Panduan Lengkap Bacaan Tawasul Amaliah NU

Tawasul merupakan salah satu amaliah spiritual yang mengakar kuat dalam tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, khususnya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Praktik ini adalah sebuah cara berdoa kepada Allah SWT dengan menyertakan atau melalui perantara (wasilah) hamba-hamba-Nya yang saleh, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Tawasul bukanlah meminta kepada selain Allah, melainkan menjadikan kemuliaan para nabi, wali, dan orang-orang saleh sebagai sarana untuk mendekatkan diri dan memohon agar doa lebih mudah diijabah oleh Allah SWT.

Inti dari tawasul adalah pengakuan bahwa segala kekuatan dan pengabulan doa hanya milik Allah semata. Hamba-hamba yang dijadikan wasilah hanyalah makhluk yang dicintai Allah, dan kita berharap keberkahan dari cinta Allah kepada mereka dapat memancarkan rahmat-Nya kepada kita yang berdoa. Ini adalah bentuk kerendahan hati, di mana seorang hamba merasa dirinya penuh dosa dan kekurangan, sehingga ia "mengetuk pintu" rahmat Allah melalui orang-orang yang telah terbukti dekat dengan-Nya. Artikel ini akan membahas secara mendalam, dari dasar hukum hingga urutan bacaan tawasul yang lazim diamalkan oleh kaum Nahdliyin.

Memahami Hakikat dan Landasan Tawasul

Sebelum melangkah ke bacaan, sangat penting untuk memahami landasan syar'i (dalil) yang menjadi dasar amaliah tawasul. Pemahaman ini akan mengokohkan keyakinan dan menepis keraguan atau tuduhan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau bid'ah yang sesat. Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki argumentasi yang kuat dari Al-Qur'an, Hadis, dan praktik para ulama salaf.

Dalil dari Al-Qur'an

Al-Qur'an memberikan isyarat yang jelas tentang konsep wasilah. Salah satu ayat yang paling sering dijadikan rujukan adalah Surah Al-Ma'idah ayat 35:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Yā ayyuhal-lażīna āmanuttaqullāha wabtagū ilaihil-wasīlata wa jāhidū fī sabīlihī la'allakum tufliḥūn(a). "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."

Para ulama tafsir Ahlussunnah menjelaskan bahwa kata "al-wasilah" dalam ayat ini memiliki makna yang luas. Ia mencakup segala bentuk ketaatan, amal saleh, dan juga perantara melalui hamba-hamba Allah yang mulia. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa wasilah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini termasuk bertawasul dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, amal saleh kita, serta melalui pribadi-pribadi mulia seperti para nabi dan wali.

Ayat lain yang menguatkan adalah Surah An-Nisa' ayat 64, yang menceritakan tentang orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri. Allah memberikan petunjuk solusi bagi mereka:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

Wa lau annahum iż ẓalamū anfusahum jā'ūka fastagfarullāha wastagfara lahumur-rasūlu lawajadullāha tawwābar raḥīmā(n). "Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang."

Ayat ini menunjukkan bahwa kedatangan kepada Rasulullah SAW dan permohonan istighfar dari beliau menjadi sebab diterimanya tobat mereka. Para ulama berpendapat bahwa kemuliaan Rasulullah SAW tidak berhenti setelah beliau wafat. Keberkahan beliau terus ada, sehingga bertawasul dengan beliau setelah wafatnya tetap dianjurkan, sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan ulama setelahnya.

Dalil dari Hadis Nabi Muhammad SAW

Praktik tawasul juga tercatat dengan jelas dalam berbagai riwayat hadis yang shahih. Salah satu yang paling terkenal adalah hadis tentang seorang lelaki buta yang datang kepada Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif RA, bahwa seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkanku." Beliau bersabda, "Jika engkau mau, aku akan menundanya dan itu lebih baik bagimu, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Lelaki itu berkata, "Doakanlah." Maka Nabi SAW memerintahkannya untuk berwudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rakaat, dan berdoa dengan doa ini: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya. Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih).

Hadis ini sangat eksplisit. Rasulullah SAW sendiri yang mengajarkan lafaz doa tawasul dengan menyebut diri beliau sebagai perantara. Yang lebih menarik, Utsman bin Hunaif RA kemudian mengajarkan doa ini kepada seseorang pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan RA, jauh setelah Nabi SAW wafat, dan hajat orang tersebut pun terkabul. Ini menunjukkan bahwa tawasul dengan Nabi SAW tetap berlaku meski beliau telah tiada.

Dalil lainnya adalah praktik yang dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA. Ketika terjadi kekeringan hebat pada masanya, beliau tidak langsung berdoa, tetapi beliau bertawasul dengan paman Nabi SAW, yaitu Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib RA.

Anas bin Malik RA meriwayatkan, "Jika terjadi kemarau, Umar bin Khattab RA meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib. Ia berdoa, 'Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.' Anas berkata, 'Maka mereka pun diberi hujan'." (HR. Bukhari).

Tindakan Sayyidina Umar ini menjadi landasan kuat bagi tawasul dengan orang saleh yang masih hidup. Para ulama Ahlussunnah memperluas pemahaman ini, bahwa jika bertawasul dengan orang saleh yang masih hidup saja diperbolehkan karena kedekatan mereka dengan Allah, maka bertawasul dengan para nabi dan wali yang telah wafat tentu lebih utama, karena kedudukan mereka di sisi Allah bersifat abadi dan tidak terputus oleh kematian.

Adab dan Tata Cara Pelaksanaan Tawasul

Seperti ibadah lainnya, tawasul memiliki adab dan etika yang harus dijaga agar amalan ini bernilai di sisi Allah SWT dan tidak terjerumus pada kesalahan. Adab ini mencakup persiapan batin dan lahiriah.

  1. Niat yang Lurus: Niatkan tawasul semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jadikan para nabi dan wali sebagai wasilah (perantara) karena cinta kita kepada mereka dan karena cinta Allah kepada mereka, bukan karena meyakini mereka memiliki kekuatan sendiri untuk mengabulkan doa.
  2. Suci dari Hadas: Dianjurkan untuk berada dalam keadaan suci, yaitu memiliki wudhu, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan lelaki buta dalam hadis di atas untuk berwudhu terlebih dahulu.
  3. Menghadap Kiblat: Sebagaimana adab berdoa pada umumnya, menghadap kiblat menunjukkan keseriusan dan penghambaan kita kepada Allah.
  4. Khusyuk dan Tawadhu': Hadirkan hati sepenuhnya. Rasakan keagungan Allah dan kerendahan diri kita di hadapan-Nya. Sadari bahwa kita adalah hamba yang penuh dosa dan sangat membutuhkan pertolongan-Nya.
  5. Memulai dengan Pujian dan Shalawat: Setiap doa yang baik diawali dengan memuji Allah (tahmid) dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah kunci pembuka pintu langit.
  6. Menjaga Keyakinan: Yakinlah sepenuhnya bahwa hanya Allah yang mengabulkan doa. Tawasul hanyalah salah satu "adab" atau cara kita dalam memohon kepada-Nya.

Urutan Bacaan Tawasul Lengkap (Amaliah NU)

Berikut adalah susunan bacaan tawasul yang umum diamalkan oleh warga Nahdliyin. Urutan ini disusun secara sistematis, dimulai dari sosok yang paling mulia hingga kepada kaum muslimin secara umum. Inti dari setiap tingkatan adalah mengirimkan hadiah pahala bacaan Surah Al-Fatihah.

1. Pembukaan (Istighfar dan Shalawat)

Sebelum memulai "silsilah" pengiriman Al-Fatihah, diawali dengan memohon ampunan kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ

Astaghfirullāhal-'aẓīm. "Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung." (Dibaca 3 kali)

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allāhumma ṣalli 'alā sayyidinā Muḥammadin wa 'alā āli sayyidinā Muḥammad. "Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad." (Dibaca 3 kali)

2. Pengantar Pengiriman Al-Fatihah

Lafaz ini dibaca sebagai pengantar niat untuk mengirimkan hadiah Al-Fatihah kepada ruh-ruh yang akan disebutkan.

اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاٰلِهِ وَاَزْوَاجِهِ وَاَوْلَادِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ، اَلْفَاتِحَةْ

Ilā haḍratin-nabiyyil-muṣṭafā Muḥammadin ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, wa ālihī wa azwājihī wa aulādihī wa żurriyyātihī, al-fātiḥah. "Teruntuk hadirat Nabi terpilih, Muhammad SAW, beserta keluarganya, istri-istrinya, anak-anaknya, dan seluruh keturunannya. Al-Fatihah." (Dilanjutkan membaca Surah Al-Fatihah 1 kali)

3. Kepada Para Nabi, Sahabat, Tabi'in, dan Ulama Terdahulu

Selanjutnya, Al-Fatihah dikirimkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad, para sahabat, tabi'in, dan para ulama salafus shalih.

ثُمَّ اِلَى حَضْرَةِ اِخْوَانِهِ مِنَ الْاَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْاَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَجَمِيْعِ الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ، خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيِّ، اَلْفَاتِحَةْ

Ṡumma ilā haḍrati ikhwānihī minal-anbiyā'i wal-mursalīn, wal-auliyā'i wasy-syuhadā'i waṣ-ṣāliḥīn, waṣ-ṣaḥābati wat-tābi'īn, wal-'ulamā'il-'āmilīn wal-muṣannifīnal-mukhliṣīn, wa jamī'il-malā'ikatil-muqarrabīn, khuṣūṣan sayyidinā asy-Syaikh 'Abdul Qādir al-Jailānī, al-fātiḥah. "Kemudian kepada hadirat saudara-saudaranya dari para nabi dan rasul, para wali, para syuhada, orang-orang saleh, para sahabat, tabi'in, para ulama yang mengamalkan ilmunya, para pengarang yang ikhlas, dan seluruh malaikat yang dekat dengan Allah, khususnya kepada junjungan kami Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Al-Fatihah." (Dilanjutkan membaca Surah Al-Fatihah 1 kali)

Penyebutan nama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani secara khusus di sini memiliki makna penting. Beliau dikenal sebagai Sulthanul Auliya' (Rajanya para wali) dan memiliki tempat yang sangat istimewa dalam tradisi tasawuf dan amaliah Ahlussunnah. Karomah dan ketinggian ilmunya diakui oleh seluruh ulama. Menjadikan beliau sebagai wasilah adalah bentuk penghormatan dan harapan akan keberkahan dari kedudukannya yang mulia di sisi Allah.

4. Kepada Para Wali Songo dan Ulama Nusantara

Sebagai Muslim Indonesia, penghormatan kepada para penyebar Islam di bumi Nusantara menjadi bagian tak terpisahkan dari silsilah tawasul. Mereka adalah para pahlawan spiritual yang jasanya sangat besar.

ثُمَّ اِلَى جَمِيْعِ اَهْلِ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الْاَرْضِ اِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا، خُصُوْصًا اَبَاءَنَا وَاُمَّهَاتِنَا وَاَجْدَادَنَا وَجَدَّاتِنَا وَمَشَايِخَنَا وَمَشَايِخَ مَشَايِخِنَا وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هٰهُنَا بِسَبَبِهِ، اَلْفَاتِحَةْ

Ṡumma ilā jamī'i ahlil-qubūr minal-muslimīna wal-muslimāt, wal-mu'minīna wal-mu'mināt, min masyāriqil-arḍi ilā magāribihā, barrihā wa baḥrihā, khuṣūṣan ābā'anā wa ummahātinā wa ajdādanā wa jaddātinā, wa masyāyikhanā wa masyāyikha masyāyikhinā, wa limanijtama'nā hāhunā bisababihī, al-fātiḥah. "Kemudian kepada semua ahli kubur dari kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, dari timur hingga barat, baik di darat maupun di laut, khususnya kepada bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, kakek-kakek kami, nenek-nenek kami, guru-guru kami, guru dari guru-guru kami, dan kepada siapa yang menjadi sebab kami berkumpul di sini. Al-Fatihah." (Dilanjutkan membaca Surah Al-Fatihah 1 kali)

5. Khusus untuk Para Pendiri dan Pejuang Nahdlatul Ulama (NU)

Sebagai bentuk penghormatan (ta'zhim) dan pengakuan atas jasa-jasa para muassis (pendiri) NU, seringkali ditambahkan tawasul khusus untuk mereka. Ini adalah bagian dari menjaga sanad keilmuan dan perjuangan.

خُصُوْصًا اِلَى رُوْحِ مُؤَسِّسِ جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءِ حَضْرَةِ الشَّيْخِ هَاشِمْ أَشْعَرِي وَأُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ، وَجَمِيْعِ مَشَايِخِ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءِ، اَلْفَاتِحَةْ

Khuṣūṣan ilā rūḥi mu'assis jam'iyyah Nahdlatil Ulama, Haḍratisy-Syaikh Hāsyim Asy'arī wa uṣūlihī wa furū'ihī, wa jamī'i masyāyikh Nahdlatil Ulama, al-fātiḥah. "Khususnya kepada ruh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, beserta leluhur dan keturunannya, dan seluruh guru-guru besar Nahdlatul Ulama. Al-Fatihah." (Dilanjutkan membaca Surah Al-Fatihah 1 kali)

Menyebut nama Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari adalah wujud terima kasih dan pengakuan atas peran sentral beliau dalam menjaga Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia. Beliau bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga pahlawan nasional yang menggabungkan kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, dan semangat kebangsaan.

6. Penutup dengan Doa

Setelah seluruh rangkaian pengiriman Al-Fatihah selesai, inilah saatnya untuk memanjatkan doa pribadi. Dengan hati yang telah dipersiapkan melalui zikir dan pengakuan atas jasa para pendahulu, kita berharap doa kita lebih didengar dan diijabah oleh Allah SWT.

Doa bisa dipanjatkan dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia sesuai dengan hajat masing-masing. Contoh doa penutup:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, حَمْدًا شَاكِرِيْنَ حَمْدًا نَاعِمِيْنَ, حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm. Alḥamdulillāhi rabbil-'ālamīn, ḥamdasy-syākirīn, ḥamdan-nā'imīn, ḥamday yuwāfī ni'amahū wa yukāfi'u mazīdah. Yā rabbanā lakal-ḥamdu kamā yambagī lijalāli wajhikal-karīmi wa 'aẓīmi sulṭānik. Allāhumma ṣalli wa sallim 'alā sayyidinā Muḥammadin wa 'alā āli sayyidinā Muḥammad. "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Pujian orang-orang yang bersyukur, pujian orang-orang yang mendapat nikmat. Pujian yang sepadan dengan nikmat-Nya dan mencakup tambahan-Nya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sebagaimana layaknya bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu. Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad."

Setelah itu, sampaikan hajat Anda. Misalnya:

"Ya Allah, dengan perantara kemuliaan Nabi-Mu Muhammad SAW, dan dengan keberkahan para wali dan orang-orang saleh yang telah kami sebut, kami memohon kepada-Mu... (sebutkan hajat Anda: mohon ampunan, kesehatan, rezeki, kelancaran urusan, keselamatan dunia akhirat, dan lain-lain). Kabulkanlah doa kami, wahai Dzat Yang Maha Mengabulkan."

Diakhiri dengan membaca shalawat penutup dan Al-Fatihah sekali lagi sebagai penutup seluruh rangkaian doa.

Penutup: Tawasul sebagai Jembatan Spiritual

Tawasul adalah sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan sanad keilmuan dan keberkahan yang tak terputus hingga Rasulullah SAW. Ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah ekspresi cinta, hormat, dan kerendahan hati. Dengan bertawasul, kita mengakui bahwa kita bukanlah siapa-siapa tanpa pertolongan Allah dan tanpa bimbingan dari para pewaris nabi.

Amaliah ini mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah dan jasa para pendahulu. Ia menanamkan dalam jiwa kita rasa keterikatan dengan rantai emas para ulama dan auliya, yang membuat kita merasa menjadi bagian dari sebuah kafilah besar yang berjalan menuju keridhaan Allah SWT. Semoga dengan memahami hakikat, dalil, dan tata caranya, kita dapat mengamalkan tawasul dengan keyakinan yang mantap dan adab yang benar, sehingga doa-doa kita lebih mustajab dan kita semakin dekat dengan-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Kembali ke Homepage