Alt: Menara Masjid saat Senja, melambangkan panggilan Adzan Maghrib.
Adzan, yang secara harfiah berarti pengumuman atau seruan, adalah manifestasi keimanan yang paling jelas dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Ia bukan sekadar penanda waktu, melainkan juga proklamasi tauhid dan panggilan universal menuju keselamatan. Di antara lima waktu shalat fardhu, adzan Maghrib memiliki nuansa dan keutamaan yang khas, menandai berakhirnya siang dan dimulainya waktu berbuka puasa bagi yang berpuasa, serta transisi cepat menuju malam.
Waktu Maghrib, yang datang segera setelah terbenamnya matahari, merupakan waktu yang sangat singkat. Kecepatan perpindahan dari cahaya ke kegelapan ini menuntut respons yang cepat dari muadzin maupun jamaah. Oleh karena itu, memahami tata cara adzan Maghrib, termasuk lafadz, ketentuan, hingga sunnah-sunnahnya, adalah bagian integral dari kesempurnaan ibadah. Panduan ini akan mengupas tuntas segala aspek yang berkaitan dengan seruan suci ini, menelusuri akar fiqihnya, perbedaan madzhab, hingga dampak spiritualnya dalam kehidupan umat.
Pemahaman yang mendalam terhadap adzan Maghrib juga membantu kita menghayati makna filosofis di balik setiap kalimatnya. Adzan Maghrib sering kali dinantikan dengan penuh harap—ia adalah penutup rangkaian ibadah harian yang dimulai sejak Subuh, dan pada saat yang sama, ia adalah pembuka bagi peluang ibadah malam yang penuh berkah. Keistimewaan ini menjadikan studi tentang tata cara pelaksanaannya bukan sekadar hafalan, melainkan proses memahami sebuah ritual sakral yang menghubungkan manusia dengan Penciptanya.
Sebelum membahas spesifik adzan Maghrib, penting untuk meninjau status hukum adzan secara umum. Menurut mayoritas ulama dari empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), hukum adzan untuk shalat fardhu lima waktu adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi shalat yang dilaksanakan secara berjamaah. Bahkan, bagi sebagian madzhab, seperti Hanbali, adzan dianggap Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) bagi penduduk desa atau perkampungan. Jika tidak ada yang mengumandangkan adzan, seluruh penduduk menanggung dosa.
Agar adzan dianggap sah dan diterima secara syar’i, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) dan pelaksanaannya. Syarat-syarat ini berlaku universal untuk semua adzan lima waktu, termasuk Maghrib:
Selain syarat sah, ada pula syarat kesempurnaan atau sunnah yang sangat ditekankan bagi muadzin:
Alt: Ilustrasi gulungan kitab kuno (Fiqih).
Lafadz adzan Maghrib pada dasarnya sama dengan lafadz adzan untuk shalat Dzhuhur, Ashar, dan Isya. Perbedaan utama dengan adzan Subuh adalah tidak adanya kalimat at-tatswib (pengulangan "shalat lebih baik dari tidur") di akhir adzan Maghrib.
Teks adzan yang paling umum digunakan, terdiri dari 15 kalimat, termasuk pengulangan:
Takbir (4x) - Permulaan
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Allāhu Akbar, Allāhu Akbar (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar)
Syahadat Tauhid (2x)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اَللهُ
Asyhadu an Lā Ilāha Illallāh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah)
Syahadat Rasul (2x)
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اَللهِ
Asyhadu anna Muhammadar Rasūlullāh (Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Seruan Shalat (2x)
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Ḥayya ‘alaṣ-Ṣalāh (Marilah mendirikan shalat)
(Disunnahkan menoleh ke kanan saat mengucapkan ini)
Seruan Kebahagiaan (2x)
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
Ḥayya ‘ala’l-Falāḥ (Marilah meraih kemenangan/kebahagiaan)
(Disunnahkan menoleh ke kiri saat mengucapkan ini)
Penutup Tauhid (2x)
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Allāhu Akbar, Allāhu Akbar
Pernyataan Akhir (1x)
لَا إِلٰهَ إِلَّا اَللهُ
Lā Ilāha Illallāh
Meskipun lafadz di atas adalah yang paling umum, terdapat perbedaan pendapat utama di kalangan ulama mengenai jumlah takbir di awal dan penerapan Tarji':
Tarji' adalah mengulang Syahadatain (Asyhadu an laa ilaaha illallah dan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah) sebanyak dua kali secara lirih (sirr) setelah Syahadatain diucapkan dengan keras, sebelum Syahadatain diucapkan kembali dengan keras. Tarji' biasanya diterapkan oleh Madzhab Syafi'i dan Hanbali.
Jika Tarji' dimasukkan, adzan Maghrib akan memiliki total 19 kalimat (menurut Syafi'i) atau 17 kalimat (menurut Maliki). Meskipun demikian, adzan dengan 15 kalimat, tanpa Tarji', tetap sah dan merupakan praktik paling umum di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, karena dianggap lebih ringkas, yang sesuai dengan sifat waktu Maghrib yang sempit.
Sifat waktu Maghrib yang sangat singkat (terutama di daerah lintang tinggi) memiliki implikasi terhadap pelaksanaan adzan dan iqamah. Mayoritas ulama menyepakati bahwa adzan Maghrib, meskipun harus dibaca dengan tartil (jelas dan diresapi), cenderung lebih cepat daripada adzan Subuh atau Dzuhur. Hal ini bertujuan agar jeda antara adzan dan iqamah tidak terlalu panjang, memungkinkan jamaah segera melaksanakan shalat di awal waktu.
Pekerjaan sebagai muadzin adalah pekerjaan yang mulia dan penuh pahala. Muadzin adalah orang yang bertanggung jawab secara syar'i untuk memastikan shalat dilaksanakan pada waktunya. Oleh karena itu, terdapat berbagai sunnah yang ditekankan untuk menyempurnakan tugas ini:
Rasulullah ﷺ sangat memuliakan muadzin. Hadis menyebutkan bahwa para muadzin akan menjadi orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat (sebagai tanda kehormatan). Karakteristik muadzin ideal meliputi:
Adzan harus diucapkan dengan Tartil (jelas, lambat, dan berirama), tidak seperti membaca Al-Qur'an, tetapi tidak pula terburu-buru. Terdapat perbedaan dalam tempo antara adzan dan iqamah:
Merupakan sunnah yang sangat ditekankan bagi muadzin untuk menolehkan wajahnya (tanpa memutar dada) ke kanan saat mengucapkan حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ dan menoleh ke kiri saat mengucapkan حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ. Tujuan dari sunnah ini adalah untuk memaksimalkan penyebaran suara sebelum adanya pengeras suara, memastikan pesan panggilan shalat sampai ke segala penjuru, baik kanan maupun kiri masjid.
Mendengarkan adzan bukanlah kegiatan pasif; ia menuntut respon aktif dari pendengarnya. Respon ini dikenal sebagai Ijabah (menjawab adzan), yang merupakan sunnah muakkadah yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ.
Secara umum, pendengar harus mengulangi setiap lafadz yang diucapkan muadzin, kecuali pada dua lafadz seruan:
Setelah muadzin menyelesaikan seluruh lafadz adzan, disunnahkan bagi pendengar untuk membaca shalawat atas Nabi ﷺ, diikuti dengan doa Wasilah (perantara) yang terkenal. Doa ini adalah salah satu doa yang paling dijanjikan pahala besar, karena menjamin syafaat Rasulullah ﷺ di hari kiamat.
اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، [إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ].
Artinya: Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan didirikan ini, berikanlah kepada Nabi Muhammad al-wasilah (kedudukan yang tinggi) dan al-fadhilah (kemuliaan), dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya. [Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji].
Catatan: Kalimat tambahan إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ (Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji) sering ditambahkan, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan tambahannya dalam riwayat Sahih Bukhari.
Alt: Tangan diangkat, melambangkan doa setelah adzan.
Waktu Maghrib adalah waktu yang singkat namun sangat istimewa. Ini adalah saat di mana matahari benar-benar terbenam, membawa perubahan besar dalam suasana spiritual dan fisik. Dalam Islam, waktu senja ini dianggap sebagai momen yang sensitif, di mana perubahan ciptaan Allah SWT terjadi dengan cepat.
Salah satu keistimewaan besar adzan Maghrib adalah bahwa waktu antara adzan dan iqamah Maghrib, meskipun singkat, termasuk salah satu waktu dikabulkannya doa (mustajab). Rasulullah ﷺ bersabda bahwa doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Oleh karena itu, bagi mereka yang berada di masjid, waktu singkat setelah adzan Maghrib adalah kesempatan emas untuk memanjatkan hajat sebelum shalat didirikan.
Dalam konteks Maghrib, jeda antara adzan dan iqamah adalah isu fiqih yang penting. Karena singkatnya waktu Maghrib, para ulama menekankan agar shalat fardhu Maghrib tidak ditunda terlalu lama. Madzhab Syafi'i dan Hanbali menganjurkan adanya jeda secukupnya untuk dua rakaat ringan (shalat sunnah qabliyah Maghrib), meskipun status sunnah ini berbeda pandangan di antara ulama.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa sebaiknya shalat Maghrib disegerakan tanpa jeda yang terlalu panjang, karena menunda Maghrib hingga bintang-bintang bermunculan adalah makruh tanzih. Sementara itu, Madzhab Maliki berpendapat bahwa penundaan kecil (sekitar 5-10 menit) diperbolehkan asal tidak sampai keluar dari batas waktu utama shalat Maghrib (hilangnya cahaya merah senja).
Untuk mencapai pemahaman fiqih yang komprehensif terkait cara adzan maghrib, kita perlu menelaah bagaimana empat madzhab besar Islam melihat pelaksanaannya, khususnya dalam hal Tartib (jumlah kalimat) dan Irama (Lahn).
Madzhab Hanafi menekankan keseragaman dalam adzan fardhu (selain Subuh). Mereka mendukung:
Dalam praktik Hanafi, fokus utama adalah pada efisiensi dan kepatuhan pada sunnah yang paling kuat riwayatnya, yaitu adzan 15 kalimat yang cepat.
Madzhab Maliki sering merujuk pada praktik Muadzin Rasulullah, Bilal bin Rabbah. Praktik Maliki memiliki ciri khas:
Adzan Maliki sering ditemui di negara-negara Afrika Utara, dan meskipun lafadznya berbeda, tujuannya tetap sama: memanggil umat menuju shalat Maghrib.
Kedua madzhab ini memiliki kesamaan dalam adzan 19 kalimat (termasuk Tarji') yang merupakan praktik yang paling banyak diamalkan di Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Perbedaan adzan Maghrib di madzhab ini terletak pada pandangan mereka terhadap sunnah qabliyah Maghrib, yang diizinkan dan dianjurkan, sehingga memungkinkan jeda waktu yang sedikit lebih lama untuk shalat sunnah tersebut.
Jika shalat Maghrib terlambat dilaksanakan (misalnya karena tertidur atau lupa), adzan tetap disunnahkan untuk dikumandangkan sebelum shalat qadha dimulai. Mengumandangkan adzan dan iqamah untuk shalat qadha adalah penting karena Rasulullah ﷺ melakukan hal ini ketika beliau dan para sahabat terlambat melaksanakan shalat Subuh saat dalam perjalanan. Hal ini menunjukkan universalitas fungsi adzan sebagai penanda awal shalat, baik ada'an (tepat waktu) maupun qadha'an (pengganti).
Maqam dalam adzan adalah irama atau melodi yang digunakan oleh muadzin. Meskipun tidak ada ketentuan fiqih yang ketat mengenai irama baku, penggunaan maqam yang bagus (seperti Maqam Bayati atau Hijaz) adalah sunnah karena membantu menarik perhatian pendengar dan membuat seruan lebih merdu. Adzan Maghrib sering dibawakan dengan maqam yang lebih sederhana atau cepat, kembali karena tuntutan waktu.
Para ulama sepakat bahwa adzan harus jelas dan tidak boleh diubah susunan hurufnya karena terlalu berlebihan dalam melagukannya (Lahn). Jika pelafalan yang terlalu meliuk-liuk sampai merubah makna (misalnya memanjangkan huruf yang seharusnya pendek), maka adzan tersebut menjadi makruh atau bahkan haram, dan wajib diulang. Untuk adzan Maghrib yang singkat, kejernihan pelafalan lebih diutamakan daripada kerumitan irama.
Penggunaan pengeras suara (mikrofon) telah menjadi norma dalam melaksanakan adzan Maghrib. Hal ini bertujuan memenuhi syarat Jahr (suara keras). Namun, muncul pertanyaan fiqih tentang penggunaan rekaman adzan:
Mayoritas ulama kontemporer menghukumi tidak sah adzan yang dilakukan dengan memutar rekaman. Alasannya, adzan adalah ibadah lisan yang harus dilakukan oleh seorang muadzin dengan niat. Rekaman suara dianggap tidak memiliki niat dan hanya merupakan tiruan suara, bukan pelaksanaan ibadah. Meskipun demikian, rekaman dapat digunakan sebagai pengingat di tempat yang sangat terpencil, namun tidak menggugurkan kewajiban adzan oleh orang yang hidup.
Adzan Maghrib tidak hanya menandai waktu shalat, tetapi juga menjadi penanda penting dalam kehidupan spiritual umat Islam. Ia menandai batas antara waktu siang yang didominasi oleh urusan duniawi dengan waktu malam yang sering kali digunakan untuk introspeksi dan ibadah sunnah (seperti shalat malam).
Momen terbenamnya matahari adalah salah satu tanda kebesaran Allah SWT yang sering disebut dalam Al-Qur'an. Transisi yang cepat ini mengajarkan umat Islam tentang pentingnya menyegerakan kebaikan. Ketika panggilan adzan Maghrib terdengar, semua aktivitas duniawi yang sedang dikerjakan (termasuk makan dan minum bagi yang berpuasa) harus segera dihentikan atau ditunda sejenak untuk memenuhi panggilan Ilahi. Respons segera terhadap adzan Maghrib adalah simbol kepatuhan mutlak seorang hamba.
Dalam beberapa riwayat, waktu senja (setelah Maghrib hingga Isya') dikenal sebagai waktu di mana aktivitas makhluk halus meningkat. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menganjurkan agar anak-anak ditahan di dalam rumah dan pintu-pintu ditutup saat awal Maghrib. Panggilan adzan Maghrib itu sendiri berperan sebagai perlindungan, mengusir pengaruh negatif dan menetapkan suasana ketenangan dan ibadah di lingkungan sekitar.
Dengan memahami setiap detail tentang cara adzan maghrib, mulai dari syarat fiqih yang ketat hingga dimensi spiritual yang mendalam, kita menyadari bahwa adzan adalah ritual yang komprehensif, menghubungkan disiplin waktu, hukum syariat, dan penghayatan keimanan.