renovasi alih-alih proyek baru. Fleksibilitas ini menyelamatkan studio. Saya belajar bahwa inovasi sejati tidak hanya terjadi dalam desain fisik, tetapi juga dalam model bisnis dan strategi adaptasi. Krisis mengajarkan saya bahwa keahlian teknis harus diimbangi dengan literasi finansial dan kecerdasan emosional yang tinggi.
Seiring berjalannya waktu, dan setelah melewati berbagai siklus proyek, kegagalan, dan kesuksesan, fokus saya bergeser dari sekadar membangun fisik menjadi membangun narasi dan dampak. Biografi ini tidak akan lengkap tanpa merangkum filosofi hidup yang telah saya kristalisasi melalui semua pengalaman tersebut—filosofi yang kini menjiwai setiap desain dan interaksi yang saya lakukan.
Filosofi inti saya berkisar pada kejujuran material. Saya percaya bahwa sebuah bangunan harus mengungkapkan material pembentuknya tanpa kepura-puraan. Beton harus terlihat seperti beton, kayu harus terasa seperti kayu. Menghormati sifat intrinsik material adalah menghormati alam dan proses pembuatan. Prinsip ini meluas ke kehidupan pribadi: kejujuran yang tulus, tanpa topeng atau pemolesan. Saya menyadari bahwa banyak energi terbuang ketika kita mencoba menyembunyikan kekurangan kita, baik dalam desain struktural maupun dalam karakter pribadi. Ketika kita jujur pada diri sendiri, kita bisa mengalihkan energi tersebut untuk membangun dan memperbaiki, alih-alih menutupi.
Bertambahnya usia dan pengalaman membuat saya semakin menghargai kesementaraan. Arsitektur, meskipun dirancang untuk bertahan lama, pada akhirnya tunduk pada waktu. Hal ini mengingatkan saya bahwa kehidupan adalah serangkaian fase yang cepat berlalu. Saya belajar untuk tidak terikat secara berlebihan pada hasil, tetapi pada proses. Kebahagiaan bukan tujuan akhir; ia adalah kualitas dari perjalanan itu sendiri. Saya menemukan kedamaian dalam menerima bahwa beberapa proyek akan gagal, beberapa kritik akan menyakitkan, dan beberapa ide terbaik saya mungkin tidak pernah terwujud di dunia nyata. Namun, yang terpenting adalah integritas dan upaya yang dicurahkan saat ide itu masih dalam fase pembentukan.
Setiap pagi, sebelum memulai pekerjaan, saya menerapkan ritual yang saya sebut “Penghargaan Keheningan.” Ini adalah kebiasaan yang saya bawa dari masa kecil di desa, yaitu duduk selama sepuluh menit tanpa input digital, sekadar mendengarkan pernapasan. Ini berfungsi sebagai jangkar, mengingatkan saya bahwa di tengah hiruk pikuk tanggung jawab, masih ada pusat yang tenang, tempat Aksara yang sejati berada. Ritual ini membantu saya membedakan antara kebisingan eksternal (tuntutan pasar, tenggat waktu) dan panggilan internal (visi, nilai, tujuan sejati).
Dalam konteks kepemimpinan di Akar Rancang, peran saya telah berkembang dari seorang diktator desain menjadi seorang katalis. Saya percaya bahwa ide terbaik lahir dari kolaborasi yang cair dan lingkungan yang memungkinkan kerentanan intelektual. Saya berfokus pada menciptakan ruang di mana para desainer muda merasa aman untuk mengajukan ide yang gila, untuk menantang konvensi, dan untuk belajar dari kesalahan. Keberhasilan studio tidak lagi diukur dari seberapa sering nama saya muncul di media, tetapi dari kualitas dan kepuasan tim saya, serta dampak positif yang kami ciptakan di komunitas yang kami layani.
Saya menyadari bahwa warisan sejati saya bukanlah bangunan fisik yang akan saya tinggalkan—karena bangunan pada akhirnya akan lapuk—tetapi pada sistem pemikiran yang saya tanamkan pada generasi arsitek berikutnya. Jika saya bisa mengajarkan satu hal, itu adalah: selalu tanyakan ‘mengapa’ sebelum Anda mendesain ‘bagaimana’. Pertanyaan etis selalu harus mendahului solusi teknis.
Saat menatap garis cakrawala kehidupan yang membentang di depan, saya menyadari bahwa biografi ini hanyalah draf pertama yang panjang. Perjalanan tidak pernah berakhir; hanya fasenya yang berubah. Saya tidak lagi mencari validasi eksternal. Fokus saya kini adalah mendalami area filantropi arsitektur, menggunakan keahlian saya untuk mengatasi masalah perumahan sosial dan urbanisasi yang tidak berkelanjutan di wilayah yang kurang terlayani. Saya ingin memberikan kembali ilmu yang saya peroleh dari Profesor Sudiro dan dari tanah kelahiran saya sendiri.
Ada proyek besar di benak saya yang masih berupa sketsa kasar: sebuah inkubator desain non-profit yang fokus pada adaptasi iklim di daerah pesisir Asia Tenggara. Ini adalah tantangan terbesar saya sejauh ini, karena ini bukan hanya tentang merancang bangunan, tetapi merancang sistem yang dapat direplikasi dan dipertahankan oleh komunitas lokal itu sendiri. Saya percaya bahwa desain adalah alat yang paling ampuh untuk perubahan sosial, asalkan digunakan dengan kehati-hatian, empati, dan pemahaman mendalam tentang konteks.
Pada akhirnya, Aksara Dirgantara adalah hasil dari semua lapisan pengalaman ini: si pengamat kecil yang terpesona oleh semut, mahasiswa yang kelelahan di studio, profesional yang berjuang melawan idealisme vs. pragmatisme, dan kini, seorang narator yang mencoba memahami alur cerita kompleks yang ia jalani. Jika ada satu benang merah yang menyatukan semua fase ini, itu adalah keinginan yang tak pernah padam untuk menemukan struktur di tengah kekacauan, dan membangun keindahan serta makna dari kejujuran sederhana. Perjalanan terus berlanjut, dengan setiap langkah baru membawa pelajaran baru dan janji akan sebuah kontemplasi yang lebih dalam lagi.