Memahami Cara Tawasul yang Benar
Ilustrasi konsep tawasul sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah
Pengantar: Memahami Hakikat Tawasul
Dalam khazanah spiritualitas Islam, doa menempati posisi yang sangat sentral. Ia adalah inti dari ibadah, jembatan penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Di antara berbagai adab dan cara berdoa, terdapat satu konsep yang seringkali menjadi bahan diskusi, yaitu Tawasul. Tawasul, secara bahasa, berasal dari kata wasilah yang berarti perantara atau sarana untuk mendekatkan diri kepada sesuatu. Dalam konteks doa, tawasul adalah menjadikan sesuatu sebagai perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT agar doa yang dipanjatkan lebih berpotensi untuk dikabulkan.
Penting untuk digarisbawahi sejak awal bahwa tawasul bukanlah meminta kepada selain Allah. Keyakinan mutlak bahwa satu-satunya Dzat yang Maha Mengabulkan doa adalah Allah SWT merupakan pondasi yang tidak bisa ditawar. Tawasul hanyalah sebuah 'cara' atau 'seni' dalam memohon, sebuah manifestasi dari adab seorang hamba yang merasa dirinya penuh dengan kekurangan, sehingga ia mencari perantara yang mulia di sisi Allah untuk 'mengantarkan' permohonannya. Ia ibarat seorang yang hendak menghadap raja; alih-alih datang dengan tangan hampa, ia membawa hadiah atau datang bersama orang yang dicintai oleh sang raja, dengan harapan permohonannya lebih didengar.
Memahami tawasul secara benar adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menjerumuskan pada praktik yang menyimpang. Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai cara tawasul yang dibenarkan, lengkap dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadits, macam-macamnya, serta adab yang perlu dijaga agar doa kita senantiasa berada dalam koridor tauhid yang lurus.
Dasar Hukum Tawasul dalam Al-Qur'an dan Hadits
Praktik tawasul memiliki landasan yang kuat dalam sumber utama ajaran Islam. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah merujuk pada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dalil yang membolehkan, bahkan menganjurkan, untuk mencari wasilah dalam berdoa.
Dalil dari Al-Qur'an Al-Karim
Beberapa ayat dalam Al-Qur'an secara eksplisit maupun implisit menyinggung tentang konsep wasilah. Di antaranya adalah:
1. Surat Al-Maidah, Ayat 35
Ini adalah ayat yang paling sering dijadikan rujukan utama mengenai tawasul. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."
Dalam ayat ini, terdapat perintah yang jelas untuk mencari al-wasilah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa wasilah di sini memiliki makna yang luas, mencakup segala sesuatu yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Ini termasuk iman, amal saleh, ketaatan, serta hal-hal lain yang dicintai dan diridhai-Nya. Dengan demikian, menggunakan amal saleh atau kedudukan orang-orang yang dicintai Allah sebagai perantara adalah bagian dari cakupan makna ayat ini.
2. Surat An-Nisa, Ayat 64
Ayat ini menceritakan sebuah anjuran yang berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, namun para ulama mengambil isyarat penting darinya.
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
"Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang."
Ayat ini menunjukkan bahwa kedatangan para sahabat kepada Rasulullah SAW dan permintaan mereka agar Rasulullah memohonkan ampunan bagi mereka adalah sebuah wasilah yang dianjurkan. Kehadiran Rasulullah dan doanya menjadi perantara terkabulnya ampunan dari Allah. Meskipun konteks ayat ini terjadi saat Nabi masih hidup, ia menjadi dasar bagi tawasul dengan meminta doa kepada orang saleh yang masih hidup.
3. Surat Yusuf, Ayat 97-98
Kisah Nabi Ya'qub AS bersama putra-putranya juga memberikan pelajaran berharga tentang tawasul.
قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Mereka berkata, "Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah." Dia (Ya'qub) menjawab, "Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Dalam ayat ini, putra-putra Nabi Ya'qub tidak langsung memohon ampun kepada Allah, melainkan mereka datang kepada ayah mereka, seorang Nabi yang mulia, untuk dijadikan perantara dalam memohonkan ampunan. Ini adalah bentuk tawasul melalui doa orang saleh yang masih hidup, sebuah praktik yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Qur'an.
Dalil dari Hadits Nabi Muhammad SAW
Selain Al-Qur'an, banyak hadits yang menjadi bukti nyata praktik tawasul pada zaman Nabi dan para sahabat.
1. Hadits Lelaki Buta (Riwayat Utsman bin Hunaif)
Ini adalah salah satu hadits paling populer mengenai tawasul dengan Dzat Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku." Nabi SAW menjawab, "Jika engkau mau, aku akan menundanya dan itu lebih baik bagimu, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Lelaki itu berkata, "Doakanlah."
Maka Nabi SAW memerintahkannya untuk berwudhu dengan sempurna, shalat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa ini:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku."
Lelaki itu pun melakukan apa yang diperintahkan, dan seketika ia dapat melihat kembali. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan lainnya ini sangat jelas menunjukkan ajaran Nabi sendiri mengenai cara bertawasul dengan diri beliau.
2. Hadits Tawasul Umar bin Khattab dengan Abbas bin Abdul Muthalib
Setelah Nabi SAW wafat, praktik tawasul tidak berhenti. Sayyidina Umar bin Khattab RA memberikan contoh yang sangat baik. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ketika terjadi musim kemarau panjang, Umar bin Khattab berdoa memohon hujan (istisqa) dengan bertawasul melalui paman Nabi, Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib.
Umar berkata dalam doanya:
"Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang, kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami."
Maka hujan pun turun. Peristiwa ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, tawasul adalah praktik yang dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Kedua, ia menunjukkan legitimasi tawasul dengan orang saleh yang masih hidup, terutama mereka yang memiliki kedekatan nasab atau spiritual dengan Rasulullah SAW.
Macam-Macam Tawasul yang Dibenarkan
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan penjelasan para ulama, tawasul dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Sebagian besar disepakati kebolehannya (muttafaq 'alaih), dan sebagian kecil menjadi area perbedaan pendapat (khilafiyah) yang tetap diakomodasi dalam mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
1. Tawasul yang Disepakati (Muttafaq 'Alaih)
Ini adalah jenis-jenis tawasul yang kebolehannya tidak diragukan lagi oleh mayoritas ulama.
a. Tawasul dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah (Asmaul Husna)
Ini adalah bentuk tawasul yang paling tinggi dan paling utama. Seseorang berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang mulia atau sifat-sifat-Nya yang agung yang sesuai dengan hajatnya. Allah sendiri memerintahkan hal ini dalam Al-Qur'an (Surat Al-A'raf: 180):
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya."
Contohnya: "Ya Allah, ya Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), berikanlah aku rezeki yang halal dan barokah." atau "Ya Allah, ya Asy-Syafi (Maha Penyembuh), dengan sifat penyembuh-Mu, sembuhkanlah penyakitku ini." atau "Ya Rahman, ya Rahim, dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, ampunilah dosa-dosaku."
b. Tawasul dengan Amal Saleh Diri Sendiri
Seseorang menjadikan amal saleh yang pernah ia lakukan dengan ikhlas sebagai perantara dalam doanya. Dalilnya adalah hadits masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua yang ditutupi oleh batu besar. Mereka tidak bisa keluar, lalu masing-masing dari mereka berdoa kepada Allah dengan bertawasul melalui amal saleh terbaik yang pernah mereka lakukan.
- Orang pertama bertawasul dengan baktinya yang luar biasa kepada kedua orang tuanya.
- Orang kedua bertawasul dengan usahanya menjaga diri dari perbuatan zina padahal ia memiliki kesempatan.
- Orang ketiga bertawasul dengan kejujurannya dalam menunaikan hak seorang pekerja.
Setelah masing-masing berdoa dengan perantara amal salehnya, atas izin Allah, batu itu bergeser sedikit demi sedikit hingga mereka bisa keluar. Kisah ini menunjukkan bahwa menjadikan amal saleh yang paling ikhlas sebagai wasilah adalah cara berdoa yang mustajab.
Contoh lafadznya: "Ya Allah, jika Engkau meridhai amalku saat aku merawat ibuku yang sakit dengan penuh kesabaran, maka dengan perantara amal tersebut, kabulkanlah hajatku ini..."
c. Tawasul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup
Ini adalah praktik di mana seseorang meminta orang lain yang dianggap lebih saleh, lebih dekat kepada Allah, atau doanya lebih mustajab (seperti ulama, kiai, atau orang tua) untuk mendoakannya. Ini adalah bentuk kerendahan hati, mengakui bahwa orang lain mungkin memiliki kedudukan yang lebih baik di sisi Allah.
Dalilnya sangat banyak, termasuk kisah para sahabat yang meminta didoakan oleh Nabi SAW, kisah putra-putra Nabi Ya'qub, serta praktik Sayyidina Umar yang bertawasul dengan doa Sayyidina Abbas. Praktik ini sangat umum dan dianjurkan, karena doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya akan diaminkan oleh malaikat.
2. Tawasul yang Menjadi Ranah Perbedaan Pendapat
Jenis tawasul ini, meskipun memiliki dalil dan dipegang oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (terutama dari kalangan mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan sebagian Hanbali), namun terdapat sebagian kecil ulama lain yang memiliki pandangan berbeda. Penting untuk memahaminya dengan pikiran terbuka dan adab dalam berikhtilaf.
a. Tawasul dengan Dzat atau Kedudukan (Jah) Nabi Muhammad SAW
Ini adalah menjadikan pribadi, kemuliaan, atau kedudukan agung Nabi Muhammad SAW di sisi Allah sebagai perantara dalam berdoa. Dasarnya adalah keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling dicintai Allah, pemimpin para nabi, dan pemilik syafaat terbesar. Bertawasul dengannya adalah bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.
Dalil utamanya adalah hadits lelaki buta yang telah disebutkan sebelumnya, di mana Nabi SAW sendiri mengajarkan doa yang berbunyi: "...aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad..." Ini adalah tawasul dengan Dzat Nabi. Para ulama juga memahami bahwa setelah Nabi wafat, kedudukan (jah) beliau di sisi Allah tidak berkurang, bahkan semakin mulia. Oleh karena itu, bertawasul dengan kedudukan beliau tetap relevan.
Contoh lafadznya: "Ya Allah, dengan perantara kemuliaan dan kedudukan agung kekasih-Mu, Nabi Muhammad SAW, di sisi-Mu, aku memohon agar Engkau memudahkan urusanku ini."
b. Tawasul dengan Orang-orang Saleh yang Telah Wafat
Ini adalah titik perbedaan yang paling sering dibahas. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah membolehkannya dengan pemahaman yang benar. Perlu ditekankan, tawasul ini bukanlah meminta kepada orang yang sudah wafat. Meminta sesuatu kepada orang mati adalah syirik. Namun, tawasul ini adalah meminta kepada Allah dengan menjadikan kedudukan atau kemuliaan orang saleh yang telah wafat (para wali, ulama, syuhada) sebagai perantara.
Logikanya sama seperti tawasul dengan kedudukan Nabi SAW. Para wali dan orang-orang saleh memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah karena ketaatan dan ibadah mereka. Kedudukan ini tidak hilang dengan kematian mereka. Kehidupan mereka di alam barzakh adalah kehidupan yang nyata, dan ruh mereka tetap mulia di sisi Tuhan. Ketika kita bertawasul dengan mereka, kita sejatinya berkata, "Ya Allah, Engkau telah memuliakan hamba-Mu Fulan, maka demi kemuliaan yang telah Engkau berikan kepadanya, kabulkanlah doaku." Fokus permohonan tetap 100% kepada Allah.
Praktik ini didasarkan pada pemahaman luas dari dalil-dalil tawasul dan beberapa riwayat dari para ulama salaf. Kuncinya adalah menjaga niat dan keyakinan agar tidak tergelincir pada kesyirikan.
Tata Cara dan Adab dalam Bertawasul
Agar tawasul yang kita lakukan benar dan diterima oleh Allah SWT, ada beberapa langkah dan adab yang harus diperhatikan. Ini bukan sekadar mengucapkan lafadz, tetapi sebuah proses spiritual yang melibatkan hati, pikiran, dan perbuatan.
Langkah-langkah Praktis Bertawasul
- Sucikan Diri dan Niat: Mulailah dengan bersuci (berwudhu). Yang terpenting, luruskan niat bahwa Anda berdoa semata-mata hanya kepada Allah SWT. Wasilah hanyalah sarana, bukan tujuan.
- Menghadap Kiblat dan Mengangkat Tangan: Lakukan dalam posisi berdoa yang khusyuk, menghadap kiblat dengan mengangkat kedua tangan.
- Buka dengan Pujian kepada Allah: Mulailah doa dengan memuji Allah SWT. Ucapkan hamdalah, "Alhamdulillahi rabbil 'alamin," dan pujian-pujian lainnya yang mengagungkan-Nya.
- Bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW: Setelah memuji Allah, lanjutkan dengan membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Doa yang tidak diawali dengan pujian dan shalawat ibaratnya tergantung di antara langit dan bumi.
- Sebutkan Wasilah dengan Jelas: Inilah inti dari tawasul. Sebutkan perantara yang Anda gunakan dengan lafadz yang benar dan keyakinan yang lurus.
- Contoh dengan Asmaul Husna: "Ya Allah, ya Ghafur, dengan nama-Mu Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosaku..."
- Contoh dengan Amal Saleh: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku pernah bersedekah secara sembunyi-sembunyi hanya karena mengharap ridha-Mu. Jika amal itu Engkau terima, maka dengan perantara amal tersebut, aku memohon kepada-Mu..."
- Contoh dengan Kedudukan Nabi: "Ya Allah, demi kemuliaan dan ketinggian derajat Nabi-Mu Muhammad di sisi-Mu, aku bermohon kepada-Mu agar Engkau melapangkan dadaku..."
- Sampaikan Hajat atau Permohonan: Setelah menyebut wasilah, sampaikan hajat Anda dengan bahasa yang paling tulus dari hati. Ungkapkan semua keinginan dan keluh kesah Anda kepada Allah.
- Tutup dengan Shalawat dan Hamdalah: Akhiri doa Anda dengan kembali bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan mengucapkan hamdalah sebagai penutup.
Adab yang Harus Dijaga
- Keyakinan yang Lurus (Tauhid): Ini adalah adab yang paling fundamental. Selalu tanamkan dalam hati bahwa yang memberi, menolak, menyembuhkan, dan mengabulkan hanyalah Allah SWT. Wasilah tidak memiliki kekuatan apa pun secara mandiri. Menganggap wasilah memiliki kekuatan setara dengan Allah adalah perbuatan syirik.
- Khusyuk dan Rendah Hati: Lakukan tawasul dengan penuh kekhusyukan, merasakan keagungan Allah dan kehinaan diri di hadapan-Nya. Tawasul adalah cerminan kerendahan hati, bukan kesombongan.
- Tidak Memaksa: Berdoalah dengan penuh harap, namun serahkan hasilnya kepada Allah. Jangan merasa bahwa dengan bertawasul, Allah 'wajib' mengabulkan doa Anda. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
- Menjauhi Maksiat: Doa adalah permintaan dari seorang hamba. Semakin bersih seorang hamba dari dosa dan maksiat, semakin besar peluang doanya untuk dikabulkan. Upayakan untuk selalu menjaga ketaatan kepada Allah.
- Berbaik Sangka (Husnuzan) kepada Allah: Yakinlah bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Apapun hasil dari doa Anda, terimalah dengan lapang dada dan terus berbaik sangka kepada ketetapan-Nya.
Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Tawasul
Konsep tawasul seringkali disalahpahami, yang terkadang menimbulkan tuduhan syirik atau bid'ah. Penting untuk meluruskan beberapa miskonsepsi umum.
Tawasul Bukanlah Menyembah Selain Allah
Titik perbedaan paling mendasar antara tawasul dan syirik terletak pada objek permohonan. Dalam tawasul yang benar, doa dan permohonan selalu dan hanya ditujukan kepada Allah SWT. Nabi, wali, atau amal saleh yang dijadikan wasilah hanyalah 'sarana penghubung' untuk memuliakan doa, bukan sebagai tuhan tandingan yang dimintai pertolongan. Analogi sederhananya, ketika kita berkata, "Pak Hakim, demi keadilan, bebaskanlah orang ini," kita tidak sedang menyembah 'keadilan', tetapi menggunakan konsep 'keadilan' yang dihargai oleh hakim untuk memperkuat permohonan kita.
Tawasul Bukanlah Istighatsah kepada Orang Mati
Istighatsah adalah meminta pertolongan secara langsung. Istighatsah kepada selain Allah (misalnya, berteriak "Wahai Syaikh Fulan, tolonglah aku!") adalah perbuatan yang dilarang dan masuk kategori syirik. Tawasul sangat berbeda. Dalam tawasul, kita berkata, "Ya Allah, tolonglah aku, dengan perantara kemuliaan Syaikh Fulan di sisi-Mu." Permintaan tolong (istighatsah) ditujukan kepada Allah, sedangkan Syaikh Fulan hanya disebut sebagai wasilah karena kedudukannya yang mulia.
Pentingnya Ilmu dan Bimbingan Guru
Untuk menghindari kesalahan dalam praktik tawasul, sangat dianjurkan untuk belajar di bawah bimbingan seorang guru (mursyid) yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Guru akan menjelaskan batasan-batasan dan adab yang benar, sehingga praktik spiritual kita tetap berada di atas jalan tauhid yang murni dan terhindar dari penyimpangan.
Hikmah dan Manfaat Bertawasul
Mengapa tawasul menjadi bagian penting dari tradisi doa dalam Islam? Ada beberapa hikmah dan manfaat mendalam di baliknya:
- Manifestasi Kerendahan Hati: Dengan bertawasul, seorang hamba secara implisit mengakui kekurangan dan ketidaklayakan dirinya. Ia merasa doanya mungkin kurang pantas untuk langsung 'sampai', sehingga ia mencari perantara yang lebih mulia dan dicintai Allah.
- Meningkatkan Mahabbah (Kecintaan): Bertawasul dengan Nabi Muhammad SAW dan orang-orang saleh akan menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta kita kepada mereka. Kita akan senantiasa mengingat perjuangan, kesalehan, dan kemuliaan mereka, yang pada gilirannya akan memotivasi kita untuk meneladani akhlak mereka.
- Memperkuat Harapan (Raja'): Ketika seorang hamba merasa dosanya terlalu banyak dan amalnya terlalu sedikit, tawasul dapat menjadi pintu harapan. Dengan 'menggandeng' nama-nama yang mulia di sisi Allah, ia menjadi lebih optimis bahwa doanya akan didengar dan dikabulkan.
- Mengikuti Jejak Para Salafus Shalih: Praktik tawasul telah dicontohkan oleh para sahabat dan diteruskan oleh generasi ulama setelahnya. Dengan melakukannya, kita menyambungkan diri kita dengan rantai emas tradisi para pendahulu yang saleh.
Penutup: Tawasul sebagai Seni Berdoa
Pada akhirnya, tawasul adalah salah satu dari sekian banyak adab dan seni dalam berdoa kepada Allah SWT. Ia adalah cara seorang hamba menunjukkan rasa hormat, cinta, dan kerendahan hatinya di hadapan Sang Pencipta. Selama dilakukan dengan pemahaman yang benar, niat yang lurus, dan keyakinan tauhid yang kokoh, tawasul menjadi jalan yang indah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbesar harapan terkabulnya sebuah doa.
Kunci utamanya adalah senantiasa mengingat bahwa Allah adalah tujuan akhir dari setiap permohonan. Wasilah, apapun bentuknya, hanyalah sebuah jembatan. Jangan sampai kita terpukau dengan keindahan jembatan hingga lupa pada tujuan di seberangnya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap doa dan permohonan, serta menerima segala amal ibadah kita.