Panduan Lengkap Cara Tawasul Kepada Leluhur
Menyambung rasa dengan para pendahulu, mereka yang telah berpulang mendahului kita, adalah sebuah tradisi luhur yang mengakar kuat dalam sanubari masyarakat Nusantara. Ikatan ini bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah jembatan spiritual yang diyakini terus terhubung melalui untaian doa. Salah satu cara paling khusyuk untuk merawat jembatan ini adalah melalui amalan tawasul. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan menyeluruh mengenai cara tawasul kepada leluhur, mulai dari hakikatnya, landasan teologis, hingga panduan praktis langkah demi langkah yang dapat diamalkan.
Tawasul seringkali disalahpahami, dianggap sebagai bentuk permintaan kepada selain Allah. Padahal, esensinya jauh dari itu. Tawasul adalah sebuah metode, sebuah "wasilah" atau perantara, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan membawa serta kemuliaan amal saleh atau kedudukan orang-orang yang dicintai-Nya, termasuk para leluhur kita yang saleh. Ini adalah wujud penghormatan, cinta, dan pengakuan atas jejak kebaikan yang telah mereka torehkan selama hidup di dunia.
Memahami Hakikat dan Landasan Tawasul
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam tataran praktis, sangat penting untuk memahami fondasi dari amalan ini. Pemahaman yang kokoh akan menghindarkan kita dari kekeliruan dan menjaga niat tetap lurus, semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Tawasul bukanlah jalan pintas, melainkan sebuah adab dalam berdoa, sebuah cara mengetuk pintu langit dengan kerendahan hati yang lebih mendalam.
Definisi Tawasul Secara Bahasa dan Istilah
Secara etimologi (bahasa), kata "tawasul" berasal dari bahasa Arab, "al-wasilah", yang berarti perantara, media, atau segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada tujuan. Dalam konteks spiritual, wasilah adalah sarana yang digunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, bertawasul artinya menggunakan atau mencari perantara untuk mencapai sebuah tujuan, yang dalam hal ini adalah terkabulnya doa dan tercapainya kedekatan dengan Sang Pencipta.
Secara terminologi (istilah syar'i), tawasul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui perantara nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia, amal saleh yang pernah dilakukan, atau melalui kedudukan hamba-hamba-Nya yang saleh, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Poin terakhir inilah yang menjadi dasar bagi praktik tawasul kepada para nabi, wali, ulama, dan termasuk para leluhur yang kita yakini kesalehannya.
Dalil dan Landasan Teologis
Para ulama yang membolehkan tawasul merujuk pada beberapa dalil dari Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu ayat yang sering menjadi rujukan adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Ma'idah ayat 35:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Para mufasir menafsirkan kata "al-wasilah" dalam ayat ini sebagai segala bentuk ketaatan dan amal saleh yang bisa mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mencintai orang-orang saleh dan menjadikan kecintaan serta penghormatan kepada mereka sebagai sarana untuk meraih cinta Allah.
Selain itu, terdapat beberapa riwayat hadis yang dijadikan sandaran. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah ketika Sayyidina Umar bin Khattab RA menghadapi musim kemarau panjang. Beliau tidak bertawasul langsung dengan Nabi Muhammad SAW yang telah wafat, melainkan beliau bertawasul dengan paman Nabi yang masih hidup, yaitu Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib RA. Beliau berdoa:
"Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, dan Engkau menurunkan hujan kepada kami. Kini kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami."
Kisah ini menunjukkan bahwa praktik bertawasul dengan kedudukan orang saleh telah ada sejak zaman sahabat. Bagi kalangan yang membolehkan tawasul dengan yang telah wafat, mereka berargumen bahwa kemuliaan dan kedudukan seorang hamba saleh di sisi Allah tidak akan terputus hanya karena kematian. Ruh mereka tetap hidup di alam barzakh dan kedekatan mereka dengan Allah tetap abadi.
Membedakan Tawasul dan Syirik: Sebuah Garis Tegas
Ini adalah poin paling krusial yang harus dipahami. Tawasul yang benar berada dalam koridor tauhid, sementara syirik adalah perbuatan yang menghancurkan tauhid. Perbedaannya terletak pada keyakinan hati dan kepada siapa permohonan itu ditujukan.
- Tawasul yang Benar: Keyakinan penuh bahwa yang mengabulkan doa, memberi manfaat, dan menolak mudarat hanyalah Allah SWT semata. Leluhur atau orang saleh yang dijadikan wasilah hanyalah perantara. Permohonan tetap ditujukan kepada Allah, dengan "menyebut" kemuliaan si fulan sebagai cara meraih rahmat-Nya. Analogi sederhananya, seperti kita meminta seorang kiai atau orang alim yang masih hidup untuk mendoakan kita. Kita tidak meminta kepada kiai tersebut, tetapi kita berharap doanya yang mustajab menjadi sebab dikabulkannya hajat kita oleh Allah.
- Syirik (Penyekutuan Allah): Keyakinan bahwa leluhur yang telah wafat memiliki kekuatan sendiri untuk mengabulkan permintaan, memberi rezeki, atau menolak bala. Permohonan ditujukan kepada arwah leluhur, bukan kepada Allah. Ini adalah perbuatan yang jelas dilarang dan merupakan dosa terbesar dalam Islam.
Jadi, garis pembedanya sangat jelas: tujuan akhir permohonan. Selama hati kita teguh bahwa hanya Allah Sang Pengabul Doa, maka tawasul hanyalah sebuah adab dan wasilah, bukan penyembahan atau pengkultusan.
Mengapa Bertawasul Kepada Leluhur?
Setelah memahami hakikatnya, muncul pertanyaan, mengapa secara spesifik kita dianjurkan untuk bertawasul kepada leluhur? Ada beberapa alasan mendalam yang bersifat spiritual, emosional, dan sosial.
1. Ikatan Batin dan Sanad Spiritual
Kita adalah kelanjutan dari para pendahulu kita. Darah mereka mengalir di tubuh kita, dan doa-doa mereka di masa lalu mungkin menjadi salah satu sebab keberkahan hidup kita saat ini. Bertawasul kepada mereka adalah cara untuk mengakui dan memperkuat ikatan batin ini. Kita menyambungkan kembali sanad (rantai) spiritual, mengakui bahwa keberadaan kita tidak lepas dari perjuangan dan kesalehan mereka. Ini adalah bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) yang diperluas cakupannya hingga ke kakek-nenek dan seterusnya.
2. Menghormati dan Memuliakan Jasa Mereka
Para leluhur, terutama yang telah menanamkan nilai-nilai kebaikan dan keimanan, adalah pahlawan bagi keluarganya. Mereka telah berjuang, bekerja keras, dan berdoa untuk kesejahteraan anak cucunya. Dengan menyebut nama mereka dalam doa kita kepada Allah, kita sedang memuliakan mereka. Kita seolah berkata, "Ya Allah, hamba ini adalah keturunan dari hamba-Mu yang saleh, Fulan bin Fulan. Berkat kesalehan dan perjuangannya, muliakanlah ia di sisi-Mu dan limpahkanlah juga keberkahan itu kepada kami, keturunannya."
3. Meneladani Kesalehan dan Amal Baik
Proses tawasul secara tidak langsung memaksa kita untuk merenung. Siapakah leluhur kita? Apa saja kebaikan yang pernah mereka lakukan? Apakah mereka dikenal sebagai pribadi yang dermawan, ahli ibadah, atau sabar? Dengan mengingat kebaikan-kebaikan ini, kita termotivasi untuk meneladani jejak mereka. Tawasul menjadi pengingat bahwa kita membawa nama baik keluarga dan memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan warisan kebaikan tersebut.
4. Harapan Keberkahan (Tabarruk) dari Jejak Kebaikan
Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah, dikenal konsep tabarruk, yaitu mencari berkah dari peninggalan atau jejak orang-orang saleh. Tawasul kepada leluhur adalah salah satu bentuk tabarruk secara spiritual. Kita berharap "berkah" dari amal saleh, keikhlasan, dan kedekatan mereka kepada Allah dapat menjadi "magnet" yang menarik rahmat Allah untuk turun kepada kita. Berkah ini bukanlah kekuatan magis, melainkan buah dari ketaatan yang dampaknya dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk keturunannya.
Panduan Praktis Cara Tawasul Kepada Leluhur
Berikut adalah panduan langkah demi langkah yang dapat Anda ikuti. Ingatlah, yang terpenting dari semua ini adalah kekhusyukan hati dan niat yang lurus karena Allah SWT.
Langkah 1: Persiapan Diri dan Batin
Persiapan adalah kunci kekhusyukan. Jangan terburu-buru. Ciptakan suasana yang tenang dan kondusif untuk berdoa.
- Niat yang Lurus (Ikhlas): Luruskan niat dalam hati bahwa Anda melakukan ini semata-mata untuk beribadah kepada Allah, mendoakan para leluhur, dan memohon kepada Allah dengan perantara kemuliaan mereka. Bukan untuk meminta kepada arwah leluhur.
- Bersuci (Thaharah): Ambillah air wudhu dengan sempurna. Kebersihan fisik adalah cerminan dari kesiapan batin untuk menghadap Sang Pencipta.
- Memilih Waktu Mustajab: Pilihlah waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdoa, seperti sepertiga malam terakhir, setelah shalat fardhu, di antara adzan dan iqamah, atau pada hari Jumat.
- Menghadap Kiblat: Duduklah dengan tenang menghadap kiblat, layaknya sedang berdoa atau berdzikir.
- Menyiapkan Nama Leluhur: Jika memungkinkan, siapkan daftar nama leluhur yang ingin Anda doakan dan tawasuli, lengkap dengan nama ayah mereka (bin/binti). Ini membantu agar tidak ada yang terlewat.
Langkah 2: Rangkaian Pembuka (Istiftah)
Mulailah sesi doa Anda dengan pujian dan permohonan ampun kepada Allah. Ini adalah adab tertinggi dalam berdoa.
- Istighfar: Ucapkan istighfar (misalnya, "Astaghfirullahal 'adzim") sebanyak-banyaknya, minimal 3 atau 7 kali. Ini untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang mungkin menjadi penghalang terkabulnya doa.
- Syahadat: Ucapkan dua kalimat syahadat untuk meneguhkan kembali pilar keimanan kita.
- Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW: Ini adalah wasilah terbesar dan teragung. Bacalah shalawat (misalnya, "Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad") minimal 11 kali. Doa tanpa shalawat diibaratkan seperti tergantung antara langit dan bumi.
Langkah 3: Mengirim Hadiah Pahala (Inti Tawasul)
Inilah bagian inti dari prosesi tawasul, di mana kita "menghadiahkan" bacaan-bacaan suci kepada arwah yang kita tuju, sebagai pembuka jalan doa kita.
A. Mengirim Al-Fatihah Secara Berurutan
Ucapkan kalimat pengantar sebelum membaca Surah Al-Fatihah. Kalimat ini berfungsi sebagai "alamat" tujuan pahala bacaan kita.
Pertama, kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW:
"Ila hadratin nabiyyil musthafa, Muhammadin shallallahu 'alaihi wa sallam, wa 'ala alihi wa ashhabihi wa azwajihi wa dzurriyyatihi wa ahli baitihil kirom, syai-un lillahi lahumul-fatihah..."
(Kepada hadirat Nabi terpilih, Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, istri, keturunan, dan ahli baitnya yang mulia. Sesuatu karena Allah bagi mereka, Al-Fatihah...)
[Lalu baca Surah Al-Fatihah 1 kali]
Kedua, kepada para Nabi, Sahabat, Ulama, dan Orang Saleh:
"Tsumma ila hadrati ikhwanihi minal anbiya-i wal mursalin, wal auliya-i wasy-syuhada-i wash-shalihin, wash-shohabati wat-tabi'in, wal 'ulama-il 'amilin, wal mushannifinal mukhlishin, wa jami'il malaikatil muqarrabin, khusushan ila hadrati Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, syai-un lillahi lahumul-fatihah..."
(Kemudian kepada para saudaranya dari golongan para nabi dan rasul, para wali, para syuhada, orang-orang saleh, para sahabat dan tabi'in, para ulama yang mengamalkan ilmunya, para pengarang kitab yang ikhlas, dan seluruh malaikat yang dekat dengan Allah, khususnya kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Sesuatu karena Allah bagi mereka, Al-Fatihah...)
[Lalu baca Surah Al-Fatihah 1 kali]
Ketiga, kepada arwah leluhur kita (ini bagian utamanya):
"Tsumma ila hadrati jami'i ahlil kubur, minal muslimina wal muslimat, wal mu'minina wal mu'minat, min masyariqil ardhi ila magharibiha, barriha wa bahriha, khusushan aba-ana wa ummahatina, wa ajdadana wa jaddatina, wa masyayikhana wa masyayikha masyayikhina, wa limanijtama'na hahuna bisababih."
(Kemudian kepada seluruh ahli kubur dari kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, dari timur hingga barat, di darat maupun di laut, khususnya kepada bapak-bapak dan ibu-ibu kami, kakek-kakek dan nenek-nenek kami, guru-guru kami dan guru dari guru-guru kami, dan kepada siapa saja yang menjadi sebab kami berkumpul di sini.)
Lanjutkan dengan menyebut nama secara spesifik:
"Wa khusushan ila ruhi... [Sebutkan nama leluhur, misal: Abdul Karim] bin [Sebutkan nama ayahnya, misal: Abdullah]... wa ila ruhi... [Sebutkan nama leluhur perempuan, misal: Fatimah] binti [Sebutkan nama ayahnya, misal: Hasan]... Syai-un lillahi lahumul-fatihah..."
(Dan khususnya kepada arwah... [nama] bin [nama ayah]... dan kepada arwah... [nama] binti [nama ayah]... Sesuatu karena Allah bagi mereka, Al-Fatihah...)
[Lalu baca Surah Al-Fatihah 1 kali]
Anda bisa menyebutkan beberapa nama secara berurutan dalam satu sesi pengantar sebelum membaca Al-Fatihah.
B. Membaca Surat-surat Pendek dan Ayat Al-Qur'an
Setelah menghadiahkan Al-Fatihah, lanjutkan dengan membaca surat-surat berikut untuk menambah pahala yang dikirimkan kepada para arwah:
- Surah Al-Ikhlas (3 kali) - Pahalanya setara dengan mengkhatamkan Al-Qur'an.
- Surah Al-Falaq (1 kali) - Sebagai pelindung dari kejahatan makhluk.
- Surah An-Nas (1 kali) - Sebagai pelindung dari waswas setan.
- Ayat Kursi (Surah Al-Baqarah: 255) (1 kali) - Ayat paling agung dalam Al-Qur'an, penuh dengan keutamaan dan perlindungan.
C. Berdzikir (Tahlil)
Lanjutkan dengan berdzikir, terutama kalimat tahlil yang menjadi inti dari tauhid.
Bacalah: "Laa ilaha illallah"
Anda bisa membacanya sebanyak 33 kali, 100 kali, atau lebih, sesuai dengan kemampuan dan waktu yang Anda miliki. Setiap kalimat tahlil yang diucapkan adalah penegasan keesaan Allah dan pahalanya sangat besar untuk dihadiahkan kepada para arwah.
Langkah 4: Menyampaikan Hajat (Puncak Doa Tawasul)
Setelah "bekal" hadiah pahala dan pujian kepada Allah dirasa cukup, inilah saatnya Anda menyampaikan hajat pribadi Anda. Gunakan bahasa yang penuh kerendahan hati. Berikut beberapa contoh redaksi doa:
Contoh Redaksi 1 (Sangat Jelas):
"Ya Allah, ya Tuhanku. Dengan rahmat dan kasih sayang-Mu yang tak terhingga, dan dengan perantara kemuliaan, kesalehan, dan kedekatan leluhur kami, [Sebutkan nama leluhur], di sisi-Mu, kami memohon kepada-Mu, kabulkanlah hajat kami... [Sebutkan hajat Anda dengan jelas, misal: mudahkanlah rezeki kami, sembuhkanlah penyakit keluarga kami, berikanlah keturunan yang saleh, luluskanlah ujian anak kami, dst.]. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengabulkan Doa."
Contoh Redaksi 2 (Lebih Umum):
"Ya Allah, berkat keagungan Nabi Muhammad SAW, berkat kemuliaan para wali-Mu, dan berkat amal ibadah serta kebaikan yang telah dilakukan oleh kakek kami, [Sebutkan nama], dan nenek kami, [Sebutkan nama], kami bertawasul kepada-Mu. Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, lapangkanlah segala urusan kami, dan berkahilah hidup kami di dunia dan akhirat. Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan."
Penting untuk selalu mengawali dan mengakhiri permohonan dengan menegaskan bahwa permintaan itu ditujukan hanya kepada Allah SWT.
Langkah 5: Doa Penutup
Akhiri seluruh rangkaian dengan doa penutup yang sempurna.
- Shalawat Penutup: Bacalah kembali shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penutup.
- Doa untuk Arwah: Ucapkan doa khusus untuk para arwah yang telah Anda sebutkan, misalnya: "Allahummaghfirlahum warhamhum wa 'afihim wa'fu 'anhum..." (Ya Allah, ampunilah mereka, rahmatilah mereka, selamatkanlah mereka, dan maafkanlah mereka...).
- Doa Sapu Jagat: Bacalah doa pamungkas yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat: "Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina 'adzabannar."
- Al-Fatihah Penutup: Tutup seluruh rangkaian dengan membaca Surah Al-Fatihah sekali lagi sebagai penyempurna.
Adab dan Etika dalam Bertawasul
Agar amalan tawasul kita diterima dan bernilai ibadah, ada beberapa adab yang harus senantiasa dijaga:
- Menjaga Akidah Tauhid: Ini adalah adab paling utama. Jangan sampai terbersit sedikit pun di dalam hati bahwa leluhur memiliki kekuatan mandiri. Semua kekuatan mutlak milik Allah.
- Khusyuk dan Tawadhu: Lakukan dengan penuh konsentrasi, kesungguhan, dan kerendahan hati. Rasakan bahwa Anda sedang berdialog dengan Dzat Yang Maha Agung.
- Tidak Memaksa Kehendak: Berdoalah dengan penuh harap, namun serahkan hasilnya kepada Allah. Jika doa belum terkabul, teruslah berprasangka baik. Mungkin Allah menundanya untuk waktu yang lebih baik, atau menggantinya dengan yang lebih baik.
- Menyambung Kebaikan di Dunia Nyata: Tawasul adalah jembatan spiritual. Jangan lupakan jembatan duniawi. Lanjutkan amal jariyah atas nama leluhur, seperti bersedekah, menyantuni anak yatim, atau wakaf. Kebaikan nyata ini akan semakin menguatkan doa-doa kita.
- Rutin Berziarah Kubur: Jika memungkinkan, sempurnakan amalan tawasul dengan berziarah ke makam leluhur. Ziarah mengingatkan kita pada kematian, melembutkan hati, dan menjadi momen untuk mendoakan mereka secara langsung di sisi pusara mereka.
Sebagai penutup, cara tawasul kepada leluhur adalah sebuah manifestasi cinta, hormat, dan bakti yang melintasi batas alam. Ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah dialog spiritual yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu untaian doa yang indah. Dengan memahaminya secara benar, menjalankannya dengan adab yang lurus, dan menjaga kemurnian tauhid, semoga amalan ini menjadi wasilah bagi kita untuk semakin dekat kepada Allah SWT, sekaligus menjadi pancaran cahaya bagi para pendahulu kita di alam barzakh. Amin ya Rabbal 'alamin.