MENDURA: EPISODE KEHIDUPAN DALAM DRAMA TRADISIONAL KALIMANTAN BARAT

Mendura adalah sebuah mahakarya seni pertunjukan tradisional yang berasal dari wilayah Kalimantan Barat, khususnya berkembang di lingkungan masyarakat Melayu dan Dayak yang telah mengalami akulturasi budaya yang mendalam. Mendura bukanlah sekadar tontonan, melainkan sebuah teater rakyat yang kaya akan narasi epik, melibatkan unsur musik, tari, sastra lisan, dan dialog yang mendalam. Keberadaannya menjembatani masa lalu dan masa kini, berfungsi sebagai cermin sosial, media pendidikan moral, sekaligus panggung bagi mitos-mitos pendirian yang membentuk identitas kolektif.

Inti dari Mendura adalah penyampaian cerita panjang (lakon) yang seringkali diangkat dari kisah-kisah kerajaan masa lampau, hikayat para pahlawan lokal, atau drama kehidupan sehari-hari yang diselipi unsur supranatural. Pementasan Mendura dapat berlangsung semalam suntuk, bahkan terkadang beberapa malam berturut-turut, menandakan betapa kompleks dan berlapisnya struktur narasi yang dibawakan. Dalam setiap alunan musik dan setiap ujaran dialognya, tersimpan kode-kode etika, adat, dan filosofi hidup masyarakat Borneo yang luhur.

AKAR HISTORIS DAN LINGKUNGAN BUDAYA MENDURA

Untuk memahami Mendura secara utuh, kita harus menelusuri kembali jejak sejarah ke masa kerajaan-kerajaan Melayu kuno di pesisir Kalimantan Barat, seperti Kerajaan Sambas, Mempawah, atau Pontianak, serta interaksinya dengan komunitas Dayak di pedalaman. Mendura diperkirakan mulai berkembang pesat seiring dengan penyebaran Islam dan percampuran budaya yang intensif, menggabungkan tradisi sastra lisan (seperti syair atau pantun) dengan bentuk pertunjukan dramatik yang telah ada sebelumnya.

Persinggungan Budaya Melayu dan Dayak

Mendura sering disebut sebagai produk akulturasi. Dari sisi Melayu, ia menyerap unsur-unsur seni pertunjukan yang kental dengan estetika kerajaan, penggunaan bahasa yang santun namun mendalam, serta struktur cerita yang mengikuti pola hikayat klasik. Sementara itu, dari unsur Dayak, Mendura menyerap semangat ritualistik, penggunaan properti alam, dan mungkin beberapa pola irama musik tradisional yang bersifat magis atau sakral. Perpaduan ini menghasilkan sebuah bentuk teater yang unik, berbeda dari tradisi Randai di Minangkabau atau Lenong di Betawi.

Dalam konteks Mendura, percampuran ini terlihat jelas dalam pemilihan karakter. Walaupun lakon utamanya seringkali berlatar istana Melayu, kehadiran tokoh-tokoh dari hutan atau tokoh bijak yang memiliki kekuatan spiritual (sering kali direpresentasikan dengan busana atau dialek Dayak) menunjukkan penerimaan dan integrasi dua tradisi besar di wilayah tersebut. Dialognya tidak hanya menggunakan bahasa Melayu baku, tetapi juga dialek lokal yang khas, bahkan kadang disisipi mantra atau bahasa kuno yang hanya dipahami oleh para tetua adat.

Tradisi lisan merupakan fondasi utama Mendura. Sebelum menjadi tontonan, cerita-cerita ini telah hidup dalam bentuk narasi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pencerita ulung (disebut juga Tukang Penseh atau Dalang Mendura) adalah kustodian memori kolektif yang mahir menghafal ribuan baris pantun dan dialog. Kemampuan improvisasi mereka dalam mengisi kekosongan naskah yang sifatnya fleksibel menjadi kunci keberhasilan pertunjukan. Setiap pertunjukan Mendura, meskipun menceritakan kisah yang sama, akan selalu memiliki nuansa dan detail yang berbeda, tergantung pada kondisi sosial, audiens, dan energi sang Tukang Penseh.

STRUKTUR DAN ELEMEN PERTUNJUKAN MENDURA

Pementasan Mendura mengikuti kaidah-kaidah struktural yang ketat namun juga menyediakan ruang improvisasi yang luas. Sebuah pementasan utuh terdiri dari beberapa elemen penting yang saling berinteraksi, menciptakan sebuah pengalaman teater yang imersif dan panjang.

1. Lakon (Naskah Cerita)

Lakon Mendura selalu berpusat pada konflik moral atau perebutan kekuasaan. Tema yang paling sering diangkat adalah perjuangan pahlawan melawan ketidakadilan, pencarian jati diri, atau kisah cinta tragis yang melibatkan hambatan sosial atau magis. Contoh lakon populer termasuk Hikayat Raja Bujang, Kisah Putri Serindit, atau cerita-cerita yang melibatkan makhluk mitologis seperti hantu air atau raksasa penjaga hutan. Struktur cerita biasanya dibagi menjadi:

Penggunaan bahasa dalam Mendura sangat puitis. Pantun dan syair digunakan secara ekstensif, tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cara untuk menyampaikan emosi yang mendalam atau merangkum pelajaran filosofis. Keindahan bahasa inilah yang membedakan Mendura dari drama rakyat biasa; ia adalah teater yang bersastra tinggi.

2. Musik Pengiring: Nyanyian Bidayuh dan Gamelan Melayu

Alat Musik Tradisional Mendura Ilustrasi stilasi dari perangkat alat musik tradisional, mungkin gong atau tawak-tawak, yang digunakan dalam pertunjukan Mendura. Gong/Tawak-Tawak Pengiring
Ilustrasi stilasi perangkat musik pengiring yang vital dalam menciptakan atmosfer dramatis Mendura.

Musik memainkan peran sentral; ia bukan hanya latar, tetapi penanda adegan, mood, dan transisi waktu. Orkestra Mendura biasanya terdiri dari perpaduan alat musik tradisional yang mencerminkan dualitas budaya. Alat-alat utama meliputi:

Irama musik (disebut irama Mendura) memiliki pola yang khas, seringkali menggunakan tangga nada pentatonik yang memberikan kesan mistis dan sangat lokal. Ketika Tukang Penseh mulai berdialog, musik akan mereda, tetapi ketika emosi memuncak atau ada gerakan tari, irama akan menguat hingga klimaks.

3. Peran dan Karakter Arketipal

Mendura mengandalkan aktor yang memiliki kemampuan multifungsi: berdialog, menyanyi, menari, dan berimprovisasi. Kostum yang digunakan seringkali mewah, merefleksikan status sosial karakter, terutama jika lakonnya berlatar kerajaan. Ada beberapa arketipe karakter yang hampir selalu muncul:

FILOSOFI DAN PESAN MORAL DALAM NARASI MENDURA

Mendura adalah lebih dari sekadar hiburan; ia adalah institusi pendidikan informal yang mengajarkan nilai-nilai luhur adat Kalimantan Barat. Setiap alur cerita diselimuti oleh pesan filosofis mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama.

Adat dan Keadilan Sosial

Konsep Adat, dalam Mendura, sering digambarkan sebagai hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Lakon-lakon Mendura mengajarkan bahwa melanggar adat akan membawa bencana, baik bagi individu maupun bagi seluruh kerajaan. Keadilan sosial, yang diwakili oleh Raja yang bijaksana, selalu menjadi tujuan akhir. Jika Raja bertindak zalim, alam akan bereaksi, dan pahlawan akan muncul untuk mengembalikan keseimbangan kosmis.

"Dalam Mendura, keadilan bukanlah hanya masalah hukum positif, tetapi adalah harmoni kosmik. Ketika seorang raja gagal menjaga rakyatnya, itu bukan hanya kegagalan politik, tetapi juga kegagalan spiritual yang memicu murka leluhur."

Filosofi ini diperkuat melalui dialog yang panjang dan bertele-tele (dalam konteks puitis), di mana para tetua dan raja menghabiskan waktu berdebat tentang etika kepemimpinan dan kewajiban moral. Pemahaman Mendura terhadap kepemimpinan adalah kepemimpinan yang berorientasi pada rakyat (Padiat Naya), di mana seorang pemimpin harus melayani, bukan dilayani. Kegagalan Raja dalam memahami filosofi ini selalu menjadi titik awal kehancuran dalam narasi epik tersebut.

Hubungan Manusia dengan Alam

Kalimantan dikenal dengan hutan tropisnya yang lebat. Mendura sangat menghargai peran alam. Hutan sering digambarkan sebagai tempat suci, tempat bertapa, atau tempat bersembunyi. Makhluk-makhluk mitologis, seperti naga, burung enggang, atau roh penjaga sungai, berperan aktif dalam cerita, memberikan bantuan atau hambatan kepada pahlawan.

Pesannya jelas: manusia harus hidup selaras dengan alam. Eksploitasi alam sering kali direpresentasikan sebagai tindakan kejahatan yang akan mendatangkan kutukan. Karakter yang menghormati hutan akan diberkahi dengan ilmu atau kesaktian, sementara karakter yang serakah akan menemui akhir yang tragis, seringkali ditelan oleh kekuatan alam itu sendiri.

PERAN SOSIAL DAN FUNGSIONALITAS MENDURA

Secara tradisional, Mendura memiliki fungsi yang jauh melampaui hiburan semata. Ia adalah media komunikasi, ritual, dan perekat komunitas yang sangat kuat di Kalimantan Barat.

Sebagai Media Pendidikan dan Pewarisan Nilai

Karena pementasan Mendura melibatkan narasi yang panjang dan kompleks, ia berfungsi sebagai perpustakaan berjalan mengenai sejarah lokal, silsilah kerajaan, dan ajaran moral. Anak-anak yang menonton Mendura secara tidak langsung mempelajari etiket berbicara, cara menghormati orang tua (tata krama), dan membedakan antara yang benar dan salah melalui visualisasi konflik dan penyelesaian yang dramatis.

Punakawan, dengan humornya yang tajam, mengajarkan kritik sosial dan pentingnya berpikir kritis. Mereka mampu menyampaikan kritik yang pedas terhadap pemerintah setempat atau kondisi sosial yang buruk, namun dibungkus dengan tawa, sehingga pesan tersampaikan tanpa menimbulkan permusuhan terbuka. Ini adalah contoh demokrasi lisan yang halus dan efektif.

Mendura dalam Upacara Adat

Di beberapa daerah, Mendura diintegrasikan dalam upacara-upacara adat penting, seperti pernikahan besar, syukuran panen, atau ritual penyembuhan (walaupun fungsi penyembuhan kini semakin jarang). Dalam konteks ritual, Mendura dipentaskan untuk memanggil roh leluhur agar memberikan restu atau untuk membersihkan desa dari bala. Pemilihan lakon pada konteks ini sangat diperhatikan, biasanya dipilih kisah yang memiliki resonansi spiritual kuat, memastikan bahwa pementasan memenuhi tujuan sakralnya, bukan hanya profan.

Memperkuat Identitas Komunitas

Saat Mendura dipentaskan, seluruh komunitas berkumpul. Ini adalah momen untuk menegaskan kembali identitas kolektif, mengingat asal-usul, dan mempererat tali silaturahmi. Pembagian peran di antara anggota komunitas, mulai dari pemain, penabuh musik, hingga penyedia makanan, memperkuat rasa gotong royong dan kepemilikan terhadap warisan budaya tersebut. Tidak semua orang boleh memainkan semua peran; peran Tukang Penseh, khususnya, harus diwariskan kepada mereka yang benar-benar memahami kedalaman sastra dan filosofi Mendura.

TEKNIK DRAMATURGI DAN KETERAMPILAN KHUSUS TUKANG PENSEH

Tukang Penseh adalah jantung dari pertunjukan Mendura. Mereka adalah sutradara, penulis, aktor utama, sekaligus narator. Keahlian mereka melampaui sekadar hafalan; mereka adalah seniman multitalenta yang memegang kunci untuk menjaga aliran energi selama pementasan yang bisa mencapai delapan hingga sepuluh jam.

Improvisasi dan Fleksibilitas Naskah

Tidak ada naskah baku yang tertulis untuk Mendura; yang ada hanyalah kerangka cerita (sinopsis) dan pola dialog arketipal. Tukang Penseh harus mampu mengisi detail-detail cerita melalui improvisasi (penseh). Kemampuan ini menuntut mereka untuk memiliki wawasan luas mengenai sejarah lokal, adat istiadat, dan bahkan isu-isu kontemporer, yang kemudian disisipkan ke dalam dialog Punakawan agar relevan dengan audiens masa kini.

Fleksibilitas ini memungkinkan Mendura untuk tetap hidup. Ketika audiens merasa bosan atau tegang, Tukang Penseh harus segera menyisipkan adegan komedi ringan atau musik yang lebih bersemangat. Ini adalah interaksi dinamis antara panggung dan penonton, yang membedakannya dari teater modern yang statis.

Dialog Dramatis Mendura Ilustrasi dua figur dalam kostum tradisional Mendura sedang berdialog intens di panggung. Raja/Pahlawan Antagonis/Lawan
Visualisasi intensitas dialog antara dua karakter utama dalam Mendura.

Teknik Vokal dan Gerak

Vokal Tukang Penseh harus kuat dan ekspresif. Mereka harus mampu mengubah nada suara secara drastis untuk memerankan karakter yang berbeda—dari suara bass yang berwibawa untuk Raja, hingga suara cempreng dan jenaka untuk Punakawan. Teknik ini disebut suara berlapis, dan membutuhkan latihan bertahun-tahun.

Gerakan (tari) dalam Mendura cenderung minimalis dan simbolis. Gerakan tangan melambangkan kemarahan, keraguan, atau sumpah setia. Walaupun tarian penuh energi jarang terjadi (kecuali dalam adegan pertempuran atau tarian ritual), setiap gerak memiliki makna yang mendalam dan terhubung langsung dengan alur cerita, berbeda dengan tari yang berdiri sendiri.

VARIAN REGIONAL DAN PERBEDAAN LOKAL

Mendura bukanlah kesenian monolitik. Ia memiliki varian yang berbeda-beda tergantung wilayah di Kalimantan Barat, dipengaruhi oleh dialek lokal, kondisi geografis, dan dominasi suku di wilayah tersebut. Meskipun struktur dasarnya sama, detail eksekusi di Sambas akan berbeda dengan di Ketapang.

Mendura di Sambas

Di wilayah Sambas, Mendura sangat dipengaruhi oleh tradisi kesultanan Melayu yang kuat. Bahasa yang digunakan cenderung lebih halus, dan kostumnya lebih berorientasi pada busana kerajaan (songket, kain emas). Lakon di Sambas sering berfokus pada intrik istana dan kisah heroik yang mengangkat martabat Kesultanan Sambas. Musik pengiringnya mungkin lebih didominasi oleh alat-alat Melayu klasik.

Mendura di Pedalaman (Dekat Sintang/Kapuas Hulu)

Semakin bergerak ke pedalaman, pengaruh Dayak menjadi lebih dominan. Mendura di wilayah ini mungkin memiliki durasi yang lebih panjang dan lebih ritualistik. Properti yang digunakan seringkali merupakan benda-benda alam (seperti ranting, bulu, atau tengkorak tiruan) yang memiliki makna magis. Cerita yang dibawakan bergeser dari intrik istana menjadi kisah persinggungan antara manusia dengan roh hutan, atau tentang perjuangan pahlawan Dayak melawan penguasa tiran.

Mendura Pontianak

Di ibu kota provinsi, Mendura telah mengalami modernisasi lebih awal. Meskipun esensi cerita tetap dipertahankan, beberapa kelompok Mendura di Pontianak mungkin menggunakan pencahayaan panggung yang lebih modern, atau bahkan memasukkan alat musik kontemporer. Tujuan utamanya seringkali lebih diarahkan pada panggung pertunjukan festival dan pariwisata, sehingga durasinya diperpendek agar sesuai dengan jadwal festival modern.

Terlepas dari varian regional, benang merah yang mengikat semua bentuk Mendura adalah peranan Punakawan sebagai jembatan realitas dan fantasi. Bahkan dalam versi yang paling sakral, humor dan satire tetap menjadi komponen wajib, memastikan bahwa pesan moral tidak disampaikan secara dogmatis, tetapi diserap secara reflektif oleh masyarakat.

MENDURA DI ERA MODERN: TANTANGAN DAN UPAYA PELESTARIAN

Warisan budaya yang agung seperti Mendura menghadapi tantangan berat di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi. Kelangsungan hidupnya kini berada di persimpangan jalan, membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.

Ancaman Regenerasi dan Hilangnya Master

Tantangan terbesar adalah regenerasi Tukang Penseh. Untuk menjadi master Mendura sejati, seseorang harus mendedikasikan hidupnya untuk menghafal cerita, menguasai teknik vokal, dan memahami filosofi adat secara mendalam—suatu proses yang memakan waktu puluhan tahun. Generasi muda saat ini cenderung kurang tertarik pada proses belajar yang panjang dan lebih memilih hiburan instan yang ditawarkan media digital.

Ketika seorang Tukang Penseh meninggal, bukan hanya seorang seniman yang hilang, tetapi seluruh arsip sejarah lisan dan pengetahuan adat ikut terkubur. Para seniman yang tersisa sering kali sudah berusia lanjut, dan kelompok Mendura yang aktif semakin menyusut jumlahnya. Ini menciptakan kekosongan besar dalam pewarisan tradisi.

Infrastruktur dan Dukungan Formal

Mendura memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai, termasuk pendanaan untuk kostum, alat musik, dan yang paling penting, insentif finansial bagi para pemain. Tanpa dukungan formal dari pemerintah daerah atau yayasan budaya, sulit bagi seniman untuk hidup dari kesenian ini, yang menyebabkan mereka beralih profesi. Mendura seringkali dianggap sebagai seni pinggiran, padahal nilai historis dan sastranya sangat tinggi.

Selain itu, kurangnya dokumentasi tertulis yang memadai menjadi masalah. Karena Mendura bersifat lisan, banyak varian cerita dan teknik pertunjukan yang belum sempat dicatat atau direkam secara profesional. Upaya dokumentasi yang masif diperlukan untuk menciptakan "bank data" Mendura yang bisa dipelajari oleh generasi mendatang.

Upaya Konservasi dan Adaptasi

Meskipun tantangan berat, beberapa komunitas dan akademisi telah memulai upaya heroik untuk melestarikan Mendura. Upaya ini berfokus pada dua jalur utama: konservasi murni dan adaptasi inovatif.

1. Konservasi Murni

Ini melibatkan pencatatan dan perekaman pertunjukan Mendura secara detail, wawancara mendalam dengan para Tukang Penseh senior, dan pembuatan modul pembelajaran di sanggar-sanggar. Tujuannya adalah menjaga kemurnian bentuk tradisional, memastikan bahwa generasi mendatang dapat mempelajari Mendura dalam wujud aslinya, dengan segala kompleksitas dan aturan adatnya.

Penyusunan kurikulum Mendura di beberapa sekolah seni lokal menjadi langkah krusial untuk mengintegrasikan seni lisan ini ke dalam pendidikan formal. Ini menjamin bahwa Mendura tidak hanya diwariskan dari ayah ke anak, tetapi juga melalui sistem akademik yang terstruktur.

2. Adaptasi Inovatif

Adaptasi inovatif berusaha membawa Mendura ke panggung yang lebih luas. Ini bisa berupa:

Melalui adaptasi, Mendura bisa menjadi aset budaya yang relevan di tingkat nasional bahkan internasional, sebagaimana halnya wayang kulit atau teater tradisi lainnya yang berhasil bertransformasi tanpa kehilangan jati diri.

KEDALAMAN PSIKOLOGIS KARAKTER PADA MENDURA

Salah satu aspek yang membuat Mendura bertahan begitu lama adalah kedalaman psikologis karakternya. Meskipun karakternya seringkali arketipal (Raja, Pahlawan, Penyihir), mereka tidak bersifat dua dimensi. Dialog yang panjang memberikan waktu bagi penonton untuk menyelami dilema moral yang dihadapi oleh tokoh-tokoh tersebut.

Dilema Moral Sang Pahlawan

Pahlawan dalam Mendura (sering disebut juga Raja Muda atau Bujang) tidak selalu sempurna. Mereka seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: mematuhi Raja yang zalim demi kedamaian, atau memberontak demi keadilan. Konflik internal ini—antara kesetiaan dan kebenaran—menciptakan ketegangan dramatis yang sangat nyata bagi penonton. Pahlawan harus bertarung tidak hanya melawan musuh fisik, tetapi juga melawan keraguan dan godaan moral yang diletakkan oleh para antagonis atau makhluk gaib.

Fungsi Katarsis dari Punakawan

Punakawan, di sisi lain, berfungsi sebagai representasi dari akal sehat masyarakat. Mereka seringkali adalah karakter yang paling jujur, meskipun mereka adalah yang paling rendah status sosialnya. Kehadiran mereka membumikan narasi yang terlalu mitologis. Ketika Punakawan berdialog dengan Raja atau Pahlawan, mereka berbicara dari sudut pandang rakyat jelata, menanyakan pertanyaan sederhana yang sering dilupakan oleh kaum bangsawan. Dialog ini adalah katarsis psikologis bagi penonton, memungkinkan mereka untuk 'melampiaskan' kritik terhadap penguasa melalui mulut Punakawan.

Dalam Mendura, air mata dan tawa harus seimbang. Jika drama terlalu serius, penonton akan lelah. Punakawan memastikan ada pelepasan emosi melalui tawa, sehingga pesan moral yang serius dapat dicerna dengan lebih ringan dan efektif.

RELEVANSI MENDURA DALAM MASYARAKAT KONTEMPORER

Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, mengapa Mendura masih penting? Jawabannya terletak pada kemampuannya untuk menawarkan akar dan orientasi moral di tengah krisis identitas yang disebabkan oleh globalisasi.

Sumber Inspirasi Sastra dan Seni Modern

Mendura adalah sumber daya naratif yang tak terbatas. Para penulis, sineas, dan seniman kontemporer di Kalimantan Barat mulai menyadari potensi epik ini. Alih-alih membiarkan kisah-kisah Mendura punah, mereka mengadaptasinya ke dalam novel, film pendek, atau komposisi musik baru. Dengan demikian, warisan lisan ini bertransformasi menjadi warisan tertulis dan visual, menjamin kelanjutannya dalam bentuk yang berbeda.

Pemersatu Etnis

Di wilayah yang kaya akan keragaman etnis seperti Kalimantan Barat, Mendura tetap relevan sebagai simbol pemersatu. Karena ia merupakan sintesis harmonis antara budaya Melayu dan Dayak, Mendura mengajarkan pentingnya toleransi, kerja sama, dan saling menghormati di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Pertunjukan Mendura menjadi panggung bersama, di mana perbedaan dialek atau kepercayaan melebur dalam satu kesatuan cerita yang agung.

Prinsip harmonisasi yang diajarkan oleh Mendura, khususnya dalam penyelesaian konflik antara kerajaan dan komunitas adat pedalaman, adalah pelajaran berharga bagi masyarakat modern yang seringkali terperangkap dalam polarisasi identitas. Mendura menunjukkan bahwa kekuatan sejati Kalimantan Barat terletak pada kemampuan mereka untuk berkolaborasi dan mencari titik temu, sebagaimana yang tercermin dalam perpaduan musik dan karakter di atas panggung.

PENUTUP: MENJAGA API MENDURA

Mendura adalah intan permata budaya Kalimantan Barat. Ia bukan sekadar teater; ia adalah memori kolektif yang dipentaskan, diiringi oleh alunan musik yang menggetarkan dan dialog yang filosofis. Kelangsungan hidup Mendura bergantung pada pengakuan nilai historis dan sastranya, serta kemauan kolektif untuk berinvestasi dalam regenerasinya.

Untuk memastikan api Mendura tidak padam, dibutuhkan lebih dari sekadar apresiasi sesaat. Diperlukan upaya nyata untuk mendokumentasikan setiap irama, setiap pantun, dan setiap filosofi yang terkandung di dalamnya. Dukungan terhadap para Tukang Penseh yang berdedikasi adalah investasi bagi masa depan budaya Kalimantan Barat.

Sebab, Mendura mengajarkan kita bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang selalu menang dalam pertempuran fisik, tetapi mereka yang mampu menjaga janji, menjunjung tinggi adat, dan membawa harmoni antara manusia dan alam. Selama cerita-cerita epik ini terus dibawakan di bawah langit malam Kalimantan, selama itu pula roh dan kebijaksanaan leluhur akan terus membimbing generasi penerus.

Mendura adalah warisan tak ternilai. Ia adalah suara Borneo yang harus terus bergema, membawa kisah-kisah keadilan, keberanian, dan kearifan lokal hingga jauh ke masa depan, menjadikannya bukan sekadar sejarah yang terlupakan, tetapi kekuatan budaya yang selalu relevan.

MENDURA SEBAGAI KOSMOLOGI BERJALAN

Pemahaman Mendura sebagai kosmologi berjalan adalah kunci untuk menghargai kekayaan naratifnya. Kosmologi yang dibangun dalam Mendura meliputi tiga lapisan alam semesta: Alam Atas (tempat dewa dan roh leluhur yang baik), Alam Tengah (dunia manusia), dan Alam Bawah (dunia roh jahat dan makhluk mitologis air atau gua). Setiap karakter dan setiap adegan memiliki peran untuk menjaga keseimbangan ketiga alam ini.

Ketika Raja bertindak adil, Alam Tengah berada dalam harmoni, dan Alam Atas memberikan restu. Namun, ketika kezaliman merajalela, batas antara Alam Tengah dan Alam Bawah kabur. Bencana alam, penyakit, atau serangan makhluk gaib (seperti Hantu Air atau Raksasa Gunung) adalah manifestasi nyata dari ketidakseimbangan kosmis ini. Tugas pahlawan seringkali bukan hanya mengalahkan antagonis manusia, tetapi juga melakukan ritual atau pencarian ke Alam Bawah untuk memulihkan tatanan kosmik yang terganggu.

Ritual pembukaan panggung, yang seringkali memakan waktu berjam-jam sebelum dialog dimulai, berfungsi sebagai upaya untuk 'memanggil' roh-roh dari Alam Atas dan 'menahan' pengaruh jahat dari Alam Bawah, sehingga panggung menjadi ruang suci (liminal space) yang aman untuk pertukaran naratif epik. Ini adalah penegasan bahwa Mendura, pada dasarnya, adalah sebuah ritual yang dibungkus dalam drama.

Simbolisme dalam Kostum dan Properti

Setiap detail dalam pertunjukan Mendura memiliki makna simbolis yang mendalam. Kostum Raja, yang dihiasi dengan warna-warna cerah seperti merah dan emas, tidak hanya melambangkan kekayaan, tetapi juga energi matahari dan keberanian. Sementara itu, properti seperti keris atau tombak yang digunakan dalam adegan pertempuran seringkali bukan sekadar senjata, melainkan benda pusaka yang diyakini memiliki kekuatan spiritual, diwariskan dari leluhur. Penggunaan mahkota dari bulu Burung Enggang (simbol Dayak) pada beberapa karakter pahlawan mencerminkan kemampuan mereka untuk menjangkau Alam Atas.

Bahkan panggung sederhana pun penuh makna. Biasanya, ada sebuah pohon atau simbol gunung di latar belakang, mewakili pusat kosmos atau tempat bertapa. Pergerakan karakter dari sisi kanan panggung ke kiri sering diinterpretasikan sebagai perjalanan dari masa lalu ke masa depan, atau dari alam baik ke alam jahat.

TEKNIK PENGULANGAN DAN VARIASI (REPETISI NARATIF)

Untuk mencapai durasi pementasan yang panjang, Mendura sangat mengandalkan teknik pengulangan dan variasi naratif. Sebuah adegan kunci, misalnya dialog perdebatan antara Raja dan Menterinya, dapat diulang dalam berbagai versi, dengan penekanan emosional yang berbeda setiap kalinya.

Pengulangan ini tidak membuat cerita membosankan; sebaliknya, ia memperkuat pesan moral dan memberikan waktu bagi penonton untuk meresapi setiap detail. Dalam sastra lisan, pengulangan berfungsi sebagai alat mnemonik (pengingat) bagi Tukang Penseh. Pola-pola dialog yang berirama dan pantun yang diulang dengan sedikit variasi pada baris terakhir memastikan bahwa alur cerita utama tetap utuh, bahkan di tengah improvisasi yang liar.

Peran Musik dalam Membangun Emosi

Musik pengiring adalah kunci keberhasilan teknik repetisi naratif. Ketika sebuah dialog kunci diulang, irama musik akan diubah. Misalnya, pengulangan pertama diiringi irama lembut (melankolis) yang menekankan kesedihan karakter; pengulangan kedua diiringi irama yang cepat dan tajam (agresif) yang menekankan kemarahan karakter. Pergantian irama ini membuat repetisi terasa segar dan menumbuhkan emosi yang berbeda dalam audiens, memungkinkan penonton tetap terlibat selama berjam-jam.

MENDURA DAN KEARIFAN LOKAL TENTANG KESEHATAN

Dalam konteks tradisional, lakon Mendura seringkali dihubungkan dengan kesehatan komunitas. Kisah-kisah yang melibatkan penyakit massal atau wabah seringkali menunjuk pada pelanggaran adat besar-besaran yang dilakukan oleh penguasa. Penyelesaian dramatik dari lakon ini (yaitu, pengembalian keadilan atau penghormatan terhadap alam) secara metaforis dianggap sebagai proses penyembuhan sosial dan fisik.

Ketika Mendura dipentaskan sebagai ritual penyembuhan, biasanya pada saat ada anggota masyarakat yang sakit parah, cerita yang dipilih adalah kisah tentang perjuangan pahlawan untuk mendapatkan obat mujarab atau bernegosiasi dengan roh penjaga kesehatan. Pementasan itu sendiri, dengan getaran musik yang ritmis dan suasana yang imersif, dianggap memiliki kekuatan terapeutik, mengalihkan perhatian pasien dan komunitas dari rasa sakit menuju harapan akan penyembuhan yang simbolis.

Ini menunjukkan betapa Mendura berfungsi sebagai sistem kepercayaan holistik, di mana kesehatan spiritual, sosial, dan fisik saling terkait erat. Kesenian ini mengajarkan bahwa penyakit tidak hanya ditangani dengan obat, tetapi juga dengan memulihkan harmoni antara manusia dan lingkungannya.

INTEGRITAS DAN OTENTISITAS LAKON MENDURA

Tantangan yang paling halus dalam pelestarian Mendura adalah menjaga integritas dan otentisitasnya di hadapan komersialisasi. Ketika Mendura dibawa ke panggung festival besar, ada kecenderungan untuk 'mempercantik' atau 'memperpendek' cerita agar sesuai dengan selera pasar yang lebih umum.

Misalnya, karakter Punakawan yang secara tradisional menggunakan satire keras dan bahasa yang blak-blakan mungkin 'disensor' agar lebih sopan atau politis. Adegan-adegan ritualistik yang panjang, yang dianggap membosankan bagi penonton yang tidak terbiasa, sering dihilangkan. Meskipun adaptasi diperlukan untuk kelangsungan hidup, para pelestari harus berhati-hati agar pemangkasan ini tidak menghilangkan esensi filosofis yang membuat Mendura bermakna.

Otentisitas Mendura terletak pada kejujuran naratifnya, bahkan ketika narasi tersebut melibatkan aspek yang gelap atau kontroversial dalam sejarah lokal. Tugas para master Mendura adalah memastikan bahwa, meskipun bentuknya bisa berubah, roh epik dan ajaran moralnya tetap suci dan tidak terdistorsi oleh tuntutan komersial.

Mendura terus menantang kita untuk melihat seni pertunjukan bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai wadah kearifan yang tak lekang oleh waktu. Ia adalah warisan Kalimantan Barat, sebuah episode kehidupan yang tak pernah usai.

MENDURA SEBAGAI JEMBATAN ANTAR-GENERASI: PERAN ORALITAS

Oralitas, atau tradisi lisan, adalah ciri khas Mendura. Dalam masyarakat yang literasinya berkembang belakangan, tradisi lisan seperti Mendura berfungsi sebagai repositori ilmu pengetahuan, hukum, dan sejarah. Setiap kali Mendura dipentaskan, ia memperbaharui dan menegaskan kembali ikatan antara generasi tua yang menyimpan pengetahuan dan generasi muda yang menerimanya. Keajaiban Mendura terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi secara lisan.

Seorang Tukang Penseh yang berpengalaman mampu mengingat silsilah raja-raja hingga puluhan generasi, detail geografis suatu wilayah yang sudah berubah, dan etiket sosial yang mungkin sudah tidak dipraktikkan sehari-hari. Pengetahuan ini disematkan dalam bentuk pantun dan syair yang mudah diingat. Proses pewarisan ini menuntut keintiman yang mendalam antara guru dan murid, berbeda dengan pembelajaran formal yang kaku.

Hilangnya Tukang Penseh berarti hilangnya bukan hanya pencerita, tetapi hilangnya keseluruhan cara pandang terhadap dunia. Oleh karena itu, upaya dokumentasi modern harus mengakui bahwa tulisan hanyalah bayangan dari kekayaan oralitas yang sebenarnya. Upaya konservasi harus fokus pada bagaimana merekam nuansa intonasi, ekspresi, dan interaksi yang hanya ada dalam pementasan langsung.

Pembacaan Syair dan Ritual Vokal

Salah satu komponen paling memukau dari Mendura adalah ritual pembacaan syair panjang (terkadang disebut bertutur) yang dibawakan di awal pementasan. Bagian ini seringkali dilakukan solo oleh Tukang Penseh, yang menggunakan teknik vokal khusus—memanjang, bergetar, dan seringkali melantunkan melodi yang sangat kuno. Intonasi vokal yang rumit ini bertujuan untuk memasuki kondisi trans atau semi-trans, yang diyakini dapat membuka koneksi spiritual dengan narasi yang akan dibawakan.

Ritual vokal ini adalah demonstrasi kekuatan artistik dan spiritual dari pementasan. Ia mempersiapkan penonton untuk menerima realitas panggung, mengubah tempat pertunjukan biasa menjadi sebuah medan naratif yang sakral, penuh dengan aura mistis. Kesulitan dalam menguasai teknik vokal ini adalah salah satu alasan mengapa regenerasi Tukang Penseh sangat sulit dilakukan.

KETERKAITAN MENDURA DENGAN EPOS NUSANTARA LAIN

Meskipun Mendura memiliki identitas yang sangat lokal Kalimantan Barat, ia berbagi beberapa benang merah dengan tradisi epik di wilayah Nusantara lainnya, menunjukkan adanya pertukaran budaya kuno yang luas.

Keterkaitan ini memperkuat posisi Mendura sebagai bagian integral dari kekayaan teater Asia Tenggara, namun dengan bumbu lokal yang unik—yakni perpaduan harmonis antara nuansa spiritual Dayak dan kehalusan sastra Melayu pesisir. Studi komparatif lebih lanjut mengenai irama musik, pola dialog, dan arketipe karakter Mendura dapat membuka wawasan baru mengenai migrasi naratif di kepulauan ini.

KESIMPULAN EPILOGIS: MENDURA SEBAGAI IDENTITAS

Mendura bukanlah warisan yang harus dibaca dari buku sejarah, tetapi harus dihidupkan melalui pementasan. Ia adalah penanda identitas regional yang unik, yang menolak untuk dilebur sepenuhnya oleh pengaruh luar. Setiap babak Mendura yang dibawakan adalah deklarasi bahwa nilai-nilai keadilan, penghormatan terhadap alam, dan kearifan leluhur masih relevan di tengah modernitas yang serba cepat.

Memelihara Mendura berarti memelihara lisan, memelihara musik, dan memelihara filosofi. Ini adalah tugas kolektif yang membutuhkan kolaborasi antara seniman, pemerintah, akademisi, dan terutama generasi muda, yang harus melihat Mendura bukan sebagai relik masa lalu, melainkan sebagai fondasi untuk masa depan budaya Kalimantan Barat yang berakar kuat dan bermartabat. Kita harus memastikan bahwa Mendura terus berbisik, bernyanyi, dan berbicara, menceritakan kisah epik Borneo kepada dunia.

🏠 Kembali ke Homepage