Ilustrasi Kosmos dan Penciptaan Bumi menurut Tafsir Al-Baqarah 29.
Surah Al-Baqarah, surah kedua dalam Al-Qur'an, memuat fondasi-fondasi akidah, syariat, dan kisah-kisah penting. Di tengah rangkaian ayat yang menjelaskan keesaan Allah dan perintah-perintah-Nya, Ayat 29 berdiri sebagai salah satu bukti kosmik terbesar mengenai kekuasaan Rububiyah (Ketuhanan) Allah SWT. Ayat ini secara spesifik menjelaskan urutan penciptaan, yaitu dimulai dari bumi, kemudian penyempurnaan langit.
Memahami kedalaman makna ayat ini memerlukan analisis lafazh (kata per kata) yang mendalam. Setiap kata dalam ayat 29 Al-Baqarah membawa beban teologis dan kosmologis yang sangat signifikan dalam kerangka akidah Islam.
Ayat dimulai dengan penegasan identitas Sang Pencipta. Kata هُوَ (Dia) merujuk kepada Allah SWT. Frasa ini menegaskan Tauhid Rububiyah—keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Penciptaan di sini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan melalui kehendak yang spesifik dan terarah.
Kata kunci di sini adalah جَمِيعًا (semuanya). Ini menunjukkan kelengkapan dan universalitas penciptaan. Seluruh elemen di bumi—sumber daya alam, flora, fauna, mineral, hingga hukum fisika yang berlaku—diciptakan. Yang paling penting, frasa لَكُم (untukmu) memberikan makna teleologis (tujuan) yang jelas: semua ciptaan ini ditundukkan dan disediakan demi kemaslahatan, kebutuhan, dan keberlangsungan hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ini menjadi dasar hukum Islam terkait pemanfaatan sumber daya alam, di mana segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Kata ثُمَّ (kemudian) dalam konteks ini tidak selalu berarti urutan waktu yang lama, tetapi bisa juga berarti urutan tingkatan atau perpindahan fokus dari penciptaan bumi ke penciptaan langit. Namun, mayoritas ulama tafsir memahaminya sebagai urutan kejadian: bumi disiapkan terlebih dahulu, baru kemudian langit disempurnakan. Bagian terpenting dari frasa ini adalah اسْتَوَىٰ (Istawa').
Istiwa' adalah salah satu istilah teologis yang paling banyak diperdebatkan. Secara bahasa, Istiwa' bisa berarti: menaiki, menyeimbangkan, berkuasa, atau menguasai. Dalam konteks ayat ini (اسْتَوَىٰ إِلَى), para ulama memiliki beberapa pandangan:
Dalam Tafsir At-Tabari, Istiwa' di sini diartikan sebagai "berkehendak untuk menciptakan langit." Fokusnya adalah perpindahan dari tahap penciptaan bumi ke tahap penciptaan langit, menegaskan bahwa penciptaan langit terjadi setelah penetapan dasar bumi.
Kata فَسَوَّاهُنَّ berarti menyempurnakan, merapikan, atau menyeimbangkan. Ini menunjukkan bahwa penciptaan langit bukanlah kekacauan, melainkan sebuah struktur yang teratur dan sempurna. Angka سَبْعَ (tujuh) merujuk pada lapisan-lapisan langit.
Mengenai 'tujuh langit', ada dua interpretasi utama:
Tujuh langit ini melambangkan keteraturan kosmik yang diciptakan oleh Allah. Penyebutan tujuh langit ini menjadi bukti kekuasaan Allah yang menyempurnakan tatanan makrokosmos setelah Dia mengatur mikrokosmos (bumi) untuk manusia.
Ayat ditutup dengan penegasan sifat Allah, Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui). Pengetahuan Allah mencakup detail proses penciptaan dari awal hingga akhir, termasuk rahasia yang tersembunyi di dalam bumi dan di luar tujuh lapis langit. Klausa penutup ini berfungsi sebagai penekanan teologis: proses penciptaan yang maha agung ini bukan dilakukan oleh Zat yang acak, melainkan oleh Zat yang ilmunya meliputi segalanya, menjamin kesempurnaan dan keteraturan abadi ciptaan tersebut.
Salah satu poin penting yang diangkat oleh ayat 29 adalah urutan kronologis penciptaan. Ayat ini sering dikontraskan dengan ayat-ayat lain, seperti Surah An-Nazi'at ayat 27-33, yang seolah-olah menunjukkan langit diciptakan lebih dahulu. Namun, para mufassir telah memberikan resolusi yang komprehensif.
Al-Baqarah 29 menyatakan bahwa Allah menciptakan مَّا فِي الْأَرْضِ (segala yang ada di bumi) terlebih dahulu. Tafsir kontemporer dan klasik sepakat bahwa ini merujuk pada penciptaan 'materi dasar' bumi atau 'dasar' bumi sebelum langit disempurnakan. Penciptaan bumi yang dimaksud di sini adalah penetapan bentuknya, penempatan bahan-bahan dasarnya, dan penyediaan segala kebutuhan primer bagi kehidupan.
Setelah dasar bumi diciptakan, Allah fokus pada penyempurnaan langit. Langit diciptakan dalam bentuk 'asap' (seperti yang disebut dalam QS. Fussilat: 11) kemudian disempurnakan menjadi tujuh lapisan. Proses ini terjadi setelah penetapan bumi.
Ayat dalam Surah An-Nazi'at menyebutkan langit lebih dahulu, kemudian bumi dihampar (dahāhā). Para ulama seperti Ibnu Abbas dan Mujahid menjelaskan bahwa: Dasar (struktur) bumi diciptakan sebelum langit (sesuai Al-Baqarah 29), namun penghamparan (penyediaan air, makanan, gunung, dan sumber daya alam) dilakukan setelah penyempurnaan langit. Dengan kata lain, bumi ada terlebih dahulu, langit disempurnakan, lalu bumi dihias dan disiapkan secara fungsional untuk manusia.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyempurnaan bumi, yang mencakup penanaman dan penempatan gunung, terjadi setelah penyempurnaan langit. Ayat 29 Al-Baqarah fokus pada penciptaan materi dasar bumi, sementara An-Nazi'at fokus pada persiapan fungsionalnya.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, penting untuk menelusuri bagaimana para imam tafsir besar menguraikan makna QS. Al-Baqarah: 29.
Ibnu Katsir sangat menekankan aspek *ni'mah* (nikmat) dan *dalil* (bukti) dalam ayat ini.
Beliau menafsirkan: خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا sebagai penegasan bahwa semua yang ada di bumi—dataran rendah, gunung, laut, sungai, pohon, buah, dan sumber daya—semua diciptakan semata-mata demi kemanfaatan Bani Adam (manusia). Ini adalah bukti kemurahan dan kasih sayang Allah, yang seharusnya mendorong manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya.
Mengenai Istiwa', Ibnu Katsir mengikuti manhaj salaf, yaitu mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa takwil (interpretasi metaforis) dan tanpa tasybih (penyerupaan), sambil menegaskan bahwa Istiwa' ini terjadi setelah Allah menciptakan bumi.
Ibnu Katsir juga mengutip hadis yang menjelaskan urutan penciptaan: bumi diciptakan pada hari Ahad dan Senin, gunung pada hari Selasa, kemudian langit disempurnakan.
Imam At-Thabari, sebagai penafsir yang sangat mengandalkan riwayat, memberikan perhatian khusus pada makna linguistik dan riwayat dari para Sahabat.
Menurut At-Thabari, makna ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ adalah bahwa Allah 'berkehendak' atau 'berniat' untuk mengurus dan menciptakan langit. Penggunaan kata ثُمَّ di sini menunjukkan perpindahan dari satu perbuatan agung (penciptaan bumi) ke perbuatan agung lainnya (penyempurnaan langit).
At-Thabari juga merincikan bahwa penyempurnaan tujuh langit (فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ) berarti Allah membuatnya lurus, teratur, dan seimbang, tidak ada ketidaksempurnaan atau kekacauan di dalamnya. Setiap langit diletakkan pada tempatnya dan memiliki orbitnya, menunjukkan keteraturan yang sempurna.
Imam Al-Qurtubi fokus pada aspek hukum (ahkam) dan teologi. Beliau membahas secara ekstensif perdebatan seputar Istiwa', mencantumkan pandangan ahli bahasa dan ahli kalam. Al-Qurtubi menggarisbawahi bahwa penciptaan bumi untuk manusia mencakup segala aspek, termasuk hewan, tumbuhan, air, dan udara. Semua ini adalah *ni'mat* yang tak terhingga dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk memanfaatkannya sesuai syariat.
Mengenai tujuh langit, Al-Qurtubi memaparkan riwayat bahwa ketujuh langit itu saling berlapis dan jauh, dan setiap langit memiliki penghuni (malaikat) dan fungsinya sendiri, menegaskan bahwa tujuh adalah jumlah hakiki, bukan metafora.
Ayat 29 Al-Baqarah bukan sekadar deskripsi ilmiah kosmik, tetapi merupakan fondasi kuat dalam akidah Islam yang melahirkan beberapa konsekuensi teologis mendasar.
Inti dari ayat ini adalah penegasan bahwa hanya Allah (هُوَ الَّذِي) yang memiliki kuasa penuh untuk menciptakan dan mengatur alam semesta. Penciptaan bumi dan langit yang begitu kompleks, teratur, dan fungsional adalah bukti mutlak atas keesaan-Nya dalam Rububiyah (Ketuhanan). Tidak ada entitas lain yang berbagi kekuasaan atau perencanaan dalam proses ini.
Penyebutan خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا memberikan status khusus kepada manusia. Kita diciptakan bukan hanya untuk menghuni bumi, tetapi untuk memanfaatkannya. Ini melahirkan konsep istikhlaf (kekhalifahan), di mana manusia bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan adil, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Bumi adalah amanah, bukan hak milik mutlak.
Penutupan ayat, وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ, mengikat proses penciptaan yang teratur dengan sifat ilmu Allah yang sempurna. Keteraturan kosmik (seperti tujuh langit yang sempurna) hanya mungkin lahir dari Zat yang ilmunya meliputi detail terkecil (mikrokosmos) dan detail terbesar (makrokosmos).
Ilmu Allah yang sempurna ini menjamin bahwa segala sesuatu yang diciptakan—baik yang tampak di bumi maupun yang tersembunyi di langit—berada dalam pengetahuan-Nya, dan tidak ada satu pun yang sia-sia. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa hukum-hukum alam (sunnatullah) adalah manifestasi dari ilmu dan kehendak-Nya.
Dalam era modern, penafsiran ayat-ayat kauniyah (tentang alam semesta) seperti Al-Baqarah 29 sering kali dikaitkan dengan temuan sains. Meskipun Al-Qur'an bukan buku sains, banyak mufassir kontemporer mencoba mencari keselarasan antara wahyu dan penemuan ilmiah.
Konsep tujuh langit (سَبْعَ سَمَاوَاتٍ) dalam tafsir modern sering dihubungkan dengan konsep lapisan-lapisan alam semesta atau lapisan atmosfer yang kita kenal.
Beberapa penafsir kontemporer mengaitkan "tujuh langit" dengan lapisan-lapisan atmosfer (troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan eksosfer) ditambah dengan lapisan kosmik di luar angkasa yang belum sepenuhnya teridentifikasi.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa 'langit' dalam Al-Qur'an (سَمَاء) memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar atmosfer bumi, mencakup keseluruhan ruang angkasa, galaksi, dan alam semesta yang maha luas. Keberadaan angka 'tujuh' tetap menjadi misteri yang menunjukkan struktur berlapis dan terorganisir dari kosmos, yang sejalan dengan pengamatan modern tentang tatanan alam semesta yang sangat presisi.
Ayat 29 menggarisbawahi bahwa bumi diciptakan لَكُم (untukmu). Sains modern, melalui studi ekologi, biologi, dan astrofisika, semakin menegaskan betapa unik dan presisinya Bumi. Parameter seperti jarak ke matahari, komposisi atmosfer, dan keberadaan air cair sangat disetel (fine-tuned) untuk mendukung kehidupan manusia.
Fakta bahwa seluruh sumber daya di bumi tersedia, sebagaimana disebutkan dalam جَمِيعًا, mendukung pandangan bahwa Bumi adalah hasil perencanaan ilahi yang sempurna demi menopang peradaban manusia.
Kandungan Ayat 29 Al-Baqarah memberikan landasan etika lingkungan dan moral yang kuat bagi umat Islam.
Karena segala sesuatu di bumi diciptakan oleh Allah لَكُم (untukmu), manusia memiliki hak untuk memanfaatkannya. Namun, hak ini dibarengi dengan kewajiban. Pemanfaatan harus dilakukan tanpa merusak, tanpa berlebihan (israf), dan tanpa menimbulkan kerusakan (fasad) di muka bumi, karena bumi adalah milik Allah yang diamanahkan kepada manusia.
Perenungan mendalam terhadap betapa teraturnya bumi dan tujuh lapis langit (فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ) seharusnya menumbuhkan rasa rendah hati dan kekaguman. Pemahaman ini berfungsi sebagai penguat akidah, mendorong manusia untuk senantiasa bersyukur dan mengakui kebesaran Zat yang Maha Mengetahui (وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ).
Karena sentralitas Istiwa' dalam ayat ini, perluasan pembahasan teologis sangat diperlukan untuk memahami spektrum penafsiran yang ada. Konsep ini adalah batu ujian bagi metodologi tafsir.
Metodologi salaf (generasi awal umat Islam, termasuk Sahabat dan Tabi’in) dalam menyikapi sifat-sifat Allah yang mutasyabihat (samar) adalah itsbat (menetapkan) tanpa takyif (mempertanyakan bentuknya) dan tanpa tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk). Mereka menerima bahwa Allah Istiwa' ke langit setelah penciptaan bumi, sebagaimana termaktub dalam ayat, namun hakikat dan cara Istiwa' tersebut adalah urusan Allah sepenuhnya.
Imam Malik rahimahullah, ketika ditanya tentang Istiwa’, menjawab: "Istiwa’ itu maklum (dikenal maknanya), cara (kayf) nya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah." Ini menunjukkan bahwa Istiwa’ pada Al-Baqarah 29 harus diimani sebagai realitas ilahiah yang melebihi pemahaman akal manusia.
Dalam konteks teologis, Istiwa' ke langit setelah penciptaan bumi menegaskan transendensi (ketinggian) Allah. Setelah mengatur urusan bumi, Allah 'menetapkan' urusan langit. Ini bukanlah perpindahan fisik, tetapi perpindahan fokus kehendak ilahiah untuk menciptakan tatanan kosmik. Istiwa' menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi, dan langit adalah batas penciptaan fisik terbesar yang kita ketahui.
Kata جَمِيعًا (semuanya) dalam ayat 29 Al-Baqarah memiliki implikasi hukum dan filosofis yang mendalam terkait hak milik dan penggunaan sumber daya.
Para ulama ushul fiqh (prinsip hukum Islam) menggunakan ayat ini sebagai salah satu dalil utama kaidah bahwa "Hukum asal segala sesuatu di bumi adalah mubah (boleh)." Karena Allah menciptakan semuanya untuk manusia, maka manusia secara inheren diizinkan untuk memanfaatkannya, kecuali ada dalil khusus (dari Al-Qur'an atau Sunnah) yang melarangnya.
Kata جَمِيعًا menekankan bahwa tidak ada satu bagian pun dari bumi yang diciptakan tanpa tujuan bagi manusia. Baik itu yang terlihat (pepohonan, hasil bumi) maupun yang tersembunyi (mineral, energi), semua adalah 'hadiah' ilahi. Ini melarang monopoli sumber daya yang dapat merugikan kemaslahatan umum, karena pada hakikatnya, sumber daya itu milik Allah yang diperuntukkan bagi semua umat manusia.
Meskipun kita tidak mengetahui hakikat pasti dari tujuh langit, Al-Qur'an dan Sunnah memberikan indikasi mengenai fungsinya, yang semuanya merupakan bagian dari penyempurnaan (فَسَوَّاهُنَّ) oleh Allah.
Langit yang paling dekat dengan bumi diyakini sebagai tempat dihiasinya bintang-bintang (وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ - QS. Fussilat: 12). Ini adalah batas yang terlihat bagi pandangan mata manusia, tempat benda-benda langit terdekat berada. Langit ini berfungsi sebagai pelindung dan penanda waktu (dengan pergerakan bulan dan bintang).
Lapisan-lapisan langit yang lebih tinggi memiliki fungsi yang melampaui pemahaman fisik kita. Menurut riwayat Isra' Mi'raj, setiap lapisan langit dihuni oleh para malaikat tertentu dan merupakan tempat bagi para nabi yang telah wafat. Ini menunjukkan bahwa tujuh langit tidak hanya merujuk pada materi fisik, tetapi juga pada dimensi spiritual atau dimensi eksistensi yang lebih tinggi.
Penyempurnaan tujuh langit adalah manifestasi dari kunci-kunci ghaib yang ada pada Allah. Manusia hanya diberikan sedikit ilmu tentangnya. Kesempurnaan penciptaan ini menegaskan kembali bahwa Sang Pencipta, yang menyempurnakannya, adalah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi di balik tujuh tirai kosmos tersebut.
Ayat mulia ini, meskipun singkat, memadatkan pelajaran akidah, kosmologi, dan hukum. Ia adalah pernyataan agung tentang keesaan Allah dalam penciptaan dan kepemilikan. Dimulai dari penciptaan seluruh isi bumi demi manfaat manusia, dilanjutkan dengan penetapan dan penyempurnaan tujuh lapisan langit yang teratur, dan diakhiri dengan penegasan bahwa semua proses ini diatur oleh Zat yang ilmunya meliputi segala sesuatu.
Al-Baqarah 29 adalah undangan untuk merenungkan kebesaran Allah melalui tanda-tanda-Nya di alam semesta, baik di bumi yang kita pijak maupun di langit yang membentang tak terbatas. Kewajiban yang muncul dari ayat ini adalah bersyukur atas nikmat bumi yang disediakan لَكُم, serta mengimani Istiwa' dan Ilmu Allah yang sempurna, yang menjadi jaminan atas keteraturan kosmik yang kita saksikan.
***
Pembahasan mendalam mengenai setiap kata kunci—termasuk *khalaqa*, *lakum*, *jami'an*, *istawa',* dan *sab'a samāwātin*—memerlukan ratusan halaman referensi tafsir klasik dan kontemporer untuk mencakup seluruh spektrum pendapat ulama. Pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Baqarah 29 memastikan bahwa kita tidak hanya membaca teks, tetapi memahami tujuan eksistensial dan teologis di balik setiap frasa penciptaan. Ayat ini adalah fondasi bahwa alam semesta adalah bukti nyata dari Kekuasaan Ilahi yang terencana, terstruktur, dan ditujukan untuk kemaslahatan hamba-Nya.
Seluruh bumi diciptakan dalam bentuk yang paling optimal. Mineral, air, udara, dan daratan; semua unsur ini telah disiapkan oleh Allah sebelum Dia beralih perhatian kepada tata ruang kosmik di atas. Pengaturan sumber daya ini adalah manifestasi langsung dari sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) Allah, yang menjamin kebutuhan dasar makhluk-Nya terpenuhi sebelum mereka ditugaskan untuk mengemban amanah kekhalifahan.
Struktur penciptaan yang diawali dari bumi, kemudian Istiwa’ ke langit, menunjukkan prioritas Allah dalam memberikan bekal hidup bagi manusia. Ini adalah pelajaran bahwa dasar-dasar kehidupan harus kokoh sebelum manusia bisa melihat atau merenungkan keagungan langit. Para ahli tafsir menekankan bahwa urutan ini menunjukkan betapa Allah sangat memerhatikan kebutuhan makhluk-Nya di bumi.
Aspek *Istiwa’ ila as-Sama’i* kembali ditekankan sebagai momen krusial dalam penciptaan. Ini adalah saat Allah mentransformasikan materi langit yang belum terbentuk (dukhān atau asap kosmik) menjadi tujuh lapisan langit yang terstruktur. Proses ini menunjukkan kemampuan Allah untuk mengubah sesuatu dari keadaan yang tidak teratur menjadi kesempurnaan dan keseimbangan mutlak.
Perbedaan antara penciptaan materi dasar bumi dan penyempurnaan tujuh langit juga menjadi poin penting. Bumi pada awalnya hanyalah materi. Setelah Istiwa’ dan penyempurnaan langit selesai, barulah bumi 'dihampar' atau disempurnakan secara fungsional (seperti yang dijelaskan dalam An-Nazi'at), di mana gunung-gunung dipancangkan dan sungai-sungai dialirkan. Dengan demikian, Al-Baqarah 29 memberikan kerangka waktu yang penting dalam studi kosmologi Islam.
Pengulangan penegasan *وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ* (Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu) di akhir ayat berfungsi sebagai segel kebenaran. Ilmu Allah yang mutlak adalah jaminan bahwa tidak ada cacat, tidak ada kekeliruan, dan tidak ada kebetulan dalam penciptaan bumi yang berlimpah dan langit yang bertingkat tujuh. Kepercayaan terhadap ilmu Allah ini adalah pilar utama akidah yang melahirkan ketenangan dan kepasrahan (Islam).
Kajian linguistik terhadap فَسَوَّاهُنَّ menunjukkan konotasi penyempurnaan bentuk dan fungsi. Penyempurnaan tujuh langit oleh Allah bukan sekadar pembentukan, tetapi adalah penataan sempurna yang meniadakan kekacauan. Setiap langit, atau lapisan kosmik, bekerja selaras dengan yang lain, membentuk sistem yang kohesif. Ini menolak pandangan tentang alam semesta yang dihasilkan oleh proses buta atau acak.
Pelajaran moral yang paling berharga dari Al-Baqarah 29 adalah dorongan untuk Tadabbur (perenungan). Dengan menyadari bahwa bumi dan isinya diciptakan khusus untuk kita, rasa syukur harus menjadi respons alami. Kegagalan untuk memanfaatkan sumber daya bumi secara bijak atau merusaknya adalah bentuk kufur terhadap nikmat Allah yang disebutkan dalam ayat ini.
Dalam konteks modernitas, ayat ini mendorong umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan alam (kauniyah). Untuk memahami betapa segala sesuatu di bumi diciptakan جَمِيعًا bagi kita, kita harus mempelajari ilmu bumi, ekologi, dan sumber daya alam. Untuk mengagumi penyempurnaan tujuh langit, kita didorong untuk mempelajari astronomi dan astrofisika. Dengan demikian, Al-Qur'an memicu pencarian ilmu sebagai jalan untuk mengenal Sang Pencipta.
Diskusi tentang *Sab'a Samāwātin* juga sering membawa kepada perenungan tentang skala. Jika langit yang terdekat saja sudah sangat luas dan dihiasi bintang, bagaimana dengan enam lapisan langit di atasnya? Ini adalah manifestasi keagungan Allah yang tak terukur. Tujuh lapisan ini mencerminkan hierarki dan tatanan spiritual dan fisik yang ada di seluruh jagat raya, jauh melampaui imajinasi manusia.
Makna لَكُم (untukmu) juga mencakup penyediaan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang stabil. Karena hukum fisika (gravitasi, rotasi, magnetisme) yang mengatur bumi dan langit adalah ciptaan Allah dan diciptakan untuk kemaslahatan kita, kita dapat meneliti dan memanfaatkannya. Kestabilan ini memungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, yang semuanya merupakan perpanjangan dari izin pemanfaatan مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا.
Ibn Abbas, salah satu mufassir generasi awal, menekankan bahwa penyebutan bumi dahulu dalam Al-Baqarah 29 dan kemudian langit, serta penyebutan langit dahulu dalam An-Nazi’at, menunjukkan penciptaan bumi dan langit terjadi secara paralel dalam dimensi waktu yang berbeda, tetapi penyempurnaan salah satunya menunggu penyempurnaan yang lain. Intinya, fondasi bumi dan langit ada bersamaan, tetapi penyelesaian konstruksi bumi yang mendetail terjadi belakangan, setelah arsitektur kosmik langit telah ditetapkan oleh Istiwa'.
Dalam konteks teologi, Istiwa' pada ayat ini berbeda dengan Istiwa' yang sering disebut dalam ayat lain (seperti QS. Ar-Ra'd: 2, Istiwa' di atas Arasy). Istiwa' dalam Al-Baqarah 29 lebih merujuk pada 'Amd' (bermaksud) atau 'Ittijah' (berpaling perhatian) untuk menciptakan langit, karena ini terjadi saat proses penciptaan. Sementara Istiwa' di atas Arasy adalah penetapan sifat Allah yang abadi setelah penciptaan selesai. Memahami perbedaan nuansa makna Istiwa' adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman dalam sifat-sifat Allah.
Setiap huruf dan kata dalam Al-Baqarah 29 merupakan gerbang menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap Allah. Ayat ini adalah dasar ajaran Islam tentang tata kelola alam semesta. Pengakuan bahwa segala sesuatu diciptakan untuk manusia harus mendorong kita untuk menjadi pengelola bumi yang adil, bukannya perusak yang serakah. Keadilan ekologis berakar kuat pada pemahaman filosofis dari frasa خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا.
Secara retoris, penempatan ayat 29 ini di awal surah Al-Baqarah, setelah pembahasan tentang orang-orang yang beriman, orang-orang kafir, dan orang-orang munafik, berfungsi sebagai bukti penutup (hujjah) bagi mereka yang masih ragu. Bagaimana mungkin Zat yang mampu merancang dan menyempurnakan makrokosmos dan mikrokosmos sedemikian rupa tidak pantas disembah? Kekuatan argumentatif ayat ini terletak pada keagungan bukti alam semesta yang dipersembahkannya.
Implikasi bagi para ahli hukum Islam (fuqaha') juga tidak terpisahkan. Ayat ini menjadi dasar bagi legitimasi seluruh aktivitas ekonomi, pertanian, perikanan, dan pertambangan, asalkan tidak melanggar batasan syariat. Selama pemanfaatan sumber daya itu membawa kemaslahatan bagi لَكُم (umat manusia), itu sesuai dengan tujuan penciptaan yang ditetapkan Allah dalam ayat ini.
Penyempurnaan tujuh langit (سَبْعَ سَمَاوَاتٍ) juga mengingatkan kita pada konsep dimensi. Jika sains modern mulai berbicara tentang multi-dimensi atau lapisan-lapisan realitas, konsep tujuh langit Al-Qur'an telah mendahului pemikiran tersebut dengan menetapkan adanya tatanan kosmik yang jauh lebih kompleks daripada yang dapat diakses oleh indra manusia di bumi.
Pada akhirnya, Al-Baqarah 29 adalah seruan untuk Tauhid, bukan hanya melalui ibadah ritual, tetapi melalui pengenalan terhadap karya Sang Khaliq. Mengimani setiap detail penciptaan yang disebutkan dalam ayat ini adalah langkah awal menuju kesempurnaan iman. Pengetahuan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (عَلِيمٌ) adalah penutup yang sempurna, karena hanya dengan ilmu yang sempurna, penciptaan yang sempurna dapat terlaksana.
Setiap elemen yang kita lihat, dari partikel terkecil hingga galaksi terjauh, adalah subjek dari Ilmu Allah yang meliputi segalanya. Kita sebagai manusia hanya mampu memahami sebagian kecil dari kemurahan yang terkandung dalam مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا. Dengan demikian, tugas kita adalah terus mencari ilmu, merenung, dan memanfaatkan pemberian ini dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, sesuai dengan kedudukan kita sebagai khalifah di bumi yang diciptakan untuk kita oleh Zat Yang Maha Mengetahui.