Membedah Bacaan Syahadat dan Artinya Secara Mendalam
Kaligrafi Dua Kalimat Syahadat
Dalam ajaran Islam, terdapat sebuah fondasi yang menjadi gerbang utama, pilar penopang, serta esensi dari seluruh keyakinan dan peribadatan. Fondasi itu adalah Dua Kalimat Syahadat. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata yang diucapkan oleh lisan, melainkan sebuah ikrar agung yang mengikat seorang hamba dengan Penciptanya, serta menjadi pembeda antara keimanan dan kekufuran. Mengucapkannya dengan penuh kesadaran dan pemahaman adalah langkah pertama untuk memasuki naungan Islam. Memahami, meyakini, dan mengamalkan konsekuensinya adalah perjalanan seumur hidup seorang muslim.
Syahadat, yang secara harfiah berarti "kesaksian," merupakan Rukun Islam yang pertama dan paling utama. Tanpanya, rukun-rukun Islam lainnya—shalat, zakat, puasa, dan haji—tidak akan memiliki nilai di sisi Allah. Ia adalah kunci surga, inti dari dakwah para nabi dan rasul, serta pembebas manusia dari peribadatan kepada sesama makhluk menuju peribadatan hanya kepada Sang Khaliq. Artikel ini akan mengupas secara mendalam bacaan syahadat, artinya, makna yang terkandung di dalamnya, serta syarat-syarat dan konsekuensi yang menyertainya.
Bacaan Dua Kalimat Syahadat, Latin, dan Terjemahannya
Dua Kalimat Syahadat terdiri dari dua bagian yang tidak dapat dipisahkan. Bagian pertama adalah kesaksian tentang keesaan Allah (Syahadat Tauhid), dan bagian kedua adalah kesaksian tentang kerasulan Nabi Muhammad ﷺ (Syahadat Rasul).
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ
Asyhadu an lā ilāha illallāh, wa asyhadu anna Muhammadan rasūlullāh.
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Makna Mendalam Kalimat Pertama: Syahadat Tauhid
Kalimat "Asyhadu an lā ilāha illallāh" adalah inti dari ajaran tauhid. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu membedah setiap katanya dan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.
1. Makna "Asyhadu" (Aku Bersaksi)
Kata "Asyhadu" berasal dari akar kata "syahida," yang berarti menyaksikan, mengetahui, meyakini, dan mengabarkan. Kesaksian ini bukan sekadar ucapan lisan tanpa dasar. Ia mengandung tiga dimensi penting:
- Pengakuan Hati (I'tiraf bil Qalb): Inti dari kesaksian adalah keyakinan yang tertanam kokoh di dalam hati. Hati meyakini tanpa keraguan sedikit pun akan kebenaran kalimat ini. Ini adalah ilmu dan keyakinan yang bersifat batiniah.
- Pengucapan Lisan (An-Nuthqu bil Lisan): Keyakinan hati tersebut kemudian diikrarkan melalui lisan. Ini adalah deklarasi publik yang menegaskan identitas keislaman seseorang dan menjadi syarat formal diterimanya seseorang dalam komunitas muslim.
- Pengamalan dengan Perbuatan (Al-'Amalu bil Jawarih): Kesaksian yang benar akan tercermin dalam perbuatan. Seluruh anggota tubuh tunduk dan patuh pada konsekuensi dari ikrar ini, yaitu dengan hanya beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya.
Jadi, ketika seseorang mengucapkan "Asyhadu," ia sedang membuat sebuah sumpah dan perjanjian agung di hadapan Allah dan seluruh makhluk, bahwa ia mengetahui, meyakini, dan mendeklarasikan kebenaran yang akan ia ucapkan selanjutnya.
2. Makna "Lā ilāha illallāh" (Tidak Ada Tuhan Selain Allah)
Kalimat ini sering disebut sebagai kalimatut tauhid. Ia mengandung dua rukun utama: penafian (An-Nafyu) dan penetapan (Al-Itsbat).
- Rukun Penafian (An-Nafyu): "Lā ilāha" (Tidak ada ilah/sesembahan)
Bagian ini menolak dan mengingkari segala bentuk sesembahan selain Allah. Kata "ilah" bukan hanya berarti "Tuhan" dalam artian pencipta, tetapi mencakup segala sesuatu yang dipertuhankan, disembah, ditaati secara mutlak, atau dicintai melebihi cinta kepada Allah. Ini bisa berupa berhala, patung, manusia, hawa nafsu, jabatan, harta, ideologi, atau apa pun yang menjadi fokus utama ibadah dan ketundukan seorang hamba. Dengan mengucapkan "Lā ilāha," seorang muslim membebaskan dirinya dari segala bentuk perbudakan kepada makhluk dan membersihkan hatinya dari segala bentuk syirik. - Rukun Penetapan (Al-Itsbat): "illallāh" (Selain Allah)
Setelah menafikan semua sesembahan yang batil, kalimat ini menetapkan bahwa satu-satunya yang berhak menerima segala bentuk ibadah hanyalah Allah semata. Semua ibadah—seperti shalat, doa, puasa, zakat, tawakal, rasa takut, harapan, dan cinta—harus ditujukan secara murni kepada-Nya. Ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam peribadatan.
Gabungan antara penafian dan penetapan ini menghasilkan tauhid yang sempurna. Jika hanya ada penetapan ("Allah adalah Tuhan") tanpa penafian, maka masih ada ruang untuk menyembah yang lain di samping Allah. Sebaliknya, jika hanya ada penafian ("Tidak ada Tuhan") tanpa penetapan, maka akan berujung pada ateisme. Oleh karena itu, kedua rukun ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Makna Mendalam Kalimat Kedua: Syahadat Rasul
Kalimat "Wa asyhadu anna Muhammadan rasūlullāh" adalah pelengkap yang menyempurnakan keimanan seseorang. Jika syahadat pertama mengatur hubungan vertikal manusia dengan Allah, maka syahadat kedua mengatur cara dan metodologi dalam menjalankan hubungan tersebut.
1. Makna "Muhammadan"
Penyebutan nama "Muhammad" menegaskan bahwa beliau adalah seorang manusia, bukan tuhan atau malaikat. Ini menolak pengkultusan yang berlebihan (ghuluw) terhadap beliau. Beliau adalah hamba Allah (`abdullah`) dan sekaligus utusan-Nya (`rasulullah`). Meyakini beliau sebagai hamba berarti kita tidak boleh menyembahnya, dan meyakini beliau sebagai utusan berarti kita wajib mengikutinya. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, dari suku Quraisy, seorang manusia pilihan yang makan, minum, tidur, dan berkeluarga seperti manusia lainnya, namun menerima wahyu dari Allah.
2. Makna "Rasūlullāh" (Utusan Allah)
Kesaksian ini mengandung konsekuensi yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Makna bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah mencakup empat hal pokok:
- Membenarkan semua yang beliau kabarkan (Tashdīquhu fīmā akhbar).
Ini mencakup berita-berita tentang umat terdahulu, hal-hal gaib seperti surga, neraka, hari kiamat, malaikat, dan segala sesuatu yang beliau sampaikan dari wahyu Allah. Seorang muslim wajib meyakininya secara mutlak tanpa keraguan. - Menaati semua yang beliau perintahkan (Thā'atuhu fīmā amar).
Ketaatan kepada Rasul adalah wujud ketaatan kepada Allah. Allah berfirman, "Barangsiapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah." (QS. An-Nisa: 80). Perintah beliau, baik yang ada di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, wajib untuk dilaksanakan sesuai kemampuan. - Menjauhi semua yang beliau larang dan cela (Ijtinābu mā nahā 'anhu wa zajar).
Apa pun yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ, baik berupa perbuatan, ucapan, atau keyakinan, wajib untuk ditinggalkan. Meninggalkan larangan beliau adalah bagian tak terpisahkan dari ketaatan. - Beribadah kepada Allah hanya sesuai dengan cara yang beliau ajarkan (Wa allā yu'badallāha illā bimā syara').
Ini adalah prinsip fundamental dalam beribadah. Setiap bentuk ibadah harus memiliki landasan dari ajaran Rasulullah ﷺ. Menciptakan ritual atau cara ibadah baru yang tidak pernah beliau contohkan (bid'ah) adalah perbuatan tercela dan tertolak, karena hal itu seolah-olah menganggap ajaran beliau tidak sempurna.
Dengan demikian, Syahadat Rasul menjadi filter dan standar bagi setiap amal perbuatan. Sumber ajaran Islam hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai pemahaman para sahabat, dan tidak ada jalan menuju keridhaan Allah kecuali melalui jalan yang telah ditunjukkan oleh utusan-Nya.
Syarat-Syarat Diterimanya Syahadat
Para ulama, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, telah merumuskan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar syahadat seseorang diterima di sisi Allah. Syarat-syarat ini bukanlah tambahan, melainkan bagian inheren dari makna syahadat itu sendiri. Mengucapkannya tanpa memenuhi syarat-syarat ini seperti memiliki kunci tanpa gigi; ia tidak akan bisa membuka pintu surga.
1. Al-'Ilm (Ilmu Pengetahuan)
Syarat pertama adalah mengetahui makna syahadat, baik makna penafian maupun penetapannya. Seseorang harus mengerti apa yang ia ikrarkan. Mustahil seseorang bersaksi atas sesuatu yang tidak ia ketahui. Ilmu ini menafikan kebodohan (Al-Jahl). Allah berfirman, "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah." (QS. Muhammad: 19). Ayat ini dimulai dengan perintah untuk berilmu sebelum berikrar dan beramal. Seseorang harus tahu bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan yang haq, dan sesembahan selain-Nya adalah batil.
2. Al-Yaqīn (Keyakinan)
Setelah berilmu, hati harus meyakini kebenaran syahadat tanpa ada sedikit pun keraguan (Asy-Syakk). Keyakinan ini harus kokoh seperti gunung, tidak tergoyahkan oleh bisikan syaitan atau kerancuan pemikiran. Allah memuji orang-orang beriman dengan firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu." (QS. Al-Hujurat: 15). Keraguan dapat merusak fondasi iman dan membatalkan kesaksian yang telah diucapkan.
3. Al-Qabūl (Penerimaan)
Seseorang harus menerima seluruh konsekuensi dari kalimat syahadat ini dengan hati dan lisan, tanpa menolak atau menyombongkan diri. Ia menerima bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan Muhammad adalah utusan-Nya yang harus diikuti. Sikap menolak (Ar-Radd) akan membatalkan syahadat, sebagaimana yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu yang mengetahui kebenaran para nabi tetapi menolaknya karena kesombongan atau mempertahankan tradisi nenek moyang. Allah mengisahkan tentang mereka, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri." (QS. Ash-Shaffat: 35).
4. Al-Inqiyād (Ketundukan dan Kepatuhan)
Penerimaan di dalam hati harus diwujudkan dalam bentuk ketundukan dan kepatuhan (Al-Istislām) secara lahiriah. Seseorang harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Ini adalah wujud nyata dari keimanan. Meninggalkan kepatuhan (At-Tark) berarti membatalkan esensi dari Islam itu sendiri, yang berarti "penyerahan diri". Allah berfirman, "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya." (QS. Az-Zumar: 54). Kepatuhan ini adalah bukti bahwa syahadat bukan hanya di lisan, tetapi telah meresap ke dalam seluruh jiwa dan raga.
5. Ash-Shidq (Kejujuran)
Ikrar syahadat harus diucapkan dengan jujur, sesuai antara apa yang ada di hati dan apa yang diucapkan lisan. Kejujuran ini menafikan kemunafikan (An-Nifāq). Orang munafik mengucapkan syahadat dengan lisannya, tetapi hatinya mengingkarinya. Allah membongkar kedok mereka, "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta." (QS. Al-Munafiqun: 1). Kejujuran dalam bersyahadat akan membawa seseorang pada kebahagiaan sejati.
6. Al-Ikhlās (Keikhlasan)
Syahadat harus diucapkan semata-mata karena mengharap wajah Allah, bukan karena tujuan duniawi seperti mencari pujian, kedudukan, harta, atau melindungi diri. Keikhlasan adalah memurnikan niat dari segala bentuk kesyirikan (Asy-Syirk). Amal sebesar apa pun jika tidak dilandasi keikhlasan akan sia-sia. Rasulullah ﷺ bersabda, "Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' dengan ikhlas dari hatinya." (HR. Bukhari).
7. Al-Mahabbah (Kecintaan)
Seorang muslim harus mencintai kalimat syahadat ini, mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta mencintai konsekuensi dan tuntutannya. Cinta ini harus mengalahkan cinta kepada apa pun selain Allah. Rasa cinta akan melahirkan kerinduan untuk beribadah, kenikmatan dalam ketaatan, dan kebencian terhadap segala bentuk kekufuran dan kemaksiatan. Allah berfirman, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (QS. Al-Baqarah: 165). Cinta ini adalah ruh dari ibadah dan ketaatan.
Konsekuensi Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat
Mengucapkan syahadat dengan memenuhi syarat-syaratnya membawa konsekuensi besar dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dunia, seseorang yang mengucapkannya dianggap sebagai seorang muslim. Darahnya, hartanya, dan kehormatannya terlindungi. Ia berhak mendapatkan hak-hak sebagai seorang muslim, seperti dinikahkan, dishalatkan jenazahnya, dan dikuburkan di pemakaman muslim.
Secara spiritual dan personal, syahadat memberikan dampak yang luar biasa:
- Pembebasan Sejati: Ia membebaskan jiwa manusia dari perbudakan kepada makhluk, hawa nafsu, dan materi. Manusia tidak lagi tunduk pada siapa pun kecuali Penciptanya, sehingga ia meraih kemerdekaan dan kemuliaan sejati.
- Tujuan Hidup yang Jelas: Syahadat memberikan arah dan tujuan hidup yang pasti, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Setiap aktivitas, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya.
- Ketenangan Jiwa: Dengan mengesakan Allah, hati menjadi tenang dan damai. Tidak ada lagi kegelisahan karena bergantung pada banyak tuhan atau kekuatan. Hati hanya tertuju pada satu sumber kekuatan, rezeki, dan pertolongan. "Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).
- Persatuan Umat: Kalimat syahadat adalah tali yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Perbedaan suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa menjadi tidak relevan di hadapan ikrar yang sama.
- Kunci Surga: Di akhirat, konsekuensi terbesar dan terindah dari syahadat yang benar adalah jaminan surga. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah 'Laa ilaaha illallah', maka ia akan masuk surga." (HR. Abu Dawud).
Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Syahadat
Sebagaimana wudhu memiliki pembatal, keislaman yang ditegakkan di atas syahadat juga memiliki hal-hal yang dapat membatalkannya. Para ulama menyebutnya sebagai Nawāqidhul Islām (Pembatal-pembatal Keislaman). Mengetahuinya sangat penting agar seorang muslim dapat menjauhinya. Di antara yang paling utama adalah:
- Syirik dalam beribadah kepada Allah. Ini adalah dosa terbesar dan satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni jika seseorang meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya. Contohnya adalah berdoa kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk jin atau penghuni kubur.
- Menjadikan perantara antara dirinya dengan Allah. Seperti meminta kepada orang yang telah mati atau makhluk gaib untuk menyampaikan hajatnya kepada Allah.
- Tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan keyakinan mereka. Karena ini bertentangan dengan prinsip Al-Wala' wal Bara' (loyalitas kepada mukmin dan berlepas diri dari kafir).
- Meyakini ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, atau ada hukum lain yang lebih baik dari hukum beliau. Seperti meyakini hukum buatan manusia lebih unggul dari syariat Islam.
- Membenci sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, meskipun ia mengamalkannya. Kebencian terhadap ajaran syariat dapat menghapus amal.
- Mengolok-olok sesuatu dari agama Allah, baik tentang pahala, siksa, atau syiar-syiar Islam. Perbuatan ini dianggap sebagai kekufuran.
- Melakukan sihir. Termasuk di dalamnya adalah pelet (guna-guna) dan santet.
- Membantu dan menolong orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin.
- Meyakini bahwa sebagian orang boleh keluar dari syariat Nabi Muhammad ﷺ. Seperti keyakinan sebagian sufi ekstrem bahwa seorang wali bisa mencapai tingkatan yang tidak lagi terikat syariat.
- Berpaling sepenuhnya dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.
Setiap muslim wajib waspada terhadap pembatal-pembatal keislaman ini dan senantiasa memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan darinya.
Kesimpulan: Syahadat Sebagai Nadi Kehidupan Muslim
Dua Kalimat Syahadat adalah kalimat yang agung, ringan di lisan namun berat timbangannya di sisi Allah. Ia bukanlah sekadar formalitas untuk menjadi seorang muslim, melainkan sebuah manhaj (metodologi) hidup yang komprehensif. Ia adalah pernyataan pembebasan, deklarasi kemerdekaan, dan komitmen seumur hidup.
Memahami maknanya secara mendalam, memenuhi syarat-syaratnya, mengamalkan konsekuensinya, dan menjauhi pembatal-pembatalnya adalah tugas setiap individu yang telah mengikrarkannya. Dengan syahadat, hidup menjadi bermakna, jiwa menjadi tenang, dan jalan menuju kebahagiaan abadi di akhirat menjadi terang. Semoga kita semua dapat menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa menjaga dan memperbarui kesaksian kita hingga akhir hayat, dan diwafatkan di atas kalimat tauhid, "Lā ilāha illallāh".